Minggu, 08 Januari 2017

Sosiologi komunikasi massa harris sumandiria


NAMA                 : FRISKILA DESI
NPM                     : C1021511RB5108
JURUSAN           : ILMU KOMUNIKASI
MATA KULIAH : SOSIOLOGI KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SANGGA BUANA YPKP
 



BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KOMUNIKASI MASSA

1.1       PENGERTIAN KOMUNIKASI

            Kita bisa melacak pengertian komunikasi berdasarkan asal-usul kata komunikasi itu sendiri. Istilah yang disebut dalam teori komunikasi sebagai definisi etimologis. Secara etimologis, komunikasi  berasal dari bahasa inggris communicatio. Communicatio  itu sendiri berasal dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang di percakapkan. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan  makna. Dengan perkataan lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu (Effendy,1984:1).
Joseph A. Devito dalam Communicalogy: An  introduction to the study of Communication (1978), kegiatan komunikasi melibatkan banyak komponen, yaitu: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian (encoding), proses penerimaan (decoding), arus balik (umpan balik), dan efek (effenndy, 1984:7).
Maka dari itu komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu yang di pahami maknanya. Dengan demikian, suatu pesan atau informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tetapi tidak bisa dipahami makna atau maksudnya oleh orang lin tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai proses atau tindakan infoemasi.

2.1       DEFINISI KOMUNIKASI

            Komunikasi adalah suatu proses, berisi tentang penyampaian atau pertukaran ide, gagasan, atau informasi dari seseorang kepada orang lain, dan menggunakan symbol yang dipahami maknanya oleh komunikator dan komunikan.

3.1       PROSES KOMUNIKASI
           
            Menurut presfektif mekanistis, komunikasi dibedakan dalam empat kategori, yakni :
1.      Proses Komunikasi Primer (primary process) adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai media atau saluran. Lambang umumnya adalah bahasa (verbal symbol), namun di situasi tertentu bisa berupa kial (gesture) yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna (nonverbal symbol).
2.      Proses Komunikasi Sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media kedua. Komunikator menggunakan media kedua ini karena komunikan yang dijadikan sasaran komunikasinya jatuh tempatnya atau banyak jumlahnya, atau kedua-duanya jauh dan banyak.
3.      Proses Komunikasi Linear berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan secara satu arah. Sedangkan komunikasi linear, tidak berbeda dengan sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang lain, kemudian dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan begitu seterusnya. Komunikator dan komunikan, pada saat bersamaan berganti-ganti peran.
4.      Proses Komunikasi Sirkular berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan ibarat sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang lain, kemudian dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan begitu seterusnya. Dengan demikian, komunikator dan komunikan, pada saat bersamaan berganti-ganti peran. Ia mengirimkan pesan, tetapi pada saat bersamaan ia juha menerima pesan balik.
Pesan balik yang diterima seorang komunikator dalam proses komunikasi disebut unpan balik (feedback), da nada beberapa macam feedback dalam teori komunikasi :
1.      Umpan Balik Positif (Positive Feedback), adalah tanggapan atau respon yang sesuai dengan kehendak dan harapan komunikator yang berupa persetujuan, pemihakan, atau dukungan komunikan terhadap pandangan, gagasan atau pernyataan yang di kemukakan komunkator.
2.      Umpan Balik Negatif (Negative Feedback), adalah tanggapan yang di lontarkan oleh pihak komunikan tidak sesuai dengan keinginan dan harapan komunikator.
3.      Umpan Balik Netral (Neutral Feedback), adalah tanggapan yang tidak mendukung atau menolak gagasan yang dikemukakan oleh komunikator.
4.      Umpan Balik Nihil (Zero Feedback),  umpan ini menunjuk kepada tanggapan yang tidak memberikan keuntungan apapun kepada komunikator. Teori ini mengukuhkan bahwa komunikan adalah orang yang berkepala batu, tidak mudah di bujuk atau diyakinkan mengenai suatu pilihan atau tindakan yang perlu di ambil.
5.      Umpan Balik Seketika (Direct Feedback), umpan ii bersifat langsung atau komunikan langsung memberikan tanggapan pada saat itu juga, tidak ditunda-tunda atau tertunda.
6.      Umpan Balik Tertunda (Indirect Feedback), adalah tanggapan komunikan kepada komunikator yang bersifat tidak langsung disampaikan saat itu maka komunikator tidak segera mengetahui respon, tanggapan, komentar, penilaian, atau pernyataan dari komunikan.

4.1    PENGERTIAN KOMUNIKASI MASSA
Media massa merajuk kepada bentuk saluran penyampai pesan (media channel), sedangkan komunikasi massa merajuk kepada proses kegiatannya (media activity). Komunikasi massa terbagi atas media komunikasi massa cetak (surat kabar, tabloid, majalah), komunikasi massa elektronik auditif (radio siaran/broadcasting), dan komunikasi massa elektronik audiovisual (televise siaran).

4.2    DEFINISI KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditunjukkan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 1998 : 189).

4.3              KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MASSA
1.      Komunikator Melembaga, atau dapat disebut juga bersifat institusional. Karena institusional, maka gaya komunikator suatu media komunikasi massa tidaklah berbeda satu sama lain karena mereka haruslah tunduk kepada kebijakkan redaksional medianya tersebut. Contoh : gaya seluruh presenter berita Metro TV Jakarta ketika membacakan berita, menampilkan gaya serupa karena tuntutan dari redaksional medianya.
2.      Komunikasi Satu Arah, yaitu tidak terjadinya umpan balik langsung  juga tidak terdapat proses dialogis, kita sebagai komunikan hanya menjadi pemirsa pasif tanpa bisa berkomentar secara langsung kepada pihak komunikator.
3.      Pesan Umum Diterima Serempak, pesan komunikasi massa ditujukan untuk khalayak umum yang bersifat heterogen namun dapat bersifat serentak penerimaan informasinya.
4.      Khalayak Tersebar, Anonim, Heterogen, karena khalayaknya tersebar dimana-mana jadi khalayak tidak mengenal satu sama lain namun dihubungkan oleh media secara psikologis, tetapi mereka tidak diikat dan tidak terikat oleh antar mereka sendiri.
5.      Selintas, biasanya ada dalam media massa radio. Karena radio siaran biasanya hanya sekali menyiarkan jadi yang sudah di siarkan akan bersifat selintas tanpa bisa kita cerna dengan baik beda dengan media cetak yang jelas tercetak dan jika kita tidak mengerti kita dapat membacanya berulang kali.


BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA

2.1       PENGERTlAN SOSIOLOGI

Secara etimologis, sosiologi berasal dari kata socius yang berarti masyarakat, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara sederhana sosiologi diartikan sebagai ilmu yang secara khusus mempelajari kehidupan masyarakat.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan ahtar unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta Iapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik. Sebagai kesimpulan, sosiologi adalah ilmu sosial yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional dan empiris, serta bersifat umum (Soekanto, 1991: 20-25).
Objek sosiologi adalah masyarakat dilihat dari sudut pandang hubungan antarmanusia dan proses yang timbul di dalamnya. Masyarakat, menurut Mac Iver dan Page, ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, serta pengawasan tingkah-laku dan kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini dinamakan masyarakat. Masyarakat mempakan jalinan hubungan sosial. Istilah sosiolgi diperkenalkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1853). Tokoh Francis ini, yang dianggap sangat berjasa dalam membedakan ruang Iingkup dan isi sosiologi dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Ia kemudian digelari bapak sosiologi.

2.2       PENGERTIAN SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA

Dalam pandangan pakar sosiologi Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi merupakan kekhususan sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial yaitu suatu hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruhmemengaruhi antara para individu, individu dengan kelompok maupun antarkelompok (Soekanto, 1992: 471).
Secara komprehensif sosiologi komunikasi mempelajari tentang interaksi sosial dengan segala aspek yang berhubungan dengan interaksi tersebut seperti bagaimana interaksi (komunikasi) itu dilakukan dengan menggunakan media, bagaimana efek media sebagai akibat dari interaksi tersebut, sampai dengan bagaimana perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat yang didorong oleh efek media berkembang serta efek sosial macarn apa yang ditanggung masyarakat sebagai akibat dari perubahanperubahan yang didorong oleh media massa‘itu (Bungin, 2006: 31).
Setiap ilmu memiliki objek kajian formal yang sama: manusia. Objek manusia dalam studi sosiologi komunikasi menekankan pada aspek aktivitas manusia sebagai makhluk sosial yang melakukan aktivitas sosiologi yaitu proses sosial dan komunikasi. ASpek ini merupakan aspek dominan dalam kehidupan manusia bersama orang lain. Aspek lainnya adalah telematika dan realitasnya. Aspek ini menyangkut persoalan teknologi media, teknologi komunikasi, dan berbagai persoalan konvergensi yang ditimbulkannya termasuk realitas maya yang dihasilkan oleh telematika sebagai sebuah ruang publik baru yang tanpa batas dan memiliki masa depan yang cerah bagi ruang kehidupan.
Sebaliknya perkembangan telematika dan aspek-aspeknya serta pengaruhnya terhadap perkembangan media massa memberikan efek yang luar biasa pada masyarakat. Efek media memiliki ruang bahasan yang luas terhadap konsekuensinya pada proses-proses sosial itu sendiri, baik menyangkut individu, kelompok, masyarakat, maupun dunia, termasuk pula aspek-aspek yang merusak, seperti kekerasan, pelecehan, penghinaan, bahkan sampai pada masalah-masalah kriminal. Pengaruh-pengaruh efek
media juga ikut membentuk life style dan lahirnya norma sosial baru dalam masyarakat terutama pada masyarakat kosmopolitan, sekuler, cerdas, profesional, materialistis dan hedonis, serta modis (Bungin, 2006: 39-40).



BAB III
ANALISIS FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL SERTA MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA

3.1       ANALISA FUNGSIONAL DAN FUNGSIONAL KOMUNIKASI MASSA
Menurut Denis McQuail terdapat lima fungsi media komunikasi massa yakni informasi, korelasi, sosialisasi (kesinambungan), rekreasi (hiburan), dan mobilisasi. Sedangkan. menurut penulis buku yang lain, fungsi media komunikasi massa meliputi: informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi.
fungsi-fungsi media komunikasi massa menurut pendapat para ahli sosiologi, yaitu Robert K. Merton dan Paul Lazarsfeld, fungsi komunikasi massa mencakup enam hal: pengawasan (surveillance), korelasi (correlation), transmisi budaya (cultural transmision), penganugerahan status (status conferal), dan pengakhlakan (ethicizing). Sebagai pendukung teori fungsi, Robert K. Merton telah membedakan antara fungsi-fungsi konsekuensi suatu aktivitas sosial dan tujuan atau maksud di belakang aktivitas tersebut.
Jadi, konsekuensi tidak perlu sama. Istilah konsekuensi dari Merton ditujukan untuk fungsi nyata (manifest functions) yang diinginkan, dan fungsi-fungsi tersembunyi (latent functions) yang tidak diinginkan. Ia juga menyatakan bahwa tidak semua konsekuensi dari suatu aktivitas mempunyai nilai positif untuk suatu sistem sosial ketika konsekuensi itu terjadi atau bagi kelompok-kelompok atau individu-individu yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi-konsekuensi yang tak diinginkan ditinjau dari kesejahteraan masyarakat atau anggotanya disebut dysfunctions (disfungsional). Setiap tindakan bisa memiliki efek-efek fungsional dan disfungsional. Kampanye kesehatan umum, misalnya, bisa saja menimbulkan kecemasan yang begitu mendalam pada beberapa orang sehingga mereka lupa memeriksakan diri kalau-kalau mereka menemukan beberapa penyakit yang tidak dapat diobati. Kampanye dikatakan mempunyai efek yang fungsional kalau kampanye itu mendorong semangat para pekerja atau masyarakat dan, mungkin juga efisisiensi. Tetapi kampanye itu dikatakan disfungsional kalau kampanye tersebut memiliki efek bumerang sehingga menakut-nakuti pasien (Wright,1985: 9-10).
Menurut Charles Wright, dengan mengombinasikan spesiiikasi konsekuensi dari Merton atas enam macam fungsi kornunikasi massa, kita sampai pada suatu kerangka kerja yang memberikan pedoman bagi penelitian. Secara skema, pertanyaan dasar itu sekarang menjadi sebagai berkut:


Rounded Rectangle: (1) fungsi Apakah dan , (2) disfungsi (3) nyata dan dari  (4) tersembunyi (5) pengawasan (berita)  (6) korelasi (7) transmisi budaya (8) hiburan  (9) penganugerahan status  (10) pengakhlakan
yang diadakan dengan bentuk komunikasi massa bagi

(11) masyarakat
(12) individu
(13) subkelompok
(14) sistem-sistem budaya?
 








Sumber: Dlolah dari Wright, 1985:10 (Dalam teks asli, pain 9 dan 10 tidak ada),
3.1.1    Pengawasan Oleh Media Massa

Pengawasan secara sederhana berarti penanganan berita yang dilakukan media massa. Salah satu konsekuensi positif dari pengawasan ialah bahwa komunikasi massa memberikan peringatan mengenai ancaman dan bahaya yang mengancam di dunia, katakanlah bahaya yang berasal dari badai atau bahaya yang berasal dari serangan militer. Dengan peringatan lebih dulu, masyarakat dapat memobilisasi dan mencegah kerusakan. Selain itu, peringatan melalui media komunikasi massa juga harus memiliki fungsi tambahan. Itulah fungsi egaliterianisme atau seseorang merasa sama dengan orang lain. Konsekuensi positif berikutnya ialah bahwa arus data mengenai lingkungan merupakan alat bagi keperluan lembaga masyarakat setiap hari, misalnya, kegiatan stok pasar, navigasi, dan lalu lintas udara (Wright, 1985: 11).

Kita simpulkan, itulah yang disebut efek fungsional media komunikasi massa. Sifatnya positif. Kita menyadari, ternyata media telah menampilkan diri sebagai pembimbing, pemandu, guru, atau petugas penyelamat (search and rescue). Dalam sejumlah kasus tertentu, media bahkan telah menampilkan dirinya sebagai pahlawan yang Iayak dielu-elukan. Ia seolah tak tercelakan. Ia lembaga sosial yang berjasa bagi kelanjutan kehidupan masyarakat. Konsekuensinya, media perlu senantiasa diberi tempat yang Iayak pula dalam ruang-ruang sosial masyarakat. Ia bukan musuh bersama (common enemy). Ia justru merupakan sahabat bersama (common friend) yang pantas untuk didekati dan dijadikan mitra sejati. J adi, keliru besar kalau ada anggapan yang menyatakan media adalah perusak moral dan penghancur tata nilai dan tertib sosial (social disorder).

Merton dengan serta-merta mengingatkan, jangan cepat puas diri apalagi sampai terlena dan lupa diri. Alasannya jelas. Pengawasan media massa, kata Merton, bisa juga melahirkan efek disfungsional. Berbagai berita dan laporan, tulisan, gambar, serta foto yang ditayangkan media massa, tak ubahnya menebar paku ke tengah jalan. Artinya jelas-jelas mengancam, membahayakan, dan mencelakakan masyarakat. Paling tidak secara psikologis, masyarakat akan berubah menjadi penakut, peragu, dan senantiasa merasa khawatir dalam melihat lingkungan sekitar. Kita seperti pemain sepak bola yang tiba-tiba merasa alergi melihat, menyentuh, dan menendang bola walau sudah berada di depan gawang musuh.

3.1.2    Korelasi

Korelasi berarti bagaimana media massa membaca dan sekaligus memberikan tafsir atau interpretasi terhadap berbagai informasi lingkungan sosial dan fisik di sekitarnya. Menurut teori jumalistik, ribuan informasi tersebut, sifatnya berserakan, tak berhubungan atau berkaitan satu sama lain. Ada banyak serpihan, penggalan, potongan, dan bagian-bagian yang bergelimpangan begitu saja tak ubahnya tumpukan reruntuhan bangunan korban gempa bumi.

Tugas media, melalui fungsi korelasi, ialah membaca, mengomentari, dan menafsirkan berbagai serpihan informasi dan peristiwa tersebut sehingga benar-benar terpolakan. Melalui mekanisme baku jumalistik, fungsi korelasi lalu dibakukan dalam rubrik editorial atau tajuk rencana. Sudah tentu, korelasi akan disebut fungsional, sejauh redaksi mampu memberikan tafsir jurnalistik sehingga khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa yang semula ragu berubah menjadi yakin, semula pesimis menjadi optimis, dan semula samar-samar berubah menjadi terang-benderang.

Media massa, adakalnya gagal dalam menunjukkan fungsi nyata (manifest functions), dan sebaliknya malah “berhasil” dalam menyebarkan fungsi tersembunyi (latent functions).

3.1.3    Transmisi Budaya

Dalam bahasa Charles Wrigt, trasmisi warisan sosial (social heritage) berfokus pada komunikasi pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi lain, atau dari anggota-anggota suatu kelompok kepada para pendatang barn. Pada umumnya, aktivitas ini diidentifikasikan sebagai aktivitas pendidikan (Wright, 1985:8).

Menurut sebagian budayawan kita, media massa kita sekarang sedang menuai badai. Seruan kelompok-kelompok pengamat termasuk lembaga-lembaga pemantau media massa seperti Komisi Penyiaran Indonesia pusat dan daerah (KPI dan KPID) supaya media massa kembali ke jalan yang benar dan lurus, nyatanya sering tak digubris. Cuek bebek. Inilah yang disebut dengan efek disfungsional transmisi budaya media massa.

3.1.4    Hiburan
Kehadiran media massa, secara sosiologis telah menyulap segalanya. Orang atau siapa pun yang butuh hiburan, tak perlu bepergian ke sungai atau datang ke gedung-gedung bioskop dan teater. Tidak pula perlu persiapan mandi, berdandan, bersolek, berpakaian necis, dan naik taksi atau mobil pribadi dan membeli tiket bioskop atau tiket pertunjukan. Kita, dengan pakaian seadanya, semaunya, bahkan baru bangun tidur, dengan sekali menyentuh tombol kendali (remote control) sudah bisa menyaksikan dan menikmati berbagai tayangan hiburan televisi. Bahkan tak tanggung-tanggung, hiburan itu datangnya dari seluruh penjuru dunia! Hebatnya lagi, kita tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Cuma-cuma alias gratis!

Fungsi media massa televisi, memang memberikan hiburan sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya kepada masyarakat pemirsa. Hasil survei penulis menunjukkan, sedikitnya 70 persen jam siaran televisi swasta di Indonesia diisi dengan berbagai tayangan program hiburan, terlepas dari apakah tayangan hiburan itu bermutu atau tidak. Fenomena ini menunjukkan, posisi dan eksistensi media massa televisi dalam pemenuhan kebutuhan hiburan masyarakat, benar-benar sangat dominan. Bahkan tak tergantikan oleh media massa yang lain. Efek fungsional yang terjadi ialah, masyarakat pemirsa terpuaskan kebutuhan hasrat hiburannya. Tetapi juga fakta menunjukkan, tak hanya efek fungsional yang muncul dari tanyangan program hiburan televisi.

Hasil berbagai kajian, penelitian, dan pe'mantauan, termasuk monitoring dan evaluasi tayangan yang secara rutin dilakukan KPI dan KPID menunjukkan, televisi siaran juga ternyata banyak melahirkan efek disfungsional. Orang yang semula menginginkan hiburan dari televisi, malah justru mendapatkan kekecewaan. Kekecewaan inilah yang lalu dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kemarahan, cacian, tuduhan, dan gugatan kepada para pengelola statisun televisi komersial. KPI dan KPID pun diminta bertindak tegas dalam memberikan peringatan dan hukuman kepada stasiun televisi yang terbukti menampilkan tayangan-tayangan program hiburan yang dianggap meresahkan menyesatkan.

3.1.5         Penganugerahan Status

Sehubungan dengan pembentukan citra, kita juga dapat berkata, news make names (berita membuat nama). Orang yang tidak dikenal mendadak melejit namanya, karena ia diungkapkan besar-besarau dalam media massa. Orang yang terkenal, sebaliknya, perlahan-lahan akan dilupakan orang bila tidak pernah dilaporkan media massa. Menurut Lazarsfeld dan Merton, tampaknya orang beranggapan: “Jika Anda orang penting, Anda akan akan diperhatikan media massa. Jika Anda diperhatikan media massa, pasti Anda orang penting”. Pemberian status ini ini tidak hanya berlaku pada orang, tetapi juga pada kelompok, lembaga, organisasi, tempat, dan juga t0pik atau isu (Rakhmat, 1998: 225).

Pemberian status akan fungsional selama status atau julukan baru itu memberikan citra dan dampak positif kepada seseorang atau organisasi, lembaga, dan tempat yang dilaporkan oleh media. Misalnya, seorang perajin batik yang nyaris bangkut, tiba-tiba dibanjiri order pesanan setelah diberitakan media massa. Malah setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai perajin teladan dan diundang ke Istana Negara, bersalaman dan makan malam bersama presiden, serta mendapat piagam penghargaan. Efek fungsional media semacam ini pasti didambakan banyak orang.

Sayangnya, penganugerahan status media pun sering ditolak mentah-mentah oleh orang, pihak, organisasi, lembaga, dan tempat yang menerimanya. Apalagi kalau bukan dianggap berkonotasi negatif, buruk, melecehkan, mengandung unsur penghinaan, bahkan termasuk dalam kategori pembunuhan karakter seseorang atau suatu Iembaga yang sudah dianggap memiliki reputasi baik di mata masyarakat? Tak terelakkan lagi, itulah yang dimaksud dengan fungsi tersembunyi (latent functions) media massa dalam pemberian gelar, julukan, atau status baru kepada seseorang, suatu organisasi atau lembaga dan tempat.

Tugas kita bersama ialah melakukan monitoring dan evaluasi, agar pemberian status oleh media tidak bersifat negatif. Secara sosiologis dan ynridis, media yang mengalami kesalahan dalam pemberian status akan menghadapi konsekuensi yang dalam jangka panjang bisa membuat dirinya mati suri.

3.1.6         Pengakhlakan

Komunikasi massa mempunyai fungsi mengakhlakkan (ethicizing) kalau komunikasi itu memperkuat kontrol sosial atas anggota-anggota masyarakat yang membawa penyimpangan perilaku ke dalam pandangan masyarakat. Surat kabar, misalnya, memublikasikan informasi mengenai pelanggaran norma-norma. Fakta-fakta seperti itu sudah seharusnya diketahui oleh anggota masyarakat. Tetapi keterbukaan melalui komunikasi massa menciptakan kondisi sosial ketika orang banyak harus menolak pelanggaran itu dan mendukung standar moralitas yang sudah umum, dan bukannya yang bersifat pribadi. Dengan proses ini, berita-berita yang dikomunikasikan kepada massa memperkuat kontrol sosial dalam masyarakat perkotaan, ketika anonimitas di kota telah memperlemah komunikasi tatap-muka yang sifatuya informal dan kontrol terhadap penyimpangan perilaku (Wright, 1985: 17).

Efek fungsional (manifest functions) seperti itu, dalam perspektif Merton, tentu saja tidak selamanya berjalan mulus. Dalam pengamatan kita sehari-hari, alih-alih melakukan pengakhlakan, dalam sejumlah kasus media massa malah ikut berperan dalam memperlemah kontrol sosial. Lebih jauh lagi, media massa, dengan logika dan kepentingannya sendiri, memperkenalkan berbagai program acara yang dalam tempo singkat, membawa masyarakat ke dalam situasi apa yang disebut sosiologi sebagai anomie. Artinya, masyarakat cenderung kehil'angan pegangan nilai-nilai lama, ketika nilai-nilai baru masih dianggap asing dengan dirinya dan belum tentu bisa diterima serta lebih baik dibandingkan-nilai-nilai lama.

3.2       MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA: PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Teori apa yang secara sosiologis dapat menjelaskan posisi media komunikasi massa sebagai salah satu sistem sosial yang ada dalam masyarakat? Sebagai ilustrasi, penelitian mengenai penggunaan media massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor (1973) membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap kontroversial akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi dari media massa mengenai peristiwa tersebut. Teori peran kelompok dari John W. Riley dan Mathilda White Riley (1959), bisa menjelaskan banyak hal.

Pilihan terhadap penggunaan saluran komunikasi, banyak bergantung kepada maksud dan tujuan komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa media massa akan berperan secara selektif dalam mengubah pendapat. Sedangkan komunikasi antarpribadi umumnya lebih efektif dalam mengubah sikap. Pesan-pesan melalui media massa memang kurang kuat dalam mengubah sikap, kecuali kalau pesan-pesan tersebut justru memperkuat nilai-nilai dan kepercayaan (belief) khalayak komunikan. Sedangkan pesan-pesan yang bertentangan akan disaring khalayak komunikasi melalui tingkat selektivitas mereka (Depari dan Andrews, 1985: 17). Berikut, dipaparkan secara ringkas empat model komunikasi massa yang memiliki roh dan bobot sosiologis sangat kuat. Keempat model itu meliputi: model jarum hipodermik, model komunikasi satu tahap, model komunikasi dua tahap, dan model komunikasi banyak tahap.


3.2.1    Model Jarum Hipodermik
Model jarum hipodermik pada hakikatnya adalah model komunikasi satu arah, berdasarkan anggapan bahwa media massa memiliki pengaruh langsung, segera, dan sangat menentukan terhadap khalayak komunikan (audience). Media massa merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak komunikan yang pasif. Menurut Elihu Katz:

1.   Media massa yang sangat berpengaruh mampu memaksakan kehendaknya pada khalayak komunikan yang sama sekali tidak berusaha untuk mencoba berpikir lain.

2.   Khalayak komunikan yang otomatis (dianggap tidak memiliki hubungan satu sama lain) terikat pada media massa tetapi tidak terikat kepada kelompoknya. Pengaruh media digambarkan sebagai suatu kekuatan yang mengubah perilaku manusia tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apa pun (Depari dan Andrews, 1985: 17-18).

Secara teoretis, model jarum hipodermik dewasa ini sudah selayaknya dikubur dalam-dalam. Sebab asumsi-asumsinya mengenai media massa dan khalayak komunikan sudah sangat tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tingkat intelektualitas masyarakat.
Secara praktis, pada beberapa tempat, beberapa kelompok serla lapisun masyarakat, bahkan juga pada sebagian elit pejabat dan birokrat, model jarum hipodermik masih dijadikan rujukan. Faktanya, khalayak komunikan memang seperti, atau sengaja dibuat, tidak berdaya. Gejala ini, secara sosiologis bisa dilacak pada kondisi ketika nilai-nilai otokratis masih tampil dominan. Sebaliknya roh dan nilai-nilai serta aplikasi masyarakat demokratis terpinggirkan, atau setidaknya masih berjalan tertatih-tatih.

3.2.2    Model Komunikasi Satu Tahap

Model komunikasi satu tahap (one step flow communication model) menyatakan bahwa media massa sebagai saluran komunikasi langsung berpengaruh pada khlayak komunikan, tanpa membutuhkan peranan para pemuka pendapat sebagai penyebar informasi. Perbedaan antara model jarum hipodermik dengan model komunikasi satu tahap terletak pada kenyataan bahwa:
1.      Model komunikasi satu tahap mengakui bahwa tidak semua media memiliki kekuatan pengaruh yang sama.
2.      Model komunikasi satu tahap memperhitungkan peranan sclektivitus sebagai faktor yang menentukan penerimaan khalayak komunikan.
3.      Model komunikasi satu tahap mengakui kemungkinan timbulnya rcaksi yang berbeda dari khalayak komunikan terhadap pesan komunikasi yang sama (Depari dan Andrews, 1985: 20).
Model ini mengasumsikan terjadinya proses interaksi sosial antam media dan khalayak komunikan. Pada model ini, tidak ditemukan hierarki, media perantara, atau pihak ketiga untuk menyampaikan pesan-pesun komunikasi dari komunikator kepada khalayak komunikan. Media massa sebagai komunikator, langsung bertemu dan berinteraksi dengan khaluyak. Karena tidak ada perantara, termasuk tidak ada kelompok rcferensi (reference group), maka efek media terhadap individu yang satu dan individu yang lain, dengan sendirinya berbeda. Kondisi ini dipengaruhi banyak faktor, antara lain tingkat intelektualitas, tingkat terpaan media (media exposure), status sosial ekonomi, dan dimensi geografis.

Selain itu, kekuatan pengaruh media tidak diasumsikan sangat me nentukan (powerfull). Asumsi ini secara tidak langsung mengakui posisi, peranan, dan eksistensi khalayak dengan tingkat intelektualitas yang di~ milikinya. Khalayak adalah individu atau kelompok yang memiliki perhatian selektif, persepsi selektif, terpaan selektif, dan tanggapan selektif. Khalayak, dalam bahasa sosiologi, memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kekuatan tawar-menawar (bargaining power) yang cukup tinggi.

3.2.3    Model Komunikasi Dua Tahap

Model komunikasi dua tahap (two step flow communication model) ini membantu kita dalam menempatkan perhatian pada peranan media massa yang dihubungkan dengan komunikasi antarpribadi. Model ini memandang khalayak sebagai individu-individu yang berinteraksi. Hasil studi menunjukkan, ide senantiasa tersebar melalui radio dan media cetak diterima oleh pemuka pendapat. Melalui pemuka pendapat inilah ide tersebut tersebar ke seluruh anggota masyarakat. Tahap pertama, dari sumber informasi ke pemuka pendapat, pada umumnya mempakan pengalihan informasi. Sedangkan tahap kedua, dari pemuka pendapat pada pengikutnya mempakan penyebarluasan pengaruh (Depari dan Andrews, 1985:18).
Dalam perspektif sosiologis, model komunikasi dua tahap mengasumsikan proses interaksi sosial yang cukup pekat antara pihak yang terlibat dalam komunikasi. Kehadiran dan fungsi petnuka pendapat (informal leader) juga cukup menonjol. Pemuka pendapat diasumsikan sebagai individu atau kelompok orang yang memperoleh terpaan tinggi media massa (high media exposure). Pemuka pendapat juga diasumsikan sebagai individu yang memiliki status sosial tinggi dalam struktur sosial masyarakat setempat. Pemuka pendapat inilah yang kemudian,me1akukan apa yang disebut dalam sosiologi sebagai kontak sosial (social contact) dan komunikasi.
Kata kontak berasal dari bahasa Latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Jadi artinya secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Kontak sosial dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Kontak sosial bersifat positif, mengarah kepada suatu kerja sama. Sedangkan kontak sosial bersifat negatif mengarah
pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial. Suatu kontak dapat pula bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan bertatap muka sebaliknya kontak sekunder memerlukan perantara (Soekanto, 1991: 71- 72).

Menurut Eduard Depari dan Colin MacAndrews, terdapat enam kelemahan model komunikasi dua arah:

1.         Model ini menyatakan bahwa individu yang aktif dalam mencari informasi hanya pemuka pendapat, sedangkan anggota masyarakat pada umumnya pasif. Kegiatan pemuka pendapat dianggap sebagai usaha untuk memperoleh kesempatan berperan sebagai pemrakarsa komunikasi. Dalam kenyataanya ada model komunikasi yang menunjukkan bahwa pemuka pendapat ada yang aktif, sebaliknya ada juga yang pasif dalam mencari informasi. Di samping itu terbukti pula bahwa pemuka pendapat sering memainkan peranan aktif atau pasif dalam situasi komunikasi.

2.         Pandangan bahwa proses komunikasi massa pada hakikatnya dua tahap, ternyata membatasi proses analisisnya, sebab proses komunikasi dapat terjadi dalam dua tahap atau lebih. Dalam kasus tertentu, dapat saja terjadi proses komunikasi satu tahap, misalnya media massa langsung memengaruhi khalayak komunikan. Dalam kasus lain, media massa menimbulkan proses komunikasi yang bertahap banyak (multi stag es).
3.         Model komunikasi dua tahap menunjukkan betapa tergantungnya pemuka pendapat terhadap informasi yang disampaikan media massa. Tetapi kini, terdapat petunjuk kuat yang membuktjkan bahwa pemuka pendapat memperoleh informasi melalui saluran-saluran yang bukan media massa. Bagi pemuka pendapat di negara sedang berkembang, ketika media massa belum tersebar sampai ke desa, saluran komunikasi yang berperan adalah kontak dengan para penyuluh pembangunan (extension agent).
4.         Penelitian tahun 1940, yang menghasilkan komunikasi dua tahap, mengabaikan perilaku khalayak berdasarkan “waktu” pengenalan idea baru. Penelitian tentang difusi dan inovasi menunjukkan bahwa mereka yang mengenal lebih dahulu ide barn (early knowers) ternyata lebih banyak memanfaatkan media massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal ide baru kernudian (later knowers).
5.         Pelbagai saluran komunikasi berperan dalam pelbagai tabap pcnerimaan inovasi dan pengambilan keputusan. Model komunikasi dua tahap tidak menunjukkan adanya perbedaan peranan dari pclbagai saluran komunikasi dalam hubungannya dengan tabap-tahap inovaal. Studi mengenai difusi inovasi menunjukkan beberapa tahap, scpcrti: (a) tahap penyadaran (awareness stage), (b) tahap pembujukan (persuasion stage), (c) tahap keputusan (decision stage), dan (d) tahap pemantapan (confirmation stage)
6.         Pemisahan khalayak komunikan atas pemuka pendapat dan masyarakat pengikut (followers) dilakukan oleh model komunikasi dua tahap Padahal tidak selamanya mereka yang bukan pemimpin (non leaders) adalah pengikut dari pemuka pendapat. Dari model komunikasi dua tahap ini, ada dua penemuan menonjol yang sangat bermanfaat bagi penelitian komunikasi. Pertama, diberikannya perhatian khusus pada peranan pemuka pendapat sebagai sumber informasi. Kedua, beberapa penyempumaan dari model komunikasi dua tahap, seperti dikenalnya

model komunikasi satu tahap dan model'komunikasi banyak tahap . (Depari dan Andrews, 1985: 19-20).

3.2.4    Model Komunikasi Banyak Tahap

Model komunikasi banyak tahap (multi step flow communication model) menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi dari penyebaran pesan yang berasal dari informan kepada khalayak komunikan. Sebagian khalayak mungkin memperoleh informasi langsung dari media massa sebagai sumber informasi. Sebaliknya sebagian khalayak, mungkin memperoleh informasi setelah melalui pelbagai tahap yang hams dilalui setelah disebarkan oleh sumber informasi. Banyaknya tahap yang harus dilalui dalam proses penerimaan informasi bergantung pada: (1) tujuan sumber informasi; (2) banyaknya media massa yang menyebarluaskan informasi; (3) isi pesan yang disampaikan, apakah berkenan bagi khalayak atau melibatkan kepentingan khalayak; dan (4) apakah cara penyampaiannya menarik perhatian khalayak (Depari dan Andrews, 1985'. 20-21). Model ini, secara sosiologis menunjukkan pola interaksi sosial yang variatif dan dinamis. Variatif, karena terdapat pilihan komunikasi, bisa langsung dari media massa sebagai sumber informasi, bisa melalui para pemuka pendapat, bisa pula melalui rekan sejawat. J adi terdapat pola vertikal, diagonal, dan horizontal yang dapat dijadikan pilihan dalam proses komunikasi primer atau sekunder. Dinamis, karena khalayak bersifat aktif, tidak dalam posisi menunggu atau menjadi objek dari suatu proses komunikasi. Khalayak dapat dengan bebas dan leluasa untuk menentukan dengan siapa dirinya berkomunikasi dan dari siapa pula memperoleh informasi.

Secara sosiologis, fenomena ini menunjukkan pola kemajcmukan yang terdapat dalam masyarakat. Pada kebudayaan modern, orang diberi peluang dan kesempatan selebar-lebarnya untuk menentukan pilihan serta tata cara berinteraksi satu sama lain. Hanya dengan cara demikian, orang

akan dapat menjauh dari friksi dan konflik. Sosiologi mengajarkan, dalam proses interaksi sosial, orang harus menghindari konflik (conflict) dan mendekatkan diri ke arah konsensus (consensus) untuk mencapai harmoni yang diinginkan.

3.3       KOMUNIKASI MASSA, MASYARAKAT, DAN BUDAYA

Apakah bisa dipisahkan antara komunikasi massa, masyarakat, dan budaya? Komunikasi massa hidup dalam masyarakat, dalam masyarakat terdapat budaya, dan dalam budaya terdapat ekspresi~ekspresi serta nilai dan normanorma masyarakat. Memisahkan di antara ketiganya menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Tugas kita memang bukan untuk memisahkan, melainkan untuk membedakan posisi dan fungsinya masing-masing untuk kepentingan kajian dan penelitian. Menurut Melvin DeFleur dalam karyanya yang monumental, Theories of Mass Communication (1966), terdapat empat teori untuk menjelaskan pola interaksi media komunikasi massa dengan masyarakat dan budaya. Keempat teori itu meliputi: teori perbedaan individu (the individual differences theory), teori penggolongan sosial (the social category theory), teori hubungan sosial (the social relationship), dan teori norma-norma budaya (the cultural norms theory).

3.3.1    Teori Perbedaan lndividu
Teori ini bermula dari minat para ahli psikologi dalam menyelami kelerkaitan antara proses belajar, motivasi, dan karakteristik watak seseorang. Hasil studi laboratorium menunjukkan, melalui proses belajar yang ajcg, konsistcn. ternyata faktor motivasi seseorang dapat ditumbuhkan. Dilemuknn jngn kecenderungan, ternyata motivasi individu satu sama lain tak selalu sama walaupun berpijak pada stimulus dan kondisi yang sama. Faktor yang menyebabkan perbedaan motivasi itu, antara lain menunjuk pndn tipe-tipe kepribadian seseorang. Diajukan asumsi dasar, setiap individu memiliki kecenderungan kepribadian khas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Kesimpulan yang dapat ditarik ialah kepribadian yang melekat dalam diri seseorang sedikit-banyak akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam menanggapi sesuatu.
Para ahli komunikasi, menyambut baik hasil-hasil penclitian para ahli psikologi itu. Konsekuensinya, berbagai asumsi dasar yang melekat dalam kajian-kajian serta teori komunikasi massa selama ini, sedikit banyak hams diubah dan disesuaikan, misalnya tentang pengaruh media massa terhadap khalayak, dan kecenderungan sikap khalayak terhadap media massa. Seperti dicatat Depari dan Andrews, teori psikologi umum telah merumuskan konsep persepsi selektif yang didasarkan pada perbedaan kepribadian individu. Setiap orang akan menanggapi isi media massa berdasarkan kepentingan mereka, disesuaikan dengan kepercayaannya serta nilai-nilai sosial mereka. Atas dasar pengakuan bahwa tiap individu tidak sama perhatiannya, kepentingannya, kepercayaan dan nilai-nilainya, maka dengan sendirinya selektivitas mereka terhadap komunikasi massa juga berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh media terhadap individu akan berbeda satu sama lain disebabkan adanya perbedaan psikologi antarindividu (Depari dan Andrews, 1985: 5).
Teori ini merupakan pengakuan terhadap dua ha]. Pertama, kekuatan pengaruh media massa tidak seperti yang dibayangkan semula sebagai sesuatu yang bersifat perkasa. Pengaruh mémang ada, hanya pengaruh itu pun disesuaikan dengan minat, kepentingan, serta tingkat penerimaan khalayak komunikan. Inilah yang dimaksud dengan perhatian selektif, persepsi selektif, penerimaan selektif, dan tanggapan selektif. Kedua, khalayak bukanlah tabung kosong yang siap diisi apa saja dan oleh siapa saja. Sejalan dengan konsep sosiologi, khalayak adalah individu yang aktif, dinamis, kritis, dan tiap individu memiliki kecenderungan kepribadian tertentu yang sekaligus membedakan dirinya dengan orang lain.

3.3.2    Teori Penggolongan Sosial
Teori ini beranggapan bahwa terdapat penggolongan sosial yang luas dalam masyarakat kota industri yang memiliki perilaku yang kurang Ichih sama terhadap rangsangan-rangsangan tertentu. Penggolongan sosial tersebut didasarkan pada seks, tingkat penghasilan, pendidikan, tempat tinggal, maupun agama. Dalam hubungannya dengan media massa dapat digambarkan bahwa majalah mode biasanya hanya dibeli oleh wanita, majalah sport dibeli umumnya oleh pria. Variabel-variabel seperti seks, umur, pendidikan tampaknya turut juga menentukan selektivitas seseorang terhadap media yang ditawarkan (Depari dan Andrews, 1985: 5).
Dasar dari penggolongan sosial adalah teori sosiologi yang berhubungan dengan kemajemukan masyarakat modern. Teori ini menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang sama akan membentuk sikap yang sama pula dalam menghadapi rangsangan tertentu. Persamaan dalam orientasi serta sikap akan berpengaruh pula terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan komunikasi (Depari dan Andrews, 1985: 6). Ini berarti, teori penggolongan sosial menunjukkan tidak saja kuatnya pengaruh teori sosiologi tetapi juga mengakui pola dan bentuk-bentuk interaksi sosial terutama yang terjadi pada masyarakat modern. Secara sosiologis, masyarakat modern kecuali dibangun oleh tata nilai individual dengan semangat kompetisi (competition) sangat tinggi, juga cenderung untuk lebih mengembangkan nilai-nilai asosiasi, imitasi, dan kooperasi. Sudah tentu, ini mempakan strategi besar dalam membangun suatu harmoni di tengah struktur sosial yang sangat dinamis dan kompetitif.
Sebagai konsekuensi dari teori penggolongan sosial, kini sangat banyak program acara media massa yang dimaksudkan untuk memenuhi minat, kebutuhan, dan kepentingan kelompok atau golongan tertentu dalam masyarakat. Namanya segmentasi tayangan acara. Sebagai contoh, tayangan acara lagu-lagu zaman dulu dengan segmentasi pemirsa televisi kelompok usia 40-60, ditayangkan pada malam hari selepas pukul 20.30. Sementara program acara khusus untuk ibu-ibu dan keluarga, ditayangkan pada pagi atau siang hari mulai pukul 06.30. Akan halnya tayangan acara khusus anak-anak, biasanya ditayangkan pada sore hari mulai pukul 15.00. Cara-cara demikian, merupakan upaya pengelola media massa untuk semakin mendekatkan diri sekaligus membangun hubungan sosial (social relationship) dengan khalayaknya. Bahkan kemudian, hubungan itu tidak hanya secara di udara (on air) tetapi juga dilanjutkan di darat (on air) dengan cara membuat serangkaian acara yang menarik minat dan hobi khalayak.

3.3.3    Teori Hubungan Sosial

Teori ini menyatakan bahwa dalam menerima pesan yang disampaikan oleh media, orang lebih banyak memperoleh pesan itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung dari media massa. Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media. Teori hubungan sosial mencoba menekankan pentingnya variabel hubungan antarpribadi sebagai sumber informasi dan sebagai penguat pengaruh media komunikasi (Depari dan Andrews, 1985:6-7).

Asumsi pada teori ini, jumlah orang yang langsung berhubungan dengan media massa sangat terbatas. Orang yang sangat terbatas ini, yang lazim disebut pemuka pendapat (informal leader), atau paling tidak dinamakan pemirsa berat (heavy viewer) untuk televisi, dan pembaca berat (heavy reader) untuk surat kabar dan majalah, mengakses lebih banyak informasi dari media. Orang-orang ini dalam teori komunikasi disebut sebagai kelompok penerima cukup-informasi (well informed). Berbagai informasi yang diterima dari media lalu dirumuskan sesuai dengan tingkat predisposisinya. Informasi yang sudah diolah ini, barulah kemudian disebarluaskan melalui saluran dari mulut ke mulut (mouth to mouth communication) secara informal

Teori hubungan sosial, bisa disebut merupakan manifestasi dari model komunikasi dua tahap (two step flow communication model). Arus informasi mengalir dari sumber informasi ke penerima atau khalayak komunikan melalui dua tahap. Pertama, informasi dari media massa diterima oleh sejumlah individu yang cukup-informasi (well informed). Proses ini dilakukan secara langsung. Artinya tidak melalui perantara siapa pun yang lazim disebut sebagai pihak ketiga. Kedua, informasi yang sudah diterima dan diolah sesuai dengan tingkat intelektualitas oleh individu-individu cukup-informasi itu, selanjutnya disebarkan melalui saluran komunikasi antarpribadi kepada orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap media massa.

Dengan demikian, berbagai informasi yang diterima orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap media massa itu merupakan informasi yang sndah diseleksi, ditambah, atau dikurangi. Boleh jadi, di sini cukup banyak pendapat pribadi pemuka pendapat yang disebarkan kepada khalayak. Daiam teori hubungan sosial, kecenderungan seperti itu memang tak terhindarkan. T etapi supaya tak menimbulkan masalah, kredibilitas dan kapabiiitas

pemuka pendapat hams sudah teruji terlebih dahulu. Karena itu diperlukan poia interaksi sosial informal secara berkelanjutan pada semua strata sosial yang ada. Hubungan emosional perlu terus dibangun. Hubungan fungsional saja yang ditekankan tidak akan efektif selama hubungan emosional antar individu tidak dilakukan secara memadai.

3.3.4    Teori Norma-Norma Budaya

Teori ini melihat cara-cara media massa memengaruhi perilaku sebagai suatu produk budaya. Pada hakikatnya, teori noma-norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya. Dalam kerangka ini media akan bekelja secara tidak langsung untuk memengaruhi sikap individu tersebut. Paling sedikit terdapat tiga cara yang ditempuh oleh media massa untuk memengaruhi norma-norma budaya:
1.            Pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku serta membimbing masyarakat agar yakin bahwa pola-pola tersebnt masih tetap berlaku dan dipatuhi mayarakat.
2.            Media massa dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bartentangan dengan pola budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya.
3.            Media massa dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku sehingga perilaku individu-individu yang ada dalam masyarakat dengan sendirinya iimt berubah serta menyesuaikan diri dengan norma-norma budaya yang barn (Depari dan Andrews, 1985: 7)
Teori norma-norma budaya mengasumsikan beberapa hal tentang media massa, sekaligus beberapa hal pula tentang khayalak. Tentang media massa, setidaknya merujuk kepada tiga hal.
Pertama, media melaksanakan peranannya sebagai guru yang mengajarkan bagaiinana proses transformasi sosial Budaya terjadi dalam suatu masyarakat. Seperti dikemukakan pakar komunikasi Wilbur Schramm, bagi masyarakat media massa adalah teacher, watcher, dan forum. Sebagai teacher (guru), media mengajarkan hal-hal yang baik menyangkut pengetahuan, sikap, dan perilaku kepada mayarakat dan generasi berikutnya. Sebagai watcher (pengamat), media bertugas melaporkan setiap informasi dan peristiwa yang terjadi di dunia. Sebagai forum (mimbar), media memberi kesempatan kepada semua pihak untuk tampil dan berdiskusi melalui media, menyebarkan ide, gagasan, dan perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan kemayarakatan dan kenegaraan.
Kedua, media melaksanakan peranannya sebagai agen perubahan sosial (social change agent). Media menyeleksi pesan, memproduksi pesan, dan melakukan distribusi serta sirkulasi pesan yang dianggap sejalan dengan norma-norma sosial budaya yang ada. Sebagian pesan itu, bahkan bersifat baru untuk terus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat menganggapnya sebagai norma-norma budaya yang patut untuk dijadikan rujukan dan dipertahankan.
Ketiga, media diasumsikan tidak mengalami peran ganda (double standard) dalam menjalankan peran dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Artinya, media hanya mengungkapkan dan membawa pesan kebaikan kepada masyarakat seperti layaknya tugas para pemuka agama. Kenyataannya tidaklah demikian. Media, pada saat yang bersamaan, juga, dan bahkan justru menyebarkan virus-virus negatif kebudayaan. Sebagai ilustrasi, norma-norma sosial yang dianggap baik dan sudah melembaga, malah dicitrakan sebagai kuno, ketinggalan zaman, dan karena itu sudah saatnya ditinggalkan. Media melakukan hal-hal yang kontra-produktif bagi masyarakat (efek disfungsionl, latent functions).
Tentang khalayak komunikan, yakni masyarakat pembaca, pendengar atau pemirsa, paling tidak terdapat tiga asumsi pula.
Pertama, khalayak kurang berperan aktif dan selektif dalam melihat, mengamati, dan memelihara norma-norma sosial budaya yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagai dampaknya, media seolah-olah terpaksa harus mengambil alih peran monitoring dan evaluasi kebudayaan. Media terpanggil untuk membuat kriteria tentang jenis-jenis tradisi, adat, tata nilai baru, dan pola-pola kebudayaan yang dianggap tepat, relevan, dan bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya untuk satu-dua dekade ke depan.
Kedua, khalayak memerlukan bantuan, bimbingan, panduan, dan bahkan supervisi media massa untuk memastikan pergantian dan peralihan norma-norma sosial budaya dari yang lama ke norma-norma sosial budaya yang baru, berjalan sesuai dengan koridor dan target yang diinginkan. Khalayak terkesan kurang percaya diri sehingga harus memerlukan bantuan media. Timbul pertanyaan, apakah kenyataan sesungguhnya di lapangan memang demikian? Apakah pada kebudayaan dan teknologi modern dewasa ini, semakin banyak khalayak atau individu yang tidak percaya dengan potensi dan kapasitas dirinya sendiri? '
Ketiga, khalayak tidak atau kurang memiliki inisiatif dan kesadaran memadai untuk menyeleksi dan membangun norma-norma sosial budaya yang baru, atau memperkuat dan memperbarui (update) norma-norma sosial budaya lama ke arah yang lebih baik dan sempurna. Khalayak terkesan pasif, bersifat menunggu, dan bahkan mungkin kurang peduli, apatis. Secara sosiologis, apakah ini merupakan gejala penarikan diri khalayak dari lingkungan (alienation)? Apakah masyarakat dewasa ini lebih banyak mengembangkan budaya kompromi (consencus) daripada budaya persaingan (competision)? Ada baiknya segera dilakukan penelitian.

3.4       KOMUNIKASI MASSA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Bahasan pada bagian ini sebaiknya dimulai dengan beberapa pertanyaan kunci. Pertama, apa yang dimaksud dengan perubahan sosial (social change)? Kedua, apa peran media massa, dan seberapa besar pengaruhnya dalam perubahan sosial? Dalam perubahan sosial, siapa saja aktor (key person) atau figuran (participant) yang terlibat? Lantas, seperti apa saja tipe-tipe perubahan sosial yang dapat kita kenali? Pada bagian ini, kita tidak mungkin mengupas panjang lebar berbagai teori perubahan sosial seperti yang dipaparkan Ferguson, Robertin, Voltaire, ,Condorcet, Hegel, Simon, Buckle, Comte, Spencer, atau juga Durkheim, Hobhouse, Darwin, Taylor, Moore, atau Ogburn. Tetapi cukup mengutip beberapa definisi saja sebagai rujukan pokok untuk kepentingan pembahasan.
Dalam buku Character and Social Structure, Gerth dan Mills mencoba membuat model yang mencakup enam pertanyaan atau masalah pokok yang menyangkut perubahan sosial:
1.      Apakah yang berubah?
2.      Bagaimanakah hal itu berubah?
3.      Ke manakah tujuan dari perubahan itu?
4.      Bagaimanakah kecepatan perubahan itu?
5.      Mengapa terjadi perubahan?
6.      Faktor-faktor penting manakah yang ada dalam perubahan? (Bottomore 1972: 297 dalam soekanto, 1983: 23).
Gillin dan Gillin menyatakan, perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterirna, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk dan ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Samuel Koenig dalam Man and Society (1957) mengatakan, secara singkat perubahan sosial menunjuk pada modiiikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi itu terjadi karena sebabsebab intern dan sebab-sebab ekstern. Definisi lain adalah dari pakar sosiologi terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan. Selo mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soekanto, 1991:337).
Wilbur Schramm, salah seorang pakar komunikasi terkemuka Amerika, dalam karya klasiknya yang monumental, Mass Media and National Develop~ ment (1964), menguraikan secara tepat dan terperinci mengenai tugas dan peranan media massa dalam pembangunan. Tesis yang diajukannya antara lain, peranan utama yang dapat dilakukan media massa dalam pembangunan adalah membantu memperkenalkan perubahan sosial. Menurut Schramm, terdapat sembilan peran yang dapat dikerjakan media massa dalam membantu perubahan sosial, yakni (1) media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran; (2) media massa dapat memusatkan perhatian, (3) media massa mampu menumbuhkan aspirasi, (4) media massa mampu menciptakan suasana membangun (5) media massa mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik; (6) media massa mampu mengenalkan norma-norma sosial; (7) media massa mampu menumbuhknn selcra; (8) media massa mampu mengubah sikap yang lemnh menjadi sikap yang lebih kuat; dan (9) media massa dapat berperan sebagai pendidik (Schramm, Mass Media and National Development, 1964, dalam Dcpari dan Andrews, 1985:40-53). Berikut, tafsir dan penjelasan saya mengenai sembilan peran media massa dalam perubahan sosial terscbut. Agar mudah dipahami, disajikan pula contohcontoh yang relevun.

3.4.1    Media Massa Dapat Memperluas Cakrawala Pemikiran
Kata Marshall McLuhan, media itu sendiri adalah pesan (medium is message). Pada bagian lain dalam buku karyanya Understanding Media: The Extensions of Man (1964) ia mengatakan, media adalah kepanjangan manusia (media is the extented of man). J adi, jangankan pesannya, medianya sendiri sudah merupakan pesan. Seperti dikutip pakar komunikasi J alaluddin Rakhmat, McLuhan menulis: “Secara operasional dan praktis, medium adalah pesan. Ini berarti buhwa akibat-akibat personal dan sosial dari media, yakni karena perpanjangan diri kita, timbul karena skala barn yang dimasukkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh teknologi baru. Media adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia (McLuhan, 1964: 23-34 dalam Rakhmat, 1998: 220).
Dengan kemampuan yang dimilikinya, media bisa menjangkau tempattempat dan orang-orang yang tidak bisa kita datangi secara langsung, dalam waktu singkat dan bersamaan, dan bahkan saat itu juga (real time). Dengan hanya duduk santai di sofa, melalui layar kaca televisi misalnya, kita dapat menjelajah ke berbagai tempat di dunia yang belum pernah kita kunjungi hanya dalam hitungan detik dan menit. Benar kata sebagian orang, termasuk orang Amerika, televisi adalah kotak kecil ajaib yang bisa menyulap dan menghipnosis khalayak. Dari sinilah, cakrawala pengetahuan dan pemildran kita, terbentuk, terasah, dan termotivasi. Lewat media, daya imajinasi, fantasi, dan inspirasi kita benar-benar diekploitasi habis-habisan. Secara sosiolgis, kontak sosial dan komunikasi menjadi tak terbatas melampaui dimensi ruang dan waktu.
3.4.2    Media Massa Dapat Memusatkan Perhatian
Kalender  musim, menurut teori jurnalistik dapat meramalkan' berbagai peristiwa buruk yang akan terjadi, misalnya topan hebat, badai dahsyat di laut, terjangan tsunami, kapal tenggelam; pesawat jatuh; bus masuk jurang; permukiman tertimpa longsor; banjir di mana-mana, dan puluhan ribu pengungsi memenuhi masjid-masjid, tanah lapang, bahkan jalan tol dan ruas-ruas jalan protokol. Para jurnalis mengatakan, inilah yang masuk dalam kategori berita bencana (disaster news). Semuanya pasti menyita perhatian, mengagetkan, dan adakalanya mengerikan. Lantas, apa yang dapat dilakukan media massa?
Banyak. Media dapat melakukan banyak hal, tetapi yang paling utama ialah memusatkan perhatian khalayak dan semua pihak termasuk para birokrat untuk tidak lengah, untuk waspada, siaga, dan bisa berbuat optimal dalam penanggulangan bencana. Tsunami tidak bisa distop, tetapi jumlah koban bisa diminimalisasi. Banjir tidak bisa dikeringkan saat itu, tetapi para korban yang teijebak di rumah-rumah bisa segera diungsikan ke tempattempat aman. Makanan, selimut, obat-obatan, harus segera didistribusikan. Untuk semua itu diperlukan tenaga-tenaga serta manajemen bencana yang sangat profesional. Apa yang disebut sistem peringatan dini (early warning system), mutlak diprogramkan, dididiklatkan, dan terus-menerus disosialiasikan.
Apakah pemusatan perhatian hanya berlaku untuk berita buruk, bad news? Tentu tidak. Lihatlah, bagaimana jutaan orang, dengan sukarela dan suka cita, datang dan memadati The National Mall, Washington DC, Amerika Serikat, 20 J anuari 2009, untuk menyaksikan pelantikan presiden teripilih ke-44 AS, Barack Hussein Obama di balkon Capitol] Hill. Kawasan The National Mall seluas 125 hektar dengan panjang 3 km dan lebar 1,5 km, benar-benar menjadi lautan manusia. Orang-orang seperti terhipnosis dan histeris dengan terpilih dan disumpahnya Obama sebagai presiden AS. Amerika selama delapan tahun kepemimpinan George Walker Bush, telah kehilangan segalanya: harta kekayaan (untuk mesin perang), ribuan tentara muda (selama invasi ke Irak), dan juga moralitas serta harga diri sebagai bangsa termaju dalam teknologi, ekonomi, dan dunia industri. Dunia, begitu berharap kepada Obama, orang kulit hitam pertama yang sukses terpilih menjadi presiden Amerika. Media dari seluruh dunia, karena itu meliput besar-besaran upacara pelantikan dan pengambilan sumpah Obama, yang ternyata pernah bermukim empat tahun di kawasan Menteng, J akata Pusat.

3.4.3    Media Massa Mampu Menumbuhkan Aspirasi
Daniel Lerner pernah melakukan penelitian di sejumlah desa di Mesir, pada empat dekade silam. Hasilnya dituangkan dalam sebuah buku yang cukup monumental. Ia menyimpulkan, media ternyata mampu membangkitkan aspirasi-aspirasi rakyat di desa-desa kecil dan terbelakang, untuk memulai dan mengawal perubahan sosial yang dicita-citakan. Dalam bahasa romantis melankolis, sebut saja untuk memulai hidup baru yang lebih menjanjikan . setelah sekian lama terpuruk dalam kemiskinan yang mengenaskan. Hanya Lerner mengingatkan, aspirasi yang tumbuh berkat media, akan menimbulkan ledakan kekecewaan (explotion of frustration) jika saja pemerintah yang bekuasa gagal menampung dan merealisasikannya.
Daniel Lerner meyakini, media massa, terutama ketika itu radio dan surat kabar memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang belum melek media (media literacy) sekalipun. Dengan media massa, orang-orang desa bisa berpikir jauh ke depan. Mereka bicara tentang diri mereka, masa depan mereka, bahkan memikirkan juga masa depan saudara-saudaranya, para tetangganya, nasib orang-orang di desa-desa lain di kota mereka. Luar biasa, aspirasi yang tumbuh dari mereka ternyata begitu beragam dan menjanjikan. Lerner mengingatkan, ledakan harapan dan aspirasi ini, akan menjadi born waktu bagi kalangan teknokrat dan birokrat jika mereka gagal mewujudkannya dalam tempo tak teralu lama. Begitulah, media massa ternyata bisa memainkan peran dirinya sebagai sarana pencari sekaligus penumbuh aspirasi-aspirasi khalayak yang bersifat majemuk.

3.4.4    Media Massa Mampu Menciptakan Suasana Membangun
Dengan berbagai informasi yang disajikannya, berbagai laporan kemajuan yang ditulis, disiarkan atau ditayangkannya, berbagai cerita sukses orang lain, kelompok lain dan bangsa lain, media massa pasti dapat menggugah hasrat khalayak untuk memulai dan berbuat sesuatu yang lebih baik. Kalau sudah demikian, pasti tidak sulit untuk menumbuhkan suasana membangun, suasana berkarya, mengembangkan potensi diri dan kreativitas komunitas. Orang melihat hari esok dengan penuh optimisme. Bukankah suasana membangun tidak akan tercipta manakala kita hanyut dalam pasimisme atau apalagi fatalistik, menyerah kepada nasib dan alam?

3.4.5    Media Massa Mampu Mengembangkan Dialog tentang Hal-Hal yang Berhubungan dengan Masalah-Masalah Politik
Salah satu ciri dan kekuatan media ialah dialog. Menurut teori jumalistik, media bukanlah polisi yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukan jaksa yang diberi tugas melakukan tuntutan dan dakwaan, juga bukan hakim yang berhak untuk menjatuhkan vonis. Artinya media tak punya kekuatan memaksa, kekuatan koersi. Media hanya punya kekuatan persuasi; membujuk dan meyakinkan dengan kekuatan logika akal sehat (common sense) serta sikap kritis.
Sebagai penyandang kekuatan persuasi, media sudah pasti akan menawarkan metode dialog. Sifatnya interaku'f. Dalam dialog, kesetaraan dimuliakan sehingga tidak terjadi dominasi dari pihak yang satn terhadap pihak yang lain. Ada proses tawar-menawar, atau dalam bahasa khas sosiologi: teljadi kontak sosial dan komunikasi, tercipta interaksi nntuk saling berbagi ide atau apa saja (idea sharing). Dalam ranah politik, fenomena seperti itu menjadi suatu keharusan, suatu pilihan yang menjanjikan kemenangan dan kebahagiaan bersama (win-win solution). Bukankah kata almarhum Wapres Adam Malik, politik adalah seni mengatur segala kemungkinan?
3.4.6    Media Massa Mampu Mengenalkan Nonna-Norma sosial
Apakah kejujuran, gotong royong, toleransi, demokratis, sportif, menghargai keberagaman, disiplin tinggi, transparansi, akuntabilitas, kerelawanan, bukan merupakan nilai dan norma-norma sosial yang layak untuk terus diestafetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari orang-orang tua ke orang-orang muda? Siapa pun tak akan menyangkal, Indonesia hanya mungkin dibangun dengan berpijak kepada nilai dan norma-norma semacam itu. Lalu, apa sulitnya bagi media untuk terus mengenalkan norma-norma sosial? Tidak ada. Media tidak akan mengakar di tengah-tengah masyarakat bangsanya andaikata tak mengusung nilai-nilai luhur itu.
Perlu dicatat, nilai dan norma-norma sosial tidaklah bersifat kaku dan statis tetapi justru bersifat lentur dan dinamis. Sebagai contoh, dulu tak banyak orang yang bercita-cita menjadi pemusik, main band dari panggung ke panggung. Sekarang? Rasanya setiap orang berobsesi ingin menjadi artis dan pemusik. Ternyata, jadi artis dan pemusik bisa meraup kekayaan dalam tempo singkat. Ternyata jadi penghibur bisa menjamin masa depan. Maka kini setiap jam televisi menayangkan acara pentas musik, pentas band anakanak muda dengan aneka ragam aliran, dari jenis reggae sampai pop kreatif. Secara sosiologis, media telah berjasa menghidupkan norma-norma sosial baru ke tengah-tengah masyarakat.

3.4.7    Media Massa Mampu Menumbuhkan Selera
Apakah orang Indonesia, di desa dan di kota-kota, tak memiliki selera berkesenian, berpetualang, atau melakukan wisata kuliner ketika makanan khas tiap daerah dan pelosok dijadikan andalan bisnis pariwisata? Mengapa orang Bandung begitu gandrung dengan aneka macam dan jenis kaos bertulis atau bergambar sesuatu yang unik, khas, jenaka, satir, atau bahkan bemada protes sosial? Menurut sosiologi, apa yang disebut budaya massa (mass culture) tidaklah baku dan bersifat permanen, apalagi sampai menjadi legenda. Sesuatu terus berubah. Setelah ada posmo ada neo-posmo. Lihatlah gejolak gelombang di laut dan riak air di sungai, begitu pula dengan budaya massa. Penuh gejolak. Senantiasa bergerak dan berubah.
Media, memiliki segalanya untuk mengangkat dan membangkitkan selera pasar, selera anak-anak muda, bahkan juga selera anak-anak zadul alias zaman dulu yang kini sudah berusia renta. Ada saatnya memang selera yang mengisi dan memengaruhi media. Tetapi melalui kebudayaan industri informasi dan komunikasi, medialah yang justru yang terus mendobrak dan menggebrak khalayak. Sosiologi menangkap gejala ini sebagai realitas media yang sangat berlebihan (hiper-reality). Apa yang disebut realitas maya (virtual reality) misalnya, diperlakukan sebagai realitas faktual yang teijadi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak negatifnya, penyakit stres sosial meningkat berlipat hanya dalam beberapa tahun.

3.4.8    Media Massa Mampu Mengubah Sikap yang Lemah Menjadi Sikap yang Lebih Kuat
Dalam teori jurnalitik perang (war journalism) seperti yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan Palestina, kematian adalah tidur panjang, bom bunuh diri adalah jihad suci, dan desingan peluru adalah tasbih. Tak seorang pun orang Palestina takut mati. Tak seorang pun orang Palesina takut perang. Mereka hanya takut, Allah murka kepada mereka kar'ena mereka tak berbuat suatu apa terhadap kekejaman zionisme Israel. Bom dan roket boleh saja menghancurkan Gaza, kata orang-orang Palestina. Tetapi api kemerdekaan akan tetap menyala pada setiap dada bocah Palestina. Di situ ada kuburan warga Palestina, di situ pula terdapat akar-akar nasionalisme. Hidup dijajah Israel, bagi bangsa Palestina adalah moralitas paling ternistakan.
Sekarang, siapa berani berkata pejuang Palestina lemah-lembek? Media seperti api dalam memompa semangat, tekad, dan jiwa perlawanan orang-orang Palestina. Terus bergelora. Terus berkobar. Maka, dalam setiap peperangan, satu mati seratus berdiri. Tak ada kata takut dan menyerah kecuali bagi seorang pengkhianat. Melalui media dunia semakin tahu, ternyata Israel salah besar, mengira dengan senjata Palestina bakal tekuk lutut. Kenyataan yang ada justru sebaliknya. Sayangnya, masalah ini tidak disadari Amerika. Padahal teori rambo Amerika sudah usang dan harus dikubur dalam-dalam.

3.4.9    Media Massa dapat Berperan sebagai Pendidik
Tak perlu diragukan lagi mengenai peran media m'assa dalam mendidik suatu bangsa. Sosiologi bahkan mengingatkan, tak ada bangsa cerdas di dunia tanpa kehadiran media. Media telah menjadi instrumen penting dalam tahap pencapaian peradaban suatu bangsa di mana pun. Media adalah guru tanpa ruang kelas yang tidak pernah mengambil cuti atau pensiun. Dalam psikologi perkembangan bahkan dikatakan, proses belajar-mengajar anak-anak usia remaja dan di atasnya, lebih banyak dibentuk dan dimotivasi oleh media daripada oleh orang tua mereka sendiri. Gejala semacam ini, dikupas panjang lebar dalam teori belajar sosial (social learning theory). Intinya, antara lain, media dapatmengambil peran guru dan orang tua di rumah dalam proses belajar-mengajar atau transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilau kepada khalayak yang heterogen dan anonim.
Pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI) Sasa Djuarsa Senjaya mencatat, dalam suatu studi mengenai penggunaan televisi oleh anak, Brown (1976) menemukan arti penting media tersebut yang bersifat multifungsi dan memberikan kepuasan bagi kebanyakan anak pada umumnya, seperti mengajarkan tentang bagaimana orang la'in menjalani hidupnya, atau memberikan suatu bahan pembicaraan dengan teman-temannya (Senjaya, 2007: 5.43). Jelaslah sudah, media, di tengah gelombang protes dan hujatan kepadanya dari para pakar dan pengamat pendidikan sendiri, tetap menjalankan perannya sebagai pendidik. Sudah menjadi takdir media, kalau tidak dipuji, pasti dicaci. Bahkan dipuji dan dicaci itu, datang secara besamaan secara bertubi-tubi.

 
BAB IV
TEORI SISTEM PERS DAN KEBUTUHAN MASYARAKAT
TEORI PERS OTORITARIAN (AUTHORITARIAN PRESS THEORY)
Menurut Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku karyanya Four Theories of the Press (1963), teori pers otoritarian muncul pada zaman pencerahan (Renaisans) abad 17, setelah diternukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari massa rakyat, melainkan dari sekelompok keci] orang bijak yang berkedudukan, membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Para penguasa waktn itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang apa yang oleh penguasa itu dianggap perlu diketahui rakyat dan tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung (Siebert, Peterson, Schramm, 1986: 2).
Di beberapa negara di dunia, teori pers otoritarian masih dipraktikkan sampai sekarang. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan absolut, atau kedua-duanya. Menurut Siebert, tujuan utama pers otoritarian ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa, serta mengabdi ke'pada negara. Dalam pers otoritarian, kritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa merupakan sesuatu yang sangat terlarang. Teori ini dibangun di atas dasar asumsi filosofis tentang hakikat manusia; hakikat masyarakat dan negara; hubungan manusia dengan negara; serta problema filsa‘fat dasar, hakikat pengetahuan, dan kebenaran (Siebert, 1986: 8-10).
Hakikat manusia. Manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia tak dapat berdiri sendiri. Dia harus hidup dalam masyarakat. Manusia baru berarti kalau dia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Sebagai anggota masyarakat, kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan bisa didapat dengan lebih cepat (Rachmadi, 1990: 31). Apa artinya? Di mata teori ini, seorang individu hanya punya arti apabila dia berbaur dan bergabung menjadi anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, dia tak berarti apa-apa (nothing). Teori ini sangat melebih-lebihkan kedudukan, peran, dan fungsi masyarakat sebagai sesuatu yang memiliki makna kolektivitas. Kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Kalau masyarakat bisa memengaruhi dan menggerakkan individu, individu pun sebaliknya bisa memengaruhi dan menggerakkan masyarakat.
Hakikat atau hubungan masyarakat dengan negara. Kelompok lebih penting daripada individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Sedangkan dalam konteks hubungan manusia dengan negara, negara adalah pusat segala kegiatan. Individu tidak penting. Lebih penting adalah negara, karena merupakan tujuan akhir individu (Siebert, 1986: 32).~ Dalam teori otoritarian, individu-individu memang diarahkan supaya mengabdi dan tunduk kepada negara. Individu harus bisa berbuat, dan banyak berbuat, untuk kepentingan serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Individu yang tidak bisa berbuat untuk negara, apalagi yang tindakannya merugikan negara, harus siap-siap menerima sanksi berat dari negara. Tragisnya lagi, dia tak bisa dan tak memiliki hak sedikit pun untuk membela diri.
Hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jika asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat serta kewenangan dan kekuasaan negara seperti itu, maka kita tidak sulit untuk melacak mengenai sosok pengetahuan dan kebenaran di negara-negara yang melaksanakan sistem pers otoritarian. Seperti dicatat oleh Rachmadi, pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi itu harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan (Rachmadi, 1990: 32). Kekuasaan dan kebenaran berada di tangan gereja. Gerejalah yang kemudian memutuskan, mana dan siapa yang benar, dan mana serta siapa yang salah. Pemikiran Plato, Machiavelli, Hobbes, Hegel, serta Trotsky, mengikuti paradigma itu. Para pengikutnya cukup banyak, termasuk misalnya Adolf Hitler di Jerman. Hitler, sang Nazi itu, meramu teori kebenaran dengan propaganda, sesuatu yang memang amat digandrunginya. Hitler berdalil: kebenaran kita dan kebenaran bagi kita.
Bagi Hitler, bukan kebenaran kalau kebenaran itu tidak sesuai dengan apa yang diyakini J erman. Bukan kebenaran, kalau kebenaran itu bahkan bertentangan dengan konsep dan pemikiran-pemikiran Hitler sendiri. Jadi, siapa pun di luar Hitler, atau siapa pun di luar Nazi, harus tunduk patuh pada kebenaran Hitler dan Nazi Jerman. Apa pandangan dan pola pikir semacam ini masih dianut pada dekade ini di dunia? Di negara-negara komunis, negara-negara junta militer, negara-negara yang melaksanakan paham absolutisme kekuasaan atau absolutisme kerajaan, teori Hitler masih dijadikan rujukan dan doktrin kaku kenegaraan. Artinya, tak ada pilihan bagi rakyat kecuali mengikuti dan melaksanakannya.

TEORI PERS LIBERTARIAN (LIBERTARIAN PRESS THEORY)
Teori ini muncul dari filasafat umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi manusia, serta berbagai karya tulisan Milton, Locke, dan Mill. Teori libertarian semula berkembang di Inggris dan digunakan setelah tahun 1688. Tujuan utama pers libertarian ialah memberi informasi, menghibur, dan transaksi bisnis, untuk membantu menemukan kebenaran serta mengawasi pemerintah yang sedang berkuasa. Siapa saja yang memiliki kemampuan ekonomi atau modal yang cukup, dibolehkan mendirikan penerbitan pers.
Menurut Siebert, tujuan media dalam pers libertarian adalah untuk menolong menemukan kebenaran, membantu penyelesaian masalahmasalah politik dan sosial dengan mengetengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan keputusan. Karakteristik yang esensial dari proses ini adalah kebebasan media dari kontrol dan dominasi pemerintah. Pers diberi tugas menjaga jangan sampai pemerintah melangkah ke luar garis. Dalam istilah Thomas Jefferson, pers harus melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga lainnya. Penganut libertarian menentang monopoli pemerintah dalam jalur-jalur komunikasi. Mereka mendebat, bahwa setiap orang, warga negara sendiri atau asing, harus mempunyai kesempatan yang tidak dibatasi untuk memiliki dan mengoperasikan suatu unit komunikasi massa. Lapangannya terbuka untuk semua orang (Siebert, 1990: 57-58).
Apa saja yang dilarang dalam pers libertarian? Penghinaan, kecabulan, kerendahan moral, dan pengkhianatan pada masa perang, merupakan sesuatu yang sangat terlarang. Karena itu pers dituntut untuk profesional dalam segala hal. Pers tidak bisa dikelola secara asal-asalan, meskipun kepemilikannya boleh individu. Dalam filsafat libertarian, media diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu. Tetapi media pun dituntut untuk bertanggung jawab sebesar - besarnya atas semua apa yang telah dilakukan jika kemudian menimbulkan kerugian bagi individu dan masyarakat.
Hakikat manusia. Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak alamiah untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh rasio atau akal. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tnjuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya (Rachmadi, 1990: 34).
Hakikat pengetahuan dan kebenaran. Menurut filsafat libertarian, hakikat kebenaran dan pengetahuan, bukanlah sesuatu yang datang dari raja, penguasa, bahkan gereja dan pendeta. Kebenaran. dan pengetahuan bukanlah hadiah. Kebenaran dan pengetahuan harus djcari sendiri, diperjuangkan, dengan menggunakan kekuatan rasio atau akal sehat yang telah diberikan oleh Tuhan. Manusia adalah makhluk yang berpikir. J adi, gunakan kekuatan itu secara optimal. Tak ada pilihan lain. Karya-karya dan kebebasan inividu, dengan demikian mendapat tempat utama di negara-negara penganut libertarian seperti Amerika.
Etika profesi dan moralitas. Di negara-negara penganut libertarian, media memang memiliki kebebasan seluas-luasnya dalam mencari kebenaran dan membantu masyarakat mencapai cita-citanya. T etapi bukan berarti kebebasan itu dapat digunakan secara semena-mena. Ada sejumlah rambu yang harus dipatuhi. Jika tidak, media akan berhadapan dengan hukum. Media akan memperoleh hukuman menyakitkan secara pidana, lebih-lebih lagi secara perdata. Moralitas masyarakat dan etika profesi, adalah norma yang mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Moralitas masyarakat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang termasuk kecabulan dan penghinaan, mana yang termasuk hak-hak privasi dan mana hak-hak publik. Semua itu mesti dijadikan rujukan oleh media. Agar tak terkena sanksi sosiologis dan sanksi yuridis, mediaselayaknya memegang teguh etika dan kaidah profesi.
Teori libertarian, secara tersirat mengasumsikan individu-individu atau masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang memiliki tingkat intelektualitas, kapabilitas, dan tingkat integritas cukup tinggi. Kelompok sosial yang matang dan dewasa, diyakini tidak berbuat sesuatu yang menyakiti orang lain atau kelompok lain, atau bahkan menyakiti diri sendiri. Secara sosiologis, kelompok sosial yang memiliki kematangan intelektualitas dan integritas, pasti alctif melakukan interaksi sosial. Lebih jauh lagi, pasti aktif pula memberikan warna dan solusi terhadap perubahan sosial yang terjadi pada mayarakat bangsanya. Ia tidak akan pernah tinggal diam. Dalam metode solusinya itu, ia akan menghindari fn'ksi dan konflik secara fisik. Ia justru akan mengajak semua potensi yang ada untuk mengembangkan konsensus dan harmoni. Sebagai contoh, lihatlah, pertikaian dan kerusuhan antarsuku, jarang teijadi di Amerika Serikat, tetapi tak terhitung banyaknya di negara-negara kawasan Afrika.

TEORI PERS KOMUNIS SOVIET (SOVIET COMMUNISM PRESS THEORY)
Lenin pernah berkata, pers haruslah menjadi suatu collective propagandist, collective agitator, dan collective organizer, tulis Rivers dan Schramm dalam Four Concepts of Mass Communications (1960: 42). Menjadi penggerak propaganda kolektif, agitator kolektif, dan organisator kolektif, berarti menempatkan media hanya sebagai corong penguasa, sebaga'i pengeras suara negara (state speakers). Media hanya berfungsi sebagai kaki tangan rezim penguasa. Tetapi suka atau tidak suka, paradigma inilah yang dianut di negara-negara komunis. Memang benar, Uni Soviet sudah runtuh dua dekade silam (1991). Tetapi sistem komunis pada negara-negara bekas Uni Soviet masih tetap bertahan meskipun kini lebih longga'r, atau tidak seketat dan seabsolut dulu.
J ika dilacak sejarahnya, teori media massa komunis Soviet berkembang pada awal abad 20. Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media masa pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitu sebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diizinkan dalam media massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Media massa melakukan apa yang terbaik bagi negara dan partai, serta apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai. Tindakan media massa mendukung komunis dan negara sosialis merupakan perbuatan moral. Sedangkan pebuatan yang membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah perbuatan immoral (Rachmadi, 1990: 41-42).
Media milik negara. Perbedaan utama teori media komunis Soviet dengan teori-teori yang lain: media massa adalah milik negara, dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara. Pemikiran Karl Marx, Lenin, Stalin, Hegel, menjadi dasar filsafat totalitarianisme ini. Seperti dikutip Schramm dalam nada yang cukup sinis, pers komunis bagi Marx adalah hanya alat imtuk menafsirkan doktrin, melaksanakan kebijakan-kebijakan kelas pekerja atau partai militan. Dalam banyak doktrin yang oleh pengikutnya diucapkan dengan yakin dan bersemangat, Marx praktis tidak bicara tentang penggunaan komunikasi massa (Schramm, 1986: 127-128).
Sangat tertutup. Berbeda dengan media liberal yang sangat terbuka, media massa sistem komunis justru sangat tertutup. Saking tertutupnya, rakyat tidak tahu apa yang sedang dilakukan pemimpin partai atau penguasa. Akibatnya, ketidakmunculan pemimpin partai satu atau dua pekan di depan publik, atau ketidakmunculan pada peristiwa penting kenegaraan seperti hari jadi partai, sering menjadi isu dan rumors besar yang terus bertiup: jangan-jangan pemimpin partai sudah mati! Tetapi kalau mati, mengapa tak diumumkan melalui media? Karena media tak berdaya dan dikendalikan partai, sementara partai sangat panjang birokrasinya, maka kalaupun suatu saat media memiliki kesempatan menyiarkan berita kematian pemimpin partai, berita itu sudah sangat basi. Masalahnya, sang pemimpin partai sudah mati seminggu lalu! Itulah misalnya yang terjadi di Korea Utara dan Kuba
dari dulu hingga dewasa ini. ' Apa pun kata dunia, media massa komunisme tak ditakdirkan untuk memiliki banyak pilihan kecuali tunduk kepada.kehendak partai. Sebagai bukti, perhatikan saja berita harian Pravda edisi 7 Juli 1956: “Partai Komunis selama ini dan akan terns selanjutnya menjadi induk akal dan pikiran, juru bicara, pemimpin, dan pengatur rakyat dalam keseluruhan perjuangan mereka untuk komunisme” (Schramm, 1986: 129). Jika ditatap secara sosiologis, apakah ini berarti dominasi negara atas individu-individu dianggap sebagai bentuk kekejaman ataukah jnstru merupakan secercah kebahagiaan?

TEORI PERS TANGGUNG JAWAB SOSIAL (SOCIAL RESPONSIBILITY PRESS THEORY)
Teori pers tanggung jawab sosial tumbuh di Amerika Serikat pada abad 2o. Teori ini berkembang setelah dipengaruhi artikel WE Hocking, para pelaksana media, kode-kode etik media, dan Komisi Kebebasan Pers. Teori pers tanggung jawab sosial bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, melakukan transaksi bisnis, dan yang utama adalah untuk mengangkat kontlik sampai tingkat diskusi melalui pasar ide yang bebas dan bertanggung jawab. Media tanggung jawab sosial diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk oleh masyarakat serta oleh berbagai etika yang dibuat oleh kaum profesional.
Pada teori tanggung jawab sosial, campur tangan serius terhadap hakhak individu yang dilindungi oleh undang-undang dan terhadap kepentingan vital strategis masyarakat, dianggap sebagai tindakan terlarang. Media massa harus menjauhinya. Media bisa dimiliki oleh perorangan, tetapi tak berarti perorangan bisa begitu saja mendiktekan keinginannya melalui media. Media harus tunduk pada hukum-hukum media yang sudah diangap baku. Sebagai pemilik fungsi kontrol sosial misalnya, media akan digugat seandainya tidak menyuarakan kebenaran, menyampaikan kritik, dan membela kepentingan umum.
Menurut Theodore Peterson, pada dasarnya fungsi pers di bawah teori tanggung jawab sosial sama dengan fungsi pers dalam teori libertarian. Keenam fungsi itu meliputi:
1.      Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi, dan perbedaan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,
2.      Memberi penerangan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri,
3.      Menjadi penjaga hak-hak individu dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah,
4.      Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dengan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
5.      Menyediakan Hiburan
6.      Mengusahakan sendiri biaya finansial sehingga bebas dari tekanan individu-individu yang memiliki kepentingan tertentu
Teori tanggung jawab sosial, masih kata Peterson, secara umum menerima enam fungsi tersebut, tetapi menyatakan tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media tentang fungsi itu, serta cara media melaksanakan fungsi dimaksud. Teori tanggung jawab sosial menerima peran pers dalam melayani sistem politik, memberi penerangan kepada masyarakat dan menjaga hak-hak individu. Tetapi teori ini menyatakan bahwa selama ini media tidak menjalankan fungsi itu secara sempurna. Teori ini menerima peran media dalam melayani sistem ekonomi, tetapi tidak menghendaki diprioritaskannya fungsi itu melebihi fungsi mendukung proses demokrasi atau memberikan penerangan kepada masyarakat. Teori tanggung jawab sosial menerima peran media dalam menyajikan hiburan, dengan syarat hiburan itu harus "baik” (Peterson, 1986: 84).
Untuk itu, kata Peterson lebih lanjut, Komisi Kebebasan Pers Amerika, menetapkan lima syarat yang wajib dipatuhi oleh media. Pertama, media dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadjan sehari-hari secara mendalam dan cerdas dalam suatu konteks yang memberi arti kepada kejadian tersebut. Ini menuntut pets untuk selalu akurat, tidak boleh berbohong. Ini juga berarti, kata komisi, media harus menyatakan fakta sebagai fakta dan pendapat sebagai pendapat.

Kedua, media harus menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik. Ini berarti lembaga~lembaga komunikasi massa yang besar itu hams menganggap diri mereka sebagai kurir namun bagi diskusi di kalangan masyarakat. Itu tidak berarti bahwa ada hukum yang memaksa media itu menerima semua orang yang ingin memakairuangnya, atau bahwa seseorang dapat menuntut, sebagai haknya, media itu menyebarkan ide-idenya.

Ketiga, media hendaknya menonjolkan sebuah gambaran representatif dari kelompok-kelompok unsur pokok dalam masyarakat. Kode etik film. radio, dan televisi, semuanya mengandung pernyataan yang mendomng media untuk menghargai rasa kebangsaan dan sensitivitas kelompokkelompok suku dan agama.

Keempat, media hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Sekali lagi, para praktisi media mungkin menerima syarat itu dengan sedikit saja keragu-raguan.

Kelima, media hendaknya menyajikan kesempatan penuh untuk memperoleh berita sehari-hari. Warga negara sekarang ini menuntut lebih banyak informasi barn dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, sehingga hams ada distribusi berita dan pendapat yang luas. Media tentu saja setuju (Peterson, 1986: 101-104).

Teori pers tanggung jawab sosial, muncul sebagai protes terhadap kekebasan mutlak yang dikembangkan dan diagung-agungkan teori libertarian. Akibatnya, terjadi kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan media harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini sering dianggap sebagai suatu bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya yang menganggap bahwa tanggung jawab media terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ditekankan sebagai orientasi yang utama dari media. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum (Rachmadi, 1990: 37-38).

Perbedaan utama dengan teori lainnya, teori pers tanggung jawab sosial ialah media hams menerima tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Media memiliki tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral. Media tak memiliki kekebasan mutlak. Setiap kebebasan yang digunakan oleh media pada akhirnya harus dikembalikan dan harus bisa diterima oleh masyarakat. Secara sosiologis, media merupakan bagian dari institusi sosial yang ada dengan tugas-tugas dan peran spesiiik. Ia senantiasa melakukan interaksi sosial. Ada proses saling memengaruhi secara timbal balik. Dengan demikian, tidak bisa, tidak boleh, dan tidak selayaknya media keluar dari nilai-nilai serta kepentingan sosial masyarakat.

TEORI MEDIA PEMBANGUNAN (DEVELOPMENT MEDIA THEORY)

Teori media pembangunan muncul sebagai jawaban terhadap realitas faktual yang terjadi di negara-negara sedang berkembang pada dekade 1970-an. Ditemukan fakta, negara berkembang lebih banyak berkutat pada berbagai masalah kebutuhan pokok masyarakat. seperti sandang, pangan, sosial ekonomi, dan sangat banyaknya jumlah penduduk yang belum dapat menikmati pendidikan dasar. Tingkat partisipasi dan melek media (media leteracy) sangat rendah. Jumlah penduduk nyaris tak terkendali, sementara infrasruktur dan dunia industri masih tumbuh tertatih-tatih.
Peranan media pembangunan, menurut Schramm, adalah sebagai agen perubahan (agent of change). Letak peranannya adalah membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Media massa berperan tidak hanya dalam penyebaran informasi, tetapi lebih jauh dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan pendidikan masyarakat. Media pembangunan berperan menjadi salah satu penghubung yang kreatif antara pemerintah dan masyarakat. Media massa menyampaikan dan menerangkan rencana pembangunan dan kebijakan pembangunan, sehingga seluruh masyarakat mengetahui serta memahami seluruh masalah pembangunan. Di sini, media massa diharapkan tampil sebagai inovator dan motivator pembangunan (Rachmadi, 1990: 87).
Dalam catatan McQuail, titik tolak teori pembangunan ialah adanya fakta tentang beberapa kondisi umum di negara-negara sedang bekembang. Pertama, kenyataan tidak adanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; keterampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; khalayak yang tersedia, Kedua, adalah munculnya sikap bergantung pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut prodnk teknologi, keterampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat di negara-negara sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, .politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik internasional (Quail, 1987: 119).
Lantas apa yang dimaksud dengan pembangunan? Menurut Everett M. Rogers, pembangunan secara sederhana adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi' yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa (Rogers, 1985: 2). Dalam buku yang dieditorinya, Communication and Development, Critical Perspectives (1976), Rogers mengupas secara tajam teori-teori dan paradigma pembangunan lama versi Barat berikut kelemahan-kelemahannya yang sangat mendasar. Ia kemudian sampai kepada kesimpulan, ternyata musih banyak terdapat jalan alternatif menuju pembangunan. Ia antara lain menyebut dua unsur utama dalam konsepsi jalan alternatif itu.
Pertama, pemerataan penyebaran informasi dan keuntungan sosial ekonorni. Penekanan baru dalam pembangunan ini membawa kepada pemikiran bahwa penduduk desa dan orang kota yang miskin hendaknya menjadi sasaran utama dalam program pembangunan. Lebih umum lagi, bahwa upaya untuk memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi dengan cara menggerakkan sektor-sektor yang tertinggal, merupakan prioritas program di banyak negara.
Kedua, partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan biasanya disertai dengan desentralisasi kegiatan-kegiatan tertentu di perdesaan. Pembangunan tidak lagi sekadar fungsi dari apa yang dilakukan pemerintah nasional terhadap masyarakat di perdesaan, meskipun hams diakui bahwa mungkin sejumlah bantuan pemerintah Juga diperlukan bagi pembangunan daerah setempat (Rogers, 1985: 160).

McQuaiI, melengkapi dan menyempurnakan bangunan teori media pembangunan. Menurut McQuail, paling tidak terdapat enam prinsip utama teori ini sebagai landasan teoretis dan praktis dalarn aplikasinya di lapangan:

1.      Media selayaknya dibatasi menerima dan melaksanakan tugas pembangunan sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
2.      Kebebasan media selayaknya dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi clan kebutuhan pembangunan masyarakat.
3.      Media perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
4.      Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.

5.      Para wartawan den karyawan media lainnya memiliki tanggungjawab serta kebebasan daIam tugas mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya.
6.      Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak dan dapat dibenarkan untuk campur tangan den meiakukan pengendalian Iangsung dalam, atau membatasi, pengoperasian media, sarana penyensoran, serta pemberian subsidi yang diperlukan (McQuail, 1987: 120).

Tidak seperti pada teori libertarian, pada teori media pembangunan, media ditekankan untuk lebih memikul tangung jawab sosial lebih besar terhadap masyarakat dan negara. Berita, laporan, ulasan, tulisan, dapat dengan leluasa disajikan, tetapi harus dalam kerangka memberikan pencerahan dan percepatan ekonomi, atau sesuatu yang masuk dalam kategori “dibutuhkan oleh pembangunan”. Jika di luar kategori itu, berbagai berita, informasi, ulasan dan tulisan yang sifatnya menumbuhkan konsumerisme, gaya hidup mewah, pola borjuasi, media selayaknya tahu diri. Media tak boleh tergoda, karena secara moral bisa divonis sebagai anti-pembangunan, atau bahkan dicap sebagai kaki tangan kapitalisme.

TEORI MEDIA DEMOKRATIK-PARTISIPAN (PARTICIPANT-DEMOCRATIC MEDIA THEORY)

Sejujurnya, teori ini, seperti juga diakui oleh Munail sendiri, belum banyak dikenal. Boleh dikatakan teori ini masih asing. Tak heran jika beberapa pihak meragukan keabsahan teori ini Dalam pandangan McQuail, terlepas dari berbagai catatan tersebut, teori ini perlu diidentifikasi secara terpisah. Seperti halnya kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga media. Stimulus utama teori ini, kata Quail, adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian media yang dimiliki secara pribadi sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggung jawab sosial (McQuail, 1987: 121).
Istilah demokratik-partisipan, kata Quail lebih lanjut, menunjukkan sikap kecewa terhadap partai politik dan sistem demokrasi parlementer yang telah tercabut dari akar-akar budayanya yang asli. Titik sentral teori ini terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi penerima dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana informasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil, kelompok kepentingan subbudaya.
Teori ini menolak keharusan adanya media yang seragam, desentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dan penerima, hubungan komunikasi herizontal pada semua tingkat masyarakat, serta interaksi. Dalam teori ini terdapat beberapa campuran unsur teoretis seperti libertarian, utopian, egalitarian, sosialisme dan lokalisme. Kandungan prinsip teori media demokratik-partisipan, menurut Quail sebagai berikut:
1.        Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
2.        Organisasi dan isi media selayaknya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.

3.        Media selayaknya ada terutama untuk khalayaknya dan bukan untuk organisasi media, para ahli, atau nasabah media tersebut.
4.        Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal selayaknya memiliki media sendiri.
5.        Bentuk media yang berskala kecil, interaktif, dan partisipatif lebih baik daripada media berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
6.        Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa tidak cukup h‘anya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
7.        Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli (McQuail, 1987: 121-122).
Sebagai teori normatif, teori media demokratif-partisipan, menunjukkan pemihakan secara eksplisit dan tajam terhadap apa yang disebut dalam budaya dan politik Jawa, sebagai wong cilik (rakyat jelata). Teori ini secara tegas menolak kapitalisme media. Media demokratik-partisipan sangat tidak menyukai apa yang kini populer dengan istilah industri media. Artinya, media dijadikan industri yang padat modal dan padat teknologi dengan muatan kapitalisme yang jelas-jelas meracuni tata nilai sosial budaya masyarakat wong cilik. industri,seperti diketahui, alih-alih menyejahterakan wong cilik, malah meminggirkan mereka. Argumen yang diajukan pastilah klasik: wong cilik tak berpendidikan dan tak berkeahlian. Industri, hanya membutuhkan orang-orang berpendidikan dengan tingkat keahlian sangat beragam.
Teori demokratik-partisipan, melihat individu wong cilik sebagai subjek warga negara yang memiliki hak-hak sosial politik yang sama dengan kelompok-kelompok mapan (establishment groups). Rakyat jelata, orang kecil, orang kampung, udik, berpendapatan rendah, penghuni permukiman kumuh, perlu didengar dan diakui suara serta aspirasi dan kepentingan-kepentingan sosial budaya dan politiknya. Media, tidak boleh jauh dari mereka. Media harus akrab dan selalu berpihak kepada perjuangan mereka. Salah satu solusinya, menurut teori ini, media komunitas (community media) perlu lebih banyak didirikan di kantung-kantung permukiman wong cilik.
Apa yang disebut media pun, menurut teori ini, tidak harus modern, sarat teknologi, gemerlap, dengan jumlah pembaca, pendengar, atau pemirsa ratusan ribu atau jutaan orang. Media demokratik-partisipan, sesuai dengan namanya, adalah seperti apa yang bisa dilakukan oleh orang lokal, orang kampung, orang miskin keahlian dan pengalamam Teori ini memang melihat media bukan pada bentuknya melainkan pada substansinya: fungsinya. Meningkatnya partisipasi politik orang kecil sefta pola-pikir dan perilaku demokratis masyarakat bawah, adalah salah satu ukuran sukses media demokratik-partisipan. Suara orang kecil tidak boleh dipinggirkan! Bukankah dalam literatur ilmu politik terkenal pameo vox populi vox dei: suara rakyat suara Tuhan? Jadi, mengingkari eksistensi dan hak-hak serta aspirasi orang kecil, sama saja dengan mengingkari Tuhan. Coba, siapa berani?

KOMUNIKASI MASSA DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MASYARAKAT
Sosiologi meneropong, apa sebenarnya yang dilakukan individu atau lebih jauh iagi masyarakat, terhadap media? Apa pula yang diinginkan individu dari media? Begitu pula sebaliknya. Bagaimana media bisa memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat yang heteroge'n dan anonim. Sebenarnya, apakah media yang membutuhkan masyarakat, ataukah masyarakat yang membutuhkan media? Jika kedua belah pihak saling membutuhkan, pola interaksi sosiai seperti apa yang dipilih dan dikembangkan? Sebagai contoh, berbagai berita, laporan, ulasan dan tulisan yang disajikan media, merupakan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan media itu sendiri?

Disadari, pada satu sisi media merupakan lembaga atau institusi sosial yang bisa disebut sejajar dengan institusi-institusi sosial lainnya yang ada dalam masyarakat. Media bukanlah institusi elitis yang eksklusif, dengan seperangkat hak istimewa yang dipunyainya. Letak perbedaan terutama hanya pada fungsi-fungsinya, seperti pada fungsi pengawasan lingkungan dan fungsi kontrol sosial (watchdog function). Pada sisi yang lain, media juga tak bisa menyembunyikan identitas dirinya sebagai institusi ekonomi, contohnya media televisi yang tampil sebagai pelaku industri hiburan dengan modal sangat besar. Di sini, berarti media berperan sebagai lembaga bisnis yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Ketika menjalankan dua peran sekaligus saat mengejar tujuan sosial (idealisme) dan mencapai target ekonomi (komersialisme), maka secara teoretis dipastikan media tak selamanya berada pada titik keseimbahgan. Ada saatnya agak ke condong ke kiri (idealisme), ada saatnya pula berat ke kanan (komersialisme). Betapapun demikian, kita bisa menganalisis peran-peran media dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu, paling tidak terdapat empat teori yang bisa memberi penjelasan terperinci, yaitu teori belajar sosial (social learning theory), teori model difusi inovasi (diffusion of innovations model theory), teori model agenda setting (agenda setting model theory), dan teori kegunaan dan pemuasan kebutuhan khalayak (uses and graticications model theory).
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini berasumsi, media massa mempakan agen sosialisasi yang utama selain keluarga, guru, sahabat karib, dan sekolah. Artinya, dengan fungsi dan kemampuannya menyeleksi berita dan informasi, ulasan dan tulisan, serta menyajikan serta memublikasikannya secara secara cepat, luas, dan serempak kepada masyarakat yang heterogen serta anonim, media massa dapat berperan sebagai guru yang baik dan profesional. Media tak bebeda dengan ibu dan bapak gum di ruang kelas yang mengajarkan membaca menulis dan berhitung. serta transfer ilmu pengetahuan, teknologi, nilai etika dan moralitas kepada para anak didiknya.
Teori belajar sosial secara tradisional menyatakan bahwa belajar terjadi dengan cara menunjukkan tanggapan (response) dan menyelami efek-efek yang timbul. Penentu utama dalam belajar, kata seorang pakar komunikasi terkemuka dari Universitas Padjadjaran Bandung, adalah peneguhan (reinforcement). Tanggapan akan diulangi lagi jika organisme mendapat ganjaran (reward). Tanggapan tidak akan diulangi lagi kalau organisme mendapat hukuman (punishment) atau bila tanggapan tidak memimpinnya ke arah tujuan yang dikehendaki. J adi, perilaku diatur secara eksternal oleh kondisi stimulus yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi peneguhan (Effendy, 1993: 281).
Secara kategoris, teori belajar sosial terbagi ke dalam empat tahap atau Iangkah, yaitu proses atensi atau perhatian (attentional process), tahap proses retensi (retention process), tahap reproduksi motor (motor reproducion process), dan terakhir adalah proses motivasional (motivational process). Keempat langkah atau tahap ini, secara operasional menggambarkan peta pexjalanan yang harus dilalui seseorang dalam aplikasi teori belajar sosial melalui media massa. Berikut penjelasannya secara singkat:
Tahap proses atensi atau perhatian
Dalam proses belajar sosial, langkah pertama‘ adalah kita memberi perhatian kepada suatu peristiwa, dengan asumsi kita merasa tertarik dengan peristiwa tersebut. Perhatian kepada peristiwa ditentukan oleh karakteristik peristiwa itu dan karakteristik pengamat. Ciri-ciri pengamat yang menentukan perhatian adalah antara lain kemampun seseorang dalam proses informasi, usia, tingkat intelegensia, daya persepsi, dan taraf emosional. Orang yang emosional, misalnya marah atau takut, akan lebih atentif terhadap suatu rangsangan tertentu.
Tahap proses retensi atau pengingatan
Pada proses retensi atau pengingatan, peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imajinasional sehingga menjadi bongkahan ingatan (memory). Lambang secara verbal, berarti deretan huruf atau kata, kalimat atau paragraf, yang kemudian melahirkan suatu pengertian atau konsep. Lambang verbal adalah bahasa. Bahasa termasuk simbol yang paling banyak digunakan oleh masyarakat manusia dan paling mudah dipelajari atau diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain lambang verbal, kita juga mengenal lambang visual. Lambang visual adalah gambar, lukisan, foto, silhuet, atau sesuatu yang tak dituliskan.
Tahap proses reproduksi motor
Pada tahap reproduksi motor, hasil ingatan tadi akan meningkat dan bembah menjadi bentuk perilaku. Kemampuan kognitif dan kemampuan motorik pada langkah ini berperan panting. Réproduksi yang saksama biasanya merupakan hasil proses uji coba berkali-kali (trial and error), dan di sini umpan balik memiliki pengaruh cukup berarti (significant). Perilaku terbentuk karena hasil pengamatan, sesuatu yang bisa dipelajari. Perilaku negatif secara kategoris akan ditinggalkan. Perilaku positif akan terns dilakukan dan diteguhkan. Ini hanya mungkin apabila proses umpan balik (feedback) berjalan secara fungsional. Artinya, umpan balik akan menentukan bentuk sikap dan perilaku berikutnya.
Tahap proses motivasional
Pada tahap motivasional, perilaku akan berwujud apabila terdapat nilai peneguhan. Peneguhan dapat berbentuk ganjaran eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri (Bandura, 1977: 209210). Apa yang dimaksud dengan ganjaran eksternal? Ganjaran eksternal, berarti pengertian, dukungan, pujian, simpati dari pihak atau orang lain sebagai tanda persetujuan karena perbuatan yang kita lakukan tidaklah bersifat negatif. Bahkan boleh jadi bersifat positif dan memiliki cukup pengaruh terhadap peningkatan kualitas lingkungan sosial di sekitarnya. Dalam perspektif sosiologi, proses kontak komunikasi dan interaksi sosial tidak teljadi dan berlanjut, seandainya salah satu pihak menarik diri. Penarikan diri bisa terjadi karena salah satu pihak memberikan tanggapan atau umpan balik negatif. Boleh jadi terjadi karena salah persepsi (missperception), salah pengertian (missunderstanding), yang akhirnya menjurus kepada kesalahan dan kegagalan komunikasi (misscommunication atau communication failure). Umpan balik yang sifatnya motivasional, menurut teori komunikasi akan melahirkan pola dan frekuensi komunikasi yang produktif. Ada banyak basil yang dicapai. Inilah yang disebut dengan efektivitas clan elisiensi komunikasi.
Teori belajar sosial Bandura, seperti juga teori normatif yang Iain, tak luput dari berbagai kritikan tajam. Teori ini dianggap terlalu menyederhanakan masalah terutama yang berkaitan dengan aspak-aspek kejiwaan dan keberadaan manusia sebagai makhluk sosioiogis yang berakal (human being). Teori ini menganggap manusia sebagai robot yang berjalan secara linear dan dikontrol sepenuhnya oleh lingkungan. Tanggapan-tanggapan, misalnya, dipelajari secara otomatis dan tanpa disadari. Kecuali itu, proses belajar-belajar dianggap sebagai proses mekanistis.
Kita di sini tak ingin terlibat dalam perdebatan akademik, apakah teori belajar sosial Bandura layak dilanjutkan ataukah semestinya dipeti-eskan. Cukuplah ditegaskan, teori ini telah memberikan kontribusi bera-rti dalam pemetaan sosiologis mengenai peran-peran media terhadap masyarakat. Pada masyarakat semi modern dan modern misalnya, diakui semakin tinggi sikap bergantung masyarakat pada media massa. Sejam saja tanpa menonton televisi, sehari saja tanpa mengikuti siaran radio, atau dua hari saja tanpa membaca surat kabar atau majalah, orang-orang kota yang disebut dan mengklaim diri “modern", akan resah dan merasa serba kehilangan. Hidupnya seperti hampa. Mereka seperti terisolasi dari dunia luar dan gagap.
Melalui teori belajar sosial, khalayak menyerap banyak pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan tata nilai sosial serta kaidah-kaidah moral dari media massa untuk dijadikan rujukan dan pegangan tindakan ke depan. Asumsinya, khalayak adalah orang yang aktif, selektif, kritis, berpikir logis, serta dapat mengembangkan kerangka “analitisnya disesuaikan dengan tingkat dan kebutuhan dirinya sebagai individu yang tercerahkan karena sering berhubungan dengan media (high media exposure). Melalui teori ini, para ahli pendidikan dan ahli media, tertantang untuk terns menyempurnakan metode dan kualitas materi isi pengajaran melalui media massa. Bukankah diyakini bahwa media memiliki nilai daya tarik tinggi di mata khalayak? Kembali kepada dalil McLuhan, media saja sudah menjadi pesan. J adi apalagi isinya, pasti menjanjikan banyak hal.
Teori Model Difusi lnovasi
Teori ini dikembangkan oleh Everett M. Rogers melalui dua buku karyanya, Diffusion of Innovation (1983) dan Communication Technology, the New Media in Society (1973). Selain itu, bersama Floyd Shoemaker, sebelumnya in juga menulis buku Communication of Innovations (1971). Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesanpesan sebagai ide baru. Di dalam pesan itu, terdapat ketermasaan (newness) yang memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut ketidakpastian (uncertainty). Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan dapat dilmrangi dengan jalan memperoleh informasi. Menurut Rogers, difusi adalah suatu proses ketika suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide, karya, atau objek yang dianggap barn oleh seseorang (Effendy, 1993: 283-284).
Pakar komunikasi yang lain mendefinisikan difusi sebagai suatu proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran informasi melalui ruang dan waktu dari satu agen ke agen yang lain. Salah satu saluran komunikasi yang dianggap panting dalam proses difusi adalah media massa. Penelitian yang menggunakan model difusi nformasi pada umumnya merupakan studi korelasional karena mengambil sampel dari masyarakat. Studi ini pemah merupakan “paradigma” yang paling populer baik di kalangan ilmu komunikasi maupun ilmu-ilmu sosial yang lain (Rakhmat, 2000: 71-73).
Rogers menyebutkan, terdapat lima ciri inovasi yang akan menentukan tingkat adopsi: keuntungan relatif (relative advantage), kesesuaian (compabilily), kerumitan (complexity), kemungkinan untuk dicoba (trialability), dan kemungkinan untuk diamati (observability). Keuntungan relatif adalah suatu derajat ketika inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur secara ekonomis. Tetapi selain itu, faktor prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur panting. Kesesuaian adalah suatu derajat ketika inovasi dirasakan konsisten dengan nilai~nilai yang berlaku, pengalaman, dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. Kerumitan adalah mutu derajat ketika inovasi dirasakan sukar untuk dipahami dan dipergunakan. Kemungkinan dicoba adalah mutu derajat ketika inovasi dapat dieksperimentasikan pada lapangan yang terbatas (Rogers, 1983: 85).
Rogers berpendapat, media massa lebih efektif dalam menciptakan dan menyebarluaskan pengetahuan untuk inovasi. Sedangkan komunikasi antarpribadi dianggap lebih efektif dalam pembentukan sikap terhadap ide-ide barn. Dilihat dari kerangka waktu sebagai salah satu unsur utama dari difusi ide baru, Rogers mengingatkan terdapat tiga hal yang harus diperhatikan: proses inovasi keputusan (innovation decision process), keinovatifan (innovativeness), dan tingkat inovasi dari adopsi (inovations rate of adoption).
Proses inovasi keputusan, adalah proses mental ke’a'ka seseorang berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi ke pembentukan sikap terhadap inovasi, ke keputusan menerima atau menolak, ke pelaksanaan ide baru, dan ke peneguhan keputusan itu. Keinovatifan adalah derajat ketika seseorang relatif lebih dini dalam mengadopsi ide-ide baru dibandingkan dengan anggota-anggota lain dalam suatu sistem sosial. Pengadopsi tersebut dikategorikan sebagai: inovator (innovators), pengad0psi dini (early adopters), mayoritas dini (early majority), mayoritas terlambat (late majority), dan orang terakhir (laggard). Tingkat inovasi dari adopsi adalah kecepatan relatif ketika suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Rogers mengingatkan, tingkat adopsi biasanya diukur dengan waktu yang diperlukan untuk presentase tertentu dari para anggota sistem untuk mengadopsi suatu inovasi. Sistem sosial di sini diartikan sebagai tatanan kesatuan yang terhubungkan satu sama lain dalam kerangka pemecahan masalah untuk mencapai tujuan tertentu (Effendy, 1993: 285-287).
Model difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada ’a'tik-titik waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai dengan memengaruhi adopsi atau '-rejeksi (penerimaan atau penolakan). Dengan menggunakan model ini, peneliti meneliti bagaimana inovasi atau informasi baru tersebar pada unit-unit adopsi (penerima inovasi). Inovasi berupa berita, peristiwa, pesan-pesan politik, gagasan baru. Sejauh mana media massa atau saluran interpersonal memengaruhi efek difusi ditentukan oleh variabel antara dan variabel penerima yang antara lain meliputi data demografis dan variabel sosiopsikologis (Rakhmat, 2000: 70).
Mengapa media massa mengandung dan membawa inovasi? Secara teoretis, juga secara praktis, media massa selala membawa dan memublikasikan kebaruan. Jika tidak termasuk barn, apakah itu informasi atau peristiwa, apakah itu gagasan atau pemyataan, maka media massa sudah keluar dari fitrahnya sebagai penyebar informasi dan pembentnk pendapat umum. Kredibilitas dirinya patut diragukan. Menurut teori jumalistik, apa pun yang disajikan media massa hams aktual. Artinya menunjuk kepada sesuatu yang barn atau sedang terjadi. Salah satu kriteria umum atau nilai berita (news value) misalnya menyatakan, news is timeliness: berita adaiah sesuatu yang aktual. Aktualitas mengandung tiga pengertian: aktualitas kalender, aktualitas waktu, dan aktualitas masalah.
Aktualitas kalender. Semua orang tahu, 21 April adalah Hari Kartini, 2 Mei Hari Pendidikan Nasional, atau 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional. Pada hari itu atau beberapa hari menjelang hari-hari itu, media massa nasional selalu menganggap penting menurunkan tulisan, ulasan, laporan, siaran, atau tayangan acara mengenai beberapa hal yang berarti yang berkaitan langsung dengan hari bersejarah tersebut. Itulah yang disebut aktualitas kalender. Jelasnya, nilai aktualitas suatu peristiwa sudah terdapat dan ditentukan oleh kalender, apakah itu kalender nasional, hari-hari bersejarah, hari-hari keagamaan, atau kalender pemerintahan dan dunia pendidikan. Bahkan pula kalender hari kelahiran kita dan orang-orang terdekat kita sendiri.
Aktualitas waktu. Berita adalah laporan tercepat yang disiarkan surat kabar dan media massa lain seperti radio dan televisi mengenai opini atau fakta, atau kedua-keduanya, yang menarik perhatian dan diangggap penting oleh sebagian besar khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebagai contoh, berita tentang bencana alam seperti gempa atau banjir selalu mendapat tempat dan waktu utama dalam pemberitaan media massa. Jadi, aktualitas waktu menunjuk kepada suatu peristiwa berita yang tiba-tiba, tak diduga, tak diketahui, atau tak direncanakan sebelumnya.
Aktualitas masalah. Korupsi, manipulasi, pencurian, perampokan, pemerkosaan, merupakan persoalan usang. Sejak peradaban manusia terbentuk, kasus-kasus seperti itu sudah ada. J adi dilihat dari tema masalahnya. semuanya tak ada yang barn. Semuanya sudah kadaluwarasa: out of date. Hanya dilihat dari kemunculan, pengaruh, dan orang-orang yang mengnngkapkannya, masalah itu dikategorikan tetap dan senantiasa aktual. Secara sosiologis, sebenarnya menarik juga untuk diteliti, mengapa kasus seperti pernmpokan, pembunuhan, pemerkosaan, selalu beruiang? (Sumadiria, 2005: 83-84).
Dimensi inovasi menunjukkan faedah relatif, komtabilitas, kompleksitas. Faedah relatif menunjukkan tingkat kelebihan inovasi dibandingkan dengan gagasan yang mendahuluinya. Kompatibilitas (compability) adalah tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai-nilai yang ada. Kompleksitas berm-ti tingkat kesukaran untuk memahami atau menggunakan inovasi. Dari penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serkat, diperoleh dua butir kesimpulan yang menarik untuk dibahas di sini. Pertama, adopter awal memerlukan waktu lebih lama untuk mengambil keputusan daripada adopter akhir. Kedua, media massa dan sumber-sumber interpersonal yang dekat amat efektif dalam mengubah tingkah laku (Rakhmat, 2000: 71-72).
Teori difusi inovasi, secara tersirat mengakui, media bukanlah institusi sosial yang sangat perkasa sehingga bisa mengubah segalanya atau semua orang dalam waktu cepat apalagi serempak. Teori ini dengan jujur mengakui pula adanya kemajemukan dalam masyarakat. Sejalan dengan ranah sosiologi, pada tiap-tiap kelompok masyarakat terdapat tata nilai dan normanoprma sosial budaya yang unik dan menarik, yang karena sifatnya itu tak bisa diseragamkan. Teori ini sekaligus juga mengukuhkan teori perbedaan individu dalam komunikasi massa seperti sudah kita bahas sebelumnya. Efek media,~memang berlainan terhadap individu yang satu dan individu yang lain. Kecuali itu, efek media pun ternyata tidak seketika (real time) dan serempak dilihat dari dimensi waktu, tetapi 'ternyata memerlukan jeda atau interval. Adopter awal lebih lama dalam menerima inovasi, sementara adopter terakhir justru lebih cepat.
Teori Model Agenda setting
Model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. Agenda masyarakat dapat diteliti dari segi apa yang dipikirkan orang (intrapersonal), apa yang dibicarakan orang itu dengan orang lain (interpersonal), dan apa yang mereka anggap sedang menjadi pembicaraan orang ramai (community salience) (Rakhmat, 2000: 68).
Efek terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu: apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan). Dari semua itu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana isu itu diranking oleh responden dan apakah rankingnya itu sesuai dengan ranking media (prioritas). Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan, seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes. Hampir semua penelitian yang menggunakan model agenda setting berkenaan dengan efek media massa dalam bidang politik, seperti yang dilakukan oleh Shaw dan McCombs. Hasilnya menunjukkan, dalam kampanye presiden Amerika Serikat 1972, temyata surat kabar menentukan apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Agenda televisi juga berkorelasi dengan agenda para pemilih (Rakhmat, 2000: 68-69).
Menurut Alexis S. Tan dalam Mass Communication Theories and Research, studi selanjutnya yang dilakukan Shaw dan Combs menunjukkan bahwa meskipun surat kabar dan televisi sama-sama memengaruhi agenda politik pada khalayak, temyata surat kabar pada umumnya lebih efektif dalam menata agenda dibandingkan dengan televisi. Tan menyimpulkan, dalam agenda setting, media memengaruhi kognisi politik khalayak melalui dua cara. Pertama, media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim. Kedua, media memengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik (Tan, 1981: 277).
Apa maknanya? Media massa tak ubahnya seorang pemandu wisata. Ia menunjukkan jalan, memandu wisatawan men'elusuri objek-objek yang menarik, memberikan penjelasan sekaligus peringatan agar wisatawan tak terjebak ke dalam kesulitan. Ia melakukan bimbingan dan siap berbuat apa pun yang danggap perlu demi melindungi para wisatawan yang dibawanya itu dari kemungkinan terburuk yang bisa membahayakan keselamatan mereka. Pemandu berperan sebagai guru, sebagai teman, sekaligus juga sebagai penjaga keamanan wisatawan (body guard). Dengan kecakapannya semacam ini, media diakui kredibilitasnya dalam jagat politik suatu negara.
Di kalangan pengelola atau praktisi media massa, model agenda setting dijadikan tak ubahnya kitab suci. Nyaris tak ada satu pun kegiatan perencanaan penyajian clan pemilihan pesan media dalam bentuk berita, laporan, ulasan, tulisan, gambar, iota dan sejenisnya, yang tak memperhatikan teori agenda setting. Bahkan dalam eejumiah kasus, media massa seperti mengambil alih pola selektivitas yang dipunyai khalayak. Artinya, khalayak tak periu berpikir, tak perlu mengingat, tak perlu membuat agenda kegiatan. Biarlah media yang memikirkan dan melaksanakan semna itu. Khalayak cukup menikmatinya saja.
Untuk agenda media surat kabar, yang sejak awal ditakdirkan sebagai pencipta dan penjaga peradaban, fungsi agenda setting lebih tertata atau terkendali secara relatif baik. Artinya tak sampai hanyut oleh godaan-godaan material dengan lebih banyak menonjolkan iniormasi yang tidak periu, remeh~temeh, dan adakalanya menyesatkan hanya demi mengejar motif komersial. Berbeda kasusnya dengan media massa televisi. Pada televisi, dengan fungsinya yang sangat dominan sebagai media hiburan, godaan nntuk mengejar iklan sebanyak mungkin sering tak terhindarkan. Media televisi lalu tak ubahnya menjadi budak peringkat (rating). Tayangan~tayangan program acara yang memiliki peringkat tinggi, meskipun tak bermutu dan mengkesploitasi seiera rendah, dijadikan ujung tombak siaran. Aneka acara itu ditampilkan pada jam tayang utama (prime time) atan pukul 18.00-21.00.
Manhein mengingatkan, konseptualisasi teori model agenda setting meiiputi tiga agenda utama, yaitu agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijakan. Untuk agenda media, dimensinya meliputi visibility (visibilitas, yaitu jumlah dan tingkat menonjolnya berita), audience salience (penonjolan, yaitn tingkat menonjol dan relevansi isi berita dengan kebutuhan khaiayak), valence (valensi, yaitu menyenangkan atan tidak menyenangkan cara pemberitaan suatu peristiwa). Untuk agenda khalayak, dimensinya mencakup familiarity (keakraban, yaitu derajat keakraban khalayak terhadap topik tertentu), personal salience (penonjoian pribadi, yaitu relevansi kepentingan dengan ciri pribadi), dan favourdbility (kesenang'an, yaitu pertirnbangan senang atau tidak senang terhadap topik berita). Sedangkan untuk agenda kebijakan, dimeneinya meliputi support (dukungan, yaitu kegiatan menyenangkan bagi posisi snatu berita tertentu), likehood of action {kemnngkinan kegiatan, yaitu kemungkinan pemerintah melaksanakan sesuatu yang diibaratkan), dan freedom of action (kebebasan bertindak, yaitu niiai kegiatan yang mangkin akan dilakukan oleh pemerintah). Konseptualisasi Manhein ini mendukung teori agenda setting secara menyelm'uh (Servind dan Tankard, 1992: 226 dalam Effendy, 1993: 288-289).
Teori agenda setting, singkatnya merefleksikan pola interaksi sosial antara media massa dan masyarakat. Media memikirkan dan melakSanakan agenda-agenda penting masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengikuti dan merujuk kepada agenda serta preferensi (pengutamaan) yang telah diseleksi dan diberi bobot nilai atau peringkat oleh media. Pola kausalitas sosiologis inilah yang mengantarkan lahirnya dalil dalam dunia jurnalistik: media adalah cermin masyarakat. Dalam bahasa awam disebutkan, jika ingin tahu wajah masyarakat, lihatlah media. Lalu jika ingin melihat wajah media, lihatlah kondisi dan perilaku masyarakat.
Kita perlu memberi catatan di sini. Meksipun agenda setting memmuskan apa yang dianggap penting oleh masyarakat, dalam praktik tak serta' merta semna yang dianggap penting itu diperhatikan dan dilaksanakan oleh masyarakat. Fakta menunjukkan, justru cukup banyak isu, persoalan, gagasan, peristiwa atau berita yang dilewatkan begitu saja. Berlalu seperti angin. Kalau sudah demikian, sia-sialah berbagai informasi dan berita yang dipnblikasikan karena tak mampu menggugah perhatian khalayak. Bagi para perencana dan praktisi media, kenyataan ini tak setiap saat disadari. Media asyik dengan agendanya sendiri. Khalayak pun tetap membisu karena tidak bisa memberikan umpan balik secara langsung (indirect feedback). Kalaupun umpan balik itu dilontarkan, sifatnya tertunda (delayed feedback).
Teori Model Kegunaan dan Kepuasan
Model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang diiupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. Penelitian sistematik tentang teori uses and gratifications model telah dilakukan pada dekade 1960-an dan 197o-an, bukan saja di Amerika melainkan juga di Inggris, Finlandia, Swedia, Jepang. Karl Erik Rosengren dalam Uses and Gratifications: A Paradigm Outlined, bahkan menjelaskan teori ini secara sistematis dalam sebuah paradigma khusus yang diberi nama paradigma model kegunaan dan pemuasan kebutuhan. Butir pertama paradigma tersebut melambangkan infratsruktur biologis dan psikologis yang membentuk landasan semua perilaku sosial manusia. Kebutuhan biologis dan psikologis inilah yang membuat seseorang bertindak dan bereaksi (Blumer dan Katz, 1974:269; Effendy, 1993: 289-290).
Dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow (1954) dijelaskan, kebutuhan manusia meliputi lima tingkat: kebutuhan flsiologis (physiological needs), kebutuhan rasa aman (safety needs), kebutuhan cinta (love needs), kebutuhan peghargaan (esteem needs), dan kebutuhan aktualisasi diri (selfactualization needs). Kebutuhan sosiologis, menunjuk kepada kebutuhan dasar manusia yaitu makan-minum, pakaian, tempat berteduh dan membangun keluarga (rumah). Kebutuhan rasa aman, berbicara tentang cita
cita atau kehendak seseorang untuk bebas meIakukan aktivitasnya tanpa gangguan fisik dan psikis. Ia terbebas dari rasa takut, cacian, ancaman, bahkan berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan faktual maupun kekerasan simbolik virtual.
Kebutuhan cinta, termasuk yang paling didambakan setiap insan di mana pun di dunia. Setiap orang ingin dicintai da'n mencintai, ingin dikasihi dan mengasihi. Cinta adalah bahasa dan ungkapan universal. Perhatikan saja, di dunia ini, sudah jutaan lagu bertema cinta dibuat dan dinyanyikan melalui berbagai media. Tetapi apakah lagu-lagu bertema cinta sudah kehabisan pendengar dan penggemar’? Nyatanya tidak. Lagu cinta nyatanya tetap diterima dan penjualan kaset serta keping cakramnya (compact disk) sering meledak di pasar. Kebutuhan penghargaan menunjuk pada hasrat manusia untuk dihargai dan dihormati atas kehadiran dan peran-peran individual dan sosial yang dijalaninya. Sebut saja seseorang berbuat sesuatu yang berarti bagi orang lain, atau bagi masyarakat, maka secara psikologis ia merasa senang jika mendapat pengakuan dan pujian atas dedikasi atau prestasinya itu. Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak senang menerima pujian, sejauh pujian itu dilontarkan secara proporsional.
Kebutuhan aktualisasi diri, sejalan dengan dan mempakan manifestasi dari fitrah manusia. Setiap orang pasti memiliki hasrat, keinginan, clan mimpi-mimpi untuk dapat menunjukkan posisi, potensi, fungsi, dan prestasi dirinya kepada orang lain, kepada masyarakat. Ia akan merasa senang, merasa bahagia, dan merasa hidupnya tak sia-sia, jika ia bisa berbuat sesuatu dengan orang lain atau untuk orang lain. Secara filosofis, ini pula yang membedakan manusia dengan hewan. Di mana pun, hewan tak memiliki cita-cita dan naluri untuk menyenangkan atau membahagiakan hewan lainnya. Fakta yangada justru sebaliknya, hewan selalu memiliki naluri untuk membinasakan lawan atau musuh-musuhnya setiap saat. Manusia, selalu menyimpan angan-angan untuk bisa menunjukkan keberadaan dirinya. “Saya berpikir maka saya ada,” kata lilusuf Descartes. Begitu juga menurut Maslow dalam teori hierarki kebutuhan: saya berbuat maka saya ada.
Dikaitkan dengan teori kegunaan dan pemuasan kebutuhan, maka dipertanyakan: apa yang diperoleh khalayak dari media? Apakah kebutuhan khalayak yang beragam, konkret dan abstrak, normal atau ganjil, panting atau menarik, dapat dipenuhi oleh khalayak? Konsep dasar model ini' diringkas oleh para pendahulunya. Dengan model ini yang diteliti ialah: (1) sumber sosial dan psikologis dari (2) kebutuhan, yang melahirkan (3) harapan-harapan dari (4) media massa atau sumber-sumber yang lain, yang menyebabkan (5) perbedaan pola terpaan media, serta menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) akibat-akibat lain, bahkan sering sekali akibat-akibat yang tidak dikehendaki (Katz, Blumer, Gurevitch, 1974: 20).
Teori uses and gratifications model tidak tertarik pada apa yang dilakukan media terhadap djri orang, tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Dari sini timbul istilah uses and gratifications, penggunaan dan pemenuhan kebutuhan. Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa komunikasi massa berguna (utility); bahwa konsumsi media diarahkan oleh motif (intentionality); bahwa perilaku media mencerminkan kepentingan dan preferensi (selectivity); dan bahwa khalayak sebenarnya kepala batu (stubborn) (Blumler, 1979: 265; Rakhmat, 2000: 65).
Utility. Pada teori ini, media massa diasumsikan berguna bagi khalayak dan karena itu media selayaknya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan tetap memperhatikan semangat zaman (zeitgeish). Dengan begitu selalu terdapat roh dan nuansa pencerahan (aufklarung). Para ahli komunikasi, dalam buku-buku yang mereka tulis, tak memiliki keraguan sedikit pun untuk menyimpulkan, media media massa berguna dan dibutuhkan masyarakat. Hanya kadar kegunaannya yang berbeda bagi masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain.

Intentionality. Mengapa orang tertarilc dan berhubungan dengan media: membaca surat kabar, mendengarkan radio, dan .menonon televisi? Karena setiap orang memilild motif. Motif adalah sesuatu yang mendasari sikap dan tindakan tertentu seseorang. Motif berbeda bagi orang yang satu dan orang lain, serta berbeda menurut dimensi waktu meskipun pada orang yang sama. Artinya, motif seseorang membaca surat kabar di ruang tunggu bandara, dan motif membaca surat kabar di teras rumah, pasti berlainan. Dalam hal ini waktulah yang menentukan motif. Pada saat lain, motiflah yang menentukan waktu. Misalnya saat orang menonton siaran langsung sepak bola di televisi. Tidak setiap hari terdapat siaran langsung sepak bola. Singkatnya, dalam teori kegunaan dan pemuasan, motif menjadi sumber penggerak orang berhubungan dengan media, dan bukan media yang menggerakkan motif. Dalam bahasa sosiologi, daya dorong motif (push factor) seseorang jauh lebih besar daripada daya tarik media (pull factor) ketika' orang itu membaca surat kabar, mengikuti siaran radio, atau menyaksikan siaran televisi.
Selectivity. Teori perbedaan individu dalam komunikasi massa mengingatkan, tiap individu memiliki tingkat perhatian, minat, kepentingan, orientasi, dan nilai-nilai yang berbeda saat bersentuhan dengan media. Sebaliknya, dampak atau efek media berbeda terhadap individu yang satu dan individu yang lain. Asumsinya, tiap individu memiliki mekanisme pertahanan moral mental dan tingkat intelektual yang tidak sama. Individu mampu berpikir logis dan bersikap kritis. Individti, kecuali mempunyai daya terima, juga selalu siap dengan daya tolak yang ada pada dirinya atas apa pun yang datang dari luar termasuk dari media. Apabila suatu waktu seorang individu mengakses media, pasti karena dia didorong oleh motif kepentingan dan preferensi tertentu.
Stubborn. Sering dikatakan, secara filosoiis manusia adalah makhluk berpikir yang berbudaya (homo sapiens). Manusia juga termasuk makhluk bijaksana, sebab hewan tidaldah memiliki rasa kebijaksanaan. Karena berpikir dan bijaksana, logikanya manusia akan dapat dengan mudah mengembangkan potensi sikap-sikap dan perilaku baik yang ada pada dirinya. Ia tidak akan mudah tergoda untuk berbuat tidal: baik apalagi berbuat jahat. Tetapi, teori adakalanya jauh panggang dari api: bertolak belakang. Karena memiliki tata nilai, minat, dan kepentingan sendiri-sendiri, maka tidak jarang seseorang menampilkan sikap mau menang sendiri, mau pintar sendiri, mau senang sendiri, mau selamat sendiri! Ia kembali ke situasi dan alam primitif. Ia menjadi seseorang yang berkepala batu. Egois. Otoriter.
Teori stubborn audience atau khalayak berkepala batu ini, merujuk kepada Karl Erik Rosengren, tak bisa dilepaskan dari posisi dan fungsi lingkungan sosial (social environment) dalam menentukan tingkat dan kebutuhan khalayak. Lingkungan sosial itu meliputi ciri-ciri aiiliasi kelompok dan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kebutuhan individual, kata Rosengren, dikategorikan ke dalam kebutuhan kognitif (cognitive needs), kebutuhan afektif (affective needs), kebutuhan pribadi secara integratif (personal integative needs), kebutuhan sosial secara integratif (social integrative needs), dan kebutuhan penglepasan (escapist needs).
Berikut penjelasan ringkasnya, yang penulis lengkapi dengan catatancatatan kecil dan contoh yang relevan di sana-sini sekadar untuk mempertajam tingkat pemahaman dan memudahkan mengikuti j alan pikiran Rosengren:
Cognitives needs. Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan, dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan. Juga untuk memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita. Dalam bahasa jurnalistik, fenomena ini dikenal dengau curiousity (rasa ingin tahu). Setiap jumalis dituntut kemampuannya untuk menumbuhkan naluri curiousity agar ia menjadi seorang yang berkecukupan informasi (well informed). Bukankah media berperan sebagai pembentuk pendapat umum? Pendapat umum tidak mungkin terbentuk dan tumbuh manakala media dalam posisi miskin informasi (poor informed).
Ajfective needs. Inilah kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan emosional. Hanya manusia yang memiliki rasa keindahan, cita rasa seni, cita rasa kesusastraan, hasrat dan sikap estetis, pengalaman-penalaman menyenangkan, serta hubungan emosional yang akrab, hangat, menggairahkan. Dalam teori komunikasi disebutkan, kehangatan hubungan sesame individu, rekan sejawat, dapat diciptakan melalui apa yang disebut hubungan manusiawi (human relations).
Personal integrative needs. Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Hal-hal tersebut diperoleh dari hasrat terhadap harga diri. Pada dasamya, tiap individu ingin dihargai, dihormati, diberi apresiasi oleh Orang lain. Tidak adanya penghargaan dan penghormatan, akan melahirkan bentuk-bentuk kelompok sosial dan masyarakat yang miskin etika dan norma, liar, bahkan barbar.
Social integrative needs. Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman, dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi. Manusia adalah makhluk sosial. Hidupnya berkelompok dan saling bergantung sama lain. Kebutuhan untuk senantiasa menjalin kontak komunikasi, berinteraksi sosial, melahirkan masyarakat paguyuban (gemeinschaft) dan meninggalkan pola patembayan (qesellschaft)
Escapist needs. Kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan, dan hasrat atas keanekaragaman. Manusia pada dasarnya tidak menyukai konflik. Kalaupun terjadi kontlik, maka secara sosiologis biasanya hal itu terjadi akibat perbedaan tingkat pemahaman dan perbedaan tingkat kepentingan yang tajam antara individu yang satu dan individu yang lain. Sosiologi mengajarkan, konflik (conflict) akan melahirkan harmoni selama diakhiri dengan konsensus (concensus) (Blumler dan Katz, 1974: 269; Effendy, 1993: 294).


BAB V
SOSIOLOGI KOMUNIKATOR DAN PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA

SIAPA KOMUNIKATOR DALAM KOMUNIKASI MASSA?
sosok komunikator itu dapat dilacak lagi ke belakang dengan memperhatikan aspek posisi dan peran sosial yang melekat dalam diri individu. Contoh diantaranya, memaparkan tentang munculnya pandangan bahwa media massa Amerika telah gagal dalam melaporkan hubungan antar-ras dan berbagai masalah perkampungan miskin kulit hitam secara selayaknya. Salah satu cara untuk memperbaiki pandangan yang keliru itu adalah dengan memasukkan orang-orang berkulit hitam ke dalam lembaga-lembaga jumalistik dan organisasi-organisasi berita lainnya. Komisi yang dibentuk untuk keperluan itu pada 1968, National Advisory Commission, akhimya menyirnpulkan, meningkatnya pegawai berkulit bjtam berdampak positif terhadap liputan berita tentang berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang kulit hitarn di Amerika.
Dalam perspektif komunikasi massa, para ahli sosiologi sangat tertarik untuk mengetahui apakah, misalnya, ketika anak seorang petani di kampung yang bergelar sarjana sosial, dan anak seorang pengusaha di perkotaan yang juga bergelar sarjana sosial, bergabung dalam satu institusi media massa, akan memiliki tingkat dan kualitas empati yang sama terhadap nasib dan masa depan petani di perdesaan? Untuk itu, kita bisa mengajukan dua asumsi. Asumsi pertama, sarjana sosial anak petani dan saljana sosial anak pengusaha, keduanya sama~sama akan melahirkan perspektif dan kualitas empati yang sama ketika diminta menulis masalah nasib dan masa depan petani di perdesaan. Asumsi kedua, sarjana sosial anak petani akan memiliki tingkat empati lebih tinggi dan perspektif lebih utuh dalam mengungkapkan masalah penderitaan para petani dan masa depannya di perdesaan daripada satjana sosial anak pengusaha.
Lantas, asumsi mana yang paling mendekati kenyataan? Teori sosiologi komunikasi massa berpandangan, asumsi kedua dianggap lebih mendekati kenyataan daripada asumsi pertama. Artinya, secara sosiologis, anak seorang petani, walau sudah bergelar sarjana dan bekerja di kota, tidak akan pernah bisa melupakan asal-usul kelahiran dan masa lalu serta ruang-ruang sosial budayanya. Bagaimanapun, dia tetaplah brang kampung, bernafas kampung, berbudaya kampung, dengan segala sentuhan kejiwaan dan cita rasa kampung. Jadi, sangat sulit diterima akal sehat, jika ia lalu “berkhianat” terhadap warga kampung dan kampungnya sendiri. Bahkan sedikit-banyak, ia pastilah akan membela apa pun yang telah dan akan dilakukan orangorang kampung. Bukankah ia sendiri orang kampung, dan menjadi bagian tak terpisahkan di dalarnnya?
Dalam bahasa sinetron televisi, kisah-kisah dramatik penderitaan orangorang kampung yang tergilas modernisasi, bahkan westernisasi, akan jauh lebih berhasil jika diceritakan oleh wartawan yang berasal dari kampung miskin daripada wartawan yang berasal dari perkotaan gemerlap. Jadi, variabel komunikator sangat berpengaruh terhadap isi pesan, kualitas pesan, dan bahkan terhadap kecepatan efek atau dampak pesan yang ditimbulkannya. Ini berarti, variabel sosiologis, seperti tempat kelahiran, asal-usul keluarga, latar belakang orang tua, status sosial, tingkat pendidikan, posisi pekerjaan, tingkat penghasilan, karakteristik gender, afiliasi kelompok, orientasi sosial budaya, menjadi deretan faktor pengaruh dalam diri komunikator komunikasi massa. Bagaimanapun ia tidak bisa melepaskan diri dari aspek-aspek dan nilai-nilai preferensi sosiologisnya. Preferensi sosiologis berarti seseorang akan lebih mengutamakan nilai-nilai ikatan sosial yang melekat dalam dirinya daripada ikatan-ikatan lain yang tak berkaitan langsung dengan kehidupan dan kepribadiannya.
            Penelitian Warren Breed dan Lee Sigelman, sedikit-banyak bisa memberikan gambaran kepada kita bagaimana aspek-aspek sosiologis pada komunikator komunikasi massa bisa memengaruhi serta menentukan bentuk dan kualitas isi pesan. Warren Breed, dalam Social Control in the News Room (1955: 326~35), melakukan analisis mendalam mengenai kontrol sosial di ruang berita. Studinya memperlihatkan bagaimana para wartawan, apakah berada di bawah perintah langsung atau tidak, dipengaruhi oleh kebijakan surat kabarnya dan oleh norma-norma mengenai isi berita yang kadangkadang eksplisit, sering sekali implisit, serta disampaikan melalui rekan reporter dan pengawas di ruang berita.
Pada satu sisi, wartawan harus mampu berpikir bebas, berkarya bebas. Ia memiliki kemerdekaan pers dan kemerdekaan media. Tetapi pada sisi yang lain, wartawan, sebagai anggota organisasi dan unit produksi dari satu institusi media, hanya dihadapkan kepada satu pilihan: tunduk kepada kaidah dan norma-norma institusi media. Secara teoretis, realitas subjektif inilah yang menyebabkan mengapa media massa yang satu, sering dipersepsikan berbeda dengan media massa yang lain dilihat dari tingkat keberanian dan pemihakannya kepada kepentingan publik. Dalam bahasa sederhana, ada media yang lebih tunduk kepada kepentingan kapital; ada pula media yang Iebih asyik dengan arus pemikiran dan orientasi sosia1.. Media yang disebut pertama, merepresentasikan kepentingan komersial. Sedangkan media yang kedua, cenderung lebih merepresentasikan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat bangsanya.

KOMUNIKATOR KOMUNIKASI MASSA VERSI ARISTOTELES
Melalui tiga jilid bukunya yang termasyhur, De Arte Rhetorica, Aristoteles menyebutkan terdapat tiga syarat penting yang harus dipenuhi oleh komunikator dalam memengaruhi khalayak: ethos, pathos, logos. Melalui tiga pendekatan ini, Aristoteles sebenarnya ingin mengingatkan tentang betapa pentingnya aspek atau kajian-kajian sosiologi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas komunikasi individual dan sosial, tennasuk komunikasi massa.
Ethos
Pada dimensi ethos, komunikator individual dalam aktivitas sosial atau komunikator institusional dalam aktivitas komunikasi massa, selayaknya menguasai dengan baik tiga aspek: pengetahuan luas, kepribadian terpercaya, dan status terhormat. Pengetahuan luas, hanya mungkin diperoleh apabila komunikator membangun jaringan sosial, mengasah kepekaan intelektual, dan mengembangkan ikatan serta norma-norma sosial pada unit satuan masyarakat terbawah sampai dengan unit satuan masyarakat lapis menengah dan atas. Ia senantiasa melakukan interaksi sosial secara cair. Artinya proses interaksi sosial yang dilakukannya tidak lagi dibatasi sekat-sekat struktural formal secara hierarkis dan kaku.
Kepribadian terpercaya, hanya dapat dibangun melalui proses panjang relasi dan interaksi sosial secara harmonis. Di sini, komunikator harus terikat secara kuat dalam norma-norma sosial yang sudah disepakati. Menurut literatur sosiologi, norma-norma sosial yang mesti dipatuhi itu ialali cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom). Cara (usage) menunjuk kepada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan (folkways). Kebiasaan menunjuk pada perbuatan yang diulangulang dalam bentuk yang sama.
Cara (usage) lebih menonjol dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sebatas celaan. Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Apabila kebiasaan tidak hanya diterima sebagai cara perilaku tetapi juga sebagai norma-norma pengatur, kebiasaan itu berubah menjadi moresatau tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga merupakan alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan. Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat-istiadat (Soekanto, 190: 220-221).
Status terhormat, sebagai salah satu bentuk pengakuan dan penghargaan sosial, tidaklah datang tiba-tiba dan sekaii jadi. Seseorang menyandang predikat terhorrnat secara sosial, apabila orang itu tidak meiakukan perkataan, sikap dan perbuatan tercela. Ia tidak pernah memperoleh cercaan serta bentuk-bentuk sanksi sosial, dari yang halus sampai dengan yang bersifat kasar, dari yang tersembunyi sampai dengan yang sifatnya terbuka. Pada status terhormat senantiasa melekat etika individual dan etika sosial. Etika individual hanya dikerjakan di dan berlaku ke dalam (internal). Etika sosial lebih banyak dikeljakan di dan berlaku ke .luar (eksternal). Apa yang akan terjadi, jika aktivitas-aktivitas komunikasi massa tidak mengindahkan etika sosial?
Pada akhirnya, ethos harus tunduk kepada kaidah dasar sosiologis: pikiran baik (good sense), akhlak baik (good moral character), dan maksud baik (good will). Tampa pikiran-pikiran baik dalam diri komunikator institusional, komunikasi massa hanya akan melahirkan friksi dan konflik sosial. Isi pemberitaan media massa hanya akan lebih banyak dimuati prasangka, pola pikir negatif (negative thinking), dan potensi konflik yang meruncing antar unsur masyarakat dan lembaga-lembaga kenegaraan serta kebudayaan.
            Begitu juga dengan akhlak baik (good moral character). Dalam teori media tanggung jawab sosial (social responssibility press theory), ditekankan, apa pun kemasan dan sajian si media, pertama-tama harus dibangun di atas landasan akhlak baik, bukan akhlak dengan hasrat merusak dan menghancurkan. Teori jumalistik mengajarkan, jika media melakukan kritik setajam silet, kritik itu hams dibangun atas landasan akhlak mulia (akhlaqul karimah). Jadi tidak dimaksudkan untuk mematikan siapa pun kecuali kejahatan. Media hanyalah bertugas sebagai satpam negara (watchdog state function). Dalam perspektif sosiologi komunikasi massa, kecenderungan untuk melakukan swasensor (self cencorship) dengan semangat untuk lebih mengutamakan nilai-nilai kebajikan lokal (local wisdhom), dipahami sebagai bagian dari pengamalan nial-nilai akhlak baik tersebut.
Akhirnya, tujuan baik (good will), dapat dirumuskan sebagai pengikat kasat mata mengenai tindakan apa pun yang dilakukan seorang komunikator. Tujuan baik akan membawa media massa ke dalam kehormatan dan penghormatan secara layak dari lingkungannya. Sebaliknya tujuan buruk akan membawa media massa ke jurang dan lembah kehancuran yang menyakitkan. Cepat atau lambat, media massa jenis ini akan memperoleh vonis dan hukuman sosial. Ia akan dikucilkan melalui mekanisme pasar bebas dengan tidak lagi diakui sebagai lembaga institusi sosial pada satu sisi, dan institusi ekonomi pada sisi yang lain. Ia akan mati suri. Sejarah membuktikan, hanya media-media dengan ideologi-baik saja yang berumur panjang dan meraih sukses gemilang.


Pathos
Pada dimensi ini, komunikator media massa melalui pesan~pesan yang diproduksi dan disebarluaskannya, ditantang untuk senantiasa mampu menyentuh hati khalayak (audience heart touch). Para ahli komunikasi mengajarkan, pesan-pesan komunikasi massa harus informatif dan komunikatif. Sedangkan para ahli sosiologi komunikasi massa mengingatkan, pesan-pesan komunikasi massa harus dapat menyentuh hati sekaligus membangkitkan empati sosial. Hal ini misalnya hams tampak pada jurnalistik liputan bencana (disaster coverage journalism) seperti ketika terjadi bencana besar di Aceh, Nias, Yogjakarta, dan Bengkulu beberapa tahun silam dengan korban tewas mencapai ribuan orang. Sosiologi mengajarkan, ketika tteadi bencana, media massa tidak bisa tinggal diam. Media inassa pun harus melakukan tindakan-tindakan sosial, antara lain dengan cara membuka dompet bantuan bencana dan menjadi inspirator serta inovator peneljunan para relawan ke daerah-daerah bencana sedini mungkin. Jadi, tugas media tidak hanya menulis, memotret, dan melaporkan. Media hams juga menjadj penggerak aksi solidaritas sosial.
Logos
Pada dimensi ini, komunikator media massa disyaratkan menguasai materi pesan dengan baik. Materi pesan harus berkualitas tinggi, memiliki nilai jual prima, sarat data, dengan diperkuat latar beiakang serta argumen-argumen yang meyakinkan. Kajian sosiologis dalam lingkup terbatas yang beberapa kali penulis lakukan menunjukkan, berita-berita-media massa yang djbuat jurnalis lokal, sering tidak didukung data, dilengkapi fakta, ditunjang latar beiakang, dan ditopang argumen yang kuat meyakinkan. Terkesan banyak yang bersifat asal-asalan atau main tembak langsung. Akibatnya, kapabilitas media massanya diragukan. Secara sosiologis, gejala demikian tentu saja mengkhawatirkan, karena salah-salah media massa lokal djpersepsikan sebagai media tidak serius dan bahkan kampungan.
Sosiologi memang tertarik untuk meneropong, apakah derajat intelektual serta latar belakang sosial komunikator komunikasi massa memengaruhi bentuk, isi, dan kualitas pesan yang disebarluaskan kepada khalayak? Jika memang ada, lantas seberapa besar? Sosiologi ingin tahu, seberapa besar publik memengaruhi media, dan seberapa besar pula media memengaruhi pubiik untuk dan dalam konteks isu-isu atau persoalan tertentu. Proses saling memengaruhi itu pun dilakukan melalui cara apa dan bagaimana?
Seperti dipaparkan seorang pakar komunikasi terkemuka dari Bandung, kehadiran media massa dalam masyarakat modern yang serba ada (ubiquitous) dan serba meliputi, memaksa para sosiolog untuk tidak bisa mengabaikan peranan media massa. Memang menarik untuk meneliti secara psikologis pengaruh media massa pada pembentukan opini dan sikap individual. Tetapi lebih menarik lagi iaiah mengkaji bagaimana media massa mengembangkan norma-norma sosial, membentuk interaksi sosial, melakukan kontrol sosial, dan menimbulkan perubahan sosial.
            Sosiologi komunikasi massa berusaha menelaah hubungan timbalbalik antara media massa dan masyarakat. Orang awam bertanya dapatkah media massa meningkatkan taraf kejahatan dan kekerasan, meruntuhkan tatanan moral, memorakporandakan budaya tradisional, atau mengantarkan masyarakat pada masyarakat adil dan makmur. Ilmuwan benanya sejauh mana proses dan dinamka sosial dipengaruhi media massa, sejauh mana pula proses sosial memengaruhi mekanisme kerja media massa (Rakhmat dalam Wright, 1985: xii-xiii).
Dilihat dari perspektif logos, sebagian media massa kita, termasuk media massa papan atas (mainstream) sering dianggap bersikap asosial. Untuk membuktikannya, gunakanlah indikator paling sederhana dengan menghitung berapa banyak narasumber berita pada halaman muka yang dikutip media selama tiga hari berturut-turut. Setelah dijumlahkan, lalu coba klasifikasikan, berapa banyak narasumber arus atas bersifat resmi (formal), berapa banyak pula narasumber arus bawah bersifat tidak resmi (informal). Arus atas, sebut saja mulai dari tingkat camat sampai dengan tingkat menteri. Arus bawah, mulai dari orang-orang pinggiran seperti pemulung dan pedagang kecil sampai dengan aparat dan kepala desa atau lurah. Hasilnya, dipastikan jumlah narasumber arus atas jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah narasumber arus bawah.
Apa maknanya? Secara sosiologis, media massa kita kurang banyak menggali realitas dan problematika sosial dari bawah, atau dari lokasi-lokasi peristiwa yang sering sulit dijangkau sarana transportasi modern. Orientasi media lebih bersifat vertikal daripada horizontal dan diagonal. Dalam bahasa awam, titik masalahnya lebih banyak terjadi kampung di gunung-gunung dan kawasan pantai, di kawasan kumuh yang kotor dan berbau. Dalam bahasa sosiologi, mereka berada pada lapisan terbawah piramida atau stratifikasi sosial. Dalam bahasa politik, mereka sama sekali tidak memiliki posisi tawarmenawar (bargaining position) dengan para elite lokal. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tidak berdaya secara sosial ekonomi. Mereka itulah yang oleh penyanyi balada Iwan Fals dijuluki sebagai orang-orang pinggiran. Jadi, untuk apa diangkat dan diagendakan oleh media?


DAYA TARIK KOMUNIKATOR DAN KEPERCAYAAN KEPADA KOMUNIKATOR
Jika memang demikian, siapa sebenamya yang hendak dibela atau diperjuangkan media massa? Sosiologi tak hanya bicara apa yang disampaikan media massa, tetapi juga dari kelompok sosial mana orang-orang yang menjadi aktor pengisi acara atau pengelolanya? Terhadap pertanyaan ini, kita sudah menemukan jawabannya, seperti juga tesis yang diajukan Wright Wright berkata, redaktur kepala memengaruhi keseluruhan isi pesan atau isi berita media. Artinya, redaktur kepala yang dalam struktur organisasi media menempati posisi atas (kalau bukan yang teratas), diasumsikan memiliki status sosial tinggi dengan derajat intelektualitas tinggi pula.
Teori dasar ilmu komunikasi menyebutkan, terdapat dua syarat panting yang hams dikuasai dengan baik oleh para komunikator media massa: aspek daya tarik komunikator (source of attractiveness), dan aspek kepercayaan kepada kornunikator (source of credibility). Aspek yang disebut pertama, lebih banyak bersifat tisik kasat mata. Sedangkan aspek yang disebut kedua, lebih banyak menunjuk kepada nontisik dan tidak kasat mata karena berkaitan dengan sosok kepribadian (personality) seseorang atau suatu Iembaga.
Daya Tarik Komunikator
Persoalan komunikasi tak hanya berbicara komunikasi. Persoalan komunikasi sekaligus juga menyentuh aspek-aspek sosiologi. Sosiologi, seperti dikutip Narwoko dan Suyanto (2007: 3), mempelajari perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, komunitas dan pemerinahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, bisnis. Sosiologi mempeléjari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya, serta menganaiisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotanya (Occupational Outlook Handbook, 1980-1981, US Departement of Labor 1980: 431).
Jadi, komunikator komunikasi massa, siapa pun dia, pertama-tama dibentuk oleh ikatan serta norma-norma kelompok. Ikatan dan norma-norma kelompok inilah yang akan mengantarkan dirinya untuk menyepakati apa yang dalam sosiologi disebut sebagai kompromi dan harmoni. Artinya, ia tidaklah mungkin untuk bisa keluar dari dalam pagar ikatan serta normanorma kelompok inti. Itulah keluarga dan masyarakat atau ikatan-ikatan komunitas di sekitarnya.
Dengan paparan itu kita ingin menegaskan, betapapun teori komunikasi mengajarkan seorang komunikator harus memiliki daya tarik secara fisik, dia tidak serta-merta dapat melepaskan diri dari kaidah, norma-norma, atau ikatan kelompok. Justru daya tarik itu selayaknya dibangun di atas landasan kaidah dan norma-norma kelompok agar kelak tak melahirkan friksi dan konflik. Dalam realitas film atau dramaturgi, daya tarik fisik berhubungan dengan masalah postur tubuh, penampilan, aksesori, pakaian dan perhiasan yang digunakan, serta perangkat dekorasi atau tata panggung. Semuanya diberi sentuhan kreativitas dan polesan seni peran agar seluruh komponen tampil lebih menarik serta menjanjikan.
Apakah media massa juga tunduk kepada kaidah dan norma-norma itu? Tidak terkecuali. Lihatlah industri televisi dewasa ini. Seluruh acara dikemas melalui pendekatan tata suara, tata pencahayaan, dan tata panggung sangat menarik, dan bahkan sebagian masuk dalam kategori glamourisme habis-habisan. Sosiologi memang melihat, industri televisi tidak hanya hidup dalam dunia realitas aktual (nyata). Industri televisi juga hidup dalam dunia realitas Virtual yang sangat artifisial (buatan). Dengan logika ini, siapa pun komunikator komunikasi massa, jika ingin meraih sukses tidak ada pilihan lain kecuali masuk dalam realitas itu berikut aneka tuntutan serta konsekuensi yang menyertainya. Jika tidak, ibarat sebuah pertunjukan, siapsiap saja turun dari panggung dan disoraki massa penonton. Sandal jepit pun dipastikan ikut beterbangan!
Kepercayaan kepada Komunikator
Kepercayaan kepada komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan daya perubahan sikap, serta kepercayaan yang kecil akan mengurangi daya perubahan yang menyenangkan. Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang d‘iterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Juga pada umumnya diakui bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai daya pengaruh lebih besar apabila komunikator dianggap sebagai seorang ahli (Effendy, 1993: 43-44).
Kita perlu mengingatkan lagi, komunikator berkonotasi jamak. Bisa individual, bisa juga institusional. Pada yang disebut pertama, ia bisa bermakna tunggal, perorangan, individu. Dalam aktivitas sosial sehari-hari, seseorang bisa memainkan dirinya sebagai komunikator inividual. Ia tidak membawa aspirasi dan kepentingan lain kecuali aspirasi dan kepentingan dirinya. J adi, ia pun tidak akan menerima konsekuensi atau bahkan sanksi kelembagaan seandainya pesan-pesan yang dia komunikasikan berdampak negatif pada khalayak dan lingkungannya. Pada yang disebut kedua, tidak demikian halnya dengan komunikator komunikasi massa. Konotasi dan maknanya tidak tunggal dan individual tetapi justru kolektif dan institusional. Para ahli komunikasi menegaskan, komunikator komunikasi massa bersifat melembaga.
Apa konsekuensinya? Siapa pun dan pada leVel mana pun komunikator komunikasi massa, harus memiliki setidaknya dua modal pokok: ahli di bidangnya, dan dapat dipercaya. Keahlian apa pun bisa diperoleh melalui pendidikan, tempaan pengalaman, dan pelatihan yang terus-menerus. Jika para komunikator media massa sudah merasa tidak perlu lagi mengikuti pendidikan, pelatihan, atau menempa pengalaman di lapangan, mereka sedang menggali kubumya sendiri. Komunikator media massa adalah orangorang yang mesti tunduk kepada {ilosofi dan visi misi pembelajaran seumur hidup (long life education). Jika tidak, maka keahlian yang dimilikinya akan tumpul dan tertinggal. Kita tahu, “ilmu dan teknologi berkembang amat pesat, dan bahkan kini tingkat perkembangannya tidak lagi dihitung dengan faktor pembilang dekade atau tahun, tetapi sudah ke faktor pembilang bulan dan pekan! Sebagai contoh, lihat saja teknologi dalam industri telepon genggam, komputer, laptop, dan kamera digital.
Secara sosiologis, seorang ahli tidak otomatis merupakan sosok yang dipercaya, disegani, dihormati, bahkan dimuliakan. Derajat kepercayaan kepada komunikator datang dari khalayak komunikan. Sifatnya bukan sebab melainkan akibat. Jadi bukan sesuatu yang otomatis keluar dari dalam diri komunikator. Karena merupakan akibat, maka derajat kepercayaan merupakan hasil keja persepsi dan interaksi yang tidak berlangsung satu kali.
Ada proses terus-menerus yang tak mengenal henti. Dalam ilustrasi yang lebih konkret, media massa tak berumur sehari kemudian meraih prestasi dan apresiasi dari publik.
Kepercayaan khalayak komunikan kepada komunikator hanya mungkjn diberikan apabila komunikator senantiasa menjaga kredibilitas dan integritas dirinya sebagai sosok intelektual dan profesional yang terhormat. Ia tidak tergoda dengan berbagai macam bujuk-rayu negatif yang hanya akan membawa dirinya ke dalam penurunan derajat bahkan penistaan secara etika profesional dan sosial. Ambil saja contoh di dunia parlemen, meskipun mungkin contoh ini tak berhubungan sama sekali. Sudah berapa banyak anggota DPR kita yang dijadikan tersangka terdakwa terpidana dan masuk penjara? Bukankah semula mereka adalah orang-orang terhormat dengan derajat kepercayaan dari masyarakat sangat tinggi? J adi, sosiologi kepercayaan selayaknya dijadikan rujukan utama oleh para komunikator komunikasi massa di mana pun, baik secara individual maupun secara institusional.
Dalam redaksi yang berbeda, para komunikator media massa perlu senantiasa membangun kepercayaan sosial (social trust) secara terencana dan sistemau's agar reputasi dan kredibilitas dirinya tetap tinggi di mata publik. Merujuk kepada orientasi bisnis, social trust ini juga sangat diperlukan sebagai sarana peningkatan kuann'tas dan kualitas transaksional media dengan kaum kapital dalam bentuk kontrak pemuatan atau penayangan iklan. Tanpa social trust yang tinggi dan konstan, tidak fluktuatif, media massa lambat atau masuk cepat akan terperosok ke dalam kondisi marginal. Terpinggirkan. Tidak keliru jika kemudian sebagian pengamat menyatakan, bisnis media pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan. Satu hal yang harus dicatat, kepercayaan bergantung kepada persepsi dan realitas subjekif se'seorang atau sekelompok orang. Ada saatnya naik, ada pula saatnya turun.

SOSIOLOGI PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Pakar komunikasi terkemuka Wilbur Schramm, menyebutkan terdapat empat kondisi sukses dalam komunikasi (the four condition of success in communication) yang perlu diperhatikan oleh siapa pun yang hendak berkomunikasi dengan baik. Keempat kondisi itu ialah: (1) pesan dirancang secara menarik; (2) pesan menggunakan simbol yang sama; (3) pesan membangkitkan kebutuhan khalayak; dan (4) pesan memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan. Sosiologi pesan, pada intinya mengingatkan kita untuk jangan sekali-kali bersikap asosial, apalagi amoral, dalam mempersiapkan, merancang, dan mereproduksi pesan agar tersebar secara simultan dan masif.
Pesan Dirancang Menarik
Para ahli psikologi, banyak melakukan penelitian tentang jenis-jenis pesan seperti apakah yang mudah mendapat respons menggembirakan dari khalayak komunikan. Sharp dan McClung (1966), juga Baker (1965) menunjukkan bahwa organisasi pesan yang lebih baik meningkatkan kredibilitas. Pearce dan Brommel (1972), juga Pearce dan Conklin (1971) membuktikan cara pengaruh bicara kepada kredibilitas. Mereka menemukan, misalnya, bahwa orang yang berbicara dengan g'aya percakapan cenderung dipandang lebih dapat dipercaya tetapi kurang dinamis. Persepsi tentang keahlian ternyata tidak dipengaruhi oleh cara penyampaian. Selain peIaku persepsi dan topik yang dibahas, faktor situasi juga memengaruhi kredibilitas. Pembicara pada media massa memiliki kredibilitas lebih tinggi dibandingkan dengan pembicara pada pertemuan tingkat RT (Rakhmat, 1993: 259-260).
Merancang pesan secara menarik, kata ahli ilmu jiwa HA Overstreet, dapat dilakukan dengan dua cara: pengorganisasian pesan (message organization), dan pengaturan pesan (messag'e arrangement). Let your speech march, katanya. Pengorganisasian pesan bisa menggunakan enam pendekatan: deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, dan topikal. Sedangkan pengaturan pesan bisa dilakukan dengan memperhatikan cara berpikir khalayak.
Deduktif, berarti pesan disusun dengan cara mendahulukan kesimpulan disusul kemudian dengan penjelasan dan uraian. Induktlf, berarti pesan disusun dengan cara menguraikan terlebih dahulu latar belakang dan penjelasan-penjelasan untuk kemudian diakhiri dengan kesimpulan. Kronologis, berarti pesan disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan peristiwa logis, berarti pesan disusun berdasarkan hubungan sebab-akibat. Spasial, berarti pesan diusun berdasarkan urutan dimenSi tempat atau ruangan.
Topikal, berarti pesan disusun berdasarkan penetapan topik atau pokok-pokok bahasan tertentu.
Pesan Menggunakan Simbol yang Sama
Merancang pesan secara menarik, dapat dipastikan akan menemui kegagalan jika pesan itu tidak mengunakan simbol yang sama. Simbol yang sama, berarti menunjuk kepada bahasa yang sama sekaligus mengandung pengertian dan pemahaman yang sama bagi komunikator dan khalayak komunikan. Artinya, hitam kata komunikator, harus juga dipahami hitam oleh komunikan. Tidak boleh hitam menurut komunikator, tetapi kemudian diartikan menjadi putih atau merah dalam pandangan dan keyakinan khalayak komunikan. Simbol, kata para ahli komunikasi, bisa berbentuk kata benda, binatang, bisa apa saja, sejauh dipahami serta disepakati maknanya oleh suatu kelompok atau suatu komunitas sosial.
Secara sosiologis, kegagalan komunikasi kerap terjadi akibat kurangnya penggunaan simbol yang sama oleh komunikator dan komunikan. Bisa juga terjadi, komunikator terlalu memaksakan diri dengan simbol~simbol yang dikuasainya tetapi tidak memperhatikan kesenjangan sosial (social gap) di antara mereka. Orang kaya dari kota bicara 'dengan bahasa asing, orang miskin di kampung bicara dengan bahasa lokal, dipastikan tidak mendapat tidak temu. Kedua belah pihak hanya bisa melahirkan monolog dan lupa dengan betapa pentingnya dialog.
Disadari atau tidak, di akui atau tidak, industri televisi kita, paling tidak sebagian, kini mulai hanyut dengan kecenderungan negatif seperti itu. Lihat saja berbagai tayangan sinetron, nyaris semuanya mengunakan bahasa serta dialek Betawi. Seolah-olah, bahasa dan dialek Betawi sudah menjadi “bahasa nasional sinetron” dan seolah~olah semua provinsi atau kota di Indonesia, menggunakan bahasa dan dialek Betawi dalam komunikasi mereka sehari~ hari. Menurut sosiologi, 'itulah yang disebut sikap asosial dan bahkan sikap amoral industri televisi!
Pesan Membangkitkan Kebutuhan Khalayak
Ungkapan know your audience (kenali siapa khalayakmu), sudah menjadi kata kunci sehari-hari para mahasiswa komunikasi dalam diskusi-diskusi mereka di kampus. Ungkapan ini menunjukkan hubungan sosiologis antara komunikator pada satu sisi, dan khalayak komunikan pada sisi yang lain. Artinya, komunikator harus berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan khalayak, dan bukan sebaliknya komunikan berorientasi kepada keinginan atau obsesi komunikator. Penguasan aspek-aspek sosiologis khalayak menjadi sangat penting bagi komunikator. Dalam industri media massa, variabel sosiologis ini bahkan dijadikan salah satu rujukan utama ketika hendak menentukan siapa profil pembaca, pendengar, atau pemirsa mereka.
Dalam logika psikologi dan sosiologi pesan, orang setiap hari menerima dan merespons ribuan pesan. Tidak semua pesan yang diterima dan direspons itu menarik, atau penting, atau kedua-duanya menarik dan panting. Cukup banyak juga pesan informasi yang tidak penting, tidak menarik, dan sifatnya remeh-temeh. Tetapi orang'telanjur mengonsumsinya pula karena berbagai alasan, atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Fenomena ini misalnya tampak pada banyaknya tayangan acara infotainment (informasi dan hiburan) di televisi-televisi komersial kita. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang yang setiap hari tidak mengonsumsi, dalam arti tidak membaca, tidak mendengar, dan tidak melihat informasi, juga karena berbagai alasan. Sebagian besar dari mereka, terjebak ke dalam lilitan kemiskinan dan keterbelakangan sosial ekonomi yang tak berkesudahan.
Secara ideologis, pesan apa pun yang disebarluaskan media komunikasi massa, selayaknya mencerahkan, inspiratif, dan motivatif. Tetapi secara bisnis, apa yang seharusnya dilakukan itu (das Sollen), kerap tidak bisa dilakukan mengingat muatan kepentingan bisnis lebih dominan dibandingkan muatan kepentingan ideologis (das Sein). Jadi faktanya, media massa lebih tertarik menayangkan informasi layak-jual daripada informasi layak-sosial. Informasi layak-jual, konotasinya komersial. Sedangkan informasi layak sosial, konotasinya ideal, sesuatu yang sulit dijangkau karena menyangkut kepentingan kebangsaan.
Timbul pertanyaan kritis, pesan yang mampu membangkitkan ke~ butuhan khalayak mana yang mesti diperjuangkan? Idealnya tentu khalayak mayoritas, khalayak paling banyak menurut perhitungan populasi penduduk Tetapi dalam industri televisi, khalayak mayoritas justm kerap dikorbankan. Dengan merujuk kepada logika bisnis kelompok minoritas, mereka meng utamakan tayangan acara yang kurang atau sama sekali tak berkualitas. Inilah yang disebut realitas sosiologis dengan motif bisnis dominan. Inilah pula yang disebut distorsi komunikasi. '
Pesan Memberikan Jalan Keluar atau Alternatif Tindakan
Secara normatif kita bisa mengatakan, pesan komunikasi massa yang baik ialah pesan yang memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan yang perlu ditempuh oleh khalayak komunikan. Secara akademis, terhadap pernyataan ini memang muncul dua pandangan. Pandangan pertama, khalayak media massa bersifat anonim, heterogen, dan tersebar. Karena sifatnya yang demikian, maka memberikan alternatif tindakan atau jalan keluar bagi khalayak, merupakan sesuatu yang positif. Apakah khalayak menerima atau menolak saran tersebut, itu mempakan perkara lain. Pokok terpenting, berilah saran dan jalan keluar. Setelah itu selesai sudah.
Pandangan kedua menyatakan, khalayak media massa memang benar anonim, heterogen, dan tersebar. Tetapi mereka khalayak yang kritis, dan sebagian berkepala batu. Mereka tidak akan dengan mudah menerima begitu saja saran-pandangan dan alternatif tindakan yang diajukan pihak media massa. Mereka selayaknya dikategorikan ke dalam kelompok khalayak cerdas yang mampu berpikir mandiri. Jadi, biarlah mereka yang mengambil keputusan sendiri tanpa harus dibantu oleh pihak media massa: Dengan logika ini, lantas untuk apa memberikan saran, pandangan, atau alternatif pilihan tindakan kepada khalayak? Jika dipaksakan, maka media dikesankan superior: seolah tahu banyak atau tahu segala-galanya, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Kedua pandangan tersebut, memiliki dasar argumen serta kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kita tidak bermaksud untuk menunjukkan mana yang dianggap lebih baik dan pantas untuk dipilih, tetapi ingin memberikan gambaran, setiap pilihan pasti melahirkan konsekuensi tertentu. Tugas kita hanya mengingatkan mengenai perlunya kesadaran untuk memikul konsekuensi-konsekuensi itu. Inilah apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai pilihan bebas yang dilakukan secara sadar dalam diskursus sosial mang terbuka (public sphere social discourse).
Kita sudah menguraikan cukup panjang Iebar mengenai penorganisasian pesan dalam perspektif komunikasi massa. Namun sebegitu jauh, kita belum menguraikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan pesan. Padahal pengaturan pesan pun sangat penting dalam sosiologi komunikasi massa. Menurut Raymond S. Ross dalam Persuasion: Communication and Interpersonal Relations (1974: 185), kita bisa merujuk kepada teori Hollingsworth, teori Raymond S. Ross, atau teori Alan Monroe untuk menjelaskan secara terpen'nci tentang pengaturan pesan dalam komunikasi massa.

PENGATURAN PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Teori Hollingsworth
Menurut Hollingsworth dalam Psychology of The Audience, pesan yang baik harus memenuhi lima kategori agar dapat memengaruhi khalayak: perhatian, minat, kesan, keyakinan, dan pengarahan. Melalui kelima jurus psikologi komunikasinya itu, Hollingsworth tidak menjamin persoalan yang muncul akan terpecahkan dengan sendirinya. Hollingsworth hanya memberikan pilihan, karena diakuinya pula terdapat teori dari pakar yang lain yang dapat menjelaskan persoalan yang sama. Buku ini juga tidak berpretensi untuk melebihkan teori yang satu dan mengurangkan teori yang lain. Biarlah pembaca yang budiman yang mempertimbangkan dan memutuskannya.
Perhatian. Agar efektif, kata Hollingsworth, pesan-pesan komunikasi massa harus dapat membangkitkan perhatian khalayak. Perhatian menunjuk kepada wilayah dan titik tekan secara psikologis. Jadi perhatian belum menukik kepada masalah pokok atau substansi pesan yang sesungguhnya. Karena barn sebatas wilayah psiko1ogis, maka yang disentuh adalah dimensi afektif khalayak. Caranya ialah dengan memberikan pilihan daya tarik penyajian atau kemasan pesan.
Minati J ika perhatian hanya dimaksudkan untuk mengusik, atau ibarat membangunkan orang yang sedang mengantuk, maka minat justru diarahkan pada suatu tindakan yang konkret dan spesifik. Contoh, kata-kata: minat membaca, minat menonton, minat membeli; semuanya bersifat konkret dan Spesiflk. Semua orang bisa memahami dan menerimanya dengan baik. Tugas media massa, ialah menumbuhkan minat khalayak, paling tidak untuk terus selalu mengikuti perkembangan situasi serta peristiwa dun menyerap lebih banyak informasi tentang lingkungan sosialnya.
Kesan. Di balik arus deras informasi yang diberikan kepada khalayak komunikan, niscaya muncul kesan. Sebagai contoh, banyaknya pemberitaan media massa tentang daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah dalam pemilu legislalif 9 April 2009, telah melahirkan kesan negatif tentang kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beralasan jika kemudian muncul banyak gugatan supaya seluruh anggota dan ketua KPU diganti. Kesan, sesuai dengan namanya, bisa berpijak kepada fakta, tetapi bisa juga bersandar kepada persepsi dan asumsi-asumsi. Kesan positif harus lebih menonjol daripada kesan negatif. Jika yang tteadi sebaliknya, maka strategi sosiologi komunikasi massa kita patut ditinjau kembali. Pasti ada sesuatu yang keliru atau salah.
Keyakinan. Jika kesan positif sudah ditebar dan tertanam kuat di benak khalayak, maka khalayak perlu diyakinkan mengenai apa yang akan dilakukannya itu memang sudah tepat dan benar. Artinya tidak perlu lagi muncul keraguan apa pun. Segala sesuatunya sudah dalam titik pusat tujuan dan jangkauan: in focus. Keyakinan antara lain diperoleh dengan cara memberikan argumentasi-argumentasi logis, teoretis, dan empiris. Tentu saja, data dan fakta akurat serta lengkap sangat diperlukan. Sebagai catatan, data dan fakta itu haruslah bunyi (informatif). '
Pengarahan. Akhirnya, khalayak diberi sentuhan arahan secara spesiflk dan akurat mengenai waktu, sifat, tempat, cara, dan aba-aba kapan tindakan itu diambil serta pada saat apa yang dianggap paling tepat. Pengarahan, mendorong khalayak untuk tidak membuang-buang waktu, mengambil keputusan secara cepat dan tepat, serta membangkitkan rasa percaya diri secara fungsional dan proporsional. Bukankah khalayak kerap diasumsikan bekepala batu?
Teori Raymond 5. Ross
Teori Raymond S. Ross, dikenal dengan rumus atau teori ANPORA sebagai singkatan dari attention (perhatian), need (kebutuhan), plan (rencana), objection (keberatan), reinforcement (peneguhan), dan action (tindakan). Rumus ini paling lengkap dibandingkan dengan yang lain sekaligus mudah dipahami makna dan arahnya. Rumus ini berlaku bagi penyampaian pesan secara sistematis dengan volume lebih banyak atau lebih lama.
Perhatian. Sama seperti teori Hollingsworth, pada fase ini khalayak dibangkitkan perhatiannya agar siap menerima serangkaian pesan dengan volume cukup banyak dari pihak komunikator. Inilah saat pemanasan bagi khalayak agar tidak kaget dan benar-benar siap menerima serta menyerap pesan yang cukup rumit dan abstrak. Orang yang tidak menaruh perhatian, atau orang yang tidak memusatkan perhatian, hanya akan mendapatkan informasi nihil (zero information). Faktor ini pula yang menyebabkan, mengapa secara sosiologis cukup banyak tayangan acara televisi yang terkesan glamor, mewah, gemerlap. Tetapi kualitas begitu, justru kerap mengundang persoalan.
Kebutuhan. Jika orang sudah memusatkan perhatian, maka tahap berikutnya ialah memberikan kepadanya apa-apa yang dibutuhkan. Ibarat orang sudah masuk restoran siap saji, ia harus segera ditawari daftar menu. Ia tinggal menyebutkan kebutuhan dan petugas harus segera memenuhinya dalam waktu sesingkat mungkin. Apa pun pesan yang disampaikan kepada khalayak, harus dipastikan semuanya sesuai dengan kebutuhan. Jika tidak, daftar kebutuhan akan berubah menjadi daftar kemubaziran.
Rencana. J ika kebutuhan sudah tersedia, maka perlu dijelaskan rencana apa saja yang akan dilakukan ke depan. Berbagai hal pokok yang berkaitan dengan rencana diingatkan dan dibahas secara kontekstual dan visioner. Pastikan rencana yang ditetapkan dapat dikerjakan secara terukur, tepat, dan akurat dengan tingkat efisiensi tinggi. Kata pakar manajemen, rencana yang baik dan operasional adalah setengah keberhasilan. Setengahnya lagi nanti pada saat pelaksanaan di lapangan. Sering kita mendengar nasihat, bila dengan rencana saja masih terjadi kekurangan dan kesalahan, apalagi jika tanpa rencana. Resepnya, jangan pernah sepelekan rencana jika tak mau menuai kegagalan.
Keberatan. Dalam proses berpikir dialektis, tak setiap hal btealan linear atau hanya sebatas garis lums. Suatu persoalan kerap hidup dalam nalurinya sendiri: rumit, pelik, melingkar-lingkar, sarat dengan ketidakjelasan dan kegelapan. Jadi, segala kemungkinan bisa terjadi, apakah positif atau negatif. Jika kita siap dengan dukungan atas suatu hal, selayaknnya kita pun siap dengan penolakan, betapapun pahitnya. Pesan yang baik, adalah pesan yang memungkinkan lahirnya keberatan tetapi sekaligus pula memberikan peluang persetujuan. Inilah yang disebut dinamisme kritis. Dalam bahasa sosiologi, setiap ada konflik, akan lahir sebuah harmoni, atau paling tidak kompromi. Hanya dengan demikian, suatu orde sosial bisa terus berlanjut, dan peradaban bisa dipertahankan.
Peneguhan. Orang yang menerima keberatan, penolakan, dampaknegatif, sesuatu yang merugikan atau mengerikan, sesungguhnya sedang menerima rentetan pukulan psikologis. Mentalnya sedang dihancurkan. Egonya sedang diruntuhkan. Hanya orang dengan kapabilitas dan kredi~ bilitas tinggi saja yang bakal lolos dan lulus dari ujian kejiwaan semacam ini. Agar tersembuhkan, peneguhan atau penegasan kembali, perlu dinyatakan dalam pesan yang tegas dan jelas. Pesan dengan sarat gagasan atau perubahan ke arah lebih baik, perlu ditunjukkan dj sini. Hasilnya pasti: khalayak akan meyakini pesan yang diterimanya adalah berkah dan bukan musibah!
Tindakan. Perlu diingat, khalayak media massa sering berada dalam situasi serba ketergesaan. Ruang untuk bergerak sangat terbatas, ruang untuk berpikir pun sangat terbatas. Karena aneka intervensi eksternal bertubi-tubi seperti bunyi klakson mobil, hiruk-pikuk lalu lintas, atau cuaca hujan yang sangat tidak bersahabat, kita kerap merasa sesak-nafas. Apakah arif, jika dalam situasi serba darurat seperti ini, media massa tidak mengambil inisiatif alternatif tindakan yang hams dilakukan khalayak komunikan? Keputusan harus diambil, tindakan harus djalankan. .
Teori Alan H. Monroe
Teori Alan Monroe termasuk yang paling populer karena sering digunakan oleh semua kalangan intelektual termasuk para jurnalis media massa. Teori Alan Monroe dikenal dengan sebutan ANSVA sebagai singkatan dari attention (perhatian), need (kebutuhan), satisfaction (pemuasan), visualization (penggambaran), dan action (tindakan). Teori Monroe sangat disukai karena sederhana, sistematis, logis, representatif, dan terasa begitu akademis bagi siapa pun yang menggunakanya. Bagi para perencana media, teori Monroe dijadikan rujukan dasar dalam proses pembuatan program acara dengan efek dramatis tinggi.
Perhatian. Dapatkah kita mengajak khalayak melakukan sesuatu padahal kita tidak membangkitkan perhatian mereka terlebih dahulu? Jelas tidak. Perhatian itu sangat panting dan bahkan seSuai dengan naluri serta sifat-sifat dasar manusia. Dalam ilmu retorika dikatakan, sentuhlah pendengarmu pertama-tama dengan perhatian yang menarik. Setelah itu barulah isi kepalanya dengan pengetahuan yang bermanfaat. Dalam bahasa remaja, siapa sih yang tidak mau atau tidak senang diberi perhatian? Hanya tentu saja, perhatian apa pun, selayaknya bersifat kontekstual dan fungsional.
Kebutuhan. Jika khalayak sudah dalam posisi siap menerima pesan terburuk sekali pun, bukankah tidak ada cara terbaik kecuali segera memenuhi kebutuhan yang dicarinya? Jadi, sajikan kebutuhan, dan penuhi kebutuhan itu dengan serangkaian pesan aktual serta akurat dengan tingkat objektivitas sangat tinggi. J ika khalayak butuh jambu, maka berilah jambu yang manis. Jika khalayak butuh nenas, maka berilah nenas yang matang. Pemenuhan kebutuhan yang ditunda-tunda, hanya akan melahirkan aneka respons negatif dari khalayak. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan yang dilakukan segera atau seketika, justru akan memunculkan sikap respek dan ungkapan sanjungan yang mengharukan.
Pemuasan. Jika pesan yang dirancang sudah diasumsikan memenuhi kebutuhan khalayak, fase berikutnya ialah berusalia untuk memberi kepuasan. Sebagai ilustrasi, orang yang lapar diberi nasi goreng lezat pasti akan berterima kasih. Tetapi ia akan serta-merta melancarkan protes bila nasi goreng lezat yang diterimanya hanya dua-tiga sendok saja. Mengapa? Karena perutnya sedang lapar, tiga sendok nasi tidak mungkin akan dapat memuaskan kebutuhan perutnya. Ia akan terpuaskan kebutuhannya apabila diberi satu piring nasi goreng. Pesan apa pun yang tidak memuaskan kebutuhan khalayak, niscaya hanya akan melahirkan kekecewaan publik sekaligus akhirnya bisa meruntuhkan kredibilitas media.
Penggambaran. Penggambaran atau visualisasi, sangat diperlukan dalam strategi rancangan pembuatan dan penyebaran pesan. Jika aspek pemuasan lebih banyak menunjuk kepada substansi pesan, maka penggambaran atau visualisasi lebih menekankan kepada pengemasan pesan. Pesan apa pun harus dikemas dengan baik. Lebih dari itu, pesan perlu diberi sentuhan ilustrasi, perbandingan, contoh-contoh, deskripsi, dan bahkan kalau perlu narasi. Psikologi komunikasi mengingatkan, tak ada bahasa yang paling tepat bagi khalayak kecuali contoh-contoh. Dengan bahasa contoh, khalayak akan dapat lebih cepat dan lebih mudah dalam menyerap serangkaian pesan. Dengan visualiasi yang tepat, khalayak akan lebih cepat dipahamkan sekaligus diyakinkan mengenai suatu gagasan atau alternatif tindakan.
Tindakan. Apabila khalayak sudah teryakinkan atas suatu atau rentetan pesan yang diterimanya, tugas komunikator tinggal mendorong agar khalayak segeramengambil tindakan yang diperlukan. Khalayak tidak boleh dibiarkan hanyut dalam keraguan atau bahkan keputusasaan. Khalayak harus diyakinkan, dimotivasi, untuk akhirnya diminta melakukan eksekusi. Artinya, khalayak melakukan suatu tindakan yang diasumsikan sangat bermanfaat bagi dirinya dan sekaligus bagi lingkungan sosialnya sesegera mungkin. J adi, khalayak perlu didorong untuk selalu mengambil alternatif solusi, dan selalu siap pula dengan konsekuensi yang menyertainya kemudian. Inilah yang disebut proses pembelajaran secara partisipatif.
PENELITIAN ISI PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Mengapa kita harus meneliti isi pesan media massa? Sedikitnya terdapat tiga macam alasan. Pertama, kita memang sering diterpa komunikasi massa, tetapi pengalaman personal ini sangat terbatas dan selektif sifatnya. Misalnya, tidak mungkin bagi kita untuk memperhatikan semua acara televisi. Kedua, ldta cenderung selalu menggeneralisasikan pengalaman komunikasi kita yang khas. Misalnya saja, jika suatu saat kita menyaksikan beberapa acara televisi yang menggambarkan kekerasan, maka kita cenderung mengasumsikan bahwa kebanyakan isi pesan televisi mencerminkan kekerasan. Ketiga, dalam terpaan kita sehari-hari pada komunikasi, kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan secara sosiologis (Wright, 1985: 136).
Penelitian isi pesan media massa dilakukan melalui beberapa metode dan pendekatan. Satu di antaranya melalui analisis isi. Analisis isi dalam buku ini didefmisikan sebagai teknik penelitian untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi massa yang objektif, sistematik, dan relevan secara sosiologis. Objektivitas menuntut agar kategori analisis didefinisikan secara jelas dan operasional sehingga para peneliti lain dapat mengikutinya dengan tingkat reliabilitas cukup tinggi Analisis yang sistematik menghendakj semua isi (content) yang relevan, diteliti berdasarkan kategori yang bermakna (Wright, 1985: 137).
Dari sejumlah penelitian mengenai isi pesan media massa televisi di Amerika Serikat, kita dapat memperoleh gambaran mengenai fenomena sosiologi komunikasi massa, antara lain tentang tokoh-tokoh idola dalam biografx, posisi dan peran gender, posisi dan peran sosial, representasi kelompok usia dalam cen'ta, dan pencitraan orang-bang kulit putih dan orangorang kulit hitam. Kita lalu merangkumnya secara sekilas di sini dari apa yang sudah dikumpulkan dan dituliskan Charles R. Wright (1985: 136-169):
Tokoh Orang Ternama dalam Biografi
Leo Lowenthal dalam Biografies in Popular Magazines, telah menganalisis sampel sistematis mengenai semua biografi orang ternama dalam dua majalah populer Amerika, yakni Colliers dan Saturday Evening Post, selama empat dasawarsa pertama abad 20. Kecenderungan tertentu muncul selama rentang waktu 4O tahun. Hasilnya menunjukkan, idola yang terpilih untuk biografl pada awal dasawarsa, ternyata sangat berbeda dengan yang terpilih untuk biografi di akhir dasawarsa. Idola produksi dalam ruang lingkup politik, bisnis, dan profesi, telah mendominasi periode awal. Sedangkan idola konsumsi, terutama dalam bidang hiburan, telah menonjol dalam periode akhir dasawarsa.
Lebih dari itu, Lowenthal telah mencatat pergeseran perhatian dari biografl artis dalam bidang seni klasik atau seni serius (sastra, seni lukis, tari, musik klasik, teater) ke arah pahlawan seni populer. Sebagai contoh, 77 persen para artis yang telah tertulis dalam biograii sebelum Perang’ Dunia I adalah orang-orang dalam bidang seni serius. Selarna tahun 1920-an proporsi tersebut menurun sampai 38 persen. Setelah 1940-1941, kurang dari satu (1) dalam 10 biografi tentang artis berkenaan dengan artis yang serius.
Realitas dalam Drama Televisi
Seperti dilaporkan Dallas Smythe dalam Three Years of New York Television, Dada 1953 telah dilakukan analisis isi sistematis mengenai semua acara siaran televisi di Kota New York, Amer’ika Serikat, selama minggu pertama J anuari. Dianalisis 68 acara drama televisi, pertama dalam hal setting dan jenis karakter dalam dunia televisi, kemudian dalam hal karakteristik sosial clan psikologis pahlawan, penjahat dan pemeran pendukung, dan akhirnya dalam kualitas yang dikenakan pada kelompok-kelompok kerja dalam cerita itu.
Drama televisi yang diteliti selama seminggu itu pada pokoknya telah menggambarkan setting Amerika yang kontemporer tetapi khayali. Laki-laki berjumlah lebih banyak daripada kaum perempuan dalam daftar pemeran yaitu dengan perbandingan 2:1. Orang-orang sangat muda (di bawah usia 20 tahun) dan orang-orang sangat tua (di atas usia 60 tahun) kurang terwakili dalam cerita. Kedudukan pegawai kantor seperti manajer dan para profesional yang berstatus lebih tinggi, sangat ditonjolkan dengan mengorbankan pekerjaan kantor rendahan atau pekerja kasar. Pekerja bidang jasa dan rumah tangga juga ditampilkan berlebihan. Kebanyakan tokoh televisi adalah individu-individu yang patuh pada hukum, sehat, normal. Mereka kebanyakan orang kulit putih Amerika, kadang-kadang Eropa, tetapi jarang sekali orang kulit hitam.
Dalam gambaran dunia yang agak didistorsi ini, Ialu bagaimanakah para pahlawan dan penjahat muncul? Dominasi kaum pria ternyata berlanjut terus. Para pahlawan pria berjumlah lebih banyak daripada pahlawan wanita dengan perbandingan 2:1. Para penjahat pria berjumlah lebih banyak daripada penjahat wanita dengan perbandingan 4:1. Para pahlawan biasanya lebih muda dibandingkan dengan penjahatnya. Penjahat wanita rata-rata lebih tua daripada penjahat pria. Para pahlawan wanita rata-rata lebih tua daripada penjahat pria. Para pahlawan wanita rata-rata lebih muda daripada pahlawan pria.
Smythe memperkirakan bahwa dalam penggambaran ini para penjahat menyajikan ancaman generasi lebih tua. Mereka memiliki lebih banyak kekuasaan sosial daripada para pahlawannya. Selain itu, ora11g~orang kulit putih Amerika lebih beruntung daripada orang-orang asing. Secara proporsional, jumlah pahlawan orang kulit putih Amerika lebih banyak (83 persen) daripada sejumlah penjahat orang asing (69 persen). Namun, dan ini menarik, orang-orang asing yang menjadi pahlawan, cenderung lebih banyak wanita daripada pria. Sedangkan di antara para pahlawan berkebangsaan Amerika, jumlah pahlawan pria justru lebih banyak daripada pahlawan wanita dengan perbandingan 3:1.
Realitas dalam Siaran lklan Televisi
Hasil sejumlah penelitian menunjukkan, stereotip yang dikenakan kepada jenis kelamin dalam peran pekerjaan tidaklah terbatas pada acara-acara dramatis seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis isi oleh Joseph Dominisk dan Gail Rauch mengenai citra wanita dalam siaran iklan televisi di New York, Amerika Serikat, selama awal tahun 1971. Hasil penelitian yang dilaporkan Dominisk dan Ranch dalam The Image of Women in Network TV Commercials (1972), cukup menarik.
Kaum pria dalam siaran iklan televisi telah memerankan 43 macam pekerjaan, dan wanitanya hanya 18 macam pekexjaan. Lebih dari setengah jumlah wanita ini terlihat dalam peran isi rumah tangga atau ibu. Satu dari setiap tujuh orang pria terutama tergambar sebagai seorang ayah atau suami. Contohcontoh lainya dapat ditambahkan, tetapi hasil analisis isi tersebut cukup untuk menggambarkan bahwa peran minoritas tertentu tampil lebih menonjol pada televisi Amerika. Bahkan mungkin pula pada isia media massa lainnya seperti surat kabar, majalah, dan radio siaran (Wright, 1985: 157-158).
Dari serangkaian analisis isi yang dilakukan oleh para pakar terhadap media massa massa Amerika itu, terutama televisi dan majalah, kita mendapat kan beberapa catatan menarik sebagai sumber rujukan bagi penelitian tindak lanjut di Indonesia. Kita ingin merekomendasikan beberapa hal. Karena waktu penelitian dilakukan 4-5 dekade silam, maka perlu diberi catatan-catatan tertentu atas setiap petunjuk atau kesimpulan yang diperoleh. Kita misalnya bisa bertanya, jika penelitian atas kasus yang sama dilakukan tahun ini, apakah hasilnya juga akan sama, atau justru akan berbeda jauh?
Pertama, para pengelola media massa Amerika, seperti tercermin pada hasil anah’sis biografi dua majalah yang kita kutip tadi, cenderung mengalami pergeseran visi dan orientasi. Jika pada dasawarsa awal mereka menganggap pelaku seni serius sebagai tokoh, orang penting, atau pahlawan, pada dasawarsa akhir pandangan mereka telah bergeser. Tokoh pelaku seni serius tidak lagi dipahlawankan. Tokoh seni populer yang justru lebih ditonjolkan dan diasumsikan sebagai pahlawan. Kita bisa mengatakan, redaktur media massa cetak Amerika yang semula idealis ternyata telah berubah orientasinya menjadi cenderung pragmatis. Diteropong secara sosi010gis, hal ini mengiSyaratkan telah terjadi perubahan pandangan serta norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Amerika.
Kedua, pada bangsa Amerika yang kerap dilukiskan sudah sangat modern, maju, dan posisi serta fungsi individu-individu mendapat tempat sangat layak dalam struktur dan relasi sosial, temyata peran sosial kaum pria masih cenderung dominan dibandingkan kaum wanita. Pandangan sosiologis mengatakan, secara kategoris pria memang lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah (out ward looking). Sementara kaurn wanita lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah (in word looking). Wanita lebih banyak memerankan fngsi domestik seperu' mengurus rumah tangga dan anak. Menarik untuk diteliti, apakah orientasi sosial budaya orang Amerika abad 21 sekarang, juga masih seperti pada empat-lima dekade silam? Juga menarik untuk diteliti, bagaimana pula kecenderungan yang terjadi pada rata-rata pria dan rata-rata wanita dewasa Indonesia? Apakah kecenderungan dominasi pria atas wanita, juga teijadi di sini, atau bahkan menjukkan kondisi yang lebih parah?
Ketiga, orang Amerika secara kategoris masih cenderung bersikap rasialis. Mereka memandang orang-orang kulit putih jauh lebih tinggi derajat individual dan sosialnya daripada orang-orang kulit hitam atau orang-orang kulit berwarna. Pandangan demikian, yang sampai dengan hari ini masih banyak penganutnya di Amerika, tentu saja sangat menyesatkan. Akan selalu muncul bentuk-bentuk kebijakan yang bersifat rasialis. Namun sebagai dampaknya, akan muncul pula berbagai bentuk perlawanan kelompok minoritas terhadap kaum mayoritas. Friksi, konflik, dan kerusuhan yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah banyak pun, akhirnya terjadi pula di Amerika dalam dua dekade terakhir. Timbul pertanyaan, apakah secara sosiologis media massa terpanggil untuk memberikan solusinya?
Selain itu, media massa televisi Amerika juga cenderung diskrimatif dalam memandang peran dan status sosial masyarakat. Orang-orang dengan status sosial tinggi dianggap memiliki peran lebih penting dan karena itu layak ditonjolkan. Sementara orang-orang dengan status sosial rendah dipandang kurang penting dan hanya ditampilkan scara sekilas. Artinya, televisi Amerika lebih berorientasi vertikal daripada horizontal. Amat masuk akal, jika kemudian televisi Amerika sangat kurang berempati pada berbagai pemberitaan bencana dan tragedi kemanusiaan. Pertanyaan kritis: apakah gejala ini juga tetjadi pada media massa televisi Indonesia?
Keempat, dalam iklan, kaum pria Amerika dicitrakan lebih mendominasi banyak peran individual dan sosial. Terdapat begitu banyak variasi jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh pria Amerika. Sebaliknya, pada kaum wanitanya, variasi jenis pekerjaan dikesankan sangat terbatas. Dalam perspektif sosiologi tampak, mobilitas fisik sosial pria Amerika jauh lebih tinggi dan cenderung dominan. Menarik untuk ditelitj, apakah proporsi jumlah pengangguran pria di Amerika Iebih sedikit dibandingkan dengan wanita?
Dalam konteks Indonesia, apakah pencitraan penguasaan banyak peran sosial dan variasi jenis pekerjaan pada jenis kelamin pria dalam berbagai iklan televisi, juga terjadi demikjan marak? Jika ya, apakah perjuangan hak-hak emansipasi wanita dan ideologi gender, belum banyak menuai hasil? Jika tidak, apakah realitas iklan lebih banyak berhubungan dengan fungsi domestik kaurn wanita? Artinya, yang lebih banyak menonton televisi adalah wanita dan yang lebih banyak membelanjakan kebutuhan konsumsi rumah tangga juga wanita. Dengan premis ini, selayaknya penokohan dalam bintang-bintang iklan semestinya juga wanita. Ladang penelitian sosiologi komunikasi massa, ternyata memang demikian luas dan nyaris tak terbatas. Sayangnya, belum banyak pihak perguruan tinggi dan individu akademisi yang tertarik untuk melakukannya. Akibatnya, memang kasat mata: sedikit sekali buku yang secara khusus mengupas sosiologi komunikasi massa yang beredar di pasaran.

BAB VI
SOSIOLOGI KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

SIAPA KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA?
Dalam sosiologi, massa secara sederhana diartikan sebagai kumpulan orang dari karakteristik sosial bersifat homogen atau heterogen serta anonim yang berada dalam suatu tempat yang sama tetapi tidak selalu terikat kepada kepentingan dan tujuan yang spesifik. Sebagai contoh, ratusan pekerja pabrik Yang berdemo menuntut kenaikan upah minimum di depan gedung DPRD di suatu kota, disebut massa. Dalam konsep ini, massa dipahami ini miliki kepentingan atau tujuan yang sama: menuntut kenaikan upah. Tetapi, jika kita melihat kerumunan orang di depan pintu gerbang stadion sepak bola sesudah Pertandingan selesai, maka dapatkah kita mengatakan mereka sesungguhnya terikat kepada kepentingan atau tujuan tertentu yang bersifat Spesifik? Kita Pasti akan mengatakan tidak. Kalaupun dikatakan ndak, mereka tetap disebut massa.
Komunikasi Massa Perspektif Sosiologi
Komunikasi massa dalam perspektif sosiologi, sangat berbeda dengan pengertian komunikasi massa menurut perspektif komunikologi. Dalam bahasa sosiologi, berbicara lantang berapi-api dengan tangan terkepal ke udara dari atas panggung kampanye pemilu yang dihadiri ratusan atau ribuan orang di lapangan terbuka seperti stadion sepak bola, adalah komunikasi massa. Komunikasi massa di sini, hanya merupakan singkatan kata dari frasa atau ungkapan komunikasi dengan massa. Artinya berkomunikasi dengan orang banyak yang secara kuantitatif jumlahnya mencapai ratusan, ribuan, atau bahkan ratusan ribu.
Komunikasi massa seperti itu, dalam komunikologi disebut public speaking. Disebut public speaking, karena sesuai dengan namanya: berbicara di depan umum. Pembicara dalam public speaking disebut speaker atau orator. Orator adalah ahli pidato yang pandai memukau massa. Berbeda dengan orator yang dikesankan memiliki keahlian khusus dalam berpidato atau memukau massa, speaker mengandung pengertian netral. Rumusnya sederhana: seorang orator dengan sendirinya seorang speaker, tetapi seorang speaker belum tentu seorang orator. Dalam aktivitas public speaking seperti pada masa kampanye pemilu, masyarakat Iebih merindukan seorang orator‘ daripada seorang speaker. Biasanya, para aktivis dan pendiri partai politik lebih banyak memerankan diri sebagai seorang orator. Sedangkan para pejabat tinggi atau menteri sebagai pendukung partai pihak pemerintah yang sedang berkuasa Iebih banyak memosisikan diri sebagai speaker.
Komunikasi massa dalam perspektif sosiologi, hanya menunjuk kepada satu dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Artinya, komunikasi dengan massa terjadi di suatu tempat, sebut saja sebuah lapangan sepak bola. Juga terjadi hanya pada saat itu saja dan dengan sekumpulan orang atau massa itu saja. Seorang speaker atau orator tidak bisa berbicara dengan massa pada banyak tempat. Walaupun massanya ratusan atau ribuan, jumlahnya tetap termasuk terbatas (limited), dan bukan tak terbatas (unlimited). Karena berada dalam satu tempat dengan jumlah orarig yang terbatas, seorang speaker atau orator bersifat kasat mata: ia bisa melihat massa, ia juga bisa dilihat massa. Dengan demikian, ia bisa memengaruhi, mengendalikan, dan menggerakkan massa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat bersamaan secara serempak. Ia, dalam bahasa intelijen, disebut sebagai penggerak atau agitator massa.
Komunikasi Massa Perspektif Komunikologi
Dalam perspektif atau sudut pandang komunikologi, komunikasi massa bukanlah berbicara di atas panggung dengan ratusan atau ribuan orang di suatu tempat secara langsung. Komunikasi massa secara sederhana berarti berkomunikasi dengan menggunakan media massa. Media massa, berdasarkan bentuknya terdiri atas surat kabar, tabloid, majalah‘, radio siaran, televisi siaran, dan media on line internet. Prosesnya bukan primer atau bukan berhadapan langsung dengan khalayak komunikan. Kebalikan primer (langsung) adalah sekunder (tidak langsung). Sekunder berarti komunikasi dilakukan secara tidak langsung tatap muka serta menggunakan media bantu bantu seperti tampak pada radio dan televisi.
Kita bisa mengatakan, komunikasi massa dalam pengertian sosiologi dilakukan secara manual. Sifatnya cenderung individual. Sedangkan komunikasi massa dalam pengertian komunikologi dilaksanakan secara teknologikal. Sifatnya justru institusional. Jika khalayak komunikasi massa dalam perspektif sosiologi bersifat terbatas, komunikasi massa dalam perspektif komunikologi bersifat tak terbatas. Apabila komunikasi masa dalam sudut pandang sosiologi hanya dapat dilakukan dengan khalayak komunikan di suatu tempat, komunikasi massa dalam sudut pandang komunikologi dilakukan dengan khalayak komunikan tak terbatas pada banyak tempat. Selain itu, komunikasi massa dalam perspektif komunikologi hanya dapat dilakukan secara sekunder: tidak langsung dan hanya melalui peralatan (medium). Tak ada kegiatan komunikasi massa yang tidak meng~ gunakan media. Dalam literatur komunikasi massa, kita mengenal banyak media: media cetak, media auditif, media audiovisual, media on line internet.
Apakah komunikasi massa, atau komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti ketika seorang orator berbicara dengan ribuan orang di stadion sepak bola pada kampanye pemilu, steril dari pengaruh aspekaspek atau dimensi sosiologis? Teori sosiologi menyatakan, orang melakukan suatu perbuatan karena pengaruh kelompok di sekitarnya. Ada perilaku yang disadari dan direncanakan. Ada pula perilaku yang tidak disadari dan tak direncanakan seperti tampak pada kasus-kasus kerusuhan sepak bola di banyak tempat di Indonesia dan belahan dunia lain termasuk di Eropa.
Dalam teori komum'kasi kategori sosial (social category communication theory) dikemukakan, khalayak dari kelompok lapisan sosial yang sama, atau yang bersifat homogen, misalnya pria-remaja pelajar setingkat SMA, akan memberikan sikap dan tanggapan yang cenderung sama terhadap laporan media massa yang berkaitan erat dengan minat, perhatian, dan kepentingannya. Mereka katakanlah penggemar fanatik klub sepak bola profesional (Iiga utama) di kotanya. Ketika klub sepak bola yang didukungnya mati-matian menderita kekalahan dalam satu pertandingan penting penentuan lolos degradasi, mereka dipastikan bakal histeris, panik, dan bahkan anarkis‘. Mereka tidak bisa menerima realitas kekalahan im. Mereka hanya siap dengan satu realitas yang dikehendakinya: kemenangan‘!
Teori kategori sosial dengan jelas menunjukkan kepada kita, aspekaspek sosiologis sangat memengaruhi tanggapan, sikap, dan perilaku khalayak komunikasi massa. Apa maknanya? Para calon komunikolog, seperti juga Anda, atau bahkan para komunikolog profesional, tak ada pilihan kecuali harus menyelami sosiologi secara sungguh-sungguh (intens) jika perencanaan, penelitian, dan pelaksanaan kegiatan komunikasinya tak ingin berakhir dengan kegagalan fatal. Komunikasi tak hanya persoalan kemasan pesan atau isi pesan (content). Komunikasi mempersoalkan juga siapa bicara apa, dengan media apa, dalam situasi personal dan situasi sosial (konteks) seperti apa, agar melahirkan efek sebesar apa kepada siapa.
Khalayak Media Komunikasi Massa
Richard T. La Piere, dalam buku karyanya Theory of Social Control, berpendapat bahwa lingkungan inti seperti rumah, keluarga, gereja, dan jaringan persahabatan, lebih memengaruhi nilai-nilai, sikap dan perilaku individu daripada media massa. Orang-orang berpaling ke media untuk memperoleh apa yang mereka cari, bukan dalam kerangka menyediakan diri untuk dipengaruhi. Jumlah media begitu banyak sehingga orang-orang memiliki banyak pilihan dan tidak akan terikat oleh media tertentu saja. Selain itu, seseorang tidak akan mudah mengubah keyakinannya. Hubungan dengan media juga berjarak, dan orang-orang pada umumnya akan lebih memercayai kelompok sosial terdekatnya. Hubungan personal merupakan saringan bagi hubungan impersonal yang dilancarkan media massa. Pesan media baru akan diterima jika hal itu sesuai dengan pesan lingkungan sosial.
Media massa baru akan benar-benar berpengaruh jika sebelumnya ia berhasil menjalin kedekatan dengan khalayaknya. Pada tahun 1930-an Pendeta Coughlin menggunakan radio untuk menyampaikan khotbah bagi jemaahnya. Dalam situasi ini media radio memang sangat berpengaruli. Banyak diktator yang mencoba cara seperti ini. Pengiriman kartu ulang tahun, atau kartu ucapan selamat yang sering dikirimkan kepada atau dari para aktor atau tokoh-tokoh kartun terkenal namun tidak dikenal secara pribadi, sangat lazim dilakukan. Ini membuktikan bahwa media bisa efektiiC jika ada kedekatan personal, dan sebaliknya media memang bisa menumbuhkan kedekatan personal.
Media massa di Amerika Serikat, bahkan diarahkan untuk menyenangkan sebanyak mungkin orang. Dengan demikian mereka akan lebih mudah dibujuk. Para pengelola media dalam kenyataannya memang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan selera pasar‘ Dengan cara ini mereka bisa menekan biaya dan memaksimalkan pendapatan, misalnya dari iklan. Lebih jauh, untuk dekat dengan pasar atau sebanyak mungkin orang, media harus mengetahui nilai-nilai yang mereka anut, dan menyesuaikan diri terhadapnya. Semakin banyak mereka tahu karakter masyarakat, semakin mudah media merangkulnya. Pengabaian nilai-nilai tersebut jelas akan membuahkan malapetaka ekonomi (Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 40-41).
Kita sengaja mengutip La Piere agak panjang sekadar untuk menun~ jukkan sekaligus membuktikan tesis kita: khalayak media komunikasi massa memiliki keterikatan sosial sangat tinggi dengan lingkungannya. Khalayak media tidak seperti dilukiskan dalam teori jarum hipodermik yang selalu menerima pesan tanpa reserve dan pengaruh media begitu perkasa. Orang berhubungan dengan media karena tujuan tertentu, dan bukan karena pasrah atau sukarela dirinya siap dipengaruhi media. La Piere bahkan mengingatkan kita, orang akan lebih cenderung memercayai kelompok sosial terdekat daripada memercayai pesan media massa. Jadi, sumber rujukan utama khalayak bukanlah media, melainkan kelompok, ikatan-ikatan, dan normanorma sosial setempat.
PRINSIP UMUM PERILAKU KHALAYAK KOMUNIKASI MASSA
Pada 3 September 1919, Presiden Woodrow Wilson mulai mengendarai mobil pribadinya yang besar dan berwarna biru gelap untuk berkampanye menggalang dukungan rakyat Amerika terhadap idenya membentuk Liga Bangsa-Bangsa. Sebagian besar senator menentang ide itu, namun presiden yakin rakyat akan mendukungnya jika ia menjelaskannya secara tepat. Dalam 22 hari berikutnya ia berkeliling 17 negara bagian sejauh delapan ribu mil dan memberikan 4o kali pidato resmi. Hugh Baillie, yang meliput perjalanan presiden itu, mengenangnya 30 tahun kemudian dalam memoarnya yang berjudul High Tension: “Seandainya saja saat itu sudah ada radio dan televisi yang memungkinkannya menyampaikan pesan-pesan kepada jutaan orang sekaligus, sejarah mungkin akan berbeda. Dengan televisi, saya yakin Wilson akan meraih dukungan bagi ide pembentukan Liga BangsaaBangsa”. Pada tahun 1919, seseorang memang hanya dapat memiliki khalayak sebanyak jumlah orang yang mengerumuninya saja. Kini, media siaran memungkinkannya menyampaikan pesan kepada jutaan orang sekaligus (Rivers, Jensen, Peterson, 2003:301).
Wilson, seperti dicatat sejarah, terbukti benar. Idenya menjadi kenyataan. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dulu bernama Liga BangsaBangsa (LBB), masih berdiri kokoh sampai detik ini. Jumlah anggota PBB Tercatat mencapai 200 negara lebih. Kita bisa membayangkan, apa yang akan terjadi di planet ini seandainya tidak ada PBB. Di sini, kita tidak akan menguias sejarah, fungsi, pengaruh, dan eksistensi PBB. Cukuplah dikatakan, ide-ide besar sering berlaku dan diakui pengaruhnya setelah pencetusnya dada. Media massa, terbukti memiliki andil besar dalam soai itu.
Khalayak berbagai media, mulai dari surat kabar sampai dengan film, memiliki ciri-ciri spesifik, meskipun dalam sejumlah hal juga menunjukkan kesamaan tertentu. Pemirsa televisi misalnya, biasanya jarang menggemari buku. Sedangkan pembaca setia surat kabar biasanya bukan merupakan penggemar mm. Bahkan terhadap satu jenis media, ketertarikan khalayak berbeda-beda, bergantung pada profesi, minat, dan selera mereka, kata Rivers, Jensen, dan Peterson dalam buku karya mereka, Mass Media and Modern Society. Dari berbagai penelitian terungkap, terdapat empat prinsip umum perilaku khalayak komunikasi massa. Di sini, kita mengutip secara penuh dari Rivers dan kawan-kawan keempat prinsip umum khalayak tersebut agar tidak kehilangan makna dan konteksnya (Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 306-308):
Prinsip Semua atau Tidak Sama Sekali
Paul Lazarsfeld dan Patricia Kendall memperkenalkan prinsip semua atau tidak sama sekali. Maksudnya, seseorang yang senang dengan suatu media, biasanya akan menyenangi jenis media lain pula. Sedangkan mereka yang tidak menyukai suatu jenis media, biasanya juga tidak menyukai jenis media lainnya. Keduanya juga mencatat bahwa setiap orang merupakan khalayak dari beberapa media sekaligus. Sebagai contoh, pendengar radio biasanya senang menonton film ke bioskop. Sebaliknya meréka yang tidak pernah suka mendengarkan radio juga jarang ke bioskop.
Dari risetnya tentang pembaca majalah, Lazarsfeld dan Wyant menemukan bahwa pembaca majalah biasanya membaca beberapa jenis majalah sekaligus. Kesimpulan serupa juga didapat dari studi yang dilakukan Magazine Advertising Bureau: separuh pembaca majalah membaca empat majalah atau lebih, 32 persen membaca dun atau tiga majalah. dan hanya 18 persen yang membaca satu majalah saja.
Studi tentang khalayak televisi ikut memperteguh kesimpulan itu. Para pemilik televisi biasanya sebelumnya juga menikmati media iain seperti radio, surat kabar, majalah, atau film. Studi lain menunjukkan bahwa ketika televsi berjaya, hanya radio dan film yang terpukul. Para penggemar televisi kenyataannya masih tetap membaca surat kabar atau majalah. Televisi umumnya digunakan sebagai media hiburan, sehingga tidak akan men ganggu fungsi media cetak sebagai penyedia informasi.
Prinsip Pendidikan
Berbagai studi juga berkesimpulan bahwa secara umum orang berpendidikan lebih banyak menggunakan media, meskipun ada variasi untuk media tertentu. Penggunaan surat kabar berbanding lurus dengan tingkat pendidik~ an, demikian pula dengan majalah dan buku.
Meksipun demikian, tingkat pendidikan ternyata tidak banyak berhubungan dengan pemilihan media elektronik atau media siaran. Kalau media bacaan lebih digemari oleh mereka yang berpendidikan tinggi, penggemar televisi dan radio kebanyakan adalah mereka yang hanya berpendidikan sekolah menengah.
Di sini kita ingin menegaskan, Rivers dan kawan-kawan benar. Sejarah membuktikan, media cetak ditakdirkan untuk membuat dan melanggengkan peradaban, radio siaran dikembangkan untuk pekabaran tercepat melintas batas-batas geografis, dan media massa televisi diciptakan untuk membangun industri hiburan secara besar-besaran. Orang yang lebih banyak menonton televisi, tidak sedang mencari informasi atau edukasi. Mereka justru sedang mencari rekreasi, dan ini terjadi di seluruh dunia, bukan di Indonesia semata.
Prinsip Ekonomi
Semakin tinggi penghasilan akan semakin tinggi pula tingkat penggunaan media. Namun prinsip ini hanya berlaku untuk media cetak, dan tidak terlalu terasakan pada media siaran. Kebiasaan membaca surat kabar meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan, termasuk perhatian terhadap heritaberita tentang masalah sosial, politik dan ekonomi, serta tajuk rencana.
Kecenderungan mereka yang berpenghasilan tinggi membaca majalah jauh lebih besar daripada mereka yang berpenghasilan rendah. Sekitar 90 persen orang berpenghasilan tinggi adalah pernbaca majalah, namun hanya separuh dari mereka yang berpenghasilan rendah. Semakjn tinggi pendapatan, semakin banyak pula majalah yang dibaca. Hal yang sama berlaku untuk buku.
Dalam konteks Indonesia, kita ingin menegaskan, tingkat pendapatan masyarakat yang rata-rata rendah atau bahkan sangat rendah, telah menjadi faktor penyebab mengapa tiras surat kabar dan majalah per hari menjadi sangat kecil. Orang menjadi tidak terbiasa untuk berlangganan surat kabar atau majalah di rumah. Orang lebih banyak mengandalkan televisi sebagai pemasok informasi walaupun serba singkat dan selintas. Tekanan ekonomi telah menjadi pemicu jumlah penurunan tiras surat kabar dan majalah setiap tahun. Selain itu, juga sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada surat kabar dan majalah baru terbit dalam kurun waktu satu tahun. Kalaupun satu-dua ditemukan media baru, biasanya umurnya hanya beberapa bulan dan tidak lebih dari satu tahun.
Prinsip Usia
Semakin tinggi uéia seseorang, semakin besar kecenderungannya menggunakan media untuk hal-ha] serius, bukan sekadar hiburan. Para pembaca yang lebih lanjut usia memiliki kecenderungan jauh lebih besar daripada pembaca muda untuk menyimak surat-surat pembaca di surat kabar atau liputan tentang masalah-masalah sosial. Bagi para pembaca usia 60 tahun ke atas, surat pembaca justru hal nomor dua yang paling digemari setelah foto-foto berita.
Sebaliknya, pembaca berusia 20 tahun ke bawah jarang sekali membaca tajuk rencana. Untuk acara radio, pendengar berusia l‘anjut lebih menyukai acara-acara serius sepeni warta berita, diskusi'masalah-masalah sosial, musik klasik dan semiklasik, program keagamaan, dan kuis yang mungkin dianggap baik atau menarik karena bersifat mendidik. Pola yang kurang lebih serupa juga berlaku untuk televisi. Generasi muda biasanya mem’ilih musik khas keagamaan mereka, film atau drama mencekam.
Jangkauan sejauh mana seseorang menggunakan media tampaknya tidak dipengaruhi oleh usia. Kecenderungan umumnya adalah semakin bertambah usia seseorang, minatnya terhadap media cenderung berkurang.
kegemaran terhadnp media dimnlai pada usia belasan tahun dan puncaknya biasanya pada usia lima puluh. Pembaca usia lanjut membaca lebih sedikit buku atuu nmjnluh daripada pembaca usia muda. Khusus untuk film, puncak nlinat justru tumbuh di kalangan remaja, dan mulai merosot sejak usia 30-an Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 306-308).
Kecenderungan yang sama kini texjadi di Indonesia. Film-film bioskop, setelah satu dekade mati suri, kini seolah bangkit kembali. Para sutradara muda bermunculan. Aktor dan aktris remaja banyak tampil pada film-film layar lebar. Di kota-kota besar bioskop dibanjiri penonton pada sore dan malam hari. Bahkan beberapa judul film karya anak muda, mencapai jumlah penonton rekor tertinggi atau mencapai di atas tiga juta orang. Secara sosiologis, ldni anak-anak muda perkotaan akan merasa tidak gaul dan tidak percaya diri jika dalam satu bulan tidak menonton film terbaru yang banyak dibicarakan media massa. Menonton film, yang semula sebagai kebutuhan psikologis, bagi mereka telah berubah menjadi kebutuhan sosiologis.
Fenomena tersebut, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan John Dewey. Ia menyatakan, komunikasi massa adalah hal yang paling menakjubkan. Masyarakat manusia, katanya, bertahan berkat adanya komunikasi, dan terus berkembang barkat komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai penyesuaian diri yang diperlukan, dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke generasi.
Pada setiap masyarakat, mulai dari yang paling primitif hingga yang kompleks, sistem komunikasi menjalankan empat fungsi. Harold Lasswell telah mendeflnisikan tiga di antaranya: pengawasan lingkungan yang mendukung; pengaitan berbagai komponen masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; serta pengalihan warisan sosial. Wilbur Schramm menggunakan istilah yang lebih sederhana, yakni sistem komunikasi sebagai penjaga, forum dan guru. Ia dan sejumlah pakar menambahkan fungsi keempat: sumber hiburan (Rivers, Jensen, Peterson,2003 :33-34)
            Fungsi keempat komunikasi massa sebagai sumber hiburan, telah menyebabkan televisi menjadi primadona hiburan yang paling populer, massal. dan menasional. Artinya tak hanya digemari pada satuan komunitaé tokal tertentu, tetapi sudah mencakup seluruh wilayah nasional suatu negara/ Sebut saja di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dengan cakupan 13 fibu pulau besar-kecil. Fenomena demikian bukan berarti tidak memberikap dampak negatif. Fakta menunjukkan, secara sosiologis cukup banyak materi siaran televisi yang bisa dikategorikan membunuh kekayaan norma-norma sosial budaya lokal. Televisi telah melahirkan budaya seragam, satu warna, monoton, dan bahkan bersifat mendikte.
PENELITIAN SOSIOLOGI KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Pada bagian ini, kita masih ingin meneropong lebih jauh tentang sosiologi khalayak. Kita ingin belajar dari para pakar terdahulu tentang bagaimana mereka melakukan penelitian yang bersinggungan dengan aspek-aspek sosiologi khalayak, dan apa serta bagaimana pula hasilnya. Jika konsentrasi komunikologi lebih banyak pada media dan isi pesan komunikasi, sosiologi justru tertarik pada pertanyaan: siapa dan dari kelompok mana yang menjadi komunikator dan komunikan dalam aktivitas komunikasi massa. Berikut kita sajikan beberapa hasil penelitian sosiologi khalayak komunikasi massa. Diakui, contoh-contoh penelitian semuanya, terjadi di benua Amerika. Karena itu bisa saja muncul penilaian roh sosiologi khalayaknya kurang membumi karena inengambil latar (setting) Amerika. Tidak apa-apa, sejauh relevansinya cukup kuat untuk menjelaskan fenomena sosiologis dalam komunikasi massa di Indonesia.
Penelitian Mengenai Peran Para Pemuka Pendapat
Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, dan H. Gaudet dalam buku karya mereka The People’s Chaise (1948), telah melakukan penelitian mengenai peran para pemuka pendapat (opinion leader) dalam kampanye pemilihan umum di Amerika Serikat. Mereka tertarik untuk menemukan bagaimana dan mengapa orangnorang memutuskan untuk memberikan suara mereka pada kaat pemilu. Dalam catatan Wright, penelitian Lazarsfeld, Berelson dan Gaudet telah memberikan bukti-bukti menarik mengenai pemuka pendapat dan mendorong penelitian berikutnya temtama berkaitan dengan pengaruh personal dalam kelompok-kelompok sosial.
Pertama, kata Wright, para pemuka pendapat terdapat pada seluruh struktur sosial. Pesan yang ingin disampaikan kepada kita ialah bahwa pengaruh personal mengalir bukan hanya dari atas ke bawah dalam masyarakat, melainkan juga secara horizontal dalam kelas sosiai atau status kelompok lainnya.
Kedua, pemuka pendapat diketahui sebagai orang-orang yang waspada, tertarik, dan aktif secara politis. Diketahui, enam dari 10 orang pemuka pendapat mengatakan mereka sangat tertarik pada pemilihan umum; berbeda dengan hanya satu dari empat orang yang bukan pemuka pendapat.
Ketiga, para pemuka pendapat lebih banyak diterpa kampanye media massa daripada yang bukan pemuka pendapat. Pemuka pendapat, cenderung membaca artikel surat kabar dan majalah mengenai pemilihan umum daripada yang bukan pemuka pendapat. Mereka juga lebih cenderung mendengarkan radio dan mengikuti rapat kampanye politik. Selanjutnya, mereka adalah pemakai media massa kelas berat. Pemuka pendapat cenderung banyak menggunakan media daripada yang bukan pemuka pendapat.
Keempat, dan ini yang paling penting, terdapat bukti bahwa pemuka pendapat telah menggunakan gagasan dan informasi yang diperoleh dari media massa dalam nasihat dan penerangan yang mereka sampaikan kepada para pengikutnya. Salah satu fungsi pemuka pendapat adalah menjadi perantara antara media massa dan orang lain dalam keiompok mereka (Wright, 1985: 101-102).
Apakah kita akan menerima begitu saja hasil penelitian Lazarsfeld,Berelson, dan Gaudet? Logika akademik mengatakan, setiap inteiektual harus bersikap kritis. Kita pun demikian. Artinya tidak semua hasil penelitian Lazarsfeld dan kawan-kawan kita terima bulat 100 persen. Kita ingin memberikan beberapa catatan bersifat teoretis akademis. Pertama, penelitian Lazarsfeld dilakukan enam dekade silam. Kedua, penelitian terjadi pada masyarakat Amerika. Apakah dalam rentang waktu enam dekade dengan setting Amerika, masih juga ditemukan kecendernngan serta bahkan kesimpulan yang sama untuk kurun waktu sekarang ini? Kita mencatat, perubahan sosial budaya dan peran personal dalam struktur sosiai ,Amerika, terjadi sangat cepat, sehingga saking cepatnya, masyarakat seolaH )upa dan tak merasa perlu untuk menghitungnya. Jadi, realitas empirik d} Amerika abad 21 dewasa kini, boleh jadi sudah'sangat berlainan dengan fealitas empirik Amerika dulu. Logika akademik menggugat: apakah layak membandingkan dua hal yang berlainan?
Dalam beberapa hal lain, harus diakui, kita percaya dan bahkan meyakini kebenaran serta keajegan hasil penelitian Lazarsfeld dan kawan/ kawan mengenai kaitan media massa dengan pemuka pendapat dalam sosiologi khalayak. Katakanlah misalnya para pemuka pendapat lebih banyalt menggunakan media massa sebagai sumber rujukan atau referensi dalam memperoleh informasi serta legitimasi ketika melakukan kontak komunikasi dengan individu-individn dalam kelompok sosialnya. Di sini, persis seperti dikemukakan Schcramm, media massa diakui dan diperlakukan sebagai guru.
Dalam logika sosiologis, seorang guru tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang negatif atau bertentangan dengan norma-norma kelompok dan norma-norma sosial dalam suatu masyarakat. Ia pasti memberikan hal~ hal baik dan juga yang terbaik. Bukankah guru juga adalah seorang pemuka pendapat yang telah mendapat legitimasi formal sekaligus legitimasi sosial? Legitimasi fOrmal, terlihat dari tingkat pendidikan dan jabatan fungsionalnya di sekolah. Ia pendidik yang disegani. Legitimasi sosial, terlihat dari pengakuan dan kontribusinya dalam berbagai aktivitas sosial di tengah~ tengah berbagai kelompok sosial masyarakat. Ia seorang pemuka pendapat atau tokoh yang dihormati.
Penelitian Perilaku Komunikasi Tokoh Lokal dan Kosmopolitan
Siapa yang tidak kenal Robet K. Merton? Dalam literatur komunikasi, namanya begitu sering disebut. Ia seorang pakarkomunikasi Amerika yang sangat diakui reputasinya. Dalam buku Lazarsfeld dan Stanton, Personal Influence, Merton membahas panjang-lebar tentang apa yang disebutnya patterns influence atau poia-corak pengaruh. Ia melakukan penelitian Inengenai pengaruh interpersonal dan perilaku komnnikasi di sebuah komunitas kecil berpenduduk 11 ribu orang di Eastern, Amerika Serikat.
Wright melaporkan, Merton dan teman-temannya telah membuat suatu penemuan penting yang telah memperluas pengertian kita mengenai pemuka pendapat pada umumnya dan mengenai ruang lingkup di antara mereka dengan komunikasi massa khususnya. Penemuan itu telah menjadi bukti bahwa konsep keseluruhan mengenai influentials (orang~orang yang berpengaruh) tidak cukup spesifik, karena tidak ada satu corak tunggal yang terpisah dari orang lain dalam suatu komunitas. Tetapi terlihat ada beberapa corak orang berpengaruh, sedikitnya terdapat dua corak tampak pada pemuka pendapat.
Merton telah mengidentiflkasikan para pemuka pendapat tersebut sebagai local influentials atau tokoh lokal dan cosmopolitan influentials atau tokoh kosmopolitan. Kriteria utama untuk membedakan kedua corak ini adalah orientasi mereka ke arah kota mereka. Tokoh lokal, pada hakikatnya lebih memikirkan hubungan-hubungan dengan masyarakatnya sendiri. Sedangkan tokoh kosmopolitan, selain memikirkan masyarakat kotanya, juga berm'usan dengan dunia yang lebih luas, baik nasional maupun internasional, serta masalah-masalahnya.
Tokoh lokal dan tokoh kosmopolitan juga berbeda dalam perilakn komunikasi mereka. Mereka menggunakan media massa lebih banyak daripada yang dilakukan oleh rata-rata orang biasa dalarn masyarakat. Hanya dalam cita-rasa komunikasi dan penggunaan materi komunikasi, mereka berbeda. Pola dalam membaca majalah berita, misalnya, tokoh lokal lebih menyukai topik yang ringan, sementara tokoh kosmopolitan lebih menggandrungi pokok bahasan yang relatif berat.
Merton, menjelaskan perbedaan ini dengan melihat fungsi majalah yang berlaku bagi setiap corak tokoh ini. Bagi tokoh kosmopolitan, majalah berita adalah rantai penghubung yang penting dengan dunia luar, memberikan informasi untuk mengurangi perasaan isolasi budaya mereka, serta memungkinkan mereka untuk memelihara kepemimpinan mereka atas topik-topik nonlokal. Bagi tokoh lokal, majalah berita mempakan kemewahan, karena majalah ini tidak berisi banyak materi mengenai berbagai peristiwa lokal. Padahal berita mengenai berbagai peristiwa lokal sangat mereka perlukan. Mereka akan dimintai pendapatnya oleh warga-warga lokal setempat. Tokoh kosmopolitan lebih menyukai media massa nasional. Sebaliknya tokoh lokal lebih mengutamakan media massa lokal (Wright, 1985: 103-105).
Kita juga mencatat, penelitian Merton memberikan arah mengena? keeenderungan dampak pengaruh sosial kehadjran pemuka pendapat, baiV dalam kapasitas sebagai tokoh lokal maupun dalam posisi sebagai tokoh kosmopolitan. Pertama, tokoh lokal cenderung bersifat polimonphis: malnpv memberikan pengaruh dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan, dart fungsi itu diakui oleh komunitas lokal setempat. Kedua, tokoh kosmopolitan cenderung bersifat monomorphis: hanya mampu memberikan pengaruh terbatas sesuai dengan tingkat keahlian, pendidikan, atau penguasaan pengalamannya masing-masing. Jika ia seorang sarjana ekonomi, maka i3 hanya diakui kepakarannya dalam bidang ekonomifLain tidak.
Kontribusi penelitian Merton tentang corak perilaku komunikasi dan pengaruh personal pemuka pendapat, sangatlah berarti. Dari Merton, kita bisa menjelaskan fenomena posisi, fungsi, dan eksistensi tokoh-tokoh lokal dalam komunikasi serta sosialisasi politik. Bukankah para calon anggota legislatif dan para anggota parlemen yang ingin terpilih lagi dalam pemilu berikut, termasuk dalam pemilihan gubernur, bupati atau wali kota, harus menguasai terlebih dahulu sosiologi komunikasi‘khalayak di suatu atau di tiap kota setempat?
Sebagai bahan rujukan dan perbandingan, tengoklah misalnya basil pemilu legislatif 9 April 2009 di Indonesia. Tingkat penguasaan sosiologi komunikasi khalayak yang sangat rendah, dan bahkan nihil sama sekali, telah menyebabkan banyaknya calon anggota legislatif (caleg) yang stres, depresi, gila, dan atau bahkan bunuh diri, hanya beberapa saat setelah mengetahui dirinya diyakini gagal melenggang menjadi wakil rakyat di kotanya masing» masing. Mereka hanya mengenal psikologi kemenangan tetapi lupa dengan psikologi kekalahan, Mereka tidak menyadari, dalam kompetisi pasti ada yang menang, ada pula yang kalah.
Sebegitu jauh, partai politik yang memayungi mereka hanya bersikap pasif. Tidak ada upaya secara sadar dan sistematis mengenai penempaan intelektual dan mental terhadap para caleg mereka. Ada kesan, para caleg itu dilepas begitu saja untuk memasuki arena pertarungan legislatif yang diketahui sangat keras dan bahkan kejam. Disebut kejam, karena jika dulll bersaingan yang terjadi hanya antarparpol, kini pe‘rsaingan itu semakin hebat Elan kasar dalam tubuh internal satu parpol sendiri. Di antara sesama caleg satu parpol, teljadi saling sikut, saling banting, dan saling menjatnhkan tanpa bingkai etika sosial politik. Sungguh mengerikan.
Penelitian Pengaruh Personal Para Pemuka Pendapat
Apakah para pemuka pendapat memiliki pengaruh personal dibandingkan dengan pengaruh media massa? Jika ya, sebesar apa pengaruh itu? Besarkecilnya tingkat pengarnh personal, akan tampak pada berapa banyak orang yang mengikuti pendapat, mengubah sikap, dan melakukan suatu perbuatan seperti yang secara sadar dikehendaki oleh pemuka pendapat. Untuk menjawab pertanyaan itulah, Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld pada 1945 telah melakukan penelitian panel mengenai pemuka pendapat di Decatur, Illionis, sebuah kota bependuduk enam ribn jiwa di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya, barn 10 tahun kemudian dipublikasikan dalam Personal Influence.
Empat masalah telah menarik perhatian para peneliti. Pertama, mereka tertarik untuk menetapkan dampak pengaruh personal dibandingkan dengan dampak media massa, dalam empat bidang pengambilan keputusan, yakni: pemasaran, mode, masalah kemasyarakatan, dan pemilihan film.
Kedua, mereka telah meneliti karakteristik yang telah membedakan pemuka pendapat dalam keempat bidang tersebut, khususnya mengenai kedudukan pemuka pendapat dalam siklus kehidupan, misalnya: wanita muda atau yang sudah berkeluarga, status sosioekonomi, dan pola persahabatan.
Ketiga, mereka meneliti arus pengaruh (the flow of influence), misalnya apakah arus itu berlangsung dari wanita yang lebih tua kepada wanita yang lebih muda atau dari wanita kaya kepada kepada wanita miskin.
Keempat, mereka telah mempelajari bagaimana pengaruh personal berkaitan dengan media massa, yaitu bagaimanakah kebiasaan komunikasi para pemuka pendapat itu dan pada gilirannya sejauh mana para pemuka pendapat dipengaruhi media massa. Hanya bidang-bidang penelitian yang pertama dan terakhirlah yang menjadi perhatian kita di sini (Wright, 1985: 105-106).
Katz dan Lazarsfeld, melalui apa yang disebutnya indeks efektivitas, telah menemukan dua faktor penting, yakni daya jangkau (coverage) dan daya persuasif (persuasiveness) dalam mengukur pengaruh personal. Ia Inerumuskan, indeks efektivitas, sama dengan terpaan elektif dibagi oleh terpaan keseluruhan. Artinya, seperti dicatat Wright, hasil dari indeks efekn'vitas itu merupakan proporsi atau perbandingan dari orang-orang yang menilai suatu media tertentu sebagai medium yang paling berpengaruh dalam pembuatan keputusan mereka terhadap jumlah total orang-orang yang membuat keputusan tersebut yang melaporkan diterpa oleh medium tersebut.
Wright melaporkan, tiga dari empat bidang pengambilan keputusan yang dipelajari, yakni pemasaran, mode, dan pemilihan film, kontak personal ternyata memiliki pengaruh yang Iebih besar terhadap diri para pengambil keputusan daripada media massa. Lantas, mengapa komunikasi personal merupakan alat persuasi yang Iebih efektif daripada komunikasi massa? Dalam penelitian terdahulu mengenai perilaku pemilih dalam pemilihan umum, Lazarsfeld dan kawan-kawan telah menemukan lima karakteristik yang menguntungkan dari hubungan personal:
Pertama, kontak personal Iebih kasual (sepintas), terlihat seperti kurang bertujuan, dan Iebih sulit untuk dihindari daripada komunikasi massa. Banyak orang yang sangat selektif terhadap komunikasi massa, menghindari materi-materi yang bertentangan dengan pendapat pribadi mereka atau yang tidak menarik bagi mereka.
Kedua, komunikasi tatap muka memungkinkan fleksibilitas yang Iebih besar dalam isi pesan. J ika seorang komunikator menghadapi penolakan dari khalayak, ia dapat mengulur jalan pembicaraan untuk menyesuaikan diri dengan reaksi khalayak.
Ketiga, hubungan personal yang langsung’dalam komunikasi tatap muka dapat meningkatkan ganjaran bagi penerimaan pesan atau argumen dan hukuman untuk penolakannya.
Keempat, sebagian orang cenderung pada pertimbangan dan pandangan orang-orang yang mereka kenal dan hormati daripada pertimbangan dan pandangan dari komunikator massa yang impersonal.
Kelima, dengan kontak personal, komunikator kadang-kadang dapat mencapai maksudnya tanpa bersungguh-sungguh membujuk khalayak untuk menerima pandangan baru. Dalam pemberian suara, misalnya, seorang petugas partai yang kuat atau seorang teman bisa saja memengaruhi individu agar pergi ke tempat pemungutan suara dan memberikan suara tanpa benar~ benar mengubah atau mengaktifkan minat mereka pada kampanye atau posisi mereka dalam persoalan politik (Wright, 1985: 107-109).
Hasil penelitian Katz dan Lazarsfeld yang dilaporkan dalam buku Personal Influence (1955) makin memberikan gambaran dan petunjuk kepada kita mengenai besarnya pengaruh variabel sosiologis dalam efekti~ vitas perilaku komunikasi personal para pemuka pendapat. Kedekatan psikologis dan norma~norma serta ikatan sosiologis, seperti derajat kedekat~ an personal, tingkat hubungan sosial, serta frekuensi dan durasi kontak komunikasi, menjadi faktor atau variabel cukup menentukan dalam proses interaksi sosial seorang pemuka pendapat.
Apa maknanya bagi kita? Pertama, komunikasi massa diyakini memiliki pengaruh terhadap khalayak dalam suatu komunitas sosial. Namun pengaruh itu tidaklah sebesar seperti yang diduga. Artinya, khalayak tidak serta-merta menerima pesan media massa. Khalayak menerimanya secara selektif. Bahkan, dalam beberapa hal, khalayak hanya bersedia diterpa media massa sejauh pesan yang disampaikan itu sesuai dengan minat, kepentingan, dan orientasi sosiolgisnya.
Kedua, komunikasi tatap muka secara personal, memiliki sifat tidak tergantikan. Kita tidak bisa mengatakan, tidak perlu melakukan kontak personal karéna langkah ini tidak efektif. Bukankah kita sudah memiliki media yang diakui pengaruhnya begitu besar, yaitu media massa? Ternyata argumen demikian keliru dan bahkan menyesatkan. Kita harus mengubah asumsi dan argumen kita. Kita selayaknya bersikap proporsional. Kita selayaknya berpendapat moderat: setiap media memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing disesuaikan dengan konteks dan tujuan yang ingin dicapai.
Ketiga, hubungan secara personal dalam banyak situasi sosial, baik dalam lingkungan komunitas kecil maupun dalam kelompok-kelompok komunitas besar, memiliki lebih banyak muatan unsur ganjaran (reward) daripada unsur hukuman (punishment). Selain itu, hubungan langsung secara personal jauh lebih menyenangkan daripada hubungan melalui media massa. Hubungan personal bersifat langsung dan cair. Hubungan melalui media massa bersifat tidak langsung dan kaku. Hubungan personal bersifat dialogis. Hubungan melalui media massa bersifat monologis.
Penelitian Pencarian dan Kepemimpinan Pendapat
Apa yang terjadi apabila seseorang diterpa media massa? Apakah orang ini akan bersikap pasif, negatif, atau aktif? Pasif, berani dia bersikap masa bodoh, dingin, tidak ambil pusing, tidak ambil peduli, karena merasa pesan media massa tak ada hubungannya dengan apa yang dipikirkan dan diinginkannya saat itu. Ia hanya kebetulan saja terkena terpaan media. negatif, berarti dia memberikan komentar dan, penolakan atas gagasan, pendapat, dan usulan yang disampaikan media massa. Dia akan dengan germ-mam menyatakan penolakannya melalui berbagai cam. Positif, berarti din memberikan persetujuan serta dukungan atas apa yang disampaikan Media massa.
Wright mengingatkan, dari perspektif sosiologis, kepemimpinan pen-dapat bukanlah sifat individu, seperti ciri kepribadian, melainkan tindakan sosial (social act) atau serangkaian tindakan yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih. Minat sosiologis berfokus pada pertanyaan pada kandisi apakah interaksi itu cenderung teljadi; sifat interaksi; keteraturan dalam karakeristik sosial dari omng-orang yang cenderung memainkan peranan sebagai pemuka pendapat, pad: berbagai macam persoalan dalam kondisi yang berlainan dan perilaku komunikasi serta aktivitas-aktivitas lain dari orang yang memainkan peranan sebagai pemuka pendapat atau pengikut beberapa tapik.
Wright dan Muriel Cantor, dalam sebuah studi tentang kepemimpinan pendapat dan perilaku komunikasi di antara mahasiswa tingkat sarjana, telah menunjukkan pentingnya membedakan antara kepemimpinan pendapat (sprinter: leading), maxim pendapat (opinion sgeking), dam penghindaran pendapat (opinion avoiding) mengenai persoalan tenentu. Mengenai salah satu topik yang diteliti, telah ditemukan bahwa individu tertentu secara aktif menari pendapat dari orang lain. Sedangkan beberapa orang lainnya menghindari pendapat tersebut. Orang yang terlibat dalam setiap aktivitas tersebut mungkin saja tidak memainkan peranana sebagai pemnka pendanpat (wright. 1985: 113-114).
Hail studi wright dan cantor, secara teoretis semakain memetakan karakteristik khalayak komunikasi massa di hubungkan dengan posisi individual serta peran dan norma-norma sosial seseorang atau sekelompok orang. Dalam situasi dan kondisi sosial tertentu, boleh jadi akan ditemukan lebih banyak orang yang diterpa media massa yang bersikap pasif. Dalam situasi dan kondisi sosial yang lain, boleh jadi akan ditemukan lebih banyak orang yang bersikap negatif atau bahkan sebalilmya. Tetapi dalam situasi dan kondisi sosial yang lain lagi, justru akan ditemukan lebih banyak orang yang bersikap aktif atau bahkan sebaliknya.
Dalam teori perbedaan individu perspektif komunikasi massa memang disebutkan, setiap orang memiliki minat, perhatian, kepentingan, orientasi nilai, dan derajat kepercayaan yang berbeda terhadap terpaan media massa, Tiap individu berbeda satu sama lain disesuaikan dengan karakteristik sosial yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang petani dan seorang mahasiswa, ketika mendapat terpaan media massa, akan memberikan tanggapan yang berlainan walaupun misalnya dihadapkan kepada suatu topik tertentu yang sama. Bisa jadi, sikap petani akan apatis, bahkan fatalis. Sebaliknya, sikap mahasiswa akan kritis, bahkan orientalis. Artinya memiliki bayangan keinginan, obsesi, dan proyeksi tertentu masa depan yang diasumsikan bakal mengubah keadaan kc arah yang lebih baik.
Lantas, apakah kepemimpinan pendapat seseorang setelah menerima lebih banyak terpaan media massa, diasumsikan tidak akan menimbulkan pengaruh cukup menentukan terhadap para pengikutnya dalam suatu komunitas sosial terutama pada tingkat atau lingkup lokal? Hasil berbagai penelitian menunjukkan, pengaruh itu ada, dan cukup besar untuk kelompok khalayak tertentu; tetapi tidaklah sangat besar dan bersifat mutlak. Fenomena ini menunjukkan, khalayak komunikasi massa adalah kelompok individu yan berpikir logis, kritis, selektif, aktif, dan dinamis.
Secara sosiologis, kepemimpinan pendapat masih sangat diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan yang bergerak dinamis melalui pola tata hubungan sosial dan aturan main yang bersifat demokratis dan humanis. Demokratis, menunjukkan tak ada dominasi atau bahkan intervensi satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Terdapat prinsip equalitas yang dihargai bersama. Humanis, menunjukkan apa pun produk kebijakan atau peraturan yang ditetapkan pemerintah bersama parlemen, selayaknya diarahlcan untuk lebih memuliakan manusia. Prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab mesti dijunjung tinggi oleh aparatur negara pada semua tingkatan dari hulu sampai hilir.
Dalam ruang publik yang semakin terbuka, tatanan masyarakat yang semaldn demokratis, iklim kebebasan dan kemerdekaan media massa yang sangat tinggi di Indonesia dewasa ini, setiap warga negara berhak mencari dan terns mencari pendapat yang dianggap lebih tepat, iebih haik, lebib mengakar, dan iebih mencerahkan. Kata orang bijak, perbadaan pendapat adalah rakhmat. Kita di sini juga ingin menegaskan, pencarian pendapat itu adalah pintu pembuka rakhmat. Artinya, tanpa pencarian pendapat kita tidak mungkin mendapatkan rakhmat. Dalam perspekif Sosiologis, rakhmat tidaklah datang begitu saja dari langit. Rakhmat adalah mm yang hams terns kita perjuangkan bersama. Isyarat apakah itu semakin banyak orang yang melakukan penghindaran
pendapat? Satu hal yang pasti, pada masyarakat yang tertutup, kekuasaan yang monolitik dan otoriter, serta pada pola kemerdekaan media massa yang serba terbatas, penghindaran pendapat akan lebih banyak terjadi. Mencari pendapat dan berbeda pendapat, atau bahkan mengajukan pandapat,L diasumsikan hanya akan melahirkan risiko negatif dan menimbulkan masalah yang merugikan dirinya. Secara ekstrem kita bisa mengatakan, pada negara komunis, penghindaran pendapat jadi pilihan mutlak masyarakat. Hanya dengan begitu masyarakat merasa aman. Pada negara demokratis, penghindaran pendapat justru dihindari karena tak memberikan kontribusi serta membawa solusi ke arah yang lebih baik. Jadi, mengapa hams menghindar dari pendapat?
Secara teoretis, bahkan teknis, tugas media massa antara lain menam~ pilkan berbagai pendapat dalam panggung diskusi sosial dan intelektual yang bermartabat. Media menyajikannya secara berimbang, akurat, lengkap, aktual, ieiaa, jernih, clan sarat perspektif. Media tidak bersifat mendikte. Media tidal: menunjukkan pemihakan kepada pihak yang satu serta memperlihatkan benolakan kepada pihak yang lain. Media hanya menjadi mediator yang adil dan terhormat. Teori jumalistik mengingatkan, media bukan polisi yang imbak melakukan penyidikan, bukan jaksa yang berhak melakukan tuntutan dan dakwaan, bukan pula hakim yang berhak menjatuhkan vonis hukuman. Media hanya melaporkan. Masyarakat pembaca, pendengar, dan pemirsalah yang memutuskan

ALASAN DI BALlK PEMILIHAN MEDIA MASSA
Cobalah sekali-kali datang ke sebuah toko bukn besar. Jika toko buku besar itu tak ditemukan, cobalah menyempatkan diri datang ke sebuah kios surat kabar dan majalah. Pastikan di kios itu disajikan beragam jenis surat kabar, majalah, dan tabloid dalam berbagai ukuran dan warna serta kemasan. * Kemudian amati secara saksama, siapa saja yang datang melihat-lihat dan membeli surat kabar, majalah, atan tabloid ke ldos itu. Apakah secara gender, lebih banyak pria atau wanita? Apakah berdasarkan kelompok usia, lebih banyak orang tua dan dewasa, ataukah kelompok remaj a dan anak-anak? Lebih baik lag' kalau kita menyapa mereka dan bertanya: informasi apa yang sedans dicari dan dalam konteks apa? Informasi berarti menunjuk kepada ranah knmunikasi. Sedangkan konteks apa berarn' menunjuk kepada ranah sosiologi.
Rivers, Jensen, dan Peterson, dalam Mass Media and Modern Society mengajukan pertanyaan menarik: atas dasar apakah orang-orang memilih media? Wilbur Schramm dari Universitas Stanford menawarkan jawaban ' sementara atas pertanyaan itu. Ia mengajukan dua prinsip yang menjadi dasar pemilihan. yakni prinsip kemudahan, dan pinsip harapan-imbalan memperoleh sesuatu.
Prinsip Kemudahan
Schramm menyatakan bahwa pendengar, pembaca, atau pemirsa memilih snam media yang paling mudah diperolehnya. George Zipt dari Universitas Harvard menulis buku mengenai masalah ini. Ia menyatakan bahwa manusia memang cendemng memilih yang gampang-gampang saja, dan ini diterapkan pula dalam pernilihan media. Selama medianya tersedia, khalayak akan memilih yang paling dekat dalam jangkauannya. Buktinya, orang lebih suka tinggal di mmah nonton televisi daripada repot-repot berdandan untuk pergi kc bioskop.
Jika semua saluran menawarkan acara hiburan, yang dipilih adalah yang gambamya paling jelas. Sebagian anggota keluarga yang tidak menyukai acara ini pun akan tetap duduk menyaksikannya daripada hams beranjak pergi mencari hiburan lain. Seorang pasien di mang tunggu akan meraih majalah yang paling dekat letaknya daripada ia harus berjalan ke tempat lain mencari surat kabar, meskipun ia lebih menyukai surat kabar.
Biaya juga termasuk dalam prinsip ini. Kalau sebuah keluarga sudah menghabiskan sekian juta untuk membeli televisi, mereka tidak akan tertarik bergabung dalam klub membaca, atau berlangganan majalah dan surat kabar barn. Waktu pun menjadi pertimbangan. Memang ada orang yang mau bezjalan jauh untuk menemukan surat kabat yang disukainya. Namun umumnya orang menikmati media pada waktu-waktu tertentu yang tidak merepotkannya. Contohnya, ibu-ibu mendengarkan radio saat memasak dan menonton televisi saat sore hari sambil mengasuh anak.
Schramm juga menyatakan bahwa peran, kebiasaan, dan tradisi juga memengaruhi pemilihan media. Misalnya, menonton televisi jika sudah biasa akan terns dilanjutkan karena tiap orang lebih mudah mempertahankan kebiasaan daripada mengubahnya. Perilaku komunikasi merupakan bagian dari perilaku sosial sehingga pemilihan media pun dipengaruhi oleh kebiasaankebiasaan sosial. Misalnya, yang paling banyak menonton adalah pasangan yang sedang berpacaran karena sudah menjadi kebiasaan jika muda-mudi yang sedang bermesraan akan pergi ke bioskop.
Prinsip Harapan Imbalan
Schramm menjelaskan bahwa prinsip harapan-imbalan berarti orang-orang akan memilih media yang menurut harapannya akan memberikan imbalan terbesar. Schramm sendiri mendefinisikan dua macam imbalan, yakni imbalan langsung dan imbalan yang tertunda. J ika seseorang merasa senang dengan membaca suatu artikel, ia memperoleh imbalan langsung. Jika seseorang membaca artikel tentang meningkatnya kriminalitas lalu bersikap lebih hati-hati, ia memperoleh imbalan yang tertunda (Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 311-313).
Sejujurnya, harus diakui memang prinsip ini lebih banyak dijadikan rujukan praktis bagi khalayak media, terlebih lagi bagi kalangan mahasiswa di kampus. Mereka mau membaca buku yang dianjurkan dosen hanya karena harapan imbalan bakal memperoleh nilai tinggi pada saat ujian nanti. Begitu juga, banyak pegawai negeri yang membaca berbagai peraturan tata pemerintahan dan ketentuan perundang-undangan hanya karena ingin Inendapat imbalan dalam bentuk kenaikan pangkat atau dipromosikan ke posisi jabatan yang lebih tinggi.
Gejala inilah yang dalam istilah komunikasi bisnis disebut sebagai komunikasi transaksional. Artinya, kegiatan apa pun yang dilakukan dalam lingkup komunikasi, pada akhirnya dimaksudkan untuk memperoleh nilai transaksi ekonomi yang Iebih menguntungkan secara bisnis. Dalam istilah sosiologi, gejala ini lazim disebut “Anda jual saya beli”. Setiap orang, atau setiap pelaku komunikasi, tidak diharamkan mengharap imbalan, sejauh imbalan itu berada dalam koridor logis dan etis. Misalnya, logis bukan jika mahasiswa yang belajar sungguh-sungguh mendapat nilai A? Logis pula bukan, jika seorang pemuka pendapat yang membaca surat kabar dan buku mendapat pujian saat berpidato dalam pertemuan warga di balai desa?
ALASAN DI BALlK PENGGUNAAN MEDIA
Rivers dan kawan-kawan menyimpulkan, tiap orang menggunakan media secara berbeda. Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosialekonomi, memengaruhi alasan seseorang menggunakan media. Selain itu masih banyak faktor lain yang tidak terlalu tampak seperti sikap-sikap individual, aspirasi, harapan, ketakutan. Semua faktor itu tidak saja memengaruhi penggunaan media oleh seseorang, tetapi juga memengaruhi apa yang akan ditemukannya dari media:
Penggunaan Surat Kabar
Pemyataan bahwa orang membaca surat kabar untuk memperoleh informasi memang tidak salah tetapi terlalu sederhana. Seseorang ingin tahu sesuatu karena berbagai alasan: untuk meraih prestise, menghilangkan kebosanan, agar merasa Iebih dekat dengan lingkungannya, atau untuk menyesuaikan perannya dalam masyarakat. Bernard Berelson, melakukan penelitian di New York setelah loper koran mogok ktea selama dua minggu. Bereson bertanya: apa yang dilakukan atau dirasakan orang tanpa surat kabar?
Bagi sebagian orang, surat kabar merupakan sumber informasi dan gagasan tentang berbagai masalah publik yang serius. Mereka memerlukan tidak hanya beritanya, tetapi juga penafsirannya. Banyak juga yang menjadikan surat kabar sebagai alat untuk membuat dirinya merasa serbatahu. Jadi, bagi mereka surat kabar adalah prestise. Di samping itu, bagi sebagian orang yang lain, surat kabar bukan untuk mencari informasi melainkan untuk mengisi rutinitas. Tanpa surat kabar mereka merasa ada sesuatu yang hilang.
Sebagian pembaca juga menjadikan surat kabar sebagai alat kontak gosial. Ada pula yang menjadikan surat kabar untuk membuang kejenuhan dari kehidupan sehari-hari. Surat kabar mempakan sarana wisata murab untuk sejenak melupakan rasa frustrasi, rasa tertekan dan kebosanan. Lebih dari itu, surat kabar merupakan alat pelarian yang secara sosial dapat diterima.
Berelson akhirnya menyimpulkan, kebiasaan membaca surat kabar mempunyai nilai tinggi di Amerika, dan surat kabar merupakan bahan bacaan yang menarik serta murah. Surat kabar memberikan rasa aman di tengah dunia yang tidak aman sehingga bagi banyak orang membaca surat kabar menjadi suatu ritual yang menyenangkan. Departemen Jurnalistik Universitas New York juga menyimpulkan, ketika surat kabar tidak hadir akibat pemogokan, orang~orang merasa sangat kehilangan. Mereka mencoba berpaling ke radio dan televisi. Ternyata, dan ini yang menarik, radio dan televisi tidak bisa sepenuhnya menggantikan surat kabar.
Penggunaan Majalah
Apa sebenarnya motivasi kaum wanita membaca majalah? Pertanyaan itulah yang mengusik perhatian para ahli sosiologi komunikasi Amerika. Mereka kemudian melakukan penelitian terhadap enam majalah wanita dan dua majalah umum. Hasilnya, seperti dilaporkan Rivers dan kawan-kawan, ternyata cukup bervariasi. Banyak wanita membaca majalah karena ingin mempertahankan statusnya, di samping untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Mereka ingin figur sentral mereka dalam rumah diakui.
Lamas apa sebenarnya peran majalah wanita bagi kehidupan pembacanya? Menurut penelitian Social Research Inc, majalah berperan sebagai orientasi sosial, pokok perhatian yang realistis, dan rujukan pengalaman pibadi., Majalah juga yang mengajarinya hal-hal praktis tanpa perlu bantuan orang lain seperti keternmpilan memasak, menjahit, dan mengurus mmah. Selain itu, majalah menjadi rujukan tentang apa sebenarnya cita-citanya, dun apa sajn yang harus dimihnya dari kehidupan ini.
Mnjnlnh juga masuk ke pengalaman pribadi pembacanya. Majalah membantnnya menghadapi kesepian, menyajikan hal-hal yang menyenangkan untuk dikhayalkan, dan mengajarinya berbagai hal baru. Di samping itu, majalah dapat memperkuat rasa percaya diri, menegaskan arti panting peran dan kebemdaan dirinya, sekaligus meneguhkan kebijakan dun nilaie nilai positif yang dimilikinya. Lantas, siapa saja pembaca majalah wanita? Sebagian besar ternyata wanita kelas menengah.
Penggunaan Media Siaran
Radio dan televisi juga memiliki banyak fungsi sosial. Untuk kontak sosial, rujukan kehidupan sehari-hari, untuk menyenangkan diri sendiri, dan melepas kebosanan, tulis Rivers dan kawan-kawan. Herta Herzog dan McCann-Erickson meneliti apa sebenanya yang dinikmati para pemirsa dan pendengar dari film-film serial dan opera sabun di radio dan televisi. Ternyata bagi banyak wanita, acara seperti itu bisa mengurangi beban emosional mereka. Opera sabun juga dinikmati karena pemirsa mengidentifikasikan diri mereka dengan tokoh fiksi tertentu, dan ini membuat mereka merasa bahagia.
Acara seperti itu juga ternyata menjadi sumber nasihat atau rujukan kehidupan sehari-hari, misalnya tentang perilaku yang baik. Jika mereka melihat seorang ibu menampar anaknya, itu membuat mereka beljanji bahwa mereka tidak akan menampar anak-anaknya sendiri. Dengan mengidolakan pameran atau karakter tertentu, mereka merasa ikut berada di suatu lingkungan berbeda yang lebih menyenangkan daripada lingkungan hidup mereka yang sebenamya. Dari kisah-kisah sedih, mereka bisa memperkirakan sikap terbaik untuk menghadapi suatu cobaan. Tidak sulit untuk memahami kecenderungan itu. Pada dasarnya terdapat tiga alasan:
Pertama, adalah keinginan di kalangan pemirsa atau khalayak untuk ditenangkan dengan bujukan bahwa segala sesuatunya baik-baik saja. Kedua, mereka bisa mengalihkan kesalahan atas terjadinya suatu masalah ke pihak lain. Ketiga, mereka ingin mendengar saran-saran gampang untuk merasa lebih bahagia. Rasional atau tidak, itulah yang dirasakan jutaan pendengar radio dan pemirsa televisi.
Menurut Herzog, ada empat alasan mengapa orang menyukai kuis pada radio dan televisi, yaitu semangat kompetisi, sifat mendidik, ujian bagi diri sendiri, dan unsur sport. Dengan mengikuti kuis, khalayak bisa mencurahkan semangat kompetisi, semangat mendidik, semangat ujian, dan semangat
sport tanpa risiko apa-apa. Ia bahkan bisa unjuk gigi di depan keluarga atau reman-temannya dengan kemampuan menebak pertanyaan-pertanyaan kuis. Jelas ini adalah sarana yang murah dan menyenangkan diri sendiri.
Penggunaan Film-Film Koboi
Dr. Ernest Dichter, tulis Rivers dan kawan-kawan, pelopor riset motivasi, mencoba menjelaskan mengapa film-{11m koboi begitu popular di Amerika. Dalam majalah Broadcasting, ia mengatakan film koboi menyajikan pano' rama dan nilai-nilai yang lebih abadi daripada kehidupan singkat seseorang. Para penonton akan merasa dibawa ke masa lampau ketika segala sesuatunya terasa menyenangkan meskipun dalam mm koboi nyaris selalu ada adegan kekerasan dan pembunuhan. ,
Kemunculan tokoh jagoan, sekonyol apa pun, selalu disambut gembira karena penonton merasa dirinyalah jagoan itu. Ini hal lazim karena setiap orang memiliki motivasi untuk menjadi sosok yang hebat. Bagi pemirsa wanita, fllm koboi juga disukai karena memmjukkan betapa pentingnya peran wanita dalam pembentukan masyarakat Amerika yang besar (Rivers, Jenson, Peterson, 2003: 313-318).
Menarik untuk diteliti, bagaimana dengan kecenderungan khalayak di Indonesia dewasa ini. Ketika televisi swasta komersial banyak menayangkan sinema elektronik (sinetron) dengan tampilnya tokoh atau karakter culas, jahat,pe1aku kekerasan, pelaku pembunuhan, pemeras, pemerkosa, atau penguras harta dalam rumah tangga, apakah hal itu mencerminkan masyaraknt kita sangat menyukai kekerasan dan kejahatan? Mengapa tema-tema itu yang lebih disukai atau lebih ditonjolkan oleh televisi, atau oleh pemilik mmahrumah produksi yang membuat sinetron itu hingga ratusan episode dan ditayangkan tiap hari? Apakah memang tidak ada tema lain yang dianggap menarik dan layak dijual sehingga meraup banyak iklan saat ditayangkan di televisi dengan tetap mengedepankan kualitas?
KONSEP KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Posisi dan fungsi khalayak (audience) sangat strategis dalam paradigma komunikasi Harold Lasswell. Penelitian untuk mengetahui seberapa Deming kedudukan khalayak dalam aktivitas komunikasi, dilakukan pada 1950 ketika diperkenalkan model komunikasi transaksional. Menurut Raymond Bauer dalam The Audience (1973), dalam model komun.kasi ini digambarkan bahwa komunikator yang diberi kedudukan sebagai penjual dalam proses transaksi Uual-beli) menawarkan barangnya kepada khalayak yang berkedudukan sebagai pembeli. Melaluj model transaksional ini hendak digambarkan bahwa dalam proses komunikasi baik komunikator maupun komunikan mempunyai kedudukan yang sama.
Khalayak sebagai Penentu Sikap
Sudah merupakan hal yang umum bahwa rasa senang dan rasa tidak senang khalayak, akan memengaruhi sikapnya dalam bereaksi terhadap komunikasi. Bahkan pada saat pengaruh komunikasi belum merupakan suatu objek studi, pengukuran telah dilakukan terhadap rasa suka dan tidak suka khalayak film dan radio terhadap acara hiburan yang disuguhkan kepada mereka.
Menurut Bauer, penelitian pemasaran (marketing research) yang menyangkut produk yang diharapkan potensia] serta aktual bagi konsumen, merupakan bagian dari pengukuran rasa suka dan rasa tidak suka khalayak. Penelitian ini tidak hanya menyangkut usaha menarik perhatian konsumen yang dianggap potensial tetapi juga menyangkut usaha-usaha membujuk khalayak agar membeli produk yang ditawarkan. Logika yang sama juga diterapkan pada penelitian mengenai sikap sosial dan politik khalayak dengan maksud menentukan suatu kebijakan politik baru, atau memperkenalkan kebijakan baru dari seorang tokoh politik kepada khalayak.
Dalam beberapa hal kita melihat bahwa rasa suka dan rasa tak suka khalayak timbul dalam poses komunikasi. Perasaan ini tampak pada sikap setuju dan sikap tidak setuju khalayak terhadap apa yang disampaikan komunikator. Dalam keadaan wajar diakui memang senantiasa terdapat jarak kritis antara kedudukan komunikator dengan khalayak yang akan dibujuknya. Seandainya ajakan komunikator dipandang terlalu ekstrem oleh khalayak, maka komunikasi dianggap menyimpang dan tidak moderat.
Khalayak sebagai Pengelola lnformasi
Terdapat perbedaan dalam kecenderungan seseorang menerima dun mencari informasi. Faktor yang menentukan karakter tersebut adalah pendidikan atau Intelegensia. Orang yang terdidik dan memiliki intelegensia yang cukup baik memiliki kecendemngan lebih menyukai media cetak dibandingkan dengan orang yang kurang terdidik. Menurut Bauer, orang yang terdidik mempunyai Iebzh banyak informasi yang disampaikan melalui proses komunikasi, tetapi mereka sulit untuk mengubah-ubah sikap. Orang yang terdidik lebih menyukai argumen yang lengkap dan canggih.
Khalayak sebagai Perisai Ego
Salah satu sikap yang melekat pada khalayak adalah pertahanan terhadap egonya. Pertahanan ego harus diperlakukan sebagai salah satu mekanisme perantara dalarn menerima pesan komunikasi. Dalam buku-buku komunikasi cukup banyak dijelaskan betapa mekanisme pertahanan ego ditolak, ditindas, mengalami represi dan proyeksi. Ini bisa dianggai) sebagai suatu gambaran tentang reaksi khalayak terhadap komunikasi ketika ia menolak untuk dibujuk
Into egeneia. Orang yang terdidik dan memiliki intelegensia yang cukup baik memiliki kecendemngan lebih menyukai media cetak dibandingkan dengan orang yang kurang terdidik. Menurut Bauer, orang yang terdidik mempunyai Iebzh banyak informasi yang disampaikan melalui proses komunikasi, tetapi mereka sulit untuk mengubah-ubah sikap. Orang yang terdidik lebih menyukai argumen yang lengkap dan canggih.
Khalayak sebagai Penyenang Orang Lain
Sikap lain yang kelihatan melekat pada khalayak adalah usahanya untuk mencari simpati dari orang lain dengan menyetujui apa saja yang mereka katakan. Hal ini mempunyai hubungan antara disposisi seseorang untuk menerima ajakan komunikator dengan kepribadian yang melekat pada dirinya. Ukuran kepribadian yang amat umum digunakan adalah besamya kepercayaan pada diri sendiri. Seperti digunakan dalam banyak eksperimen, hal itu mempakan ukuran untuk menilai kemampuan seseorang mempercepat proses sosialisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah lebih mudah terkena bujuk daripada yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Khalayak sebagai Anggota Kelompok
Bauer mencatat, anggapan semula terhadap khalayak dalam proses komunikasi, terutama dalam proses komunikasi massa, adalah sebagai atom sosial. Sebagai kelompok pribadi yang terpisah dengan kelompoknya, mereka memberi reaksi terhadap komunikasi sebagai pribadi seolah-olah tidak rnemiliki ikatan sosial dengan masyarakat. Dalam dekade terakhir ini, bandangan itu mulai digeser oleh pandangan yang menempatkan khalayak Sikap lain yang kelihatan melekat pada khalayak adalah usahanya untuk mencari simpati dari orang lain dengan menyetujui apa saja yang mereka katakan. Hal ini mempunyai hubungan antara disposisi seseorang untuk menerima ajakan komunikator dengan kepribadian yang melekat pada dirinya. Ukuran kepribadian yang amat umum digunakan adalah besamya kepercayaan pada diri sendiri. Seperti digunakan dalam banyak eksperimen, hal itu mempakan ukuran untuk menilai kemampuan seseorang mempercepat proses sosialisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah lebih mudah terkena bujuk daripada yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.


BAB VII
EFEK SOSIOLOGIS DALAM KOMUNIKASI MASSA
EFEK KEHADIRAN MEDIA KOMUNIKASI MASSA
Kita bisa mengatakan, dalam komunikologi efek menunjuk kepada pengertian pengaruh dilihat dari sisi pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan (khalayak). Pada sisi yang lain, dilihat dari sisi sosiologi komunikasi. efek talc sekadar menunjuk kepada pengaruh dilihat dari sisi isi pesan. Pada efek, terkandung pula makna akibat. Seperti yang dinyatakan Donald K. Robert: efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa (Schramm dan Roberts, 977: 359). Karena foknsnya pesan, maka efek hamslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa. Bill kampanye keluarga berencana dalam televisi menyebabkan pirsawan menjadi akseptor, bila anjuran memelihara lingknngan diikuti dengan penanaman pepohonan pada bukit tandus, barulah boleh kita berkata telah terjadi efek. Namun tentu saja, membatasi efek hanya selama berkaitan dengan pesan media, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media massa. Kita cenderung melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun dengan media itu sendiri (Rakhmat, 2000: 218).
Sebagai contoh, jika kehadiran pesawat televisi dalam satu kampung yang barn mendapat penerangan listrik dari pemerintah membuat banyak petani terlambat dun jam pergi ke ladang dan sawah, maka yang dimaksud bukanlah pengamh melainkan akibat. Kita tidak tahu apa saja yang ditonton oleh keluarga petani setiap malam. Kita hanya tahu, keesokan harinya, para petani teriambat dua jam pergi ke sawah atau ladang. Apa artinya? Kehadiran penerangan listrik dan kehadiran pesawat televisi telah berakibat kepada penjadwalan waktu tidur dan perubahan perilaku sosial mereka. Dalam bahasa kampns, kasus perubahan penjadwalan waktu tidur dan perubahan perilaku para petani disebut sebagai domain sosiologi komunikasi.
Steven H. Chaffee, menyebutkan terdapat lima efek kehadiran media massa secara fisik: efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kembali, efek pada penyaluran atau penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media (Rakhmat, 2000: 220). Karena yang dibicarakan adalah efek kehadiran secara iisik, di sini tidak dipersoalkan apakah orang atau khalayak yang diterpa media massa, mengerti atau tidak mengerti dengan pesan yang disampaikan. Pertanyaan yang diajukan hanya menukik misalnya kepada; apa yang texjadi, atau apa yang dilakukan orang setelah memiliki pesawat televisi di rumahnya?
Efek Ekonomis
Para komunikolog dan sosiolog, tampaknya kurang tertarik dengan perm bahasan tentang efek ekonomis. Bis: jadi juga mereka tahn diri, daiam arti memang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang ekonomi. Mereka menyadari, ekonomi bukaniah bidangnya. J adi, bahasan soal efek ekonomis, biarlah para ahli ekonomi saja yang mengupasnya. Dalam ungkapan popular mantan presiden KH Abdurrahman Wahid: gitu saja kok repot. Efek ekonomis, menunjuk kepada manfaat ekonomi sebesar-besarnya yang diperoleh dari pendirian perusahaan surat kabar, radio, atau televisi. Di sini, pasti ditemukan faktor produksi, distribusi, konsumsi. Untuk memproduksi surat kabar misalnya, diperlukan tenaga wartawan dan karyawan dalam jumlah cukup banyak, modal dalam jumlah tidak kecil, dan mesin cetak serta peralatan lain yang cukup canggih. Ada modal yang ditanamkan, ada pula keuntungan yang didambakan.
Dalam bahasa para kiai, pendirian media massa telah melahirkan berkah bagi ratusan atau bahkan ribuan orang. Mereka yang bekerja di hulu seperti percetakan, dan mereka yang bekerja di hilir seperti loper koran, memperoleh manfaat finansial bagi kehidupan pribadi dan keluarganya masing-masing. Roda ekonomi bergerak. Pemerintah pun memperoleh pendapatan dalam bentuk penerimaan pajak. Dalam kerangka itu pulalah, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Para pengusaha perlu didorong menanamkan investasi mereka pada berbagai bidang usaha yang menjanjikan. Berbagai perizinan perlu diberi kemudahan. Pengusaha bukanlah sapi perahan penguasa, melainkan tambang emas bangsa yang perlu dilindungi hak-haknya secara benar.
Singkat kata, efek ekonomis tidak ada hubungannya dengan masalah isi pesan, kualitas pesan, atau cara penyampaian pesan. Tidak pula mempersoalkan siapa bicara dengan siapa, membawa pesan apa, dengan maksud atau tujuan apa. Efek ekonomis lebih tertarik mempersoalkan, seberapa banyak pabn'k, biro-biro jasa, rumah makan, warung nasi, kantin, kios-kios rokok, yang berdiri setelah kehadiran perusahaan media massa. Seberapa banyak pula orang yang memperoleh pekerjaan, honorarium, atau tambahan pendapatan sebagai dampak ikutan dari pendirian lembaga penerbitan surat kabar, radio, televisi, atau media online tersebut.
Efek Sosial
Efek sosial berkaitan dengan perolehan serta peningkatan status sosial orangQrang setelah di rumah mereka terdapat pesawat televisi. Semakin besar ukuran televisi dan semakin mahal harganya, semakin tinggi pula status sosial mereka di mata warga atau kelompok-kelompok dan komunitas sosial setempat. Efek sosial, memang lebih banyak beminggungan dengan wilayah aosiologi. Kit: tahn, di kampung-kampung, di kaki-kaki gunung, di bukit~ bukit yang sepi, kehadiran televisi di rumah ketua dusun atau tokoh petani kaya, pad: akhimya menjadi semacam posko kegiatan dan menjadi pusat jaringan sosial setempat.
Di sana, warga kampung berkumpul sekaligus merancang kegiatan individu clan sosial. Di sana pula, sang ketua dusun, sang tokoh, atau sang kiai, biasa memberikan kuliah umum kepada para warganya tentang bagaimana hidup bertetangga, merawat tanaman padi varietas barn, ntau bagaimana menmri dan memelihara domba adu jagoan mainannya tiap akhir pekan. Efek sosial, yang berkaitan erat dengan pembentukan struktur dan jaringan sosial tersebut, menjadikan kepemilikan pesawat televisi sebagai simbol status seseorang. Dari status sosial ini pula terbagi relasi dan pola kekuasaan atau pengaruh sosial barn. Artinya, mana rakyat jelata, dan mana pula sang ningrat barn, terlihat jelas secara kasat mata. Orang-orang tidal: sulit untuk menyebutkan namanya, ciri-ciri iisiknya, dan sekaligus menunjukkan alamat rumah serta karakter pribadinya.
Efek Penjadwalan Kembali
Efek penjadwalan kembali menunjuk kepada perubahan atau pergeseran waktu serta prioritas kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan para pemirsa televisi. Kehadiran pesawat televisi secara fisik dan tayangan acaranya, disadari atau tidak, telah menciptakan, mengubah, dan menggeser agenda aktivitas individual dan aktivitas sosial masyarakat. Para petani di kampung yang tanpa penerangan listrik, pukul 20.30 sudah tidur lelap. Sebaliknya orang-orang yang bermukim di perkotaan, pada jam yang sama justru barn memulai aktivitasnya, termasuk di antaranya menonton televisi, clan barn berakhir pada larut malam pukul 01.00 atau 02.00 dinihari. Bagi sebasian mgmhahkan muncul nnglcapan: malam dibuatsiang, siang dibuat malam
Agenda individual dan agenda sosial masyarakat menjadi terbalik bukan televisi yang menyesuaikan dengan agenda kegiatan masyarakat, melainkan masyarakatlah yang menyesuaikan dengan agenda siaran dan agenda acara televisi. Maknanya ialah masyarakat ternyata semakin lama semakin bergantung pada televisi. Anak-anak sekolah misalnya, hanya man belajar setelah menonton acara-cara televisi yang disukainya. Jika tidak, mereka lebih memilih untuk tidak belajar. Di mata anak-anak sekolah ini, televisi tetap nomor satu sekolah itu nomor dua.
Jangan kaget kalau kemudian televisi pun semakin bertingkah. Berbagai acara ditayangkan tanpa lagi memedulikan aspek etis dan aspek sosiologis khalayak pemirsa. Acara wisata kuliner misalnya, dari yang semula menyuguhkan makanan-minuman nomatif, kemudian berubah dengan suguhan makanan yang ekstrem dan sangat tidak lazim: sate dan tongseng daging anjing, atau goreng daging tikus! Semuanya dilakukan secara me~ yakinkan, terang-terangan, transparan, dan bukan basa-basi!
Apakah fenomena dan kenyataan seperti hanya ditemukan di Index“ nesia? Ternyata tidak. Di Amerika pun, seperti dilaporkan dengan cermat oleh Schramm, Lyle dan Parker (1961), kehadiran televisi telah mengurangi waktu hex-main, waktu tidur, waktu membaca, dan waktu menonton film warga masyarakat. Menurut Joyce Cramond (1976), gejala gemacam itu menunjukkan reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya.televisi; beberapa kegiatan dikurangi, dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi (Rakhmat, 2000: 221).
Efek Penghilangan Perasaan Tertentu
Steven H. Caffee mengingatkan, apakah kita menonton televisi hanya untuk tujuan yang telah direncanakan sebelumnya, terutama mencari hiburan segar tanpa harus keluar rumah dan menguras biaya? Ia menegaskan, kita tak selamanya menonton televisi dengan tujuan yang jelas atau tujuan yang telah ditentukan. Ada saatnya bahkan kita menonton televisi'tanpa kita sendil‘i menyadarinya! Kita terbawa hanyut oleh suasana atau perasaan tertentu: perasaan marah, jengkel, kecewa, kesepian, dan kebencian!
Ambil ilustrasi ini. J ika kita merasa kesepian, misalnya ditinggal istri kg iuar kota atau ditinggal pergi oleh kekasih, bukankah kita sering melemukan apa yang disebut kompensasi? Kompensasi adalah pelarian dalam pengertian negatif. Jika pelarian itu bersifat positif, namanya sublimasi. Saat isteri atau Eekasih pergi, bagi orang yang tak suka keluar rumah, televisi kerap dijadikan sasaran kompensasi. Orang itu, boleh jadi termasuk Anda sendxri tiba-n’na berubah menjadi berlama-lama atau betah duduk berjam-jam di depan pesawat televisi. Tapi anehnya tidak ada suara tawa meski yang tersaji di layar adalah acara komedi Mr Bean!
Dalam situasi demikian, kita berubah menjadi seperti asosial. Kita tidak man ditemani atau bahkan diganggu siapa pun. Kira hanya asyik dengan diri sendiri. Satu-satunya pihak atau benda yang boleh menemani kita hanya televisi! Sebab televisi tidak akan pernah bisa protes dikatai apa pun, atau bahkan diperlakukan seperti apa pun. Televisi seperti r'nuncul sebagai penolong, penyelamat, atau bahkan seorang sahabat paling setia.
Apakah hanya televisi? Media massa auditif juga demikian. Pernahkah kita melihat anggota keluarga atau teman kita sendiri tiba-tiba membunyikan radio keras-keras? Perilaku yang tiba-tiba terasa aneh dan janggal itu, tidak perlu disikapi secara aneh pula jika kita mengetahui akar penyebabnya. Suara musik keras dari radio menunjukkan pesan: pemilik radio sedang kesal, jengkel, atau marah pada sesuatu atau pada seseorang. Secara sosiologis, dia sedang tidak membutuhkan sahabat atau siapa pun yang mengaku manusia! Dia hanya menginginkan media untuk menumpahkan segala kekesalan atau kemarahannya.
Efek Penumbuhan Perasaan Tertentu terhadap Media
Steven H. Caffee juga menunjukkan dua hal yang paralel. Pertama, media massa mampu menghilangkan perasaan tertentu. Kedua, media massa juga dapat menumbuhkan perasaan tertentu pada diri khalayak seperti perasaan senang dan perasaan percaya kepada media massa. Mengapa senang, dan mengapa percaya? Senang, karena media massa mampu menyajikan hibm‘an yang menank, dapat mengisi kekosongan hati yang gundah-gulana, menjadi sahabat setia saat berduka atau kecewa, dan menawarkan pilihan untuk bertamasya ke dunia dan alam lain melalui berbagai tayangan film, sinetron, atau acara lain yang sejenis.
Percaya, karena televisi adalah dunia gambar. Dalam teori jurnalistik televisi dinyatakan: seeing is believing, dengan melihat barulah pemirsa percaya. Dalam semboyan televisi, berita adalah gambar dan gambar adalah berita. Jadi menyerahkan berita kata ke televisi pasti tidak akan diterima.
Benta kata-kata pasti ditolak karena tidak bisa dipercaya. Tapi media massa ddak hanya televisi. Ada juga surat kabar, tabloid, dan juga radio. Ketiga jenis media ini lebih banyak mengandalkan kata-kata.
Timbul persoalan, apakah surat kabar, tabloid, dan radio, tidak dapat dipercaya? Karena karakteristik masing-masing berbeda, hasil penelitian menunjukkan: baik surat kabar dan tabloid maupun radio, keu'ganya tennasuk media yang dapat dipercaya. Jika tidak, secara sosiologis bisnis surat kabar akan surut, dan perusahaan-perusahaan penerbitan akan bangkrut. Falcta membuktikan, setiap tahun selalu saja ada perusahaan baru yang mencoba masuk ke dalam dunia penerbitan atau penyiaran radio dan televisi lokal.
KOMUNIKASI MASSA SEBAGAI MASALAH SOSIAL
Para ahli sosiologi komunikasi kerap melontarkan oenanyaan kritis akademik: benarkah media massa memiliki efek? Jika memang benar, seberapa besar efek itu, pada saat kapan terjadi, dan kepada siapa atau mengenai apa? Mengasumsikan media massa memiliki efek, berarti memandang apa dilakukan media massa senantiasa berjalan linear. Artinya bergerak lurus dari satu titik ke titik yang lain. J adi seolah-olah media massa hanya membawa cerita keberhasilan (success story). Seolah-olah media massa tidak memiliki persoalan atau bahkan tidak pernah memiliki cerita kegagalan (failure story). Kajian sosologis semacam ini, tentu saja tidak realistis dan tidak bijak.
Faktanya, media massa tidak jarang dianggap sebagai sumber masalah olch masyarakat dan kalangan pengamat. Dalam kerangka ini, Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton dalam Mass Communication: Popular Taste and Social Action (1948) telah merumuskan terdapat empat sumber keprihatinan masyarakat terhadap media massa: ubiquity, status quo, kemerosotan cita rasa cstetis, dan penghilangan sukses sosial. Keempat sumber keprihatinan itu, Selama ini seolah tenggelam di balik kisah sukses dan nama besar media massa llu sendiri.
Ubiquity
Ubiquity menunjuk kepada sifat media yang hadir di mana-mana. Kita tahu, media massa ada di mana-mana secara serempak. Sebagai contoh, radio lnemiliki dnya tembus luar biasa. Di kota-kota dan di desa-desa, di tengah hutan belantara, di ngarai dan lembah, di pantai dan di laut lepas, kita dapat mengikuti siaran radio hanya dengan pesawat transistor sederhana. Di tempat pesta penuh tawa, di medan peperangan penuh lenguh kesaldtan dan erangan melepas nyawa, radio begitu bebas mengusik perhatian kita.
Surat kabar dan majalah, begitu mudah kita temukan di kios-kios rokok dan perempatan jalan, bahkan di setiap meja restoran dan perkantoran. Dengan judul-judul yang menarik, warna-wami yang memikat, dengan harga yang ditawarkan bervariasi tetapi relatif terjangkau, surat kabar dan majalah begitu menggoda perhatian dan selera baca kita. Mata kita terasa tak enak jika tak meliriknya walau sekejap, dan tangan kita terasa gatal kalau tak menyentuhnya walau sekilas. Begitu juga dengan televisi dan mm. Disadari atau tidak, media memang punya pesona. Pesona media inilah yang dianggap sebagai kekuatan dalam memanipulasikan khalayak nntuk tujuan-tujuan yang baik atau bahkan untuk tujuan-tujuan yang buruk. Bukankah pesona ini merupakan sesuatu yang cukup mengerikan?
Status Ouo
Arti harfiah status quo adalah tidak berubah, tidak bergerak, diam, stagnan, tidak aktif, atau berada dalam kondisi serta situasi yang sama. Kalangan kritikus sosial melihat, media massa dengan kekuatan dan segala daya yang dimilikinya, dapat mempertahankan status quo terutama dalam kehidupan bidang ekonomi dan sosial-politik. Sebagai contoh, media massa dapat digunakan oleh kelompok kepentingan (interest group) untuk memengaruhi pemerintah mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi. Kebijakan ini sangat memukul masyarakat bawah dan menengah. Dengan kebjakan suku bunga tinggi, masyarakat bawah-menengah tidak akan dapat memiliki perkakas rumah tangga, sepeda motor atau rumah secara kredit karena harganya menjadi sangat mahal.
Selain itu, media massa juga dapat digunakan oleh kelompok penekan (pressure group) untuk menjamin ketundukan masyarakat terhadap status quo bidang sosial. Dengan mempertahankan status quo sosial, masyarakat dibuat bersikap pasif dan bahkan apatis. Masyarakat tidak peduli dengan bebagai peristiwa yang terjadi dalam lingkungannya sendiri dan sekitarnya.
Kritik sosial diperkecil atau bahkan dibuat menjadi kerdil. Kernampuan berpikir kritis masyarakat, otomatis menjadi tumpul dan mandul.
Kemerosotan Cita~Rasa Estetis
Para kritikus sosial melihat, media massa dengan segala kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya, bisa juga membawa gaya hidup barn (life style) yang serba pragmatis, serba gampangan, serba instan. Gaya hidup yang dibawa dari Barat dan belum tentu cocok dengan masyarakat Timur ini, seolahmlah dicangkokkan begitu saja pada masyarakat dan kebudayaan kita. Segala sesuatu dilihat hanya menurut fungsi atau nilai guna dan tak lagi memperhatikan kaidah atau nilai lain. Konsep apa yang disebut kearifan lokal (local wisdom) dianggap sebagai masa lalu yang hams dikubur dalam-dalam. Sebagai contoh, riimah bergaya minimalis itulah yang yang paling baik, paling bergengsi. Sedangkan rumah dengan arsitektur art deco, bermotif klasik klasik kuno gaya Eropa, dianggap sebagai ketinggalan zaman, tidak eiisien, sekaligus merupakan cerminan ekonomi berbiaya sangat tinggi.
Cita rasa estetis yang memberi tempat dan apresiasi tinggi kepada karya-karya seni dan karya cipta adiluhung, dianggap sebagai suatu kemubaziran abad modern. Pandangan demikian tentu saja sangat menyesata kan. Dari dulu hingga kini, bangsa-bangsa peradaban tinggi senantiasa berpijak kepada dan selalu terobsesi bisa mencapai cita rasa dan karya-karya estetis. Dunia ini terlalu indah untuk tidak diabadikan dalam karya-karya dan cita rasa estetis. Bukankah setiap orang menyukai keindahan, sesuatu yang membuat hati dan perasaan ldta terasa nyaman? Perlawanan tradisionalisme atas modernisme, memang tampak pada fonemena ini. Tradisionalisme tidak bisa menerima pandangan dan keyakinan kaum modernis yang menyatakan, segala sesuatu yang barn dan modern pasti baik, dan segala sesuatu yang lama-kuno itu pasti tidak baik atau tidak bermanfaat.
Penghilangan Sukses Sosial
Para kritikus sosial dan kalangan budayawan kerap mengkhawatirkan sikap dan perilaku media massa yang tidak segan-segan menghapns peta suksea sosial suatu masyarakat atau bangsa yang telah dibangun oleh para pendahulu atau tokoh-tokoh pembaharu selama beberapa dekade. Sebagai contoh, dulu di Indonesia tidak dikenal pemilihan langsung p'residen, gubemur, bupatia wali kota. Sekarang, berkat kegigihan para pejuang reformasi, pemilihan praiden, gubemur, bupati, dan wali kota merupakan suatu keharusan. Inilah yang disebut sebagai keniscayaan dalam bangunan tata demokrasi dan tata pemerintahan kita.
Sukses sosial ini bukannya tanpa perlawanan. Kini, media massa sudah mulai mempersoalkan efisiensi ekonomi dari banyaknya pemilihan gubernur, bupati dan wali kota. Lalu dihitung berapa miliar dan bahkan berapa triliun uang yang dihabiskan untuk proses demokrasi ini. Akhirnya disimpulkan, pemilihan gubemur dianggap sebagai kemewahan demokrasi. Akan halnya pemilihan bupati dan wali kota, sebaiknya disatupaketkan dengan pemilihan anggota legislaif atau pemilihan presiden. Secara ekonomi, ongkos pemilihan gubemur atau pemilihan bupati wali kota, terlalu tingi dibandingkan dengan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat yang diperoleh dalam satu periode jabatan gubemur atau bupati.
Dalam beberapa hal, media massa kerap menggampangkan masalah dan tidak segan-segan untuk melupakan sejarah. Para kritikus sosial curiga, media massa modern, lebih banyak membawa kepentingan kaum kapitalis daripada menyuarakan kepentingan kaum populis. Gejala demikian menurut para kritikus sosia] dan budayawan harus terus_ dilawan secara intelektual, moral, dan kultural. Sebab bukankah pada hakikatnya media massa merupakan kekuatan intelektual (intelectual power) yang terdapat dalam masyarakat?
Jadi, kekuatan intelektual selayaknya dihadapi secara inelektual pula untuk melahirkan pola kewacanaan intelektual (intelectual discourse) yang berkeadaban dalam ruang-ruang publik (public sphare) yang demokratis di Indonesia. Meskipun disadari kerap membawa atau memunculkan masalah sosial, para kritikus sosial sangat berkeberatan jika peran dan fungsi media massa diciutkan melalui berbagai ketentuan dan peraturan perundangundangan. Peran dan fungsi media, selayaknya tetap dipertahankan dun bahkan ditingkatkan sesuai dengan perkembangan dan tunturan zaman. Dalam bahasa kritikus sosial, media massa adalah pengemban tugas sejarah dan peradaban. Karena itu logikanya, ketika peran fungsi dan bahkan eksistensi media massa diciutkan atau apalagi dipudamkun, maka sesungguhnya saat itulah kematian sejarah dan peradaban dimulai.

EFEK PROSOSIAL MEDIA KOMUNIKASI MASSA
Dengan memperhatikan dan mengakui keberatan para kritikus sosial tentang media massa, kita hanya ingin menegaskan, media massa tidak periu dipuja seperti dewa, tetapi tidak perlu pula dicerca seperti narapidana. Kanm intelektual dan ilmuwan di mana pun memiliki keajegan dan kearifan dalam berpikir. Buku ini secara sosiologis hendak menunjukkan, kekuatan dan pengaruh media massa ada, tetapi tidak sehebat yang diperkirakan. Efek sosial media massa juga ada, tetapi tidak seperkasa yang dibayangkan. Sosiologi komunikasi massa melihat, kalau diasumsikan media massa memiliki kekuatan dan pengaruh, pada saat yang sama khalayak komunikan pun menyimpan kekuatan dan pengaruh yang sama. Kapasitas dan selektivitas khalayak, perlu senantiasa dipertimbangkan dalam kajian yang membedah efek media massa. Begitu pula dalam buku ini. Diketahui misalnya, secara sosiologis media massa memiliki tiga efek prososial: efek prososial kognitif, efek prososial afektif, dan efek prososial behavioral.
Efek Prososial Kognitif
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan efek prososial? Dalam komunikologi disebutkan, efek prososial menunjuk kepada derajat manfaat yang dikehen~ daki dan diperoleh masyarakat dari kehadiran dan pemberitaan media massa. Contoh, jika media massa memberitakan sebuah desa di J awa Barat sudah 60 tahun belum memperoleh penerangan listrik, lalu sebulan kemudian desa itu terang-benderang pada malam hari dan warganya: asyik menikmati suguhan tayangan acara-acara televisi, itulah yang dimaksud dengan efek prososial.
Efek prososial kognitif berarti media massa mampu memberikan sentuhan pengetahuan dan pengalaman kognitif kepada orang-orang yang menerima terpaannya, apakah melalui surat kabar, majalah, radio, film, atau televisi. Contoh, jika sajian acara acara Memasak Lezat dalam 30 Menit di televisi mengakibatkan ibu-ibu muda mengerti bagaimana cara memasak yang benar, baik, dan lezat dalam tempo relatif singkat, itulah yang dimaksud dengan efek prososial kognitif. Artinya, telah teijadi transfer pengetahuan (Lari pihak media massa kepada pihak pemirsa televisi.
Sebagian, atau sedjkitnya 20 persen acara media massa, apakah itu surat kabar dan majalah, atau radio dan televisi, bahkan juga media on line interact, diisi dengan rubrik atau acaru yang mexniliki dimensi sekaligus implikasi komtif. Pada surat kabar dan majalah, terdapat begitu banyak rubrik yang sepenuhnya diambkan untuk mengisi kebutuhan kognitif khalayak pembaca. Dapat dipahami jika ahli komunikasi selalu menganjurkan masyarakat, terutama para mahasiswa di kampus, untuk selalu membaca surat kabar dan majalah, sesudah sebelumnya membaca buku~buku teks kuliah yang diwajibkan. Sebagai tambahan, pengetahuan atau dimensi kogni’df, memang lebih memadai diperoleh dari sumber-sumber tercetak. Dengan dicetak, kita mudah untuk menyimpan dan membacanya berulang-ulang kapan kita mau.
Efek Prososial Afektif
Perhatikanlah sajian sinetron pada banyak televisi swasta komersial kita. Di sana lebih banyak disajikan adegan gedung dan rumah bertingkat, kebun luas, kolam renang pribadi, sedan mewah, dan fasilitas lain yang serba luks serta gemerlap. Logika yang digunakan oleh para pemilik rumah produksi, yang kemudian diinstruksikan kepada sutradara dan para pekezja sinetron, adalah sebagian besar masyarakat kita terdiri atas orang-orang miskin yang hidupnya serba pas-pasan. Karena itu, menjual kemiskinan atau penderitaan dalam sinetron, tidak akan laku. Asumsinya saderhana. Kemiskinan dan penderitaan, sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Jika ingin ditonton banyak orang, sinetron kita hamslah menyajikan sesuatu yang berbeda.
Apa sesuatu yang berbeda itu? Tidak lain adalah menjual mimpi! Bercerita tentang gemerlap kekayaan dan kemewahan, adalah bagian dari berdagang mimpi-mimpi itu. Bukankah masyarakat bawah sudah lama memimpikan hidup kaya, punya rumah mewah dan mobil mewah? Jika kemudian kritikus sosial atau kritikus televisi mengecamnya sebagai sinetron tidak realistis, sinetron tidak mengakar, tidak berpijak kepada kenyataan, atau tidak berpijak kepada kenyataan hidup sehari-hari, maka jawabnya: memang benar! J adi tak akan ada, dan memang tidak perlu ada lagi perdebatan. Hanya memang, tayangan acara jenis ini, tidak akan melahirkan efek prososial. Tayangan jenis ini, sangat boleh jadi justru akan mengundang efek asosial, atau efek antisosial!
Sekarang, bandingkan dengan ilustrasi ini. Musibah Situ Gintung Tangerang, Jawa Barat pada April 2009, yang menewaskan lebih dari 100 pr ycnduduk, sobagian dmyatal'an hxlang, ternyata tmah mengmdang simpati dan empati para pcngclola stasiun televiai. LalJ‘disajil'an berbagai berita, laporan, dan feature di balik pen’stiwa jebolnya aim yang dibangln pada 1930 itu. Kita scbagai pemirsa hanyut dalam kesedihan mendalam. Kita terharu, (erpukul, dan bahkan menangis terseduvsedu. Kita merasa, mereka keluarga dan saudara kita juga. Penderitaan mereka, berax’ti penderitaan kita juga. Kia pun berduka. Inilah yang dimaksud dengan efek prososial afektif.
Jadi, apa sebenarnya efek prososial afektif? Dalam komunikologi ditegaskan, efek prososial afektif berarti media massa mampu memberikan sentuhan kejiwaan dan perasaan (psikologis) dalam bentuk belas kasihan, rasa iba, kasih sayang, dukungan, atau sikap pemihakan secara kemanusiaan kepada orang-orang yang menerima terpaan media tersebut Media dimaksud bisa berupa surat kabar dan majalah, bisa juga bempa radio dan televisi serta media on line internet.
Efek Prososial Behavioral
Kita kembali sejenak pada kisah musibah Situ Gintung Tangerang, Banten. Dengan banyaknya korban penduduk yang tewas, lembaga-lembaga penyiaran radio dan televisi, tidak saja hanya melaksanakan fungsi redaksional tetapi sekaligus juga mengembangkan ftmgsi sosial. Fungsi redaksional, diwujudkan dalam bentuk peliputan dan pelaporan berita secara objeku‘f dan komprehensif dari lokasi peristiwa. Fungsi sosial, dimanifestasikan dalam bentuk pembukaan dompet bencana dan penyampaian imbauan kepa:da khalayak pemirsa untuk memberikan sumbangan secara sukarela melalui beberapa nomor rekening bank yang telah disiapkan khusus untuk itu.
Khalayak pemirsa pun akhirnya tergerak menyumbang secara spontan. Sebagian dan' mereka bahkan mengoordinisasikan warga di lingkungan tempat tinggalnya untuk datang meninjau langsung ke lokasi benmm dan memberikan berbagai bantuan yang diperlukan: selimut, mi instan, beras, lauk-pauk, dan bahkan uang kontan. Semua dilakukan secara tulus dengan semangat kemanusiaan yang amat tinggi. Inilah saatnya berbagi dengan saama, kata rnereka dalam hati. Inilah yang disebut sebagai efek prososial behavioral.
Jadi, apa itu yang dimaksud dengan efek prososia] behavioral? Komunikologi menyatakan, efek prososial behavioral berarti media massa mampu memberikan ajakan serta gerakan dalam bentuk suatu atau berbagai perbuatan kongkret kepada orang-orang yang menerima terpaan media tersebut seperti yang dikehendakinya. Efek prososial behavioral, memang lebih menekankan kepada tindakan atau gerakan kolektif kelompok masyarakat dalam menyikapi laporan atau pemberitaan media massa.
Timbul persoalan, jika tindakan atau gerakan kolektif khalayak itu tidak mendukung norma-norma atau kehendak kelompok sosial masyarakat, dapatkah efek itu tetap disebut sebagai prososial behavioral? Secara termino~ logi, prososial berarti segaris dengan norma sosial. Sifatnya positif. J ika efek yang muncul jusu'u kebalikannya, dapatkah kita mengatakan efek ini sebagai efek antisosial behavioral? Dalam sosiologi, gejala demikian disebut sebagai efek disfungsional. Jadi secara teoretis, kita bisa mengatakan efek sosial media massa tak selamanya prososial. Ada juga efek yang sifatnya asosial. chala efek seperti inilah yang perlu diantisipasi sejak dini.
EFEK KOMUNIKASI MASSA DALAM SOSIALISASI
Sosialisasi adalah proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan norma-norma sosialnya sehingga membimbing orang itu untuk memperhitungkan harapan orang lain. Sosialisasi tidak pernah total dan merupakan proses yang terns berlangsung, bergerak sejak masa kanak-kanak sampai usia tua. Sejumlah besar sosialisasi dilakukan dengan sengaja. Tetapi sosialisasi juga terjadi secara tak disadari ketika individu mengambi] petunjuk mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu. Beberapa bagian dalam proses sosialisasi yang kompleks itu dilakukan oleh media massa. Lantas, jenis data yang bagaimana yang kita perlukan untuk menggambarkan peranan media massa dalam sosialisasi? Charles R. Wright, menyebutkan empat faktor, yaitu data perilaku komunikasi, bukti penggunan media, daya serap norma-norma sosial, dan derajat relatif media massa sebagai sumber normatif (Wright, 1985: 182-183).
Data Perilaku Komunikasi
Wright menyebutkan, kita memerlukan data tentang perilaku komunikasi orang-orang dari berbagai tingkat usia. Apakah perilaku komunikasi kelompok usia anak-anak berbeda dengan kelompok usia remaja? Sebagai contoh, kelompok usia mana yang lebih menyukai tayangan acara berita, kelompok usia anak-anak atau kelompok usia remaja? Kelompok usia mana pula yang Iebih menyukai tayangan film kartun, anak-anak atau remaja?
Untuk jawaban atas pertanyaan pertama, kita menduga kelompok remajalah yang lebih menyukai tayangan fllm kartun. Sedangkan untuk jawaban atas pertanyaan kedua, kita menduga balk anak-anak maupun remaja, keduanya sama-sama menyukai tayangan fllm kartun. Tetapi apakah faktanya benar demikian? Sudah tentu diperlukan penelitian komprehensif sehingga kita tidak lagi menduga-duga. Satu hal yang pasti, penelitian sosiologis mengenai perilaku menonton televisi kelompok usia anakanak, kelompok usia remaja, dan kelompok usia" remaja, dewasa ini sangat diperlukan di Indonesia. Semua pihak, diyakini saagat berkepentingan dengan basil penelitian tersebut, termasuk kalangan industri pemasang iklan dan pengelola stasiun televisi sendiri.
Bukti Penggunaan Media
Rita memerlukan bukh' lebih banyak dan 1ebih meyaklnkan tentang penggunaan mediamassa sebagai sumber norma-norma sosial. Hal-Log misalnya, dalam What Do We Really Know About Daytime Serial Listeners melaporkan, sebagian wanita di Amerika percaya bahwa mereka memperoleh resep-mep kehidupan dan memecahkan masalah pribadi dari program radio pada slang hari (lawsfeld, 1944: 3-33). Begitu juga dengan Brenda Dexvin dan Gmenbeng dalam The Communication Environment of the Urban Poor, melaporkan bahwa Orang-orang kulit hitam berpenghasilan rendah di Amerika, bila dibandingkau dengan orang kulit putih dari kelas menengah, cenderung setuju bahwa 0mg Inelihat televisi karena mereka dapat belajar dari kesalahan orang lain (Kline dan lichenor, 1972).
Hasil penelitian mengenai penggunaan seperti itu, bagaimanapun Sanger diperlukan untuk melihat seberapa besar peranan media mass: Sebagai agen-agen sosialisasi pada berbagai kelompok usia dan kelompok Sosial, balk di perkotaan maupun di perdesaan. Sejauh ini, kita lebih banyak berpijak kepada asumsi bahwa media massa memang merupakan salah Satu agen sosialiasi yang sangat efektif sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Namun apakah pada semua bentuk dan tujuan sosialisasi secara spesifik, media massa terbukti efektif pula? Belum tentu. Untuk itulah perlu penelitian tematik secara mendalam.
Daya Serap Norma Sosial dari Media Massa
Apakah kita memiliki cukup banyak data dan informasi mengenai seberapa banyak orang menyerap norma-norma sosial dari media massa? Kalaupun diketahui cukup banyak, perlu juga dikaji: seberapa tinggi atau seberapa kuat daya serap norma sosial yang bersumber dari media massa itu? Ini menarik untuk diteliti. Terlebih lagi ketika masyarakat terutama di perkotaan dihadapkan kepada realitas yang semakin beragam dan terspesialisasi. Lebih dari itu, masyarakat pun dihadapkan kepada demokratisasi media. Artinya, terdapat cukup banyak pilihan bagi masyarakat dalam penggunaan media.
Ketika dihadapkan kepada banyak pilihan dalam penggunaan media massa, apakah masyarakat akan cenderung bersikap tunggal atau plural? Tunggal, berarti cenderung hanya berhubungan dengan satu jenis media karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Plural, berarti berhubungan dengan beragam jenis dan bentuk media karena pertimbangan daya dukung ekonomi dan status sosial dirinya. Singkatnya, kelompok plural ini memiliki kemampuan ekonomi cukup tinggi, walaupun tidak setiap orang dari kelompok ini otomatis menganut aliran plural! Untuk itulah, Wright menyarankan perlunya identifikasi khalayak yang berperan sebagai tokoh rujukan dalam penerapan nilai-nilai dan perilaku sosial.
Derajat Media Massa sebagai Sumber Normatif
Wright mengingatkan, kita juga perlu mengetahui lebih banyak lagi mengenai derajat relatif media massa sebagai sumber normatif di antara agen sosialisasi lainnya seperti keluarga, sekolah, dan kawan sepermainan. Neil Holander, misalnya, dalam Adolescent and the War: The Sources of Sozialization (1971) melaporkan, sampe] yang terdiri dari kelompok murid kelas tertinggi di sekolah menengah menyebutkan bahwa media massa, temtama televisi, merupakan agen sosialisasi yang lebih panting daripada agen sosialisasi tradisional seperti gereja, keluarga, teman, dan sekolah dalam menerapkan ideologi mereka tentang perang. Contoh lainnya, Steven Chaffee dan Scott Ward dalam Mass Communiv cation and Political Socialization melaporkan, murid-murid sekolah me nengah kelas bawah dan kelas tinggi di Wisconsin Amerika menyatakan bahwa media massa merupakan sumber informasi dan sumber pendapat pribadi paling penting mengenai peristiwa aktual, bila dibandingkan dengan sumber alternatif lainnya seperti orang tua, teman, dan guru (Chaffee, Ward, dan Leonard Tipton, 1970: 647-666).
Apa maknanya? Dari hasil penelitian Chaffee dan Ward serta Neil Hoiander diketahui dengan pasti, kelompok usia remaja tidak lagi bergantung pada orang tua mereka di rumah sebagai sumber rujukan dan sekaligus sebagai agen terpenting sosialisasi. Pola pandang mereka berubah dari ke dalam atau sekitar rumah dan keluarga (in ward looking) menjadi ke luar dari lingkungan mmah dan keluarga (out ward looking). Kelompok usia remaja, yang semula termasuk loyalis dalam keluarga inti mereka, berubah menjadi individu yang sangat kritis. Gejala inilah yang kerap dikeluhkan kalangan orang tua yang tidak menyelami psikologi perkembangan dan psikologi remaja.
EFEK SOSIAL DALAM PERSUASI MEDIA MASSA
Kita masih ingin menyelami sampai relung-relung terdalam bebagai aspek yang berkaitan dengan efek sosial komunikasi massa. Kita ingin mengungkap rahasia di balik asumsi keperkasaan sekaligus misteri di balik tabir besar media massa. Para sosiolog misalnya bertanya, apa yang dapat dilakukan media massa dalam proses demokratisasi sosial politik suatu bangsa? Nilainilai demokra’ds seperti apa yang disosialisasikan melalui media? Bahkan, seperti disinggung Wright dalam bukunya, diajukan juga pertanyaan menggugat: apakah media massa mempunyai efek pada pendapat umum, atau pada kegiatan kampanye pemilihan umum?
Muncul juga kecemasan, individu dan masyarakat, jangan-jangan mereka dimanipulasikan oleh sekelompok orang pemilik media massa untuk tujuan tertentu. Katakanlah mematikan karakter calon presiden yang satu, dan mengelu-elukan karakter serta ketokohan calon presiden yang lain. Para sosiolog juga tertarik untuk mempersoalkan: jika memang ada, sebesar apakah efek media massa dalam aktivitas persuasi massa? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya di sini kita sajikan dua kisah penelitian, 1agi~ lagi di Amerika. Pertama, siaran marathon penjualan kupon perang. Kedua, kampanye informasi masyarakat.
Siaran Marathon Kupon Perang
Selama Perang Dunia 11, Kate Smith, seperti dituturkan Merton, Fiske dan Curtis dalam Mass Persuasion: The Social Psychology of A War Bond Drive (1946), melalui pemancar radio CBS melakukan siaran marathon selama delapan belas jam nonstop. Selama waktu itu ia telah mengulang imbauan setiap beberapa menit. Ia ternyata berhasil memperoleh bantuan khalayak sekitar 39 juta dolar AS untuk menyumbang biaya perang pemerintah Amerika Serikat. Dalam acara serupa setahun kemudian, ia juga berhasil menjual “kupon perang” kepada para pendengar hingga mencapai 10 juta dolar AS Wright, 1985: 191).
Radio, seperti diceritakan dalam banyak buku, memang kerap digambarkan memiliki sedikitnya dua efek sosia]: efek dramatis, dan efek sosiologis. Efek dramatis, menunjuk kepada efek auditif kata-kata dan aneka suara dengan daya imajinatif tinggi sehingga khalayak pendengar dibuat seperti terhipnotis. Jika yang disuguhkan cerita ketakutan, kengerian, kepanikan, serta-merta khalayak pendengar pun dibuat takut dan panik. Cerita tentang invasi makhluk dari planet Mars misalnya, benar-benar telah menyebabkan sebagian penduduk beberapa kota di Amerika mengalami histeria massal. Mereka menjerit, melolong, menangis histeris, dan lari pontang-panting menyelamatkan diri ke lubang-lubang perlindungan (bunker). Inilah yang terjadi pada sejurnlah drama radio yang pernah disiarkan di Amerika sampai dengan sebelum 1950.
Efek sosiologis, berkaitan erat dengan kemampuan radio dalam melakukan persuasi massa secara cepat dan bemlang-ulang sehingga membangkitkan kesadaran kolektif dan kesediaan khalayak pendengar yang terpencar, anonim dan heterogen, untuk melakukan sesuatu tindakan yang diinginkan. Radio adalah salah satu sarana efektif persuasi massa dengan cara mudah sekaligus berbiaya murah. Tetapi dalam konteks Indonesia, masih teramat sedikit politikus yang menyadari kekuatan radio dan menggunakannya untuk kepentingan petrsuasi massa dan kampanyeekampanye poiitik mereka.
Kampanye lnformasi Masyarakat
Pada tahun 1947 sejumlah organisasi masyarakat, termasuk Persekutuan Amerika untuk PBB, memulai kampanye komunikasi massa selama enam bulan secara insentif di cincinati,ohio, yang memberikan informasi mengenai PBB dan kejadian kajadain di dunia. Rencana cininati ini adalah ntuk memberikan bukti sosial mangenai bagaimana masyarakat yang begitu luas dapat diberi pengetahuan mengenai masalah-masalah dunia mellui kampanye pendidkan massa. Banyak fasilitas komunikasi di Cincinnati digunnknn secara ekstensif selama enam bulan penuh: cerita-cerita ditulis di Surat-aural kabar dan di radio; pamflet-pamflet khusus, dan poster-poster telah discbzn'kan. Pertcmuan dan ceramah-ceramah pun diselenggarakan.
Apakah basil keseluruhan kampanye itu? Nampaknya sedikit sekali perubuhan terjadi dalam masyarakat. Para peneliti tidak melihat pengaruh signifikan pada pengetahuan, minat, dan pendapat atau perilaku publik mengenai PBB dan kejadian-kejadian di dunia. Kasus Cincinnati Plan jelas menggambarkan kegagalan. Sedangkan kasus siaran marathon Kate Smith menunjukkan keberhasilan. Kedua kasus ini menunjukkan kesimpulan bahwa pertimbangan kritis kita di sini bukan pada apakah kampanye media massa menimbulkan efek pada masyarakat atau tidak, melainkan pada kondisikondisi apakah media massa itu berpengaruh (Wright, 1985: 191-192).
Jadi, apa yang disebut terpaan selektif, perhatian dan minat selektif, menjadi variabel-variabel yang cukup menentukan dalam pengukuran efek sosiologis kampanye, persuasi, atau sosialisasi media massa pada masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Agaknya, faktor inilah yang juga menjadi penyebab kehati-hatian para komunikolog dan sosiolog dalam merurnuskan dan menyimpulkan efek komunikasi massa. Singkatnya, setiap kondisi melahirkan karakteristik serta implikasi tertentu. Akibatnya, hasil pengukuran dan penelitian tentang efek komunikasi massa bisa berlainan untuk khalayak serta tempat yang sama.
EFEK PORNOGRAFI DAN PENGGAMBARAN KEKERASAN
Pornografi dan kekerasan, sering digambarkan sebagai dua hal yang cukup Inengerikan dalam dan bagi kehidupan kita. J angankan melihat dengan mata telanjang, membayangkannya pun bagi sebagian besar orang sudah dianggap Sebagai kegiatan menakutkan. Pornograii dan kekerasan, dua hal yang tidak Derlu hadir dalam kehidupan kita. Masalahnya, kedua hal itu, diamédiam Sering menyelusup ke ruang tamu dan kamar tidur kite melalui tayangan acara televisi. Para sosiolog bertanya: seberapa besar efek pornogrofi dan penggambaran adegan kekerasan pada televisi terhadap khalayak pemirsa?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menyimak dulu hasil temuan Klapper. Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dam perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum:
1.      Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predis~ posisi personal, proses selektif, dan keanggotaan kelompok.
2.      Karena faktor-faktor mi, komunikasi massa biasanya berfungsi mempeikokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3.      Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4.      Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidangbidang ketika pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
5.      Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977: 149 dalam Rakhmat, 1998: 232).
Bila menyelami kesimpulan yang diajukan Klapper, kita rasanya tidak terlalu risau dengan bayangan kemungkinan munculnya berbagai dampak negatif yang mengerikan dari tayangan pornografi dan kekerasan pada media massa terutama televisi dan film. Efek itu pasti ada, dan mustahil bisa dihapuskan. Hanya saja, kita bisa memperdebatkan unsur-unsur yang melatarbelakanginya. Bukankah kata Klapper, komunikasi massa hanya memperkokoh pendapat dan sikap yang sudah ada, serta efeknya terbukti lemah pada orang yang sudah memiliki predisposisi personal dan ikatan keanggotaan kelompok?
Efek Pornografi
Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia. Sifatnya seronok, jorok, vulgar, membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk foto, poster, leaflet, gambar video, film, dan gambar keping video compact disc, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (Bungin, 2005: 124).
Menurut sosiolog Burhan Bungin, dalam konteks media massa, pomw grati, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter media yang menyiarkannya. Namun dalam banyak kasus, pornografi (cetak-visual) memiliki kedekatan dengan pornoteks, karena gambar dan teks dapat disatukan dalam media cetak. Sedangkan pornoaksi dapat bersamaan pemunculannya dengan pomograii (elektronik) karena ditayangkan di televisi. Kemudian pornosuara dapat bersamaan muncul dalam media audiovisual, seperti televisi atau media audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnya seperti telepon. Bahkan varian porno ini menjadi satu dalam media jaringan seperti internet, yaitu yang sering dikenal dengan cybersex, cyberporn.
Dengan demikian, kata Bungin lebih lanjut, konsep pornomedia meliputi realitas porno yang diciptakan oleh media seperti antara lain gambar-gambar dan teks-teks porno yang dimuat di media cetak, film-film porno yang ditayangkan televisi, cerita-cerita cabul yang disiarlcan di radio, provider telepon yang menjual jasa suara-suara rayuan porno, serta proses penciptaan realitas porno itu sendiri seperti proses tayangan gambar serta ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media massa, proses rayuanrayuan yang mengandung rangsangan seksual melalui sambungan telepon, dan penerbitan teks'teks porno (Bungin, 2005: 125-126).
Banyak yang bertanya, apakah efek pornografi sangat membahayakan masyarakat, terutama kalangan remaja dan pemuda yang belum menikah? Apakah erotika (materi pornografis) atau erotisme, dipandang sebagai kegiatan memalukan dan menyesatkan, ataukah kegiatan yang asyik menyenangkan? Apakah melihat erotisme dan pornografi, menjadi faktor pemicu meningkatnya kasus-kasus perkosaan dalam masyarakat? Jika berhadapan dengan masalah pornografi, benarkah khalayak komunikasi massa terutama kelompok usia remaja-pemuda, bermental sangat rapuh?
Untuk itu, kita perlu mengutip hasi] penelitian di Amerika. Sebuah survei nasional pada 1970 yang disponsori oleh Commision on Obscenity and Pornography menyatakan bahwa sekitar dua-pertiga orang-orang dewasa di Amerika percaya bahwa materi seksual merangsang orang secara seksual; dan satu-pertiganya percaya bahwa materi seksual menyebabkan orang “gila seks”. Tetapi enam dari sepuluh orang dewasa percaya bahwa materi seksual memberikan informasi mengenai seks; sekitar setengahnya berpikir bahwa materi itu memperbaiki hubungan seks di antara pasangan yang menikah. Sekitar sepertinya lagi berpikir bahwa materi seks memberikan penyaluran bagi dorongan seksual yang terpendam. Survei lainnya yang dikutip komisi itu menunjukkan bahwa para ahli juga berbeda satu sama lainnya dalarn pandangan mereka (Wright, 1985: 175).
Bagi kapitalisme, pomografi adalah industri yang menggiurkan. Menghapus pornografl dari peta bumi, sama saja dengan membuang tumpukan emas murni ke tengah lautan. Sesuatu yang sangat merugikan. Karena pandangan demikianlah, mengapa pornografi via media massa nyaris tak pemah bisa diselesaikan secara tuntas di dunia, termasuk di Indonesia. Sampai hari ini, masih kerap terjadi perdebatan dan bahkan gugatan mengenai lahir dan menyebarnya film-film bertema pornografl. Pandangan masyarakat seperti terbelah dua. Kubu yang satu melihat, pornografi harus dihapuskan dari media massa, efeknya merusak moral kaum remaja-pemuda, dan nilainilai sosial ekonorninya tidak signifikan. Tetapi-kubu yang lain berpendapat, pomografi ada karena tidak lain untuk memenuhi selera serta tuntutan pasar. J adi selama pasamya ada, pornograii tak mungkin sirna dari masyarakat.
Efek Kekerasan
Jika pomografi banyak dibela Oleh kaum kapitalis karena merupakan komoditas menggiurkan di seluruh dunia, bagaimana dengan kekerasan? Ada yang berpendapat, kekerasan pada berbagai tayangan acara film televisi, harus dimaknai sebagai bentuk dan varian hiburan yang tidak perlu diperdebatkan. Televisi memiliki efek dramatis. Televisi juga memiliki dampak psikologis, ketika hasrat dan naluri kekerasan para pemirsa, dapat disalurkan secara positif melalui tokoh-tokoh cerita yang ditayangkan. Dalam psikologi, gejala demikian disebut sublimasi. Sifatnya positif. Jadi, hasrat dan potensi perilaku kekerasan seseorang, tidak perlu dimanifestasikan dalam tindakan nyata. Tetapi cukup disalurkan ke dalam realitas film media massa. Oleh karena itu tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Kekerasan bisa dimaknai secara psikis, bisa juga diartikan secara fisik, Secara psikis, terlukis dalam kata-kata makian, hujatan, penistaan, atau kata’ kata serangan untuk menjatuhkan mental musuh. Secara fisik, terlihat dari adegan pemukulan, pengeroyokan, penganiayaan, penyiksaan, penusukan, atau penembakan. Jadi, kekerasan bisa terdapat dalam teks, bisa pula muncul dalam bentuk gambar. Apakah penggambaran adegan kekerasan pada televisi, dengan sendirinya memicu masya'rakat untuk bersikap beringas dan berperilaku anarkis? Apakah efeknya tidak termasuk sangat membahayakan, bagi anak-anak?
Gallups Polls mengadakan penelitian pada pertengahan abad 20. I3 menemukan bahwa tujuh dari 10 orang Amerika percaya bahwa kenakalan remaja sedikitnya sebagian dapat disebabkan oleh media massa seperti buku~ buku komik mengenai kejahatan dan film detektif dalam televisi atau radio. Tetapi tiga dari sepuluh orang tidak setuju dengan pendapat ini. Bahkan jika mereka setuju, konsensus mengenai persoalan itu tidak perlu bemrti bahwa pendapat umum itu benar. Sebagian ahli yakin bahwa isi media massa tertentu menimbulkan efek merugikan yang begitd jelas sehingga tidak perlu dibuktikan lagi (Wn'ght, 1985: 177).
Para kritikus sosial mengingatkan, boleh saja media massa dijadikan kambing hitam sebagai pemicu perilaku kekerasan terhadap kalangan remaja dan pemuda. Kalaupun efek itu dianggap ada, skopnya kecil saja. Satu hal yang hams diwaspadai, justru kemungkinan munculnya penyebab tindak kekerasan dalam lingkugan keluarga: sikap orang tua, hubungan keluarga Yang terganggu, atau gangguan-gangguan emosional pada individu. Sebagaj langkah antisipatif, dalam konteks Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengingatkan para pengelola stasiun televisi untuk lebih berhatL hati dengan penayangan film-film atau acara sejenis yang bertema kekerasaq Kalaupun tak terhindarkan, maka jam tayangnya diubah menjadi selepas pukul 22-00 malam. Asumsinya, pada jam itu, anak-anak dan remaja sudah tidur.
TIPOLOGl EFEK MEDIA KOMUNIKASI MASSA
Danie McQuail, melihat efek atau dampak komunikasi massa dalam beberapz‘ tegori dan jenis. Ia mengatakan ada efek komunikasi massa yang diinginkan, ada pula efek komunikasi massa yang tidak diinginkan. Selain itu, ada efek dalam rentang atau lingkup jangka pendek ada pula efek dalam rentang jangka panjang. Pada efek jangka penedek terdapat faktor yang disengaga den faktor tidak disengaja, Begitu pula dalam efek jangka panjang. ada yang tmuk disengaja ada juga yang termasuk tidak disagaja. Melalui tipologi efek media yang disusunnya Quail tak ubahnya sedang membuat jembatan penyeberangan bagi para akademikus dan peneliti agar bisa memetakan secara visual mengenai efek komunikasi massa.
Pada unsur waktu jangka pendel dalam kategori disengaja, misalnya Quail mencantumlcan variabel tanggapan indivldu dan variabel kampanye media. Sedangkan dalam jangka panjang, terdapat variabel penyebaran dalam pembangunan dan distribusi pengetahuan. Untuk waktu jangka pendek dalam kategori tidal: disengaja, Quail memasukkan variabel reaksi kolekif dan variabel reaksi individu. Sedangkan pada dimensi waktu jangka panjang dalam kategori tidak disengaja, Quail memaudang perlu untuk memasukkan empat variabel panting: pengendalian sosial, sosialisasi, penentuan realitas, dan perubahan lembaga. Berikut penjelasannya secara singkat yang dikutip penuh clari Quail:
Tanggapan individu. Proses ketika individu berubah atau menolak perubahan, sebagai tanggapan terhadap pesan yang dirancang untk memengaruhi sikap, pengetahuan, atau perilaku.
Kampanye media. Mengisyaratkan situasi ketika sejumlah media digunakan untuk mencapai tujuan persuasif atau informasional dalam populasi yang dipilih. Contoh yang paling umum ditemukau dalam politik, iklan, pengumpulan dana, informasi publik untuk kesehatan dan keselamatan. Kampanye cenderung mengandung karakteristik berikut: memiliki tujuan khusus dan jelas serta memiliki rentang waktu terbatas dan terbuka kemungldnan untuk menilai efektivitasnya.
Reaksi individu. Konsekuensi pendekatan yang tidak direncanakan atau tidak dapat diperkirakan oleh seseorang terhadap stimulasi media. Konsekuensi ini sebagian besar telah diacu sebagai peniruan dan tindakpelajaran, khususnya dari tindakan agresif atau kriminal, dan juga dari gagasan dan perilaku yang prososlal. Jenis dampak lainnya mencakup penggantian aktivitas lain, peniruan gaya dan model, penyatuan diri dengan para pahlawan atau bintang, rangsangan seksual, reaksi terhadap rasa takut, kecemasan, dan gangguan.
Reaksi kolekrif. Di sini dampak yang sama dialami secara serentak oleh banyak orang, yang menimbulkan tindakan bersama, biasanya tindakan yang tidak teratur dan tidak dilembagakan. Dampak yang paling penting timbul dari rasa takut, cemas, dan marah, yang mengakibatkan kepanikan dan kerusuhan sosiai.
Penyebaran dalam pembangunan. Penyebaran inovasi yang direncanakan untuk kepentingan pembangunan jangka panjang, dengan menggunakan serangkaian karnpanye dan sarana pengaruh lainnya, khususnya jaringan hubungan pribadi dan struktur wewenang komunitas atau masyarakat.
Distribusi pengetahuan. Konsistensi aktivitas media daiam lingkup berita dan informasi bagi pendistribusian pengetahuan di antara berbagai kelompok sosial, kesadaran yang berubah-ubah tentang peristiwa, prioritas yang ditetapkan pada aspek “realitas”. '
Sosialisasi. Kontribusi media yang tidak formal terhadap pembelajaran dan penerapan norma, nilai, dan harapan yang berlaku bagi perilaku dalam peran sosial dan situasi tertentu.
Pengendalian sosial. Mengacu kepada kecenderungan sistematis untuk menyebarkan konformitas terhadap tata tertib yang diterapkan dan menegaskan keabsahan wewenang yang ada. Bergantung pada teori sosial yang dianut, dan hal ini dapat ditempatkan sebagai perluasan sosialisasi yang disengaja atau sebagai perluasan yang tidak disengaja Perubahan lembaga. Hasil adaptasi yang ,tidak direncanakan oleh lembaga yang ada terhadap perkembangan dalam media, khususnya yang memengaruhi fungsi komunikasinya.
Penentuan realitas. Proses yang serupa tetapi berbeda karena 1ebih berkaitan dengan kognisi (pengetahuan dan opini) daripada nilai dan tidak timbul dari upaya manipulasi yang disengaja tetapi dari kecenderungan sistematis dalam media untuk menyajikan versi realitas yang tidak lengkap dan agak tidak jelas (Quail, 1987: 232-234).
Denis McQuail mengingatkan, keseluruhan uraian pokok tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan proses dampak atau efek yang dibedakan menurut tingkat, rentang waktu, kerumitan, dan beberapa kondisi lainnya yang telah dikemukakan sebeiumnya secara ringkas. Dalam hal-hal tertentu,model dasar yang sama dapat digunakan untuk menangani 1ebih dari satu broses karena perbedaan spesifikasi tidaklah penting (Quail, 1987: 234).
Semula, sebagian dari kita berkeyakinan, efek media massa bersifat segera dan serempak dengan berpijak kepada asumsi faktor ketersegeraan dan keserempakan proses terpaan media. Temyata fakta teoretis dan fakta empiris membuktikan lain. Artinya, seperti ditegaskan Quail, efek media massa bertingkat-tingkat, dipengaruhi rentang waktu, dan juga mengandung kadar kerumitan yang tidak sama. Fakta ini, tentu saja sangat berharga tidak saja bagi para peneliti dan ilmuwan kampus, tetapi juga bagi para praktisi pengambil kebijakan pada pemerintah tingkat pusat, regional, dan tingkat lokal. Strategi dan pendekatan media secara komprehensif yang disusun untuk menopang program-program sosial-politik, niscaya sangat diperlukan dan karena itu perlu direncanakan secara matang.
Untuk melihat seperti apa dan mengukur seberapa jauh efek atau dampak media massa terhadap pandangan, sikap, perilaku, dan agenda aktifitas individu serta agenda masyarakat, Quail menawarkan 4 teori. Keempat teori itu djnamainya teori penataan realitas, teori spiral kebisuan, teori pengolahan, dan teoxi pengendalian sosial. Berikut penjelasan singkatnya:
Teori Penataan Realitas
Quail menegaskan, media menawarkan pewakilan realitas mayarakat. Apabila media dapat menyampaikan pesan tentang prioritas dan mengarahkan perhatian pada berbagai isu dan masalah secara selektif, media dapat berbuat lebih banyak. Dalam teori penataan realitas dinyatakan, dampak media terjadi secara tidak disadari, sebagai hasil kecenderungan organisasi, praktik bidang keahlian, dan batasan teknis. Paletz dan Entman (1981) mengaitkan perkembangan mitos konservatif pada apa yang disebut jurnalisme bungkusan, yaitu kecenderungan para wartawan untuk bekerja sama, menyepakati konsensus, meliput kisah yang sama, dan menggunakan sumber berita yang sama.
Gagasan bahwa menata realitas berdasarkan kebutuhan dan kepentingannya sendiri telah menyediakan tema bagi penelitian tertentu dengan implikasi yang kuat akan adanya dampak. Contoh awal adalah studi yang dilakukan oleh Lang dan Lang (1953) atas liputan televisi tentang kembalinya McArthur dari Korea. Studi ini menunjukkan betapa peristiwa yang tadiiiya relatif berskala kecil dan senyap, berubah menjadi sesuatu yang hampir bempa demonstrasi penyambutan dan dukungan massa oleh arahan kamera secara selaktif membidik sebagian dari aktivitas dan minat yang menonjol (quail, 1987: 252 253).
Teori Spiral chisuan
Teori spiral kcbisuan (the spiral of silence) dalam lingkup pembentukan opim' telah dikembangkan oleh Neolle-Neumann (1974), yang bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa pada umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dalam pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau ‘konsensus’. Sumber informasi yang utama tentang konsensus adalah media. Akibatnya, para wartawan yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk menetapkan apa yang dipandang sebagai ‘iklim opini’ yang berlaku pada saat tertentu dalam isu tertentu, atau yang lebih luas
Istilah umum spiral kebisuan diberikan oleh Neolle-Neumann bagi gejala ini, karena logika yang mendasarinya menyatakan bahwa semakin tersebar versi konsensus opini yang dominan oleh media massa dalam masyarakat, semakin senyap pula suara perorangan yang bertentangan, yang meningkatkan dampak media, dan juga proses spiral. Pembuktiannya menunjukkan bahwa proses seperti itu terjadi di Jerman pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menguntungkan Partai Demokrasi Sosial yang berkuasa, karena kecenderungan kekiri-kirian di kalangan wartawan media yang utama (Quail, 1987: 252).
Teori spiral kebisuan makin memperkuat asumsi para kritikus sosial yang menyatakan, media tidaklah bergerak linear: 'bergerak lurus dari satu titik ke titik berikutnya tanpa motivasi dan kepentingan tertentu. Media juga niemiliki motif dan orientasi ideologi sendiri, yang dalam banyak hal sering berbeda dengan orientasi sosiologis mayoritas masyarakat. Pada perspektif inilah, apa yang disebut objektivitas media menjadi seperti filsafat gelang karet: bisa mengecil, bisa juga membesar, bahkan bisa juga menjadi tetap tidak berubah (stagnan). Singkatnya, media tak selamanya merepresentasikan kepentingan masyarakat. Ada pula saatnya, dengan berbagai pertimbanan tertentu, media massa justru lebih mendahulukan kepentingannya sendiri dan kelompok serta aliansi-aliansi strategisnya.
Teori Pengolahan
Di antara berbagai teori mengenai dampak media jangka panjang yang menonjol adalah hipotesis pengolahan dari Gerbner (1973) yang mengatakan bahwa televisi, di antara berbagai media modern, telah memperoleh tempat yang sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi ‘lingkungan simbolik’ kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Pesan televisi, dalam pandangan mereka, bersifat khusus dan menyimpang dari ‘realitas’ dalam beberapa hal panting. Namun pendadahannya secara terus-menerus menyebabkan penerimaannya sebagai pandangan konsensus tentang masyarakat (Amerika).
Bukti utama bagi teori pengolahan berasal dari analisis isi televisi Amerika secara sistematis. Analisis tersebut dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukkan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isi ini yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita, dan minoritas rasia] (Quail, 1987: 254).
Teori pengolahan, secara tersirat hendak menunjukkan tingkat keperkasaan media seperti ditunjukkan dalam teori peluru atau teori jarum hipodermik. Kita boleh saja berkeyakinan kita sekarang hidup dalam era modern yang serba canggih dengan tingkat intelektualitas masyarakat relatif sangat tinggi. T etapi ketika dihadapkan kepada realitas dan ideologi televisi, hasilnya tidak banyak bembah. AItinya, kita tetap saja seolah terpinggirkan. Kita tetap saja dicitrakan sebagai khalayak yang pasif. Kita cenderung dikendalikan oleh televisi, dan bukan kita yang seharusnya mengendalikan televisi. Gejala inilah yang menyebabkan mengapa sebagian pakai' komunikasi menjuluki televisi sebagai agama kedua bagi masyarakat modern. Tanpa televisi, hidup ini seolah menjadi sangat tidak berarti. Sia-sia. Dampaknya, paling tidak dalam perspektif industri komunikasi dan informasi, menjadi luar biasa dan bahkan mungkin tak terduga. Fenomena rating atau pemeringkatan acara, tiba-tiba muncul menjadi dewa penentu bagi hidup-matinya siaran televisi.
Teori Pengendalian Sosial
Teori ini berpendapat bahwa umumnya tindakan media mendukung niiai~nilai dominan dalam masyarakat atau bangsa, melalui gabungan pilihan pribadi dan lambaga, tekanan dari luar, serta antisipasi tentang apa yang diharapkan dan djinginkan khalayak yang besar dan heterogen. Pandangan lain menyatakan bahwa media pada dasamya konservatif karena adanya komhinasi kekuatan pasar, persyaratan operasional, dan paktik kerja yang mapan.
Pandangan berikutnya menyatakan bahwa media secara aktif berfungsi untuk kepentingan kelas penguasa (dan sering termasuk pemilik media) atau pemerintah borjuis dalam upaya menekan atau meninabobokan oposisi, serta menghalangi terjadinya penyimpangan politik dan sosial. Hal ini pada dasarnya merupakan pandangan marxis tentang media sebagai alat untuk mengabsahkan kapitalisme (Miliband, 1996; Wastergarrd, 1977).
Dalam perspektif tersebut, logis jika kita menemukan bukti-buk’d teoretis dan bukti-bukti empiris tentang apa yang disebut peniadaan media, walaupun diakui tidaklah mudah untuk melakukan itu. Kita patut bersyukur kepada Warren Breed (1958) yang, atas dasar apa yang diacunya sebagai ‘analisis isi terbalik’ (dengan membandingkan isi pers dengan studi komunitas sosiologis), menyimpulkan bahwa surat kabar Amerika secara konsisten meniadakan berita yang diperkirakan akan mengganggu nilai-nilai agama, keluarga, komunitas, bisnis, dan patriotisme. Ia menyimpulkan bahwa kekuasaan dan kelas dilindungi oleh aktivitas media.
Analisis perbandingan isi berita dalam satu atau beberapa negara telah menambah bukti peniadaan perhatian atas isu dan bagian dunia secara Sistematis. Studi terperinci tentang isi berita seperti yang dilakukan oleh The Glasgow Media Group (1977; 1980) atau oleh Golding dan Elliott (1979) telah Inendokumentasikan beberapa pola peniadaan media yang signifilmn.
Golding (1980) menulis tentang ‘hilangnya dimensi’ kekuasaan dan Proses sosial dalam berita televisi di berbagai negara. Tidak adanya kekuasaan dicirikan oleh: ketidakseimbangan perhatian media terhadap dunia; pemusatan perhatian ditujukan kepada individu daripada kepada lembaga secara keseluruhan; dan pemisahan pilihan kebijakan dari hubungan yang men~ dasari kekuasaan politik dan ekonomi. Proses sosial menghilang karena Demusatan perhatian jangka pendek, pengambangan berita dibandingkan dengan pendalaman untuk perubahan jangka panjang. Menurut pandangan Holding, hasilnya adalah sejenis ideologi yang menunjukkan dunia sebagai sesuatu yang tidak berubah dan tidak dapat diubah, dan kita cenderung menghindarkan perkembangan pandangan yang mungkin mempersoalkan distribusi kekuasaan dan pengendalian yang berlaku (Golding, 1980: 80).
Teori pengendalian sosial, dalam beberapa hal semakin mengukuhkan teori realitas tangan kedua (the second hand reality) dalam sosiologi komunikasi massa. Asumsinya, realitas yang diberitakan dalam surat kabar, radio atau televisi, bukanlah realitas yang asli dan apa adanya yang diperoleh dari lapangan (realitas tangan pertama, the first hand reality). Realitas yang diberitakan itu justru muncul setelah melalui proses seleksi produksi yang cukup panjang dan rumit. Realitas ini tidak akan diloloskan sebagai berita layak siar, layak tayang, atau layak muat jika dikategorikan masih cacat teknis. Inilah yang disebut realitas media atau realitas tangan kedua. Di sini, tentu saja terdapat campur tangan redaksional yang cukup pekat. Bahkan visi ideologis media pun ikut memberikan warna atas merahputihnya berita yang akan ditampilkan. Artinya, media ikut terlibat dalam proses pembingkaian realitas dengan implikasi kemunculan persepsi yang diinginkannya nanti yang diperoleh dari khalayak.
Secara sosiologis kita pun bisa berdebat, apakah yang disebut objektivitas berita lebih banyak menggunakan perspektif dan kepentingan masyarakat, atau perspektif dan kepentingan media itu sendiri? Bukankah media, memiliki kemampuan untuk memunculkan sesuatu dan sebaliknya menghilangkan sesuatu? Teori peniadaan media, bagi sosiologi masih menjadi semacam misteri. Disebut misteri, karena kita seolah tidak diberi tahu dan tidak boleh tahu, apa yang ada di balik benak media dalam proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi berita.


BAB VIII
DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA
KONTROL SOSIAL MEDIA
Untnk mencegah agar kecenderungan warga masyarakat yang ingin dan telah melanggar aturan tidak terus merebak atau berkembang lebih parah, masyarakat perlu menjalankan pengendalian sosial atau kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya. Menurut Peter L. Berger, yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang. Dalam redaksi yang berbeda tetapi substansinya sama, Roucek (1965) mengartikan pengendalian sosial sebagai suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak, untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan din dengan kebiasaan dan nilai kelompok tempat mereka tinggal (Soetandy ngnjosoebroto dalam N arwoko, Suyanto, 2007: 132).
Kontrol Sosial Preventif
Media massa adalah salah satu lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih rendah. Kalaupun sering dipersepsikan seolah-olah mendapat kedudukan cukup istimewa, hal itu semata-mata karena karakteristik dan fungsi-fungsi yang dimilikinya saja. Seperti ditegaskan Rachmadi, setiap media massa mempunyai fungsi kontrol sosial, namun dalam pelaksanaannya, intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini banyak bergantung kepada sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa itu beroperasi. Surat kabar yang melaksanakan fungsi ini, misainya, selalu bertindak sebagai pembela publik atau selalu menjadi the watch dog of the public interest. Pers dengan demikian melakukan fungsi yang sama dengan dewan perwakilan rakyat (DPR). Sebab, dalam menjalankan fungsi ini DPR terikat oleh masa persidangan, sedangkan pers dapat menjalankan fungsinya setiap waktu (Rachmadi, 1990: 23).
Timbul pertanyaan, apakah media massa sebagai lembaga sosial, layak disebut mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat? Dalam teori jumalistik dikatakan, media massa adalah wakil sekaligus cermin masyarakat. J ika kita ingin mengetahui wajah masyarakat, kita dapat melihatnya dari pemberitaan media massa. Sebaliknya apabila kita hendak mengetahui wajah pers, kita cukup dengan melihat perilaku dan rentetan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Tatapan perspektif sosiologis ini, walau lebih banyak dikutip dalam buku-buku jumalistik, hendak menunjukkan keterlibatan media massa yang sangat kuat dalam berbagai persoalan yang texjadi dalam dan dilakukan oleh masyarakat.
Apa artinya? Diakui atau tidak, disadari atau tidak, media massa memiliki fungsi yang sangat melekat (inherent) dengan posisi dan eksistensi dirinya dalam kehidupan masyarakat. Kita lazim menyebutnya sebagai fungsi kontrol sosial. Secara kategoris, dilihat dari sifatnya, fungsi kontrol sosial media massa terbagi atas dua jenis: preventif, dan represif. Preventif, berarti media massa melakukan langkah-langkah pencegahan dan antisipatif agar masyarakat tidak menyimpang dari nilai-nilai dan norma-noma sosial budaya agama yang ada.
Kontrol Sosial Preventif
Media massa adalah salah satu lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih rendah. Kalaupun sering dipersepsikan seolah-olah mendapat kedudukan cukup istimewa, hal itu semata-mata karena karakteristik dan fungsi-fungsi yang dimilikinya saja. Seperti ditegaskan Rachmadi, setiap media massa mempunyai fungsi kontrol sosial, namun dalam pelaksanaannya, intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini banyak bergantung kepada sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa itu beroperasi. Surat kabar yang melaksanakan fungsi ini, misainya, selalu bertindak sebagai pembela publik atau selalu menjadi the watch dog of the public interest. Pers dengan demikian melakukan fungsi yang sama dengan dewan perwakilan rakyat (DPR). Sebab, dalam menjalankan fungsi ini DPR terikat oleh masa persidangan, sedangkan pers dapat menjalankan fungsinya setiap waktu (Rachmadi, 1990: 23).
Timbul pertanyaan, apakah media massa sebagai lembaga sosial, layak disebut mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat? Dalam teori jumalistik dikatakan, media massa adalah wakil sekaligus cermin masyarakat. jika kita ingin mengetahui wajah masyarakat, kita dapat melihatnya dari pemberitaan media massa. Sebaliknya apabila kita hendak mengetahui wajah pers, kita cukup dengan melihat perilaku dan rentetan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Tatapan perspektif sosiologis ini, walau lebih banyak dikutip dalam buku-buku jumalistik, hendak menunjukkan keterlibatan media massa yang sangat kuat dalam berbagai persoalan yang texjadi dalam dan dilakukan oleh masyarakat.
Apa artinya? Diakui atau tidak, disadari atau tidak, media massa memiliki fungsi yang sangat melekat (inherent) dengan posisi dan eksistensi dirinya dalam kehidupan masyarakat. Kita lazim menyebutnya sebagai fungsi kontrol sosial. Secara kategoris, dilihat dari sifatnya, fungsi kontrol sosial media massa terbagi atas dua jenis: preventif, dan represif. Preventif, berarti media massa melakukan langkah-langkah pencegahan dan antisipatif agar masyarakat tidak menyimpang dari nilai-nilai dan norma-noma sosial budaya agama yang ada.
Sebagai contoh, media massa mengampanyekan program keluarga berencana yakni penundaan usia perkawinan (PUP) sebagai salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk sekaligus menekan angka kasus perceraian pada pasangan suami-istri (pasutri) thuda. Diyakini, kégagalan PUP akan melahirkan banyak masalah sosial. Akan ada banyak pasutri yang bercerai; suami atau istri yang bunuh diri; suarni atau istri dari pasutri muda yang melarikan diri meninggalkan pasangannya; dan akan lebih banyak lagi pasutri muda yang dililit kesulitan ekonomi. Lalu, akhirnya angka kematian balita akan mencapai tifik mengenaskan karena ketidaksanggupan orang tua membiayai pengobatan dan perawatan rumah sakit atas anak-anak mereka.
Begitu juga misalnya dengan kampanye gerakan antikorupsi. Kita tahu, korupsi merapuhkan sendi~sendi kehidupan bangsa. Kita paham, korupsi membawa kita ke tepi jurang kehancuran moralitas aparat dan masyarakat. Tak ada pilihan lain kecuali kita bersepakat bulat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Korupsi harus dijadikan musuh bersama masyarakat dan pemerintah (common enemy). Semua lapisan masyarakat, anak-anak, remaja, tua-muda, harus membangun sikap alergi terhadap korupsi. Jangan sekali-kali korupsi didekati, apalagi sampai menyentuh serta melakukannya. Media massa, dengan segala daya kreativitas dan fasilitas yang dimilikinya, dapat terus memompakan semangat dan idealisme tinggi antikorupsi pada semua tingkatan dan lapisan masyarakat (social stratification). Pepatah bijak mengatakan, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati penyakit.
Kontrol Sosial Represif
Kontrol sosial represif berarti media massa memberikan sanksi terhadap anggota masyarakat yang diyakini melanggar nilai-nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku. Sebagai contoh, media' massa mengikuti ke mana pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melangkahkan kaki. Ketika KPK masuk ke sebuah gedung atau rumah seorang tersangka tindak pidana korupsi, dan di sana KPK melakukan penggeledahan, memeriksa serta mengangkut berbagai dokumen penting, media massa mendokumentasikan peristiwa itu melalui bidikan kamera dan catatan penanya. Dalam tempo sejam kemudian, atau bahkan saat itu juga (real time), radio dan televisi menayangkan Jutaan pendengar dan pemirsa pun mendengar serta menyaksikan sendiri peristiwa mengenaskan itu secara langsung.
Boleh jadi, hak-hak tersangka dilindungi. Boleh jadi, demi etika, tersangka dan gambar keluarga tersangka, tidak ditayangkan pada saat itu. Televisi, misalnya, hanya memusatkan perhatian pada gambar aktivitas para petugas KPK saat memindahkan tumpukan dokumen dari rumah tersangka ke dalam bagasi mobil KPK. Betapapun demikian, tayangan ini mengandung unsur represif: siapa pun yang djduga melakukan korupsi, dia tidak akan lolos dari kejaran petugas KPK, sorotan kamera televisi, dan goresan pena para wartawan. Di sini, terjadi proses penghukuman secara sosiaL Sekalipun baru status tersangka, dan secara hukum asas praduga tak bersalah harus tetap dijunjung tinggi, secara sosiologis orang itu tetap bermasalah. Ia dianggap telah menodai sendi-sendi moralitas dan etika masyarakat, melawan nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya agama yang berlaku.
Terlebih lagi, fakta yuridis menunjukkan, KPK sangat selektif dalam menetapkan status tersangka serta melakukan penahanan badan secara fisik. Artinya, sekali KPK menetapkan status tersangka pidana korupsi kepada seseorang, maka dapat dipastikan orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum positif. Ia, lambat atau cepat, niscaya Inasuk penjara! Dalam perspektif ini, media massa, disadari atau tidak, telah melakukan fungsi kontrol sosial secara objektif dan transparan. Disebut objektif, karena media massa hanya merekam dan melaporkan. Sifatnya pasif, dalam arti tidak memilih atau menetapkan siapa yang akan digeledah KPK. Disebut transparan, karena pelaporan disampaikan secara terbuka melalui layar televisi atau siaran radio kepada jutaan khlayak pemirsa dan pendengar yang tersebar, anonim, dan heterogen.
Dalam bahasa sosiologi, kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi “mengancamkan sanksi’ disebut kontrol sosial yang bersifat preventif. Sedangkan kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula disebut kontrol sosial yang bersifat represif. Kontrol sosial dengan cara mengancamkan dan membebankan sanksi kepada pelanggar-pelanggar norma seperti itu sesungguhnya mempnnyai efek psikologis yang kuat terhadap para (kandidat) pelanggar norma untuk tidak (lagi) melanggar norma itu. Dengan kata lain, kontrol sosial ini mempunyai efek membendung atau mengendalikan para warga masyarakat dari niatnya melanggar norma. Sanksi yang diancamkan dalam kontrol sosial, lebih-lebih yang dirasakan berat dan menyakiti, akan mengecutkan hati para warga masyarakat yang berkecenderungan hendak melanggar norma. Sanksi selamanya dirasakan sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan, dan merupakan beban penderitaan (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko,Suyanto, 2007: 134-135).

FAKTOR PENYEBAB PELANGGARAN NORMA SOSIAL
Dalam analogi sosiologi, kontrol sosial seperti batu baterai: bisa menguat, tetapi bisa pula melemah. Ketika daya kekuatan sendiri (self-enforcing) dari noma-norma sosial budaya meningkat, kontrol sosial dapat berjalan secara efektif. Tetapi sebaliknya ketika daya kekuatan sendiri (self-enforcing) dari
norma-norma sosial budaya suatu kelompok masyarakat menurun pada diri individu atau kondisi tertentu, kontrol sosial itu malah menjadi tidak efektif serta seperti kontraproduktif. Timbul persoalan: mengapa masyarakat tidak selamanya mematuhi nilai-nlai dan norma-norma sosial?
Soerjono Soekanto menyebutkan, terdapat empat faktor mengapa masyarakat berperilaku menyimpang dari norma yang berlaku: (1) karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidak memenuhi kebutuhan dasarnya; (2) karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan; (3) karena dalarn masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang masyarakat; dan (4) karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata (Soekanto,1981: 45).
Kaidah Tidak Memuaskan
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kaidah yang ada tidak selamanya dalam posisi menggembirakan. Ada saatnya bahkan berada dalam titik mengecewakan. Kenyataan demikian terjadi temtama ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan baru sebagai dampak tak terhindarkan dari bengaruh sesuatu yang dianggap modem. Sebagai contoh kecil, pada tahun 1970-an, perempuan yang mengenakan celana panjang dianggap sebagai tidak tahu adat, atau dalam budaya dan bahasa Sunda disebut jalingkak. Kata jalingkak diamhkan pada sikap/perilaku perempuan yang bertolak belakang dengan kodrat kewanitananya yang feminin, lemah-lembut, keibuan. Sikapperempuan yang menyerupai sikap/perilaku laki-laki dalam budaya Sunda lazim disebutjalingkak.
Kini, atau 4o tahun kemudian, pada gadis kelompok usia 15-35 tahun penduduk perkotaan, justru sangat sulit ditemukan kebiasaan mengenakaan pakaian rok. Hasil survei menunjukkan, sembilan dari tiap 10 gadis perkotaan kelompok usia 15-35 tahun justru mngenakan celana panjang ketika tidak sedang berada di rumah (sedang bepergian). Pakaian rok bahkan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan ganjil. Juga dikesankan kuper alias kurang pergaulan, kuno, dan ketinggalan zaman! Pada kasus demikian, kita lalu bertanya: apakah kaidah yang ketinggalan zaman sehingga perlu disesuaikan, atau zaman yang melanggar kaidah sehingga saking kuatnya tekanan zaman itu maka kaidah seolah tidak diperlukan lagi?
Kaidah Kurang Terumuskan
Perumusan kaidah yang kurang jelas menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan serta berdampak pada penunman tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma sosial. Bagi sebagian kelompok dalam masyarakat, perumusan kaidah yang kurang jelas, samar-samar, atau multitafsir, merupakan celah untuk melalmkan pembangkangan atau penyimpangan dalam perilaku sosial mereka sehari-hari. Dalam bahasa positif, perumusan kaidah yang kurang jelas dijadikan sumber dan daya dukung oleh sebagian kelompok masyarakat untuk menjustifikasi (membenarkan) sikap-perilaku dan tindakannya selama mi. Karena sifatnya yang demikian, maka tidaklah tepat apabila mereka lalu mendapat sanksi atau hukuman sosial dari lingkungannya.
Apa yang dapat dilakukan media terhadap kelompok sosial seperti itu? Mereka tentu saja akan menolak intervensi atau campur tangan media massa. Media massa dianggap tidak sepantasnya melakukan kontrol sosial atas perilaku dan tindakan mereka. Alasannya sederhana: apa yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran, bukan pula perlawanan terhadap norma-norma sosial yang ada. Logikanya kemudian: jika bukan pelanggaran dan perlawanan, apakah perlu media massa intervensi? Lagi pula, apakah relevan dan bisa dipertanggungjawabkan klaim media massa yang mengatakan dirinya merupakan representasi masyarakat yang sah?
Konflik dalam Masyarakat
pada masyarakat terdapat banyak peranan. Setiap individu bebas untuk mengisi dan memainkan peranan itu. Yang kerap menimbulkan masalag adalah pemahaman dan pengisian peranan itu tidak berjalan sesuai dengan koridor yang ada. Artinya, tidak jarang ditemukan penyimpangan di sana-sini. Sebagai contoh: oknum polisi dengan sengaja melindungi penjudi; oknum tentara menyewakan pistol untuk digunakan melakukan tindak kejahatan; oknum guru besar melakukan plagiat atas disertasinya; oknum kepala sekolah menyunat gaji guru; oknum kontraktor melarikan diri dengan membawa uang negara miliaran rupiah; oknum pengusaha tidak membayar gaji ratusan karyawannya; atau oknum direktur bank swasta dan pemerintah adalah melakukan korupsi.
Secara sosiologis, semakin banyak teijadi penyimpangan peranan dalam masyarakat, semakin tinggi peluang terjadi friksi dan kontlik baik verbal (perang kata, prOpaganda, kampanye negatii) maupun fisikal (demonstrasi, baku hantam, penyerbuan, kerusuhan) Jika sudah demikian, apa yang dapat dilakukan media massa? Kita tahu, media massa bukanlah polisi yang memiliki kewenangan (otoritas) dalam melakukan penyidikan, bukan jaksa yang diberi otoritas oleh negara melakukan pemmtutan, dan bukan pula hakim yang diberi kekuasaan penuh oleh negara dan masyarakat untuk menjatuhkan vonis hukuman. Media massa memiliki kewenangan sangat terbatas. Salah sam kewenangan sangat terbatas itu ialah melaksanakan fungsi kontrol sosial. Ketika dalam masyarakat teijadi beberapa atau banyak konflik, media massa dengan sendirinya terpanggil untuk melakukan koreksi, advokasi, dan mediasi.
Tidak Mungkin Merata
Dapatkah semua kepentingan dalam masyarakat diatur secara merata sehing~ ga tak seorang pun merasa ditinggalkan atau dirugikan? Dalam terminologi hukum misalnya, kita mengenal dua jenis keadilan: keadilan distributif, dan keadilan komutatif. Keadilan distributif merupakan pembagian pendapatan, keuntungan, hak, barang, jasa, tunjangan atau upah menurut besar-kecilnya kontribusi yang telah dikeluarkan oleh orang itu. Kontribusi bisa dalam bentuk uang, barang, jasa, tenaga, biaya, waktu, pemikiran, dan hierarki jabatan. Seorang rektor misalnya, akan mendapat honorarium kepanitaan penerimaan mahasiswa baru jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dosen yang menjadi petugas pengawas ujian seleksi. Seorang pejabat eselon dua di provinsi, mendapat fasilitas mobil dinas berikut pengemudinya. Sedangkan pejabat eselon empat atau dua tingkat di bawahnya hanya mendapat fasilitas sepeda motor. Jadi, keadilan distributif bersifat bertingkat-tingkat, tidak sama rasa sama rata.
Keadilan komutatif bersifat sebaliknya. Dalam keadilan komutatif tidak dikenal pembagian barang atau hasil jasa secara bertingkat. Pembagian barang atau hasil jasa justru dilakukan secara merata. Dari mulai rektor sampai dengan petugas kebersihan kelas misalnya, memperoleh uang ketu pat lebaran sama besar yakni Rp 100.000,00 per orang. Keadilan distributif dan keadilan komutatif, walau sudah memiliki aturan main cukup jelas dan
tegas, dalam kehidupan sehari-hari tidak dengan sendirinya tanpa masalah. Tidak sedildt pula pejabat (level atas) dan aparat (level bawah) yang menolak ketentuan tersebut secara diam-diam. Terjadilah politik main belakang. Orang kemudian merasa dizalimi dan dikhianati oleh sesama rekan sejawat atau oleh rekan sesama satu instansi sendiri.
Media massa, mengamati fenomena ini sebagai dampak kultur birokrasi yang gemuk dan lamban, serta terlalu banyak memberikan peluang untuk terjadi perkeliruan administratif dan keuangan yang berakhir dengan kasus penggelapan atau korupsi. Kekuasaan dan jabatan yang semestinya bersifat formal berubah menjadi informal. Dari kultur institusi berubah menjadi kultur individu. Orang pun akan dengan leluasa menafsirkan peraturan. Bahkan yang lebih parah, kata-katanya sendiri ditafsirkan sebagai peraturan yang harus ditaati oleh siapa pun. Dalam konteks inilah media massa diharapkan untuk selalu memberikan terobosan-terobosan pemecahan masalah. Minimal dengan tidak membiarkan dan menganggap fenomena seperti itu sebagai kebiasaan yang tidak bisa disembuhkan.

JENIS SANKSI DALAM KONTROL SOSlAL
Kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap mengikuti dan menyesuaikan diri dengan keharusan keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan berpijak kepada kekuatan sanksi. Sanksi di sini diartikan sebagai suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang terbukti melanggar atau menyimpang dari keharusan sosial, dengan tujuan agar masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut. Ada tiga jenis sanksi yang digunakan dalam pelaksanaan kontrol sosial, yakni: sanksi bersifat fisik, sanksi bersifat psikologis, dan sanksi bersifat ekonomik (Soetnndyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 135).
Sanksi Bersifat Fisik
Sanksi fisik adalah pemberian hukuman yang mengnldbatkan penderitan badan atau anggota tubuh pada seseorang atau sekelompok orang seperti hukum cambuk di Aceh, hukum rajam di Arab Saudi, hukum gantung di Irak. disiksa dalam sel tahanan, dijemur di tengah sengatan terik matahari, atau dimasukkan dalam sel penjara yang sempit, pengap, gelap, berbau dnn tanpa alas apa pun. Sanksi fisik merupakan bentnk hukuman yang paling primitif. Disebut paling primitif, karena jenis hukuman inisudah berlangsung ribuan tahun, sejak zaman kerajaan Romawi kuno sampai dengan abad 21 sekarang. Di negara maju seperti Amerika dan negara terbelakang seperti sejumlab negara kecil di Afrika, anehnya masih secara konsisten diberlakukan sanksi fisik dalam sistem hukum positif mereka.
Atas nama hak asasi mannsia, prinsip persamaan derajat (Inn 13118th manusia di depan hukum, dan pengakuan adanya pengadilan tertinggi yang hanya dapat dilakukan oleh Tuhan, sejumlah negara maju bemsaha untuk terns mengurangi intensitas serta bentuk-bentuk hukuman fisik kepada orang-orang yang oleh putusan pengadilan dinyatakan terbukti bersalah melanggar norma-norma sosial. Paling tidak, m‘ereka mengubah bentuk~ bentuk hukuman fisik yang sadis dan kejam menjadi tampak (seolah-olah) lebih manusiawi. Usaha ini, berdasarkan basil kajian di beberapa negara. tenyata tidak banyak menuai basil selama media massa di negara setempat bersikap pasif dan apatis. Jadi, memang diperlukan kekuatau media untuk terus mengomunikasikan dan mensosialisasikan penerapan sanksi fisik yang lebih manusiawi dalam sistem hukum positif di suatu negara, baik negara penganut paham demokrasi maupun monarki
Kita mengamati, di banyak negara, media massa tidak melakukan perlawanan terhadap sistem hukuman fisik penjara. Tetapi di sejumlah negara lain, media massa berjuang terus untuk menghapuskan sistem hukuman mati baik dengan cara digantung, diterjang peluru di depan regu tembak. maupun dengan cara disengat listrik berkekuatan tinggi Fakta sosiologis ini membuktikan, pengaruh dan kekuatan media massa, memang sangat terbatas. Media bukanlah pemegang kekuasaan. Media masa bukanlah eksekutor. Media hanyalah penyambung lidah masyarakat dengan posisi tawar (bargaining position) minimalis di mata para elit penguasa.
Sanksi Bersifat Psikologik
Berbeda dengan sanksi fisik yang lebih menekankan kepada hukuman badan atau anggota tubuh, sanksi psikologis justru mengarahkan pada pemberian hukuman yang bersifat kejiwaan. Objeknya bukan badan melainknn perasaan. Setiap orang memiliki perasaan bahagia, perasaan menderita, peraasaan senang, perasaan sedih, perasaan malu atau dipermalukan, perasaan kecil hati terkucil, perasaan besar hati terbela, perasaan tersanjung, pernsaan terhina. perasaan kehilangan harga diri. Sebagai oontoh, seorang menteri atau pejabat tinggi negara yang tiba-tiba diumumkan sebagai tersangka tindak pidana kompsi, pihak imigrasi menangkalnya dengan melanmg bepergian ke luar negeri, dan presiden didesak banyak pihak untuk menonaktifkan sementara orang itu dari jabatannya, sedang menerima sanksi psikologis cukup berat. Pejabat ini pasti merasa terpukul, pasti merasa dihakimi oleh masyarakat dan oleh media massa, dan pasti kehilangan hampan masa depnn. Terlebih lagi setelah dirinya dimasukkan ke dalam rumah tahanan negara serta diwajibkan mengenakan pakaian khusus tahanan. Dia dipastikan merasa terhina. Dia dipastikan sedang mendapat nista. Lebih-lebih pihak keluarganya hams pula ikut menanggung beban aib dan cibiran sosial yang sangat pedas. Pendek kata, sanksi psikologis dalam perspektif sosiologi komunikasi massa tidak beral'ti lebih ringan daripada sanksi fisik. Bahkan bisa jadi sebaliknya lebih berat. Terbukti tidak sedikit tersangka yang tiba-tiba jatuh pingsan, harus dirawat intensif di rumah sakit, dan bahkan terkena serangan jantung yang berakhir dengan kematian.
Dalam konteks Indonesia, meskipun sudah banyak pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka pidana korupsi, dan mendapat nista yang cukup pedih, sosialisasi komunikasi massa dalam menekan angka kasus korupsi nyatanya tidak mencapai hasil gemilang seperti yang diharapkan. Pelaku tindak pidana korupsi tetap saja banyak Hanya saja efek psikologisnya yang diyakini cukup signifikan. Artinya, jika dulu banyak pejabat negara yang berebut mgin jadi piminan proyek (pimpro), kini justru sebaliknya. Jabatan pimpro paling tidak popular, paling tidak disukai, dan dianggap paling berisiko terjerat sanksi pidana korupsi.
Sanksi Bersifat Ekonomik
Pada sanksi ekonomis, beban penderitaan yang dikenakan kepada para pelanggar norma ialah penghilangan atau pengurangan akumulasi kekayaan, penyitaan harta benda bergerak dan tidak bergerak, pengenaan denda, penyegelan rumah dan bangunan, kewajiban membayar ganti rugi, pernyataan kesanggupan membayar utang atau denda, atau pembekuan rekening bank atas nama yang bersangkutan danatas nama suami-istri, anak-anak, dan atau kerabat dekat dalam keluarganya. Sanksi ekonomis tidak hanya bersifat menistakan tetapi juga sekaligus bersifat melenyapkan (harta benda). Pejabat atau pengusaha kaya, hanya dalam sekejap tiba-tiba bembah menjadi tak lebih dari seorang pengemis pinggir jalan. Benar-benar amat mengenaskan.
Seberapa jauh peran media massa dalam mengampanyekan efektivitas sanksi ekonomis ini menuai hasil? Inilah yang perlu dikaji lebih jauh. Kita tahu, media massa dibangun di atas tiga pilar pokok: idealisme, profesionalisme, dan komersialisme. Idealisme antara lain diterjemahkan dalam fungsi kontrol sosial. Profesionalisme dijabarkan dalam kualitas pemberitaan dan integritas wartawannya. Komersialisme ditandai dengan liputan ekonomi keuangan dan pemuatan berbagai jenis iklan dari perusahaan besar, manehgah, kecil, dan perorangan.
Amanat yuridis menyatakan, media massa, kecuali sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa, juga merupakan lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, media berorientasi kepada keuntungan sebesarbcaarnya. Untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya itu, tidakkah media kemudian bersikap pragmatis? Artinya, media hams mengutamakan kepentingan komersial termasuk dalam preferensi peliputan berita. Secara internal, media bisa dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, meliput berita bersifat sanksi ekonomis tetapi kemudian bisa menerima sanksi peniadaan order Hdan oleh pihak pemodal. Kedua, tidak meliput ben'ta sanksi ekonomis itu tetapi dengan risiko dikecam para pemirsa, pendengar, dan pembaca karena dianggap sudah meniadakan peran dan fungsi kontrol sosial yang selayaknya terns dikembangkan dan dipertajam oleh media.


JENIS KONFORMITAS DALAM KONTROL SOSIAL
Terdapat dua masalah pokok yang erat kaitannya dalam masalah kontrol sosial: konformitas dan deviasi. Konformitas adalah penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan mengikuti norma-norma yang berlaku. Jika perilaku seseorang itu benentangan dengan norma yang berlaku, ia akan dicela oleh anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya deviasi adalah penyimpangan dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Perilaku menyimpang ini dapat terjadi apabila tidak ada keselarasan antara nilai-nilai sosial dengan norma-norma yang berlaku. Suatu contoh, Oknum penegak hukum yang melakukan pungutan liar. Oknum itu terlalu mementingkan nilai yang mengagungkan materi dan uang, sampai-sampai ia mungkin tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukan melanggar norma atau hukurn yang berlaku (Rachmadi, 1990: 22-23).
Untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan menggunakan insentif positif. Insentif adalah dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah atau menyimpang. Seperti juga sanksi, insentif pun bisa dibedakan menjadi tiga jenis: insentif yang bersifat fisik, insentif yang bersifat psikologik, dan insentif yang bersifat ekonomis (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 137).
lnsentif Bersifat Fisik
Insentif fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta tidak pula begitu mudab diadakan. Andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh darinya tidalah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan dalam sanksi fisik. J abatan tangan, pelukan, ciuman, makan-makan, tidak sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik, seperti hukuman cambuk, kerja paksa, hukum gantung sampai mati. Bemilai sekadar simbol, kebanyakan insentif fisik lebih tepat dirasakan sebagai insentif psikologik (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 137).
Jika memang demikian, apakah insentif iisik tidak diperlukan dalam konteks sosiologi komunikasi massa? Kita berpendapat, sekecil apa pun dampak yang ditimbulkannya, insentif fisik masih tetap dibutuhkan. Kita bisa menunjukkan bukti empiris, misalnya proses komunikasi politik, yang kerap menunjukkan fenomena tersebut.
Ambil contoh ini. Megawati sejak pemilu 2004 tidak pernah bertemu dan bertegur sapa dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi lima tahun kemudian, tepatnya pada acara pengundian nomor capres-cawapres 2009 di Gedung KPU Jakarta, Sabtu 30 Mei 2009, Megawati bersalaman juga dengan rival politiknya Yudhoyono. Bahkan sampai terjadi dua kali, yakni sebelum dan sesudah pengundian nomor pasangan capres-cawapres pilpres 8 Juli 2009. Peristiwa politik yang disaksikan ratusan p'asang mata, dan kemudian disebarluaskan ke jutaan pemirsa melalui tayangan berita televisi itu, memang terlihat kaku, canggung, formal, bahkan dingin. Juga tanpa tegur-sapa apalagi bercanda. Berbeda dengan ketika pasangan capres-cawapres lain bersalaman yang terlihat begitu hangat, akrab, familiar, bersahabat, penuh canda dan tawa.
Jabatan tangan politik yang dikondisikan oleh KPU itu, dalam sosiologi komunikasi massa memang lebih banyak memberikan makna simbolik. Tetapi di balik simbolisme, terdapat nilai-nilai edukasi dan komunikasi politik yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat luas. Dalam redaksi yang berbeda, terdapat begitu banyak pesan politik yang disampaikan kepada khalayak. Satu di antaranya, dan ini yang terpenting, rivalitas politik bukan berarti hubungan pribadi sesama negarawan menjadi hancur. Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, berseteru secara politik, tetapi akrab secara pribadi. Bahkan di antara mereka muncul rasa saling mengagumi satu sama lain
lnsentif Bersifat Psikologik
Insentif bersifat psikologik bempa pemberian ganjaran yang menyenangkan hati dan perasaan, seperti penghargaan, pujian, sanjungan, kata-kata yang bersifat menggugah dan membangkitkan semangat. Jadi objeknya bukan benda fisik melainkan kejiwaan. Orang misalnya senang dipuji sejauh tidak berlebihan. Orang senang dihargai sejauh proporsional. Orang senang dijadikan rujukan sejauh bukan kultus individu. Sebaliknya, secara hakiki, orang tidak menyukai permusuhan dan menghindari konflik serta dnri kebencian. Jadi, ketika media massa lebih banyak mengangkat konflik ke panggung pemberitaan, sesungguhnya terdapat sesuatu yang salah pada masyarakat kita. Kalangan budayawan menyebutnya sebagai masyarakat yang sedang sakit. Salah satu ciri masyarakat yang sedang sakit ialah anomali.
Pada masyarakat yang sedang sakit, tugas sosiologi komunikasi massa tergolong cukup berat. Media massa hams dapat meyakinkan kalangan elite, para pemuka pendapat, atau orang-orang dijuluki sebagai guru bangsa, bahwa norma-norma sosial sangat dibutuhkan, dan masyarakat perlu mematuhinya. Jika tidak, niscaya masyarakat akan memasuki era kegelapan. Dalam kerangka itulah, media perlu tetap memunculkan figur-figur tokoh teladan yang layak menjadi idola baru masyarakat. Hanya dengan demikian, masyarakat akan tetap semangat menatap hari esok, betapapun berat tantangan yang menghadang di depan. Masyarakat selalu mendambakan harapan.
Insentif Bersifat Ekonomik
Apa yang dapat dilakukan media massa ketika masyai'akat sudah kehilangan harapan dan masa depan? Apa yang perlu dilakukan media ketika suatu kelompok masyarakat tertimpa bencana? Tak ada pilihan lain: berilah sesuatu yang secara ekonomik sangat menguntungkan. Sebut saja pekerjaan, bantuan keuangan, santunan yang meringankan, atau hadiah-hadiah menarik yang menyenangkan. Janji-janji mungkin perlu, kata-kata pemompa semangat boleh jadi dibutuhkan, tetapi semua itu tidak akan ada artinya selama kebutuhan pokok belum terpenuhi. Inilah yang kerap terjadi pada masa kampanye pemilu atau saat pilgub, pilkot, pilbup digelar. Para kandidat yang bertarung, silahkan saja mengumbar janji. Tetapi janji-janji semanis apa pun tidak akan ada dampaknya selama masyarakat calon pemilih dihadapkan kepada ketidakpastian ekonomi.
Kriminologi mengingatkan, tekanan ekonomi yang bertubi-tubi dalam suatu masyarakat, jika tidak mendapat saluran katarsis, akan meledak dalam bentuk berbagai frustrasi sosial. Selain itu akan muncul pula berbagaj bentuk pembangkangan sosial. Orang tidak merasa perlu terikat lagi dengan nilai nilai dan norma yang ada. Akhirnya tindak kriminalitas pun marak di mana-mana. Para kandidat yang mengusung isu-isu ekonomi aktual, dalam situasi serba sulit demikian pastilah akan mengundang banyak simpati para calon pemilih. Untuk kepentingan itulah rekayasa media, dalam arti yang positif, sangat diperlukan.

JENIS DEVIASI DALAM KONTROL SOSIAL
Fenomena perilaku menyimpang (deviasi) dalam kehidupan bennasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Sisi yang menarik bukan saja karena pemberitaan tentang berbagai perilaku manusia yang ganjil itu dapat mendongkrak tiras media massa dan rating dari suatu mata acara di stasiun televisi, melainkan juga karena tindakan-tindakan menyimpang dianggap dapat menganggu ketertiban masyarakat. Kasus-kasus pelanggaran norma susila dan berbagai tindak kriminal yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi, atau gosip-gosip gaya hidup selebritas yang terkesan jauh berbeda dengan kehidupan nyata masyarakat, meskipun dicari para pemirsa karena dapat memenuhi hasrat ingin tahu mereka, juga sering sekali dicaci karena perilaku yang dianggap tidak layak. Secara umum, perilaku menyimpang digolongkan ke dalam tiga jenis: tindakan nonkonformitas, tindakan antisosial atau asosial, dan tindakan kriminal (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 97; 101).
Tindakan Nonkonformitas
Tindakan nonkonformitas (nonconform) berarti perilaku yang tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai atau nonna-ndrma sosial yang ada dalam Suatu masyarakat. Sebut saja meludah di dalam ruangan kantor merokok dalam kendaraan umum,membuang sampah ke tepi jalan, mencorat-coret kursi bus kota dan kereta api, menyobek halaman dalam buku yang dianggap penting dari toko buku atau perpustakaan, masuk ke ruang kelas dengan bersandal jepit dan celana compang-camping, menyontek pada saat ujian di kampus, mengisi kencleng resepsi pernikahan dengan amplop kosong, mengambil dan membawa ke rumah tumpukan majalah dari kursi pesawat terbang; atau naik bus kota tanpa bayar dengan pura-pura tidur. Semua tindakan ini dikategorikan sebagai perilaku menyimpang, walaupun boleh jadi dinilai berbobot ringan dan tidak serius.
Ringan atau tidak, serius atau tidak, etika individual dan etika sosial mengajarkan, setiap tindakan yang melawan arus, menyimpang dari uorma sosial yang ada, digolongkan ke dalam perbuatan tercela. Artinya terjadi luka atau cacat batin pada diri individu para pelakunya. Rasa respek atau penghormatan orang lain kepada orang-orang yang mengalami cacat batin seperti ini dengan sendirinya akan menurun. Bahkan boleh jadi dimasukkan ke dalam kelompok orang penyandang masalah sosial. Timbul pertanyaan: sudah tidak bergigi lagikah media massa sebagai kepanjangan tangan kontrol sosial masyarakat? Peran-peran apakah yang dapat dimainkan media massa untuk meredam gajala nonkonfonnitas semacam ini?
Denis McQuail menyatakan, media massa sering berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, melainkan juga dalam pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma (Quail, 1987: 3). Jadi secara sosiologis, media dapat memainkan peran sebagai agen budaya, menanamkan pengertian, kesadaran, serta kepedulian kepada masyarakat untuk mengikuti kaidah dan tertib sosial. Peran media massa ini dilakukan secara ternsmenerus, simultan, dan bukan secara sporadis insidental.
Tindakan Antisosial
Tindakan antisosial atau asosial, yaitu perbuatan yang dapat dikategorikan melawan kebiasaan masyarakat dan kepentingan umum. Bentuk tindakan antisosial atau asosial antara lain: menjadi pelaku dan membuka praktik prostitusi; melakukan penyimpangan seksual seperti homoseksual dan biseksual melukai diri sendiri, mengonsumsi narkotika dan zat-zat adiktif berbahaya lainnya; mengurung diri dengan tidak mau bergaul dengan warga dalam satu kampung; atau mengomersialkan anak perempuan dengan cara dipaksa menikah dengan cukong atau bandar judi.
Setiap tindakan antisosial atau asosial, lazimnya mendapat kecaman dan bahkan kutukan masyarakat. Tindakan asosial telah mencedarai kaidab dan norma-norma yang senantiasa dijunjung tinggi oleh anggota-anggota masyarakat entah dia pejabat entah dia rakyat jelata. Yang pasti, dalam tindakan asosial baik yang dilakukan pejabat maupun rakyat jelata, media massa bersikap nonkompromi dan nontoleransi. Artinya, jika asosial dianggap sebagai tindakan mencedarai masyarakat, sementara media massa adalah wakil atau representasi masyarakat itu sendiri, dengan sendirinya media massa pun hams berpihak kepada masyarakat luas. Media, tak ada pilihan lain kecuali mengecam tindakan sosial menurut fungsi dan caranya sendiri.

Seperti ditegaskan McQuail, media massa merupakan sumber kekuatan. Media menjadi alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya (Quail, 1987: 3). Sebagai snmber kekuatan, baik kekuatan moral maupun kekuatan institusional dan kekuatan intelektual, media seoptimal mungldn melaksanakan fungsi kontrol sosial untuk menekan kemunculan kasus-kasus asosial dalam masyarakat. Setiap tindakan asosial, harus dilihat dan dianggap sebagai ancaman serius terhadap tatanan tertib sosial. Berbagai institusi yang ada dalam masyarakat, perlu menggalang kekuatan membangun program yang bersifat prososial.
Tindakan Kriminal
Tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyatanyata telah melanggar aturanaturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Tindakan kriminal yang sering kita temui itu misalnya: pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi, perkosaan, dan berbagai bentuk tindakan kejahatan sejenis baik yang tercatat di kepolisian maupun yang tidak tercatat karena tidak dilaporkan oleh masyarakat, tetapi nyata-nyata mengancam ketentraman masyarakat (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 101).
Kriminalitas adalah penyakit masyarakat yang usianya setua peradaban. Pada berbagai belahan dunia, kriminalitas diyakini sebagai musuh bersama lnasyarakat (common enemy) yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Berbagai strategi, metode, dan pendekatan ditempuh. Dari sekian pendekatan itu, satu di antaranya menunjuk kepada teori kesejahteraan (welfare approach theory). Menurut teori ini, kriminalisme tidak mungkin dapat diberantas hanya melalui cara-cara represif kekerasan, termasuk menyeret para pelakunya ke dalam penjara yang seangker apa pun. Kriminalisme, setidaknya dapat ditekan seminimal mungkin hanya dengan cara menaikkan tingkat partisipasi pendidikan serta mendongkrak angka perolehan pendapatan per kapita masyarakat.
Melalui teori ini, kriminalisme banyak ditemukan pada kelompokkelompok masyarakat di negara-negara yang terbelakang secara pendidikan dan tertinggal secara ekonomi. Agar kriminalisme lenyap, maka laju pertumbuhan ekonomi perlu terns dipacu, pendap‘atan per kapita masyarakat perlu dinaikkan, kestabilan ekonomi perlu dijaga, dan lapangan pekerjaan perlu terns diperluas. Tetapi, bagaimana media memandang kriminalitas? Bagi media, kriminalitas adalah komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Teori jumalistik bahkan mengabadikannya melalui ungkapan crime is news (kriminalitas adalah berita). Sebagai berita, crime dikemas dalam berbagai bentuk laporan berita dan feature yang menarik.
Kriminalitas memang dijadikan komoditas oleh media. Media-media lokal (local newspaper) pada umumnya menjadikan berita-berita kriminal sebagai ujung tombak pemasaran dan identitas kelembagaan mereka (branding image). Hanya dengan memasarkan berita-berita kriminal, mereka memiliki posisi tawar cukup tinggi di pasar media lokal yang sangat kompetitif. Lalu, apakah dengan pengutamaan berita-berita kriminal, media-media lokal otomatis dapat dicap sebagai prokriminalisme? Memberitakan kriminalitas dengan sikap prokriminalitas mempakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dijadikan rujukan dasar. Kalaupun media banyak melaporkan berita kriminal, hal itu karena semata memenuhi fungsinya sebagai pemantau dan pengawas lingkungan. Media wajib melaporkan setiap apa yang terjadi di dunia, yang dianggapnya menarik atau penting, atau kedua-duanya, bagi sebagian besar masyarakat.

TEORI DEVIASI PERSPEKTIF SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA
Kita bisa menggunakan paling tidak dua perspektif untuk menyelami lebih dalam mengenai akar penyebab dan latar belakang mengapa seseorang atau sekelompok orang terjebak dalam perilaku menyimpang. Pertama perspektif individualistik, dan kedua perspektif teori-teori sosiologi. Pada perspektif individualistik, perilaku menyimpang (deviasi) lebih banyak dilihat sebagai masalah internal seorang individu yang tidak ada kaitannya dengan masalah eksternal sosial. Faktor ekstema] misalnya keterlibatan kelompok dan unsur unsur budaya. Sedangkan pada perspekif teori sosiologi, perilaku menyimpang lebih banyak dikaitkan dengan masalah eksternal sosial. Salah satuasumsi dasar yang bisa diajukan: perilaku menyimpang tidak mungldn terjadi pada seseorang apabila lingkungan eksternal tidak menjadi faktor pemicunya. Berikut disajikan secara ringkas beberapa teori deviasi perspektif sosiologi.
Teori Anomie
Teori anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangah dalam suatu struktur sosial sehingga ada individuindividu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Robert K. Merton pada tahun 1930an. Konsep anomie itu sendiri pernah digunakan oleh Emile Durkeim dalam analisisnya mengenai suicide anomie (anomie bunuh diri) (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007:110). Munculnya keadaan anomie, oleh Merton digambarkan sebagai berikut:
1.      Masyarakat industri modern, seperti Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan pendidikan yang tinggi.
2.      Apabila kesuksesan materi tercapai, mereka dianggap sebagai orang yang telah mencapai tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan status tersebut, ternyata harus melalui akses atau cara kelembagaan yang sah ( institutionalized), misalnya: sekolah, pekeljaan formal, kedudukan politik.
3.      Akses kelembagaan yang sah temyata jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat terutama lapisan masyarakat bawah (dalam ha] ini orang-orang misla'n atau orang-orang dari kelompok ras dan etnis tertentu yang sering mengalami diskriminasi di lingkungannya).
4.      Akibat dari keterbatasan akses tersebut, maka muncu] situasi anomie, yaitu suatu situasi ketika tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status atau kultural dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan status tersebut.
5.      Dengan demkian anomie adalah suatu keadaan atau nama dari situasi ketika kondisi sosial atau situasi masyarakat lebih menekankan penting nya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapa tujuan-tujuan status tersebut jumlahnya lebih sedikit (Clinard dan Meier, 1989: 81 dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 111).
Dalam bahasa sederhana, sebut saja bahasa komunikasi massa, anomie adalah suatu situasi ketika masyarakat kehilangan pegangan nilai-nilai lama sementara nilai-nilai baru belum dikuasai dan diterima sepenuhnya sebagai norma sosial. Masyarakat dalam keadaan gamang, bingung, serba ragu, tidak yakin dengan apa yang diikuti dan dilakukannya. Akhimya, tak terelakkan lagi masyarakat bergerak sendiri-sendiri. Ada yang berjalan ke kanan, ada yang berjalan ke kiri. Ada yang memiliki rujukan tindakan perilaku, ada pula yang menganggap tak membutuhkannya. Dalam situasi seperti ini, siapa yang hams disalahkan, atau yang lebih tepat, siapa yang hams dimintai tanggung jawab, paling tidak secara moral dan intelektual?
Lalu, di manakah media massa? Teori komunikasi massa menekankan, media memiliki fungsi edukasi yang setiap saat dapat dikendalikan untuk mendidik, mengarahkan, dan membimbing masyarakat mengikuti koridor dan rambu-rambu sosial budaya yang benar. Media juga mengajarkan bagaimana menghindari jalan berliku atau jalan bebas hambatan yang diyakini menyesatkan secara moral dan kultural. Dalam masalah ini kalangan teoretisi terbelah ke dalam dua kubu. Kubu pertama berargumen, media massa tidaklah memiliki andil dalam menciptakan situasi anomie karena masalahnya bukan datang dari media massa. Kubu kedua berpendapat, media tidak bisa lepas tangan. Media bagaimanapun bertanggung jawab atas terjadinya ledakan anomie dalam masyarakat. Bukankah nilai-nilai budaya baru, atau nilai-nilai modemisasi lebih banyak dibawa dan dikampanyekan oleh media massa?
Media layak digugat secara akademik jika nilai-nilai baru yang dibawanya tidaklah menyeluruh dan utuh. Karena bersifat sepotong-potong, sekilas, dan tidak sistemik serta tidak metodologik, arus budaya barn yang dibawanya alih-alih menimbulkan pencerahan kepada masyarakat, malah menciptakan keremangan, samar-samar, dan kegamangan dalam melihat serta bertindak. Bahkan yang mengerikan, sebagian masyarakat justru terprovokasi oleh media untuk berperilaku menyimpang. Realitas sosial akhirnya dipenuhi dengan aneka keanehan dan keganjllan sikap-perlaku serta tata nilai yang tidak jelas ke mana kiblatnya. Menurut para budayawan, media hanya dapat memperkenalkan nilai atau budaya baru tetapi gagal dalam mengendalikannya agar berada dalarn koridor yang benar.
Menurut Merton, tindakan-tindakan menyimpang dalam situasi anomie paling banyak dilakukan oleh orang-orang miskin dan kelas-kelas sosial bawah, mengingat kesempatan mereka untuk memperoleh benda benda material dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas. Salah satu bentuk adaptasi yang oleh Merton dianggap menyimpang dalam situasi anomie ialah inovasi (innovation). Inovasi adalah salah satu bentuk adaptasi yang melibatkan penggunaan cara-cara yang tidak sah, seperti mencuri, merampok, dan berbagai bentuk kejahatan yang teroganisasi, untuk mencapai tujuan-tujuan status yang secara kulural telah ditetapkan masyarakat. Jenis adaptasi ini banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 112).
Teori Belajar
Menurut teori ini, penyimpangan perilaku yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tidaklah datang tiba-tiba dengan sendirinya tetapi hasil dari proses belajar. Teori belajar dipopulerkan oleh Edwin F. Sutherland. Dalam teorinya yang dinamai teori asosiasi diferensial, Sutherland menguraikan keunggulan teori ini, terutama untuk menganalisis organisasi sosial atau subkultur, penyimpangan perilaku pada tingkat individual, serta perbedaan norma-norma baik yang dikategorikan norma tidak menyimpang dan norma-norma yang menyimpang. Teori asosiasi diferensial memiliki sembilan proposisi:
1.      Perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajan‘. Ini berarti bahwa penyimpangan bukan diwan'skan atau diturunkan, bukan juga basil dari intelegensia yang rendah atau karena kerusakan otak.
2.      Perilaku menyimpang dipelajan‘ oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens.
3.      Bagian utama dan‘ belajar tentang perilaku menyimpang terjadj dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab. Sedangkan media  massa seperti televisi, majalah atau surat kabar, hanya memainkan peran sekunder dalam mempelajari penyimpangan.

4.      Hal-hal yang dipelajari dalam proses terbentuknya perilaku menyimpang adalah: (a) teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat rumit, tetapi kadang-kadang juga sederhana; (b) petunjuk-petunjuk khusus tentang motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap berperilaku menyimpang.
5.      Petunjuk-petunjuk khusus tentang motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajari dari definisi-definisi tentang normanorma yang baik atau yang tidak baik.
6.      Seseorang menjadi menyirnpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak. Apabila seseorang beranggapan bahwa lebih baik melakukan pelanggaran daripada tidak karena tidak ada sanksi atau hukuman yang tegas, atau orang lain membiarkan suatu tindakan yang dapat dikategorikan menyimpang, dan bahkan bila pelanggaran itu membawa keuntungan ekonomi, maka mudahlah orang berperilaku menyimpang. Sebaliknya, seseorang menjadi tidak menyimpang karena orang itu beranggapan bahwa akan lebih menguntungkan jika tidak melakukan pelanggaran, dan kemudian ia mendapat pujian, sanjungan, atau dijanjikan mendapat pahala.
7.      Terbentuknya asosiasi diferensia itu bervariasi bergantung kepada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8.      Proses mempelajari penyimpangan perilaku melalui kelompok yang memiliki pola-pola menyimpang atau sebaliknya, melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar. Ini artinya, tidak ada proses belajar yang unik untuk memperoleh cara-cara berperilaku menyimpang.
9.      Meskipun perilaku menyimpang merupakan salah satu ekSpresi dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang umum, penyimpangan perilaku tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku yang tidak menyimpang juga sebagai ekspresi dari nilai-nlai dan kebutuhan yang sama. Misalnya, kebutuhan untuk diakui, mempakan ekspresi dari dilakukannya berbagai tindakan, seperti pembunuhan massal (dianggap tindakan menyimpang) dan ikut pemilihan presiden (dianggap tidak menyimpang) (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 113-114).
Jadi, teori proses belajar, atau disebut juga teori sosialisasi, melihat Perilaku menyimpang sebagai sesuatu yang disadari, dipelajari, dan direncana kan. Tindak kriminal atau kejahatan yang dilakukan seseorang, atau beberapa orang secara kolektif, bukanlah suatu hal yang bersifat kebetulan dan tiba-tiba. Kejahatan yang dilakukan justru merupakan hasil dari pemikiran dan “manajemen” perencanaan yang matang. Sebagaimana dalam masyarakat normal, dalam dunia kriminal pun dikenal stratifikasi dan kelas-kelas sosial kejahatan secara spesifik. Ada yang disebut leader (boss, pemimpin), ada juga yang disebut follower (pengikut, anak buah). Ada yang disebut aktor intelektual, ada pula yang dinamakan mediator (penghubung) dan eksekutor lapangan (pelaksana tindak kejahatan seperti pembunuhan, perkosaan, perampokan). Seorang eksekutor sering tidak mengetahui, dan memang tidak mau tahu serta tidak perlu tahu, siapa inspirator atau aktor intelektual dari tindak kejahatan yang pada akhirnya harus dia lakukan baik seorang diri maupun bersarna dalam satu atau beberapa kelompok.
Lantas, apa kontribusi teori proses belajar dalam sosiologi komunikasi massa? Teori ini mengingatkan para pengelola media, terutama pemimpin redaksi, redaktur (gatekeeper) dan para jurnalis di lapangan, untuk tidak melihat suatu tindak kriminal yang ditemukan dan diliputnya sebagai peristiwa kebetulan. Kriminal bukan peristiwa yang muncul tiba-tiba. Kriminal pun temyata berpijak kepada kekuatan logika intelektual, dan bukan logika kekuatan fisik semata. J urnalis tak boleh terlena atau hanyut dalam skenario versi para pelaku kriminal, yang sering memainkan politik naif dan akibat ketidakberdayaan.
Tegasnya, tindak kriminal bukanlah akibat seolah-olah: seolah-olah sangat tei‘paksa dilakukan dan tidak ada pilihan lain saat itu; seolah-olah karena sangat terdesak (kepepet); atau seolah-olah terjadi tiba-tiba tanpa dipikirkan dan direncanakan terlebih dahulu. Media perlu ekstra hatihati dan waspada. Jangan sampai malah media menjadi wahana inspirasi, motivasi, dan sosialisasi aneka tindak kriminal berikutnya oleh para peiaku yang lain dan di tempat yang lain. Sebagai contoh, dalam perspektif sosiologi komunikasi massa, media pernah meiakdkan kesalahan fatal ketika memberitakan kasus-kasus bunuh diri. Dalam berita mereka, disebutkan bunuh diri dilakukan dengan cara meminum racun serangga kemasan cair dengan menyebutkan mereknya! Akibatnya, empat dari tiap lima peristiwa bunuh diri, diketahui dilakukan dengan cara meminum racun serangga kemasan cair merek yang sama
Teori Labeling
Menurut Becker sebagai salah seorang pencetus teori labeling, penyimpangan (deviasi) mempakan suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Dengan demikian perilaku menyimpang adalah suatu tindakan yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah ditetapkan. Ini berarti dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Penyimpangan tidak didasarkan pada norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari para pelaku sosial (Clinard dan Meier, 1989: 92).
Dalam teori labeling dikena] dua bentuk penyimpangan, yakni penyimpangan primer (primary labeling), dan penyimpangan sekunder (secondary labeling). Pada penyimpangan primer, orang melakukan suatu tindak kriminal, atau apa pun yang termasuk dalam kategori deviasi, karena dia telah dicap sebagai pencuri atau pemerkosa, misalnya. Cap sosial yang diberikan kepadanya sebagai pencuri atau pemerkosa itu, pada akhirnya menghasilkan peran sosial yang menyimpang juga. Maksudnya ia akan mengembangkan konsep dirinya, atau disebut juga proses reorganisasi psikologis, sebagai pelaku perilaku menyimpang permanen.
Pada penyimpangan sekunder, cirinya ahtara lain diperlukan waktu panjang dan cenderung tidak kasat mata. Sebagai contoh, seseorang yang selalu mengurung diri di dalam kamar di rumah, tidak mau bergaul dengan anggota keluarga dan tetangga, tidak mau bicara diajak bicara, selalu terlihat murung, berperangai dingin, tatapan mata kosong, kumal, jarang mandi, tidak mau ganti pakaian, dari badannya tercium aroma bau tak sedap, apatis, fatalis, mengesankan dirinya sedang stres atau depresi berat; jika oleh pihak keluarganya kemudian dibawa ke pskiater dan disarankan untuk masuk rumah sakit jiwa, cepat atau lambat hampir dapat dipastikan orang ini akan menjadi ‘pasien penderita gangguan jiwa’ Contoh lain. seorang suami sering pulang larut malam bahkan ptdang pagi dan satu-dua hari tidak pulang. Akhirnya dia sering bertengkar dengan istrinya. Sang istri menuduh dia sering main perempuan dan berjudi. Entah dan‘ mana semula tuduhan itu datangnya. Antara argumen, logika. dan bukti-bukti, seperti tak ada kaitan satu sama lain. Hanya yang jelas, sang istri berkeyakinan suaminya main perempuan. Itu saja. Karena labeling yang berulang-ulang itu, dia akhirnya benar-benar menjadi suami pemain perempuan dan penjudi profesional
Dalam petspektif sosiologi komunikasi massa, teori labeling bisa disebut sudah sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari. Kita tahu, televisi telah menyita perhatian kita. Melalui berbagai tayangan paduan informasi dan hiburan (infotainment) yang dikemas semenarik mungkin, penuh tingkah, bahkan terkesan bergenit-genit, televisi memaksa ldta untuk menyelami lebih jauh dunia perselingkuhan, kawin-cerai, dan cerita jatuh-bangun para selebritas.

Aneh tapi nyata, sejak bangun pagi sampai menjelang magrib, kita disuguhi dengan tayangan aneka tingkab remeh-temeh para pemain sinetron, komedian, dan artis-artis penyanyi dari mulai kelas bakat profesional sampai dengan kelas karbitan. Kehidupan artis, para pemain sinetron, para pemandu acara televisi (presenter, host, pemandu talk show), pekerja film, pelawak, pemeran badut-badut tak lucu. setiap saat dijejalkan kepada mata dan memori kita melalui layar kaca. Sealcan-akan tayangan sarat gosip dan kabar-kabur itu jauh lebih penting daripada tayangan berita yang durasi dan frekuensinya sangat terbatas.
Jujur saja. Media, temtama televisi, telah menjadi penganut teori labeling paling setia dalam proses interaksi sosial media massa dengan masyarakat atau sebaliknya. Fakta empiris menunjukkan, medialah yang biasa, kerap, sering, atau bahkan selalu memberikan berbagai penjulukan (labeling) terhadap orang-orang yang dianggapnya menarik (interesting) secara seksual, pentjng (significancy) secara politikal, atau temama (prominence) dan serta sosiokultural. Penjulukan itu aneka macam sifat dan bentuknya. Ada yang sifatnya positif. Ada pula yang sifatnya negatif. Ada orang yang dijuluki atau dibeli label menjadi tersanjung. Ada pula orang yang dijuluki. membuat din'nya terpasung. Tidak ada acuan yang baku apalagi kaku, kapan ketika seseorang diberi label positif, dan kapan pula saat diberi label negatif.
Singkat kata, media bisa mengantarkan seseorang menjadi pahlawan, tetapi bisa pula menjadikan sebagai penjahat dan memenjarakannya. Fenomena ini, dijawab oleh teori Elizabeth Noelle Neumann di Jerman. Ia menyadarkan para pendahulunya tentang konsep efek media massa yang sangat pekasa. Neumann mengingatkan, penelitian terdahulu mengesampingkan tiga faktor penting, yaitu serba ada (ubiquity), kumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.
Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada di mana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, sangat sulit bagi orang untuk menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan (consonance of journalist). Siaran berita cenderung sama, sehingga dunia yang disajikan pada khalayak juga dunia yang sama. Khalayak akhirnya tidak mempunyai alternatif yang lain, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari media massa (Rakhmat, 1998: zoo-201).
Teori Kontrol
Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang diterima secara utuh (en bloc) oleh masyarakat guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan. Norma itu sifatnya bisa institusional atau formal, bisa juga noninstitusional atau sosial (norma umum). Norma bisa juga positif, yaitu yang sifatnya mengharuskan, menekan, atau kompulsif, mulai dari norma-norma yang lunak, memperbolehkan, sampai dengan penggunaan sedikit paksaan. Sebaliknya norma bisa juga negatif, yaitu yang bersifat melarang sama sekali, bahkan menjadikan tabu (dilarang menjamah atau melakukannya karena diliputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi). Bisa pula berupa larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman, atau tindak pengasingan. Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang bisa dibedakan secara tegas ke dalam dua aspek. Pertama aspek lahiriah dan kedua aspek simbolik tersembunyi (Kartono, 2007: 14-16).
Aspek lahiriah, menurut pakar sosiologi Kartini Kartono adal'ah yang bisa ldta amati dengan jelas. Aspek' mi dibagi dalam dua kelompok, yaitu deviasi lahiriah verbal dan deviasi lahiriah nonverbal. Deviasi lahiriah verbal dalam bentuk: kata-kata makian, slang (logat, bahasa populer), kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal, ungkapan-ungkapan sandi; misalnya penamaan singa untuk pegawai negeri, serigala untuk tentara, kelinci untuk polisi. Deviasi lahiriah nonverbal yaitu semua tingkah laku yang nonverbal yang nyata kelihatan.
Aspek simbolik tersembunyi, khususnya mencakup sikap hidup, emosi, sentimen, dan motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang, yaitu bempa mens rea (pikiran yang paling mendalam dantersembunyi), atau berupa itikad kriminal di balik semua aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang. Perlu diingat, sebagian besar perilaku menyirnpang, misalnya kejahatan, pelacuran, kecanduan narkotika, semua itu tersamar dan tersembunyi sifatnya, tidak tampak dan bahkan tidak bisa diamati. Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok:
1.      Individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah”, merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri;
2.      Individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak memungikan orang lain, dan;
3.      Individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain (Kartono, 2007:17-18).
Karena itulah, teori kontrol berasumsi bahyva deviasi atau penyimDangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau kekosongan pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum. Hirschi (1969), mengajukan beberapa proposisi tentang teori kontrol:
1.      Berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-atnran sosial adalah akibat dari kegagalan menyosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak konform (menyesuaikan diri) terhadap aturan atau ata tertib Yang ada;
2.      Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap konform (menyesuaikan diri), seperti: keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya;
3.      Setiap individu seharusnya belajar untuk konform (menyesuaikan diri) dan u'dak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal;
4.      Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 116).
Mengapa manusia tidak patuh terhadap orang lain, atau tidak patuh terhadap norma sosial? Menurut para sosiolog penganut teori pertukaran sosial, seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain karena kegiatan itu dianggapnya menguntungkan sehingga dia mendapatkan suatu imbalan. Sudah tentu, dalam proses tersebut orang yang bersangkutan mungkin merasa kecewa atau dirugikan. Kerugian tersebut merupakan biaya yang harus dikeluarkan (direlakan), misalnya dalam bentuk kewajiban, rasa khawatir, kebosanan. Oleh karena keuntungan dari hubungan tersebut merupakan selisih dari imbalan dan biaya, maka teori tersebut sering dinamakan teori pilihan rasional (rational choice theory) (Simandjuntak, 1985: 72-73).
Dengan merujuk kepada teori kontrol, teori pertukaran sosial, dan teori pilihan rasional, sedikit-banyak kita bisa memetakan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan media, terutama media massa televisi. Kita tahu, deviasi lahiriah verbal dan deviasi lahiriah nonverbal, dalam bentuk katakata dan dan tindakan kasar, vulgar, sangat berlebihan, di luar batas-betas kesopanan dan kepatutan, tak senonoh, masih banyak ditemukan dAIam tayangan acara televisi, baik tayangan faktua] maupun nonfaktual. Kita cenderung sudah kehilangan kontrol atas perilaku televisi dalam mengejar keuntungan sebesar-besarnya yang diperoleh dari para kapital pemasang iklan. Secara yuridis, kita memang sudah memiliki UU No.32/ 2002 Tentang Penyiaran. Atas dasar amanat UU No.32/2002 itu, juga di ibu kota sudah dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan di tiap provinsi dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
Pasal 8 ayat (1) UU no.32/2002 Tentang Penyiaran menyatakan,  KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi serta mewakili kepentingan masyarakat terhadap penyiaran pasal 8 ayat (2) menyatakan, dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) KPI mempunyai wewenang: (a) menetapkan standar program siaran; (b) menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; (c) mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; (d) member-1km sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; dun (e) melakukan koordinasi dan atau kelja sama dengan pemerimah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Namun power yuridis ini, di mata para pemilik stasiun televisi swasta sering dianggap angin lalu. Memang ada sejumlah mata acara yang oleh KPI dilarang ditayangkan. Namun jauh lebih banyak lagi acara bermasalah yang masih dengan bebas ditayangkan. KPI dan KPID dan tak ubahnya macan kertas. Tak bergigi!

Teori Konfik
Sejak lima dekade lalu, menurut sosiolog Kartini Kartono terjadi kontak intensif antara berbagai macam kebudayan sehingga terjadi proses akulturasi. Akibatnya terjadi banyak perubahan sosial yang mencolok. Pertemuan antara macam-macam budaya itu kadang berlangsung damai tenang dan lancar, tetapi kadang pula diiringi dengan bentrokan, pértentangan, dan konflikkonflik serius. Jadi terdapat konflik budaya. Penyebabnya antara lain: munculnya semakin banyak kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang sangat agresif, mengakibatkan kekuatan-kekuatan tersebut saling berkonkurensi, memperebutkan kekuasaan dan keuntungan. Akhirnya, muncullah berbagai macam krisis dan kemelut kebudayaan.
Konfiik-konflik kultural dan aneka krisis tersebut menyebabkan banyak ketakutan, kecemasan, dan kebingungan; perasaan semakin datar dan dingin membeku; tidak peduli terhadap orang lain dan diri sendiri. Sebagai eksesnya, timbullah gejala apatisme dan kepasifan ekstrem, yang sering dikompensasikan dalam bentuk-bentuk pemberontakan. Konflik budaya terjadi dalam bentuk konflik batin dalam diri individu sebagai akibat individu hengejar nilai-nilai kontradiktif dengan standar normatif yang bertentangan satu sama lain konflik individu dengan masyarajat karena kepentingan yang berbeda dan kinflik antara nilai-nilai dan tingkah laku dua kelompok sosial atau lebih (kartono, 2007: 228-290 )
Menurut quinney (1979: 115-161 , teori konflik Lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terciptanya suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal-usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berperilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok elite, kelompok elite itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnyn hukum yang dapat melayani kepentingan mereka. Berkaitan dengan ha} itu, perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan (Meier, 1989: 98-99).
Margaret M. Poloma dalam Contemporery Sosz'ology Theory menyatakan, konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih. Konflik dengan kelompok Iain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dam melindunginya agar tidak lebur dalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatn kelompok (in-group) yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain (out-group). Kelompok keaga'maan, kelompok etnis, dan kelompok politik, sering berhasil mengatasi berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam memperkuat identitas in-group (Poloma, 1987: 108-109).
Menarik untuk diselami, apakah media massa juga merujuk kepada teori-teori konflik dalam melihat dan menafsirkan berbagai fenomena perselisihan sosial ekonomi dan politik ekonomi terjadi dalam masyarakat? Bagi media, katakanlah menurut perspektjf ideologis dan perspektif bisnis, apakah suatu konflik dalam masyarakat merupakan berkah atau musibah?
Jika sebagai berkah, apa alasannya, dan jika pun sebagai musibah, apa pula argumen-argumennya yang meyakinkan.
Dalam teori jumalistik ditegaskan, news is conflict. Berita adalah atau konflik atau segala sesuatu yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan. Konflik atau pertentangan, mempakan sumber berita yang tidak pemah kering dan tak akan pernah habis. Selama orang menyukai dan menganggap penting olah raga, perbedaan pendapat djhalalkan, demokrasi dijadikan acuan, kebenaran masih diperdebatkan, peperangan masih terus berkecamuk, dan perdamaian masih sebatas angan-angan, selama itu pula konflik masih akan tetap menghiasi halaman surat kabar, mengganggu pendengaran karena disiarkan radio, dan menusuk mata karena selalu ditayangkan televisi.
Berita konflik, berita tentang pertentangan dua pihak atau lebih, menimbulkan dua sisi reaksi dan akibat yang berlawanan. Ada pihak yang setuju (pro), ada juga pihak yang tidak setuju (kontra). Ada atau tidak ada pemihakan, konflik akan jalan terns. Sebab konflik senantiasa menyatu (imanen) dengan dinamika kehidupan. Dalam teori konflik dikatakan, konflik tidak mungkin bisa dihilangkan dalam masyarakat penganut paham demokrasi. Konflik hanya bisa diredam, dikendalikan, dan dikelola secara konstruktif. Karena itulah dalam literatur politik, dikenal adanya teori konflik dan manajemen konflik
Di negara-negara dunia ketiga, kebanyakan reporter menghabiskan waktunya untuk meliput berita konflik (conflict-news), seperti olah raga, kriminalitas, praktik politik dan kekuasaan, serta perang. Reporter dan editor bisa menentukan mana peristiwa yang memiliki nilai berita lebih besar, dan sekaligus memutuskan apakah ditempatkan sebagai berita utama (head line), berita dengan nilai jual tinggi (news saleable) yang hams dpajang di halaman muka, atau cukup ditempatkan di halaman dalam sebagai berita pelengkap (news suplement) (Sumadiria, 2006: 86-87).
Dalam analisis sosiologi komunikasi massa, konflik paling tidak dapat dilihat dari dua perspektif: redaksional dan komersial. Perspektif redaksional, media memiliki tanggung jawab sosia] serta etika profesional untuk mengecilkan dan bahkan memadamkan konflik, dan bukan malah membakar atau membesarkan konflik. Dalam teori komunikasi massa dikenal salah satu jenis jumalistik, yakni jumalistik konflik (journalism of conflict). Dalam jurnalistik konflik, jurnalis tidak hanya dibekali dengan perangkat strategi dan teknik peliputan, tetapi juga metode penyelamatan dan perlindungan diri (survival and safety guard method) dari kemungkinan serangan para pihak yang sedang berkonflik.
Perspektif komersial menegaskan komitmen sekaligus orientasi media massa dalam mencari keuntungan. Pers tidak hanya hams punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilainilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers hams berorientasi kepada kepentingan komersial. Bagaimanapun pers bukanlah lembaga santunan sosial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU Pokok Pers No. 40/1999: pets nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Begitu juga pasal 4 ayat (1) UU No.32/ 2002 Tentang Penyiaran menyatakan: penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Sedangkan pasal (4) ayat (2) menegaskan: dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Sebagai lembaga ekonomi, media massa harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, serta efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial, perusahaan media massa hams memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apa pun sajian pers atau media massa tak bisa dilepaskan dari muatan bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpihak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers atau pendirian industri media massa seperti radio dan televisi bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Tegasnya, idealisme tanpa komersialisme hanya merupakan sebuah ilusi (Sumadiria, 2006:47). Namun untuk mencapainya, media massa pun, seperti juga masyarakat, pasti bersinggungan atau bahkan menjadi bagian dari konflik. Jadi, sebagai pesan penting buku ini, konflik tidak perlu ditakuti karena kontlik tak bisa dihindari. Konflik harus dihadapi dengan lega hati dan trategi yang sudah sangat teruji.


BAB IX
TEKNOLOGI INFORMASI, CYBERSPACE, DAN HIPER-REALITAS MEDIA
TEKNOLOGI, MEDIA. DAN MASYARAKAT MAYA
Everett M. Rogers dalam Communication Technology: The New Media in Society (1986: 25), mengatakan bahwa dalam hubungan dengan komunikasi dalam masyarakat, dikenal empat era komunikasi, yaitu era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi, dan era media komunikasi interaktif. Dalam era terakhir media komunikasi interaktif dikenal antara lain media komputer, videotext, teletext, teleconferencing, televisi kabel. Sayling Wen dalam Future of the Media (2002: 17-80), melihat media dalam konteks yang lebih luas, tidak saja melihat media dalam konsep komunikasi antarpribadi, tetapi juga melihat media sebagai medium penyimpanan sekaligus pula medium informasi. Media komunikasi antarpribadi yang dimaksud Wen adalah suara, graiik, teks, musik, animasi, video. Sedangkan media penyimpanan adalah buku, kamera, alat perekam kaset, kamera film dan proyektor, alat perekam video, dan disk optikal (Bungin, 2006: 111-112).
Iahirnya era komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi informasi yaitu bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi satu dan menandai teknologi yang disebut dengan intemet.
Menurut Sayling Wen (2002), sekarang ini yang terpenting dan paling luas pengaruhnya adalah internet. Internetlah yang menghubungkan komputer pribadi yang paling sederhana hingga komputer super yang paling canggih. Inilah struktur jaringan komputer yang saling berhubungan satu sama lain. Layanan yang diberikan oleh internet mencakup electronic mail (e-mail), netnews, telnet, jile transfer protocol (FTP), dan world wide web (www). Dari kelompok ini yang paling banyak digunakan adalah e-mail serta www. Perkembangan lain dari internet adalah mesin pencari dan lacak seperti browsers dan search enginers. Melalui mesin ini informasi atau teks dalam situs maria pun dapat dilacak (Bungin, 2006: 113,136).
Melalui internet, kita memasuki dan menemukan desa dunia. Melalui internet, kita melakukan migrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Jika dalam dunia nyata, wakru, jarak, dan tempat merupakan sesuatu yang sangat penting, maka dalam dunia maya ketiga dimensi itu menjadi tidak penting dan tidak relevan. Dunia maya seolah tampil begitu perkasa karena telah mampu menghapus dimensi waktu, jarak, dan tempat (time, distance, place).
Penulis yang sedang mengetik naskah buku ini di sebuah Vila yang dingin dan sepi di kaki Gunung Manglayang, Bandung, Jawa Barat, dan rekan penulis yang sedang kuliah S3 di Toronto, Kanada, dapat saling berhubungan pada saat yang sama (real time) tanpa harus beranjak dari meja dan ruang kerja atau kamar masing-masing. Penulis bisa melakukan percakapan (charting), pencarian (searching), perselancaran (browsing) diminta (sending), tau penerimaaa penggandaan inginkan (copy and saving), Bahkan andaikata ada gaya pun bisa mencari dan menemukan jodoh dengan mudah melalui intemet. Sederhana, praktis, ekonomis.

Pada modal terdahulu, sudah kita kemukakaa terdapat tiga kategeri media menurut perspektif sosiologi komunikasi; yaitu media komunikasi tradisional, media komunikasi konvensional, dan media komunikasi modem. Pada media komunikasi modem, kita jumpai surat kabar, majalah, radio, televisi, mm, dan media on line intenet. Media yang disebut terakhir inilah yang sekarang menjadi primadona masyarakat global, terlebih Iagi setelah diperkenalkan jejaring sosial via internet yang disebut twitter dan facebook Indonesia, termasuk tiga besar pengguna facebook di dunia setelah China dan Amerika. Sedikitnya 25 juta penduduk Indonesia, kini tergabung dalam situs jejaring sosial facebook. Juga tidak kurang dari 10 jut: orang yang mérasa bangga bergabung dengan twitter.
Sosiologi komunikasi massa melihat, kini setiap penduduk perkotaan usia 12-52 tahun terutama di lima kota besar Medan, Jakata, Bandung, Surabaya yang merasa dirinya terpelajar atau intelektual, akan merasa main dan teasing secara spsial jika tidak bergabung dalam facebook dan Miter. Merck: aknn disebut sebagai orang kuno, manusia ketinggalan zaman, warga kampungan, udik banget, atau kelompok masyarakat purba. Dari sisi psikologi komunikasi massa, facebook menawarkan banyak kelebihan dibandingkan dengan pendahulunya e-mail. Pada facebook, kita saling berkomunikasi dengan Inenampakkan wajah kita, foto-foto zaman dulu atau fotmfoto dan video terkini kita. Dengan facebook, tiap orang mendadak menjadi narsis, senang bergaya, tampil menjadi peragawan-peragawati geiiit centil, atau muncul jadi aktor dan aktris seksi!
Apa artinya? Melalui facebook dan nvitter sebagai salah satu repm tasi dunia maya, sekat-sekat ruang privat dan rahasia~rahasia pribadi tiap individu, menjadi terbuka dan transparan, dan semuanya dilakukan dengan Mdar. Data pribadi seperti nama lengkap, jenis kelamin, tempat tangal hulan dan tahun kelahiran, tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, bahkan Warns masih berpacaran pun disebutkan dengan jelas. Begini pula dengan foto-foto sejak saat lahir, balita, hingga beranjak remaja, dewasa, dan berstatus kakek-nenek, dimasukkan dalam album foto yang bisa dilihat oleh siapapun sesama pengguna facebook
Menarik untuk diteliti, apa sebenarnya yang dicari para pengguna facebook dan twitter sebagai jejaring sosial melalui internet sebagai dunia maya (virtual world)? J awaban yang didapat, untuk sebagian pasti menunjuk kepada motif mencari menambah dan mempererat pertemanan; meningkatkan hubungan persaudaraan; mengembangkan pergaulan; menambah wawasan pengetahuan dan ketrampilan; saling berbagi pengalaman; mencari serta menemukan pekerjaan; dan mencari serta meningkatkan penghasilan.
Jika dalam dunia nyata terdapat masyarakat nyata (real community), dalam dunia maya ditemukan masyarakat maya (cybercommunity). Menurut pakar sosiologi komunikasi massa Burhan Bungin, pada awalnya masyarakat maya adalah sebuah fantasi manusia tentang dunia lain yang lebih maju dibandingkan dengan dunia saat ini. Fantasi tersebut adalah sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai lambang dari pembebasan terhadap kekuasaan materi dan alam semesta. Namun ketika teknologi manusia mampu mengungkapkan misteri pengetahuan itu, manusia mampu menciptakan ruang kehidupan baru baginya dalam dunia hiper-realitas itu.
Sebagai ciptaan manusia, masyarakat maya menggunakan seluruh metode kehidupan masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkau dalam segi-segi kehidupan masyarakat maya. Misalnya membangun interaksi sosial dan kehidupan kelompok, stratiflkasi sosial, kebudayaan, pranata sosial, kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan, juga mengembangkan kontrol sosial. Berikut petikan penjelasan Burhan Bungin dari aspek yang disebutkan itu (Bungin, 2006: 160-172)
Proses Sosial dan lnteraksi Sosial
Masyarakat maya membangun dirinya dengan sepenuhnya mengandalkan interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan kelompok (jaringan) intra dan antarsesama anggota masyarakat maya. Kebanyakan dari anggota masyarakat maya menjadi penduduk tetap dalam masyarakat tersebut dengan memiliki alamat dan rumah di sana dengan status penyewa atau pemilik.
Mereka ini yang memiliki e-mai, website. atau bahkan provider Setiap saat mereka memanfaatkan alamat dan rumah mereka untuk berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat maya guna berbagai jenis kebutuhan.
Sebagaimana sifat jaringan dan proses sosial dalam masyarakat maya yang mementingkan kerja sama, selain proses sosial disosiatif, terbanyak dari proses sosial itu adalah proses sosial asosiatif antara jaringan-jaringan (kelompok-kelompok) yang ada. Proses ini memberi pelunng kepada komunitas maya, baik intra maupun antaxjaringan, melakukan ketja sama (cooperation) di antara mereka. Kexja sama ini menghasilkan proses lanjutan seperti akomodasi informasi dan asimilasi kebudayaan masyarakat maya dalam skala global ke selumh jaringan masyarakat yang akhimya memengaruhi perilaku dan interaksi mereka satu dengan lainnya.
Kelompok Sosial Maya
Komunitas maya memiliki kehidupan kelompol; yang rumit. Umumnya kelompok sosial ini dibangun berdasarkan hubungan sekunder, sehingga pengelompokan mereka didasarkan pada kegemaran dan kebutuhan anggota masyarakat terhadap kelompok tersebut. Pada dasarnya ada dua model kenggotaan kelompok sosial maya, yaitu kelompok intro dan kelompok inter. Kelompok intro adalah keanggotaan seseorang dalam unit-unit kelompok intra yang berpusat pada server tertentu. Sifatnya menyerupai serumpun anggota dalam suatu institusi tertentu. Kelompok intra ini biasanya disebut dengan intranet. Kelompok inter yang lazim disebut internet, berhubungan dan berkoneksi dengan sistem sosial yang sama di tempat lain. Sambungan server to server melalui sistem internet dengan menggunakam teknologi satelit itulah yang disebut dengan internet.
Dalam sistem internet, kelompok terbesar dalam masyarakat maya adalah kelompok yang keanggotaannya didasarkan pada kebutuhan layanan tyan rumah (website) terhadap tamu yang terdiri atas dua status keanggotaan. Pertama, adalah keanggotaan yang bersifat free (bebas biaya) seperti keanggotaan dalam pelayanan e-mail, chatting, dan beberapa website tertentu. Kedua, keanggotaan tetap berdasarkan pada status members pada provider atau website tertentu. Dalam masyarakat maya hotmail.com yahoo.com, amazone.comm, mailcity.com, star.com, usa.com, msn.com nescape.com, plaza.com dan semacamnya, dikenal sebagai jaringan (kelompok) terbesar saat ini Kebudayaan dan Masyarakat Maya
Dalam masyarakat maya, kebudayaan yang dikembangkan adalah budaya~ budaya pencitraan dan makna yang setiap saat dipertukarkan dalam mang interaksi simbolis. Sesuatu yang menjadi ciri khas dari kebudayaan maya ini adalah sifatnya yang sangat menggantungkan diri pada media. Kebudayaan itu hanya ada secara nyata dalam media informatika. Beberapa di antaranya telah ditransformasikan ke dalam kognitif manusia. Inilah sebenamya space dunia maya, yaitu dunia media dan dunia kognitif manusia.
Hubungan dari dua space ini telah melahirkan dunia yang baru bagi mawarakat manusia yang tak bisa dihitung lagi seberapa besar ruang itu, bergantung pada kemampuan manusia membuka misteri pengetahuan ini.
Sistem religi (kepercayaan) masyarakat maya adalah waktu dan keyakinan bahwa setiap misteri dalam dunia maya dapat dipecahkan.
Pranata dan Kontrol Masyarakat Maya
Masyarakat maya memiliki pranata dan kontrol sosial yang dibangun bersama atau dibangun sebagai sistem proteksi diri. Selain etika umum dalam masyarakat nyata yang dibawa ke dalam kehidupan maya, sistem pranata dan kontrol sosial dibangun agar semila kebutuhan dalam masyarakat maya dapat terlayani dengan baik tanpa saling merugikan. Pranata lain yang ada dalam masyarakat maya, bahwa semua informasi yang ada dalam dunia maya menjadi milik publik yang dapat diakses oleh semua orang.
Hukum-hukum sosial yang ada dalam masyarakat nyata juga menjadi bagian dalam pranata sosial masyarakat maya, seperti mencuri informasi, menipu, melakukan pelecehan gender, merusak, menyerang orang lain, menjadi pranata yang juga dipandang buruk dalam komunitas maya.
Stratifikasi Sosial dan Kekuasaan
Masyarakat maya mengenal stratifikasi sosial berdasarkan besaran jaringan yang dimiliki. J adi, dasar pembenfukan stratifikasi masyarakat maya ditentu~ kan pada seberapa besar kepemilikan jaringan dan informasi yang dapat diakses darinya. Begitu pula jumlah anggota masyarakat maya yang setiap hari lalu-lalang di sebuah jaringan atau website menjadi dasar argumentasi yang kuat untuk menentukan stratifikasi sosial.
Sistem kepemimpinan dalam masyarakat maya dibangun berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan terhadap jaringan tertentu. Secara real, setiap jaringan adalah pemimpin yang terkoneksi ke dwlam jaringan kepemimpinan Yang lebih luas Setiap jaringan memiliki kewenangan mengurus diri mereka sendiri, membangun, dan merekontruksi bagia bagian yang dianggap perlu


Pembahan Sosial Masyarakat Maya
Masyarakat maya adalah revolusi terhadnp sebuah perubahan masyarakat nyata. Bahwa manusia tak pernah puas hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang yang sempit. Sifat membebaskan diri yang ada pada manusia terbukti dari gagasannya menciptakan bagian kehidupan barn untuk manusia, yaitu masyarakat maya. Dengan demikian perubahan sosial dalam masyarakat maya adalah sebuah hukum masyarakat yang tcxjadi setiap saat.
Perubahan sosial dalam cybercommuniy atau masyarakat maya, memiliki aneka dampak budaya yang sangat luas dan tajam, karena selain sifat perubahannya yang mengglobal, juga perubahan sosial ini berlangsung dengan amat sangat cepat, sehingga banyak melahirkan efek ganda terhadap perubahan perilaku pada masyarakat maya dan masyarakat nyata. Selain itu juga menyebabkan gesekan-gesekan sosial yang tajam dalam dua belahan masyarakat tersebut. Pembahan sosial pada cybercommunity, erat kaitannya dengan refleksi realitas nyata (Bungin, 2006: 160-172).
Apa maknanya? Maknanya banyak, tetapi yang terpenting ialah kita dewasa ini tidak mungkin bisa mengelak dari kehadiran media barn. Dalam media baru inilah ditemukan dunia maya. Sedangkan dalam dunia maya dijumpai masyarakat maya. Jadi, dunia maya dan masyarakat maya hanya ada dalam media baru. Dalam media lama kita tidak mengenalnya. Karena itulah, sosiologi komunikasi massa memandang kehadiran dunia dan Inasyarakat maya melalui media baru internet ini teramat sangat penting lmtuk dijadikan fokus kajian secara sistematis dan metodologis, Betbagai fakta barn menunjukkan, di Amerika Serikat saja, media-media massa raksasa lama yang selama beberapa dekade menjadi sumber rujukan utama (mainstream) dan penentu arah (trendsetter), satu demi satu berguguran. sebagian dari mereka, pada akhirnya harus beralih ke dan bergabung dengan media baru. Itulah yang disebut cybermedia atau media mayat.
Benar kata Jacgues Ellul clan Gaulet, jika kita ingin menggambarkan zaman ini, make yang terbaik ialah dengan cara melihat bagaimana masyarakat teknologi bekerja. Fungsi teknologi adalah kunci utama pembahan dalam masyarakat (Ellul, 1980: 1). Dengan demikian menurut Ellul dan Gaulet (1977: 7) teknologi secara fungsional telah menguasai mayarakat. Bahkan dalam dunia media informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat seperti tampak pada istilah theatre of mind (Bungin, 2006: 173).
Kemampuan teknologi media elektronika telah memungkinkan perancang agenda setting media menciptakan realitas dengan menggunakan satu model produksi yang oleh Jean Baudrillard disebut dengan simulasi, yaitu penciptaan model-model nyata tanpa asal-usul atau realitas awal. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai hiper-realitas (Piliang, 1998: 228). Melalui model simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, mesldpun sesungguhnya semu, maya, atau khayalan belaka (Nugroho, 1999: 123 dalam Bungin, 2006: 173-174).
Dalam pandangan Yasraf Amir Piliang, ruang realitas semu itu dapat digambarkan melalui analogi peta. Bila dalam suatu ruang nyata, sebuah peta mempakan representasi dari sebuah teritorial, dalam model simulasi, petalah yang mendahului teritorial. Realitas (teritorial) sosial, kebudayaan, atau politik, kini dibangun berdasarkan model (peta) fantasi yang ditawarkan media informasi. Disneyland, Las Vegas, Stadion Wembley, bintang film dan penyanyi Madonna, bintang sepak bola Maradona, tokoh kartun seperti Mickey Mouse dan Doraemon, atau perang Amerika-Afghanistan, adalah contoh gambaran model peta simulasi dalam berbagai citra, nilai, clan makna kehidupan sosial, kebudayaan, konflik politik, dan peperangan yang dibangun dalam masyarakat maya (Piliang, 1998: 228). Jadi, dalam dunia dan masyarakat maya (cyber society), segala sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin (impossible) ternyata menjadi serba mungkin (possible) bahkan bisa dilakukan serta seolah-olah berada dalam dunia nyata.
Dalam era apa yang disebut Piliang sebagai kematian sosial, ruang publik (public sphere) yang alamiah kini juga telah diambil alih oleh ruang publik virtual (virtual public sphere), yang di dalamnya berbagai aktivitas publik telah beralih ke dalam wujud virtual. Berbagai aktivitas publik dari tamasya, belanja, hibnran sampai demonstrasi, protes, dan debat, kini hadir dalam wujud virtualnya. Fantasi-fantasi klasik tentang pengembaraan manjelajahi andatw sudut terjauh dunia, seperti Jules Verne, kini diam‘bil alih oleh fantasi~£antasi perjelajahan virtual ke dalam lorongdorong tezjanh dari dunk virtual yang tanpa betas, yang penuh dengan janjiajanji keajaiban, peaona, kegairahan, dan utopia. Masihkah fantasi~fantasi pengembaraan Juiw Verne diperlukan dalam sebuah dunia maya, yang saga}: bentuk penjelajahan, pcngembaraan, dan tamasya itu dapat dihadirkan dalam wujud mayanya? (Piliang, 2009338).

MEDIA DAN RUANG REALITAS VIRTUAL
Kelahiran ruang-ruang sosial virtual, dan kematian mans-mans sosial natural (the death of social), papar Piliang lebih jauh, sejak lebih dari satu dekade terakhir, hingga kini telah menggiring umat manusia ke dalam sebuah lorong gelap, kegalauan, serta turbulensi psikis, yang diakibatkan oleh tumpang» tindihnya berbagai peristiwa dan realitas dengan bentuk-bentuk simulasinya di dalam media, sehingga antara realitas dan simulakrum (timan) tidak dapat dibedakan lagi. Relasi-relasi sosial yang natural kini diambil alih oleh relaxirelasi virtual. '
Seakan-akan, kata Piliang, ada sebuah mesin besar yang beroperasi dalam ruang-mang sosial, yang memproduksi berbagai kegalauan tanda, citra, dan realitas, sehingga di dalamnya antara realitas dan ilusi, antara kenyataan dan fantasi, antara kebenaran dan kepalsuan, tidak dapat lagi dipisahkan. Inilah mesin-mesin simulasi (the simulation machine). Masin-mesin simulasi merekayasa dan memanipulasi realitas, sehinggaotidak dapat lagi dibedakan antara realitas yang asli dan realitas tiruan (simulacra).
Realitas sosial, kini diambil alih oleh model realitas sosial atau simulasi realitas, yang sengaja diciptakan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir, untuk menyembunyikan realitas sosial yang sesungguhnya. Realitas sosial seakan-akan dikuasai oleh mesin-mesin simulasi: mesin-mesin yang memproduksi berbagai bentuk kepalsuan, kepura-puraan, distorsi, tabir, dan topeng realitas (the simulation machine).
Dania realitas sosial kini djpenuhi oleh model-model realitas sosial yang tanpa asal-usul atau realitas: a social hyper-real. Model realitas sosial tersebut memang sepintas tampak nyata, akan tetapi tidak menggambarkan realitas sosial yang sebenanya. Ia menyembunyikan realitas sosial yang hadir di balik rekayasa sosial; menyembunyikan kebenaran di balik topeng kebenaran. Kenyataan (real) ditutupi oleh tanda-tanda realitas (sign of the real) atau citra realitas (image of the real), sehingga antara tanda dan realitas, antara model dan kenyataan tidak dapat lagi dibedakan. Oleh karena simulasi sosial (social simulation) tidak menggambarkan realitas sosial sebagaimana adanya, make. realitas sosial yang diproduksi oleh mesin-mesin simulasi sosial adalab realitas sosial yang melampaui (post-social). Artinya, realitas sosial tersebut tidal: dapat lagi dinilai berdasarkan logika (rasionalitas, moralitas) yang ada dalam konteks realitas sosial sesungguhnya, melainkan berdasarkan logika simulasi media, dengan berbagai trik, strategi, dan manipulasi telmologisnya (Piliang, 2009: 99-101).
Jika memang demikian, timbul pertanyaan bahkan gugatan kritis: apakah kelahiran mang-ruang virtual dan masyarakat virtual, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi komunikasi, mempakan berkah atau musibah bagi umat manusia? Apakah kehadiran masyarakat dan realitas virtual dalam dunia yang sebut cybercommunity dan cyberspace, merupakan pilihan rasional menyenangkan sebagai salah satu bentuk pencapaian peradaban tinggi (high culture) kita di planet ini, ataukah justru menjadi sejenis ancaman yang menyakitkan sekaligus menakutkan?
Media internet, sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa modern, usianya masih relatif barn. Tetapi gaung dan dampaknya secara sosial, kultural, politik, ekonomi, dan kebudayaan, demikian dahsyat. Kita tidal: lagi menguasai teknologi komunikasi informasi, tetapi justru seperti sudah dikuasai oleh dan menjadi subordinat teknologi komunikasi infomasi. Secara sosiologis, dalam batas-batas yang kasat mata, lihat misalnya dampak kehadiran televisi. Televisi hanyalah benda mati. Ia hanya sebuah kotak kecil yang diletakkan di atas meja, sofa, atau ditempel di dinding. Namun setelah tombol on pesawat televisi ditekan (djhidupkan), pada saat itulah siapa pun pemegang papan kecil kendali (remote control) menjadi seperti tidak berdaya. Seolah-olah kita terhipnotis untuk memijit-mijit terns tombol, berpindah dari satu saluran (channel) ke saluran yang lain. Kita melakukan tamasya dari satu acara ke acara yang lain, tidak peduli bentuk dan kualitas acaranya seperti apa.
Bentuk yang mungkin mengerikan. ialah kenyataan bahwa media televisi kini telah menjadi bagian dari mesinanesin simulasi sosial. Karen masuk dalam realitas simulasi, maka televisi, mau tidak mau harus mnsuk pula kepada berbagai hukum dan norma yang mengikatnya dalam cyberspace itu. Seperti dipaparkan secara tajam oleh Piliang, cyberspace adalah sebuah ruang utama yang di dalamnya berbagai simulasi sosial menemukan tempat hidupnya. Perkembangan mang-mang aimulasi sosial dalam cyberspace telah mempengaruhi kehidupan di luar mang tersebut pada hampir semua tingkatnya. Setidak-tidaknya terdapat tiga tingkat pengaruh tersebut: tingkat individual, tingkat antarindividual, dan tingkat masyarakat (Piliang, 2009: 104-105).


Tingkat Individual
Pada tingkat individual, cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang identitas. Sistem komunikasi sosial yang dijembatani oleh komputer (computer mediated communication) telah melenyapkan batas-batas identitas itu sendiri di dalamnya (Piliang, 2009: 105). J ika dalam realitas sosial natural (faktual) identitas dianggap sangat penting oleh seseorang, kelompok, bahkan oleh negara, maka dalam realitas sosial virtual, identitas personal diperlakukan secara insidental. Arlinya, bisa digunakan suatu waktu, tetapi bisa juga ditanggalkan untuk banyak walctu yang lain.
Pada cyberspace, identitas personal, kalaupun djanggap perlu, bisa berubah dan bisa pula diubah-ubah hanya dalam hitungan detik atau menit. Sebab bukankah identitas hanya merupakan semacam warisan dari zaman realitas sosial natural? Sebagai warisan apalagi pada dunia dunia yang berbeda, yakni natural dan lagi virtual, identitas harus direkonstruksi, bahkan didekonstruksi. Pada realitas natural, identitas bersifat permanen, tetap, konstan, dan juga konsisten. Sebagai contoh, seseorang yang berjenis kelamin laki-laki harus dinyatakan dan diakui secara sah sebagai lald-lald. Ia tak mungkin mengubah identitas jenis kelamin setiap hari atau setiap Ininggu, misalnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan realitas sosial virtual. Pada cyberspace, identitas jenis kelamin bisa disembunyikan, dipertukarkan, dipermainkan, ditiadakan, bahkan dipalsukan kapan saja.
Identitas bisa menunjuk kepada karakter, sifat,gaya, bentuk, nilai, ideologi, ikatan budaya, atau kecenderungan yang diperlakukan secara baku. Dalam budaya cyberspace, identitas tidak lagi menyerupai dan bewujud menjadi identitas sebagaimana yang kita pahami dalam realitas dunia natural (faktual). Dalam realitas dunia virtual, orang boleh saja dengan sengaja menyembunyikan identitasnya yang asli. Karena di balik identitas yang palsu itu, identitas yang tanpa identitas itu, atau identitas yang sengaja disembunyikan itu, maka orang akhirnya tidak sedikit yang terjerumus ke dalam jurang virtual. Ia bisa berjam~ jam, bahkan 5-7 jam per hari, hilang dari dunia natural, lalu masuk alam dunia virtual, dan di situlah dia seolah menemukan dirinya. Dalam bahasa sosiologi, dia teralienasi secara sosial dalam dunia natural, tetapi eksis berkibar dalam dunia virtual. Inilah yang oleh para pakar cybermedia disebut the death of social atau kematian secara sosial.

Tingkat Antarindividual
Pada tingkat antarindividual, perkembangan komunitas virtual dalam cyberspace telah menciptakan relasi sosial yang bersifat virtual di ruangruang virtual: virtual shopping, virtual game, virtual conference, virtual sex, dan virtual moscue (Piliang, 2009: 106). Apa yang dalam sosiologi dikenal dengan stimulus-respons, aksi-reaksi, kontak-komunikasi, relasi dan interaksi sosial, dalam cyberspace tidak lagi dikaitkan dengan dimensi jarak, ruang, dan waktu. Dalam relasi virtual, relasi daninteraksi sosial dilakukan tanpa mengenal batas-batas teritorial secara real atau faktual. Bukankah salah satu ciri mendasar cyberspace adalah peniadaan dimensi jarak, ruang, dan waktu?
Logika relasi dalam realitas virtual, bisa merupakan kebalikan dari realitas natural. Dalam realitas natural, interaksi sosial seseorang dibangun di atas pendekatan teritorial. Maksudnya, kita harus berada dalam satu teritorial terlebih dahulu, barulah kernudian dekat secara sosial. Tetapi dalam realitas virtual, kita dekat secara sosial dengan seseorang atau banyak orang tetapi jauh atau bahkan tak mengenal batas secara teritorial.
Apa maknanya? Cyberspace, dalam sejumlah hal, memang seolah dijadikan surga bagi sebagian orang yang tidak eksis secara sosiologis tetapi eksis secara psikologis. Ia bahkan menjadi aktor atau aktris bagi dirinya sendiri. Lalu, apa dampaknya? Jangan kaget jika orang yang banyak menenggelarnkan dirinya dalam cyberspace, akhirnya ia menjadi seorang narsisme! Ia menjadi bangga bahkan menjadi pemuja dirinya sendiri. Tapi, siapa yang mau peduli? Suka-suka saja.

Tingkat Komunitas
pada tingkat komunitas, cyberspace diasumsikan dapat menciptakan satu model komunitas demokratik terbuka yang disebut oleh Rheingold sebagai komunitas imajiner (imaginary community). Dalam komunitas konvensional, anggota masyarakat memiliki kebersamaan sosial (social sharing) dan solidaritas sosial (social solidarity) menyangkut sebuah tempat (kampung, desa, atau kota) yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial secara tatap muka (face to face). Dalam komunitas virtual diperlukan imajinasi kolektif tentang tempat (place) tersebut, yang tidak ada dalam sebuah ruang nyata (real space), melainkan sebuah tempat imajiner (imaginary place) yang berada dalam ruang bit-bit komputer. Komunitas virtual yang terbentuk dalam cyberspace, bentuk, stuktur, dan sistemnya tidak sama dengan komunitas konvensional di dunia maya (Piliang, 2009: 106).
Dalam komunitas natural di dunia nyata (real world), terdapat struktur kepemimpinan sosial. Ada dari kelas penguasa, kelas pengusaha, juga ada banyak dari kelas rakyat jelata. Kelas penguasa disebut elite, kelas rakyat jelata disebut akar rumput (grassroot). Ditemui juga struktur normatif seperti larangan, tabu, pamali, hukuman, sanksi, bahkan sampai kepada kutukan. Selain itu dikenal apa yang disebut lembaga-lembaga normatif, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, mahkamah agung. Inilah yang disebut institusi sekaligus fungsi-fungsi kontrol dalam dunia nyata, atau dunia natural (real world). Dalam dunia virtual, semua itu nyaris tidak ada. Dalam dunia virtual, orang boleh dan bisa menjadi apa saja semaunya sendiri (lost control). Dunia virtual adalah dunia yang sangat personal, sangat informal, sangat bebas, dan tidak mengenal batas teritorial serta sosial.
Televisi dan cyberspace diibaratkan oleh Raul Virilo seperti sebuah bola mata raksasa, yang melaluinya kita dapat melihat sudut terpencil, ruang texjauh, serta rahasia terdalam dari setiap manusia yang masuk ke dalam jaringannya. Hanya dengan melihat televisi atau internet, kita telah menyaksikan keseluruhan dunia. Ada semacam pemadatan sosial (social intensification) ke dalam segmen-segmen sosial di dalam layar televisi atau internet. Dalam wujud simulasinya ada pemadatan ruang-waktu (space time) ke dalam ruang-waktu media; pemadatan narasi sosial (social narrative) ke dalam narasi media; pemadatan durasi sosial (social duration) ke dalam Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya sehingga ia menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri, yang disebut simulakrum (simulacrun). Simulakrum tampil seperti realitas yang sesunguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial artificial reality). yaitu realitad yang diciptakan lewat telknologi simulasi, sedemikian canggih sehingga Pada tingkat tenentu realitas media ini tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata daripada realitas yang seungguhnya (Piliang, 20093 141).
Sesuai dengan nama dan maknanya, hiper-realitas media. atau bisa disebut juga posmedia, menunjuk kepada sesuatu yang tidak atau bukan seharusnya. Hiper-realitas media lebih banyak bicara dalam konteks yang melampaui, konteks yang tidak tidak normal. di luar koridor, di Iuar batas batas kewajaran dan kepatutan. Dalam perspektif sosiologi, gejala demikian disebut deviasi sosial (social deviation). Sosiologi lebih banyak menekankan norma dan nilai, aturan, kesepakatan, konsensns, sesuatu yang menjadi/ dijadikan dasar dalam membangun bidup bersama sebagai sebuah kelompok, masyarakat, atau bangsa.
Ketika norma dan nilai itu sudah tidak lagi dipatuhi, atau sudah tidak lagi dinilai efekif dan fungsional, di situlah proses deviasi sedang berlangsung. Piliang dalam bukunya mengingatkan, hiper-realitas media telah menimbulkan enam bentuk dampak sosiokultural: disinformasi, depolitisasi, banalisasi informasi, fatalitas informasi, sldzofrenia, dan hipermoralitas (Piliang, 2009: 142-145). Berikut, tafsir bebas penulis terhadap enam dampak sosiokoltural hiper-realitas media seperti yang ditunjukkan Piliang tersebut.

Disinformasi
Realitas sosial timan (social simulacrum) yang ditampilkan media, terutama televisi dan internet, dalam banyak hal seperti menghipnotis khalayak sehingga khalayak dengan serta-merta memercayai setiap informasi yang disiarkan atau ditayangkan. Informasi, apakah dalam bentuk verbal (kata-kata), visual (gambar) atau gabungan verbal dan visual (kata-kata dan gambar) berikut efek sum dan efek teknis yang menyertainya, diterima begitu saja tanpa reserve.Tanpa reserve berarti tanpa sikap kritis, tidak disertai pendekatan logis dan gugatan akademis, apakah informasi yang diterima im benar atau salah. asli atan palsu, lengkap akurat atau serba sekilas dan sumir.
durasi media pemadatan tanda-tanda sosial (social signs) ke dalam tanda tanda media pemadatan makna-makna sosial (social meaning) ke dalam makna-makna media (Piliang, 2009. 108-109).
Secara fisik, sekali lagi, televisi hanyalah sebuah kotak kecil. Karena kotak kecil itu juga, mengapa lalu terjadi berbagai bentuk pemadatan jarak, mang, waktu, tempat, durasi, tanda, dan makna ke dalam ruang realitas sosial virtual. Peristiwa sosial yang dalam dunia nyata begitu banyak, bertumpuk, dan tidak terhitung, dalam televisi nyatanya hanya satu-dua yang disiarkan. Kisah berbagai peristiwa dramatis dalam dunia nyata seperti kapal tenggelam, pesawat jatuh, atau ledakan bom beruntun di beberapa hotel, dalam televisi nyatanya hanya disiarkan beberapa menit dan sekilas.
Berbagai peristiwa itu mengisyaratkan banyak pesan, tanda, dan makna. Tetapi dalam televisi nyatanya hanya ditafsirkan sebagai akibat sarat muatan penumpang dan barang, cuaca buruk, dan bom bunuh dari kelompok jaringan teroris Noordin M. Top. Pesan, tanda, dan makna dalam realitas mang simulasi sosial televisi seperti tidak begitu berarti lagi. Sebagai realitas artifisial yang serba dipadatkan, ruang-ruang sosial media akhimya tidak lagi merepresentasikan dunia nyata. Ia hanya merepresentasikan dunianya sendiri. Itulah realitas virtual (virtual reality) dalam panggung besar dunia cyberspace. Dunia yang demikian, oleh Jean Baudrillard, disebut hiper-realitas (hyper-reality), yaitu suatu kondisi yang telah melampaui realitas sebenarnya. Padanan untuk hiper-realitas dengan kandungan makna yang sama adalah posrealitas (post-reality) dan posmedia (postmedia).

HIPER-REALITAS MEDIA DAN DAMPAK SOSIOLOGIS
Istilah hiper-realitas media (hyper-reality of media) digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna dalam media. Hiper-realitas media menciptakan satu kondisi sedemikian canggih sehingga semua dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya dibandingkan dengan informasi; rumor dianggap lebih benar dibandingkan dengan kebenamn. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas. Hiper-realitas media tidak terlepas dari perkembangan teknologi media, yang disebut teknologi simulasi (simulation technology).
Dalam teori komunikasi massa, gejala demikian disebut sebagai efek dramatis. Karena realitas tiruan yang ditampilkan terasa begitu dramatis berkat kekuatan teknologi telematika, khalayak meyakini informasi yang diterima tidak hanya sebagai fakta, tetapi sekaligus sebagai kebenaran. tidak setiap fakta mengandung atau mempakan kebenaran. Begitu pula sebaliknya, tidak setiap kebenaran harus disertai fakta. Dalam teori jurnalistik televisi misalnya, dikenal ungkapan seeing is believing: dengan melihat barulah kita percaya. Melihat apa? Melihat gambar peristiwa yang ditampilkan televisi. Jadi, dalam perspektif jurnalistik televisi, sesuatu tidak termasuk berita jika tidak disertai atau dilengkapi dengan gambar peristiwanya. Tak ada berita tanpa gambar. tidak ada gambar berarti tak ada berita.
Sejak empat dekade lalu, teori komunikasi massa sudah meramalkan munculnya kelompok khalayak tidak berdaya. Disebut tidak berdaya karena sikap dan perilaku mereka ditentukan oleh media. Mereka tidak dihadapkan kepada alternatif lain selain menerima begitu saja pesan yang disampaikan media. Mereka patuh. Mereka penurut. Sebaliknya, media tampil begitu perkasa. Media bisa menembakkan pesan apa pun ke dalam tubuh khalayak, dan khalayak hanya bereaksi seperti yang dikehendaki oleh media. Inilah yang dalam literatur klasik komunikasi dicatat sebagai teori peluru (the bullet cummunication theory). Namun yang mengkhawatirkan, realitas sosial yang ditembakkan itu hanya bersifat tiruan, buatan, artifisial. Ini adalah simulakrum komunikasi, bukan fakta-fakta atau realitas faktual dalam dunia nyata (real world).
Apa yang kemudian terjadi? Secara perlahan tetapi pasti, berbagai informasi yang disajikan media tidak lagi memiliki kredibilitas. Media tidak lagi dipercaya dalam membawa dan menyuarakan kebenaran hakiki sesuai dengan idealisme dan nilai-nilai luhur yang semula dijunjung tinggi. Aneka informasi yang dibawa media tidak berbeda dengan limbah industri, yang sama sekali tidak membawa manfaat bagi masyarakat. Bahkan sebaliknya, oenderung mengotori lingkungan fisik dan sosial. Orang-orang pun banyak yang mencibir bahkan seperti menderita sesak nafas.

Depolitisasi
Karena simulakrum komunikasi mengakibatkan berbaurnya realitas nyata dengan realitas tiruan, fakta dengan rekayasa, kenyataan dengan khayalan. khalayak tidak bisa lagi membedakan mana informasi asli dan mana yang palsu. Pikiran khalayak pun seperti terkontaminasi’. Akfbatnya, khalayak tidak bisa berpikir logis dan analitis. Karena dihadapkan kepada pola komunikasi yang serba satu arah, linear, dan berlangsung secara terus-menerus, khalayak tak bisa berbuat banyak kecuali diam, pasif, terpaku. Inilah yang dalam teori komunikasi politik sebagai mayoritas diam (the single majorities).
Karena tidak memiliki posisi tawar yang baik (bargaining positition), atau tidak memiliki kekuatan tawar-menawar yang tinggi (bargaining power), khalayak mengalami proses depolitisasi. Dalam bahasa sederhana, depolitisasi berarti khalayak tidak memiliki kedaulatan dan pilihan untuk bersikap, bertindak, dan mengambil keputusan mengenai posisi serta eksistensi dirinya dan orang lain dalam suatu kelompok atau komunitas di ruang publik Singkat kata, merekamenjadi khalayak yang buta politik. Mereka tidak menyadari apa hak dan kewajiban mereka sebagai individu yang merdeka. Mereka menjadi alergi bahkan paranoid untuk terlibat dalam masalah dan kepentingan publik.

Banalitas lnformasi
Saksikan berbagai tayangan acara televisi komersial kita sekarang dari pagi hingga larut dini hari. Begitu bangun pagi, kita sudah disuguhi bahkan dijejali dengan berbagai informasi remeh-temeh, seperti gosip selebritas sekitar perkawinan, perceraian, perselingkuhan, skandal seks, kasus narkoba, atau kekerasan dalam rumah tangga artis, penyanyi, pekerja film. Tidak ada yang menarik dan tidak ada yang bernilai dari suguhan informasi-informasi itu. Semuanya tidak berguna, tidak bermutu, tidak adamanfaatnya bagi khalayak pemirsa. Namun anehnya, rangkaian informasi yang tidak bermutu dan tidak layak disiarkan atau ditayangkan itu, diproduksi terus-menerus oleh rumah-rurnah produksi (production house), pihak televisi, industri film, dan mereka yang mengaku profesional dalam bidang industri kreatif. Sebagian orang bahkan mencibir: ah apanya sih kreatif kalau yang diproduksi cuma informasi sampah?
Banality of information. lnformasi dangkal, sampah, mengandung limbah. Itulah faktanya. Namun dalam banalitas informasi, semua hal yang bersifat remeh-temeh dan berkadar “limbah serta sampah" , justru dijadikan komoditas, disiarkan, ditayangkan bemlang-ulang, dikemas dalam aneka acara yang kadang-kadang dikesankan intelektual, berwibawa, bermartabat, berkelas. Misalnya dalam bentuk berita, jajak bicara (talk show), kisah nyata (reality show), laporan khusus (special report), tabel, grafik, bagan, peta, bahkan dalam narasi biografi seseorang yang hendak dijadikan bintang (public figure).
Banalitas informasi, harus diakui, merupakan produk dari apa yang disebut kebudayaan massa (mass culture) atau kebudayaan pop (popular culture). Harus diakui, kebudayaan pop tidak identik dengan produkproduk informasi yang banal, atau produk-produk informasi yang dangkal, remeh-temeh. Hanya disadari, banalitas informasi tumbuh subur dalam kebudayaan pop. Kebudayaan pop bercirikan antara lain bersifat sesaat, massal, nonkonseptual, fragmatis, bebas genre, bahkan ahistoris. Kebudayaan seperti ini kemudian dijadikan industri. Namanya industri budaya pop, atau cukup disingkat: industri pop.

Fatalitas lnformasi
Menurut Jean Baudrillard, informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali dalam media telah menciptakan kondisi fatalitas informasi (fatality of information), yaitu kecenderungan pembiakan informasi ke arah titik ekstrem, yakni ke arah yang melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, yang menggiring ke arah bencana (catastrophe), berupa kehancuran sistem komunikasi (bermakna) itu sendiri. Dalam kondisi fatalitas tersebut, informasi kehilangan logikanya sendiri. lnformasi tidak lagi mempunyai tujuan, fungsi, dan makna. lnformasi dalam media berkembang ke arah sifat superlatif, yaitu diproduksi dalam wujud yang berlebihan, wujud hiperbola (Piliang, 2009: 144). Diakui atau tidak, suka atau tidak suka, fenomena itu pula yang terjadi dalam dunia industri televisi kita dalam satu dekade terakhir. Cobalah lakukan analisis isi atas daftar mata acara secara tekstual, lalu amati dan saksikan tayangan acara-acara tersebut secara visual, dijamin kita akan memperoleh kesimpulan sangat mengecewakan. Bahkan lebih jauh lagi akan memperoleh sebuab kesimpulan yang mengerikan. Sebagai contoh, ambil sampel 30 tayangan penuturan kisah nyata (reality show) dari 10 televisi swasta komersial, atau rata-rata tiga reality show dari setiap stasiun televisi nasional. Dari 30 sampel ini, kita akan menemukan puluhan bahkan ratusan adegan yang sarat dengan unsur kekerasan verbal dan fisik. Di sana, kita juga akan menjumpai ratusan kata makian, hardikan, sumpah serapah, pelecehan, penghinaan. Secara fisikal, kita akan dengan mudah menemukan unsur-unsur tindak kekerasan dalam bentuk kekejaman serta sadisme mengerikan.
Anehnya, tayangan acara semacam itu diproduksi secara massal, dijadikan hidangan sarapan pagi atau santap malam pemirsa di rumah. Secara sosiologis, masyarakat kita seperti bembah drastis, dari masyarakat yang semula santun-beradab menjadi masyarakat yang sadis-biadab. Disebut sadis karena masyarakat pemirsa kita seolah begitu menggemari, menyukai, bahkan mengelu-elukan tontonan televisi yang sarat dengan adegan mengumbar aib keluarga, rumah tangga, perselingkuhan, penyelewengan, kelainan jiwa, kekerasan seksual, penyimpangan seksual, dan baku hantam antara suami-istri, atau sesama anggota keluarga seperti lazimnya dalam arena pertandingan tinju.
Contoh, apa komentar kita terhadap tayangan reality show berisi pengakuan seorang anak remaja-pria yang terpaksa harus memenuhi hasrat seksual ibu kandungnya sendiri? Bahkan yang mengerikan, dalam tayangan ini dihadirkan sosok sang ibu tanpa penutup muka, atau apa pun yang bisa menyembunyikan identitas dirinya. Ini faktual terjadi dalam acara reality show salah satu televisi swasta komersial kita. Berbagai bentuk teguran, peringatan, bahkan sanksi penghentian acara, sudah dilakukan dan sudah dijatuhkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP) dan KPI Daerah (KPID). Namun pihak televisi tidak menggubrisnya. Ditutup satu acara, dibuka acara baru yang lain dengan format dan isinya yang sama. Hanya judulnya saja diubah atau ditambah satu-dua kata. Contoh, Empat Mata diubah menjadi Bukan Empat Mata!
Logika industri televisi menyatakan, berbagai tayangan reality show yang aneh-aneh, tidak lazim, menggelikan, mengerikan, menyakitkan secara kemanusiaan dan kebudayaan, atau yang masuk dalam kategori sangat memukul norma dan nilai-nilai masyarakat berkeadaban itu, memperoleh peringkat atau rating tinggi. Memiliki rating tinggi, berarti tayangan acara acara jenis ini termasuk dalam kategori banyak ditonton pemirsa. Banyak ditonton pemirsa berarti termasuk kategori acara disukai atau sangat disukai. Jika banyak disukai, ildan akan banyak masuk. Karena itu jangan kaget, jika harga satu slot iklan (30 detik) sebuah acara reality show mencapai Rp 38 juta! J ika dalam satu acara diputar 10 slot untuk 10 jenis iklan, acara itu telah mengeruk pemasukan dari iklan Rp 3,8 miliar! Jadi, menumt logika industri, untuk apa membuat acara berkualitas jika dengan acara-acara kategori sampah saja, stasiun televisi sudah dapat mengeruk banyak keuntungan?

Skizoprenia
Skizoprenia, jika merujuk kepada definisi Jacques Lacan dalam Speech and Language in Psychoanalysis (1984: 273), adalah putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Dengan Skizoprenia, berarti penanda (signifier) dan petanda (signified) tidak lagi berhubungan satu sama lain sehingga tidak melahirkan arti atau atau makna yang bisa dipahami dan disepakati bersama. Skizoprenia, secara sederhana, memang menunjuk pada apa yang disebut dengan kesimpangsiuran bahasa.
Dalam hiper-realitas media, berbagai informasi yang disampaikan, disiarkan, ditayangan, didiskusikan, diperdebatkan, tidak saja sudah keluar dari konteks (out of context) tetapi juga berubah-ubah arti dan maknanya. Jangankan dalam hitungan hari atau pekan, dalam hitungan jam saja, berita mengenai kerusuhan massal, konflik dan baku tembak antaretnis atau pemboman misalnya, sudah melahirkan banyak persepsi, tafsir, pemaknaan, dan kesimpulan yang berbeda serta tumpang-tindih. Bahasa yang galau, bahasa yang simpang siur, penggunaan kata-kata, istilah atau ungkapan yang tidak jelas, melenceng, aneh, tidak merujuk kepada pakem yang ada, pada akhirnya hanya memunculkan khalayak yang bingung dan panik. Akibatnya, pencarian makna dan kebenaran berakhir dalarn kesia-siaan. Mubazir.

Hipermoralitas
Hipermoralitas secara sederhana diartikan sebagai penunjukan dan perilaku moral yang melampaui batas-batas kepatutan, kewajaran, atau konvensi dan kesepakatan sosial. Rujukannya adalah tata nilai dan norma yang berlaku dan ditaati oleh kelompok, komunitas, atau masyarakat. Karena berbagai informasi yang disajikan media sudah berada di atas ambang batas, sudah melampaui bentuk, volume, serta substansinya; khalayak tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang diperintahkan dan yang dilarang, mana yang halal dan haram, mana yang asli dan palsu, mana yang jujur dan berkhianat, mana yang bersifat membangun dan mana yang berifat menghancurkan.
Jadi, batas-batas moral seperti sudah tercabut dari struktur masyarakat serta akar sosial budayanya. Lihat saja beberapa mata acara televisi, terutama penuturan kisah nyata (reality show) pada nyaris semua stasiun televisi komersial nasional, kaidah dan unsur moralitas sudah ditinggalkan, bahkan yang cukup mengerikan: dicampakkan begitu saja. Argumen yang diajukan begitu naif: karena televisi adalah media hiburan, tayangan acara apa pun haruslah bersifat menghibur. Argumen lain, karena masyarakat kita sekarang sudah begitu terbuka, transparan, modern sehingga tidak dikenal lagi batas-batas ruang privat dan ruang-ruang publik. Jadi, skandal seks, bisnis narkoba, pembantaian, perampokan, penculikan, pemerkosaan, boleh saja ditampilkan dalam panggung media, dan dijadian tontonan yang berakhir dengan siulan atau tepuk tangan pemirsa di dalam studio dan di rumah. Katanya, etika media adalah etika keterbukaan, etika transparansi. Jadi, semua harus ditunjukkan dan dilaporkan kepada publik. Inilah yang disebut hipermoralitas media yang dari ke hari penganut ideologi ini di Indonesia semakin banyak.

DEHIPER-REALITAS MEDIA DAN ALTERNATIF SOLUSI
Dalam pandanagn Yasraf Amir Piliang sebagai pakar cultural studies, hiperrealitas media telah menghadapkan masyarakat dan publik pada sebuah kondisi kesulitan, bahkan kemustahilan interpretasi. Kemajuan teknologi simulasi telah menciptakan kondisi bahwa apa yang ditampilkan sebagai Sebuah kebenaran (kemajuan, keadilan, sifat demokratis, kejujuran) boleh jadi tidak lebih dari sebuah kebenaran semu (topeng, make up, citra). Apa yang disuguhkan sebagai sebuah kejahatan (skandal, teror, penculikan, genocide), Boleh jadi tidak lebih dari sebuah kejahatan palsu (simulakrum kejahatan).
Hiper-realitas media dapat menciptakan image seorang penjahat (koruptor, penjarah negara, pembunuh rakyat) sebagai seorang pahlawan. Sebaliknya, image seorang pejuang demokratis (oposisi, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat) sebagai sisa-sisa komunisme. Untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas media ke arah yang ekstrem, Piliang dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetajisika (2009: 146), mengusulkan tiga langkah antisipatif: dehiper-realitas media, civic education, dan countermedia. Di sini, saya tambahkan tiga lagi: lembaga pemantau media (media watch), literasi media (media literacy), dan intensifikasi komunikasi keluarga.

Dehiper-realitas Media
Piliang mengusulkan penciptaan kondisi dehiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian ekstremitas komunikasi dan informasi melalui regulasi, sampai pada sebuah batas, yang di dalamnya informasi dapat diinterpretasikan dan dicerna oleh masyarakat secara logis dan bermakna (Piliang, 2009: 146). Regulasi yang dimaksud Piliang, berkaitan dengan pengaturan kehidupan dan kelangsungan usaha media massa cetak dan elektronik. Media massa cetak menunjuk kepada visi, misi, fungsi, dan eksistensi surat kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan media massa elektronik menunjuk kepada visi, misi, fungsi, dan eksistensi radio penyiaran dan televisi.
Pasal 5 Undang-Undang No.40/ 1999 Tentang Pers menyatakan, pet's nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 6 menyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a.       memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b.      menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c.       mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d.      melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e.       memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Berikutnya, perhatikan pasal 13. Pasal ini hendak mengingatkan sapa pun perusahaan pers untuk tidak main-main dengan materi iklan. Sekalipun iklan adalah informasi yang berbayar dan karena itu mendapat prioritas untuk dimuat media cetak, tidak lalu berarti iklan bebas nilai atau bebas kontrol. Pasal 13 menegaskan, perusahaan pers dilarang memuat iklan:
a.         Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b.        Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan pemndang-undangan yang berlaku;
c.         Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok
Beberapa pasal terkait dalam UU No.40/1999 Tentang Pers, sengaja kita kutip lengkap untuk menunjukkan regulasi dalam media massa, temtama dalam media massa cetak, kecuali sudah lama ada, juga isinya sesungguhnya masih sangat relevan dengan perkembangan zaman dan dinamika demokrasi di Indonesia. Berbagai ketentuan yuridis itu dilengkapi dengan kode etjk yang mengatur dan mengendalikan sikap-perilaku para jumalis ketika melakukan perencanaan dan aktivitas jurnalisn'k. Sebagai contoh, dua pasal, yakm' pasal 3 dan pasal 4 yang terdapat dalam Kode Etik Jumalistik 2006, mengatur tentang sikap profesional dan integritas wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas jumalistik. Pasal 3 menyatakan
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
a.       Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi.
b.      Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c.       Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan Opini interpretatif, yaitu pendapat yang bempa inter pretasi wartawan atas fakta.
d.      Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Ketentuan dalam pasal 3 denga 1 jelas mengingatkan siapa pun wartawan atau jurnalis yang melaksanakan tugas-tugas jurnalistik untuk selalu berfikir,bersikap, dan bertindak secara profesional dengan daya dukung moralitas dan integritas terpuji. Menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini, tidak menghakimi, dan menerapkan asas praduga tak bersalah, adalah pekerjaan atau bidang keahlian yang hanya bisa dicapai oleh seorang pofesional. Seorang profesional, dengan keahlian, kompetensi, serta kredibilitas dan integritas yang dimilikinya, menguasai persoalan, dapat memetakan persoalan, serta mampu memecahkan persoalan yang berkaitan dengan apa pun yang menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Pasal 4 menyatakan:
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
a.       Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b.      Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c.       Sadis berarti kejarn dan tidak mengenal belas kasihan.
d.      Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafls, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.      Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 4 hendak menunjukkan pula siapa sebenarnya wartawan atau jumalis dilihat dari perspektif moralitas dan nilai-nilai serta norma sosial budaya agama yang berlaku di Indonesia. Peringatan tidak membuat berita bohong, fltnah, sadis, dan cabul, mempakan penegasan betapa penting kaidah moralitas di balik profesionalitas seorang wartawan atau jurnalis. Prinsipprinsip ini, jika dilanggar, tidak saja akan menerima sanksi bersifat moral, tetapi juga sanksi institusional seperti pemecatan dengan tidak hormat dari pihak perusahaan atau lembaga penerbitan, serta sanksi yudisial. Sanksi yudisial berkaitan dengan proses peradilan umum. Seorang wartawan atau jumalis bisa disidik oleh pihak kepolisian, didakwa oleh pihak kejaksaan, dan divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan apabila terbukti melakukan suatu tindak pidana yang merugikan orang lain atau kepentingan umum.
Lantas, bagaimana dengan media masa cetak elektronik? Apakah seorang wartawan atau jumalis untuk radio siaran, televisi, serta media online journalism internet, dituntut untuk bersikap profesional pula? Ketentuan yuridis dan etis apa yang dapat menjerat mereka dengan sanksi setimpal sesuai dengan berat-ringannya tingkat kesalahan yang mereka perbuat? Jurnalis media elektronik radio, televisi, dan media online journalism internet, terikat pada ketentuan yuridis yang termuat dalam UU No.32/ 2002 T entang Penyiaran, misalnya pasal pasal 36 ayat 4-6. Pasal ini dengan jelas dan tegas mengatur tentang apa yang wajib dan terlarang dilakukan oleh lembaga penyiaran radio dan televisi. Pasal 36 menyatakan:
a.       Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
b.      Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik, wajib memuat sekurangkurangnya 60 persen (enam puluh persen) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
c.       Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
d.      Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
e.      Isi siaran dilarang: (1) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong; (2) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; dan (3) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
f.        isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Jadi, lambaga penyiaran radio dan televisi, betapapun senantiasa diasumsikan powerful, memiliki efek sangat kuat terhadap khalayak, menyimpan dampak dramatis luar biasa, dan didukung teknologi serba canggih serta modal tidak terbatas, tidak berarti seperti raja penguasa yang absolut. Seca ra teknologi, lembaga penyiaran radio dan televisi, memang boleh berbuat apa saja sesuai dengan tingkatan kemampuan teknis yang dapat dicapai. Namun secara sosiologi, lembaga penyiaran tidaklah steril dari ruang serta nilai-nilai dan norma sosial sebab lembaga penyiaran dikendalikan sepenuhnya oleh manusia, dan manusia, dari struktur sosial mana pun, ten’kat kepada normanorma kelompok atau komunitasnya.

Civic Education
Langkah antisipasi kedua yang diusulkan Piliang ialah memperkuat jaringan civic education untuk menciptakan masyarakat warga sebagai mayoritas yang kritis (the critical majorities), yaitu warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal, dan daya resistensi yang kuat terhadap informasi, bukan massa sebagai mayoritas yang diam (the silent majorities) (Piliang, 2009: 146). Apa sebenarnya yang dimaksud Piliang dengan civic education? Apakah cara ini dilakukan secara formal ataukah informal, dan apa asumsinya yang dinilai sangat signifikan dan relevan sehingga dijadikan dasar rujukan serta orientasi tindakan?

Secara sederhana, civic education menunjuk kepada pengertian, istilah, definisi, atau praktik pendidikan kewarganegaraan. Dalam pendidikan jenis ini, setiap anak didik ditekankan untuk mengetahui dan menyadari siapa dirinya. Juga apa hak dan kewajibannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang terikat dengan berbagai hukum positif yang ada. Civic education mengajarkan tiap anak didik untuk mencintai negaranya. Kecintaan itu diwujudkan dalam berbagai bentuk kesadaran, kepedulian, dan tindakan yang membuat dirinya diakui oleh negara dan masyarakat sebagai individu atau warga yang taat hukum, cinta tanah air, dan peduli terhadap sesama. Tidak egois dan tidak individualis, juga tidak materialistis.
Sejauh ini, civic education lebih banyak diajarkan secara formal di sekolah dan kampus. Mata pelajaran ini di perguruan tinggi kini sudah kehilangan daya magisnya karena dinilai berbau Orde Barn. Selain itu metodenya kaku dan disampaikan melalui cara yang membosankan. Mahasiswa menganggap mata kuliah ini sudah kuno, ketinggalan zaman, karena itu sudah selayaknya masuk museum. Jadi, memang sudah saatnya dicari format lain dari civic education supaya terbangun masyarakat kritis dengan tingkat daya tangkal tinggi terhadap berbagai bentuk ekses yang timbul dari gejala hiper-realitas dan hipermoralitas.

Counter Media
Apa yang dimaksud dengan counter media? Menurut Piliang, counter media, yaitu media-media publik (televisi publik, radio publik, koran publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat beraneka ragam (keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan) (Piliang‘,'2009: 147). Dalam UU No.32/ 2002 tentang Penyiaran dikatakan, lembaga penyiaran terdiri atas lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.
Pasal 14 undang-undang tersebut menyatakan, lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan lembaga penyiaran publik lokal. Wujud nyata dari lembaga penyiaran publik adalah RRI untuk radio, dan TVRI untuk televisi. Timbul pertanyaan, apakah lembaga-lembaga penyiaran publik dewasa ini, baik radio dan televisi, sudah berkiprah dengan baik, dalam arti mampu mengimbangi penetrasi dan ekspansi lembaga-lembaga penyiaran radio dan televisi swasta komersial yang begitu dahsyat? '
Kita tahu, radio dan televisi, adalah industri jasa penyiaran yang sangat menjanjikan yang bersifat padat teknologi sekaligus padat modal. Jika ingin menguasai pangsa pasar lebih besar, khalayak dalarn jumlah besar, jangkauan daerah liputan (coverage area) lebih besar, dalilnya hanya satu: perbesar jumlah kapital. Inilah yang terjadi dewasa ini di Indonesia. Televisi swasta komersial berlomba satu sama lain untuk menaklukkan pasar, bahkan untuk mempermainkan khalayak. Sebab dalam logika industri televisi, khalayak bisa diarahkan, digiring, diciptakan untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Dalam peta persaingan seperti itulah radio dan televisi publik kita hadir menjumpai khalayak pendengar dan pemirsa dengan segala keterbatasan dan ketertinggalan yang ada.
Lalu, masihkah kita berharap pada televisi dan radio publik untuk melakukan counter media? Harapan boleh saja digantungkan, tetapi yang lebih mendasar ialah perhatian dan komitmen negara terhadap fungsi dan eksistensi radio dan televisi publik jangan setengah hati. Jika setengah hati, seperti yang terkesan sekarang, radio dan televisi publik, nasibnya seperti hidup segan mati tak mau. Mengenaskan.

Media Watch
Untuk menciptakan masyarakat warga mayoritas kritis, diperlukan berbagai terobosan dari kalangan kaum terpelajar, kaum intelektual. Sejarah membuktikan, di berbagai belahan bumi, revolusi, reformasi, dan evolusi digerakkan pertama kali oleh sekelompok elit terpelajar atau kaum intelektual yang senantiasa resah dengan kenyataan yang ada. Kenyataan itu menunjuk pada berbagai bentuk keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, dan wabah besar KKN: kolusi, korupsi, nepotisme. Dalam konteks hiper-realitas, kehadiran lembaga-lembaga pemantau media (media watch) yang dirintis dan dipelopori kalangan elit terpelajar, elit intelektual di kampus atau di luar kampus yang terhimpun dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau dulu lazim disebut organisasi nonpemerintah (ornop), atau disebut juga NGO (nongovernment organization), mutlak diperlukan. Posisi tawar media watch di mata masyarakat, negara, bahkan kalangan industri radio dan televisi swasta komersial, sejauh ini sudah cukup menggembirakan. Artinya, suara vokal mereka djdengar. Beberapa media watch yang dipirnpin oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan kredjbilitas dan integritas tinggi, terbukti sangat diakui fungsinya dan sangat disegani eksistensinya.

Media Literacy
Badan PBB yang menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) menyatakan, literasi adalah kemampuan seorang individu untuk membaca dan menulis yang ditandai dengan kemampuan memahami pemyataan singkat yang ada hubungannya dengan kehidupannya. Lamb (2003) menyatakan, literasi tidak hanya dideiinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan menempatkan, mengevaluasi, menggunakan dan mengomunikasikan melalui berbagai sumber daya termasuk sumber-sumber daya teks, visual, suara, dan video (Iriantara, 2009: 4-5).
Kellner dan Share (2003: 369), menyebut literasi sebagai hal yang berkaitan dengan perolehan keterampilan dan pengetahuan untuk membaca menafsirkan, dan menyusun jenis-jenis teks dan artifak tertentu, serta untuk mendapatkan perangkat dan kapasitas intelektual sehingga bisa berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan kebudayaannya. Artinya, dengan literasi orang bisa meningkatkan harkat, martabat. dan perannya di tengah masyarakat. Kenner dan Share juga menekankan, literasi yang ada sekarang ini seperti literasi media dan literasi informasi, mengembangkan dan mengubah respons kita terhadap pembahan sosial budaya. Juga merespons kepentingan-kepentingan elit yang mengontrol institusi hegemonik (Iriantaxa, 2009: 5).

Dalam konteks hiper-realitas, literasi media diarahkan untuk membangun gerakan kesadaran kultural dan intelektual bersama mengenai pentingnya menyikapi arus informasi media agar lebih bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan dan kebudayaan. Litérasi media memang meagasumsikan, tidak setiap informasi yang disajikan, disiarkan, atan ditayangkan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat. Justru yang terjadi sering berlaku sebaliknya. Artinya, masyarakat tidak membutuhkan begitu banyak informasi barn yang terasa aneh, janggal, dan artitisial. Tetapi ternyata media terns saja memproduksinya, menyiarkan, dan menayangkannya berulang ulang. Kenyataan demikian dikhawatirkan bisa menumpulkan daya kritisisme masyarakat. Untuk itulah, budaya literasi media perlu ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah.

Komunikasi Keluarga
Pengaruh televisi terhadap cara memanfaatkan waktu senggang (leissune time) kita ldni begitu meningkat. Selain itu, memengaruhi kesadaran politik serta realitas sosial individu dan masyarakat, serta membentuk nilai-nilai pribadi dalam budaya dan etika (Brown, 1998: 47). Berbagai hasil penelitian di Amerika menunjukkan, kini makin banyak anak remaja dan anggota keluarga yang semakin tenggelam dengan tayangan televisi. Mereka lebih memilih 5-6 jam per hari bersama televisi di kamar tidur mereka yang serba ada daripada keluar rumah hanya untuk main basket atau menyapa tetangga. Bahkan beberapa pakar menyimpulkan, televisi kini sudah menyempai atau seperti menjadi Tuhan kedua bagi masyarakat modem.
Karena daya pikat dan daya khasiat televisi yang begitu besar, benteng moral, intelektual, dan benteng kultural keluarga selayaknya terus ditingkatkan. Caranya dengan terns membuka mang-ruang publik dalam keluarga. Sen'ap anggota keluarga diajarkan dan ditanamkan untuk bersikap terbuka, berani mengutarakan gagasan, pendapat, bahkan kritikan dalam bahasa yang santun, saling menghargai, penuh persaudaraan. Tidak boleh ada lagi sikap otoriter. Budaya saling berbagi (sharing), budaya dialog, budaya diskusi dalam kerangka mencari solusi atau mempertajam visi, perlu dipupuk dalam keluaga.
Apa maknanya? Hanya satu pilihan: intensifikasi komunikasi keluarga mutlak dihidupkan, dikembangkan. Dengan komunikasi keluarga yang intensif, cair, etis, demokratis, bahkan akademis, niscaya akan tumbuh kesadaran, keyakinan, serta pilihan-pilihan yang paling rasional dalam menyikapi, menyeleksi, bahkan mengeksekusi berbagai jenis tayangan acara televisi yang dinilai tidak bermanfaat bagi kehidupan dan perkernbangan peradaban serta kebudayaan kita. Literasi media diarahkan untuk melahirkan khalayak pendengar dan pemirsa yang kritis, etis, dan cerdas. Jadi literasi media bukan antimedia, apalagi sampai menyatakan perang terbuka terhadap media.