NAMA : FRISKILA DESI
NPM : C1021511RB5108
JURUSAN : ILMU KOMUNIKASI
MATA KULIAH : SOSIOLOGI KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SANGGA BUANA YPKP
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KOMUNIKASI MASSA
1.1 PENGERTIAN
KOMUNIKASI
Kita
bisa melacak pengertian komunikasi berdasarkan asal-usul kata komunikasi itu sendiri. Istilah yang
disebut dalam teori komunikasi sebagai definisi etimologis. Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa inggris communicatio. Communicatio itu sendiri
berasal dari kata communis yang
berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi kalau dua orang
terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi
akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang di percakapkan.
Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan
kesamaan makna. Dengan perkataan lain,
mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa
itu (Effendy,1984:1).
Joseph A. Devito dalam Communicalogy: An introduction
to the study of Communication (1978), kegiatan komunikasi melibatkan banyak
komponen, yaitu: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses
penyampaian (encoding), proses penerimaan (decoding), arus balik (umpan balik),
dan efek (effenndy, 1984:7).
Maka dari itu komunikasi adalah suatu proses
penyampaian pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media
tertentu yang di pahami maknanya. Dengan demikian, suatu pesan atau informasi
yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tetapi tidak bisa dipahami
makna atau maksudnya oleh orang lin tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai
proses atau tindakan infoemasi.
2.1 DEFINISI
KOMUNIKASI
Komunikasi
adalah suatu proses, berisi tentang penyampaian atau pertukaran ide, gagasan,
atau informasi dari seseorang kepada orang lain, dan menggunakan symbol yang
dipahami maknanya oleh komunikator dan komunikan.
3.1 PROSES
KOMUNIKASI
Menurut
presfektif mekanistis, komunikasi dibedakan dalam empat kategori, yakni :
1. Proses
Komunikasi Primer (primary process)
adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan oleh komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol)
sebagai media atau saluran. Lambang umumnya adalah bahasa (verbal symbol), namun di situasi tertentu bisa berupa kial (gesture) yakni gerak anggota tubuh,
gambar, warna (nonverbal symbol).
2. Proses
Komunikasi Sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media kedua. Komunikator menggunakan media kedua ini
karena komunikan yang dijadikan sasaran komunikasinya jatuh tempatnya atau
banyak jumlahnya, atau kedua-duanya jauh dan banyak.
3. Proses
Komunikasi Linear berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan secara satu arah. Sedangkan komunikasi linear, tidak berbeda dengan
sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang lain, kemudian
dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan begitu
seterusnya. Komunikator dan komunikan, pada saat bersamaan berganti-ganti
peran.
4. Proses
Komunikasi Sirkular berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan ibarat sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang
lain, kemudian dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan
begitu seterusnya. Dengan demikian, komunikator dan komunikan, pada saat
bersamaan berganti-ganti peran. Ia mengirimkan pesan, tetapi pada saat
bersamaan ia juha menerima pesan balik.
Pesan
balik yang diterima seorang komunikator dalam proses komunikasi disebut unpan
balik (feedback), da nada beberapa
macam feedback dalam teori komunikasi :
1. Umpan
Balik Positif (Positive Feedback), adalah tanggapan atau respon yang sesuai
dengan kehendak dan harapan komunikator yang berupa persetujuan, pemihakan,
atau dukungan komunikan terhadap pandangan, gagasan atau pernyataan yang di
kemukakan komunkator.
2. Umpan
Balik Negatif (Negative Feedback),
adalah tanggapan yang di lontarkan oleh pihak komunikan tidak sesuai dengan
keinginan dan harapan komunikator.
3. Umpan
Balik Netral (Neutral Feedback),
adalah tanggapan yang tidak mendukung atau menolak gagasan yang dikemukakan
oleh komunikator.
4. Umpan
Balik Nihil (Zero Feedback), umpan ini menunjuk kepada tanggapan yang tidak
memberikan keuntungan apapun kepada komunikator. Teori ini mengukuhkan bahwa
komunikan adalah orang yang berkepala batu, tidak mudah di bujuk atau
diyakinkan mengenai suatu pilihan atau tindakan yang perlu di ambil.
5. Umpan
Balik Seketika (Direct Feedback),
umpan ii bersifat langsung atau komunikan langsung memberikan tanggapan pada
saat itu juga, tidak ditunda-tunda atau tertunda.
6. Umpan
Balik Tertunda (Indirect Feedback),
adalah tanggapan komunikan kepada komunikator yang bersifat tidak langsung
disampaikan saat itu maka komunikator tidak segera mengetahui respon,
tanggapan, komentar, penilaian, atau pernyataan dari komunikan.
4.1 PENGERTIAN
KOMUNIKASI MASSA
Media massa merajuk kepada bentuk saluran penyampai
pesan (media channel), sedangkan komunikasi massa merajuk kepada proses
kegiatannya (media activity). Komunikasi massa terbagi atas media komunikasi
massa cetak (surat kabar, tabloid, majalah), komunikasi massa elektronik
auditif (radio siaran/broadcasting), dan komunikasi massa elektronik
audiovisual (televise siaran).
4.2 DEFINISI
KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi
yang ditunjukkan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim
melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima
secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 1998 : 189).
4.3
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MASSA
1. Komunikator
Melembaga, atau dapat disebut juga bersifat institusional. Karena
institusional, maka gaya komunikator suatu media komunikasi massa tidaklah
berbeda satu sama lain karena mereka haruslah tunduk kepada kebijakkan
redaksional medianya tersebut. Contoh : gaya seluruh presenter berita Metro TV
Jakarta ketika membacakan berita, menampilkan gaya serupa karena tuntutan dari
redaksional medianya.
2. Komunikasi
Satu Arah, yaitu tidak terjadinya umpan balik langsung juga tidak terdapat proses dialogis, kita
sebagai komunikan hanya menjadi pemirsa pasif tanpa bisa berkomentar secara
langsung kepada pihak komunikator.
3. Pesan
Umum Diterima Serempak, pesan
komunikasi massa ditujukan untuk khalayak umum yang bersifat heterogen namun
dapat bersifat serentak penerimaan informasinya.
4. Khalayak Tersebar, Anonim,
Heterogen, karena khalayaknya tersebar dimana-mana jadi khalayak tidak mengenal
satu sama lain namun dihubungkan oleh media secara psikologis, tetapi mereka
tidak diikat dan tidak terikat oleh antar mereka sendiri.
5. Selintas, biasanya ada dalam
media massa radio. Karena radio siaran biasanya hanya sekali menyiarkan jadi
yang sudah di siarkan akan bersifat selintas tanpa bisa kita cerna dengan baik
beda dengan media cetak yang jelas tercetak dan jika kita tidak mengerti kita
dapat membacanya berulang kali.
BAB
II
PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA
2.1 PENGERTlAN SOSIOLOGI
Secara
etimologis, sosiologi berasal dari kata socius yang berarti masyarakat, dan
logos yang berarti ilmu. Jadi secara sederhana sosiologi diartikan sebagai ilmu
yang secara khusus mempelajari kehidupan masyarakat.
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk
perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan ahtar
unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial),
lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta Iapisan-lapisan sosial. Proses
sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama
misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan politik. Sebagai kesimpulan, sosiologi adalah ilmu sosial yang
kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional
dan empiris, serta bersifat umum (Soekanto, 1991: 20-25).
Objek
sosiologi adalah masyarakat dilihat dari sudut pandang hubungan antarmanusia
dan proses yang timbul di dalamnya. Masyarakat, menurut Mac Iver dan Page,
ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, wewenang dan kerja sama antara
berbagai kelompok dan penggolongan, serta pengawasan tingkah-laku dan
kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini dinamakan
masyarakat. Masyarakat mempakan jalinan hubungan sosial. Istilah sosiolgi
diperkenalkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1853). Tokoh Francis ini,
yang dianggap sangat berjasa dalam membedakan ruang Iingkup dan isi sosiologi
dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Ia kemudian digelari
bapak sosiologi.
2.2 PENGERTIAN SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA
Dalam
pandangan pakar sosiologi Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi merupakan kekhususan
sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial yaitu suatu hubungan atau
komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruhmemengaruhi antara para
individu, individu dengan kelompok maupun antarkelompok (Soekanto, 1992: 471).
Secara
komprehensif sosiologi komunikasi mempelajari tentang interaksi sosial dengan
segala aspek yang berhubungan dengan interaksi tersebut seperti bagaimana
interaksi (komunikasi) itu dilakukan dengan menggunakan media, bagaimana efek media
sebagai akibat dari interaksi tersebut, sampai dengan bagaimana
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat yang didorong oleh efek media
berkembang serta efek sosial macarn apa yang ditanggung masyarakat sebagai
akibat dari perubahanperubahan yang didorong oleh media massa‘itu (Bungin, 2006:
31).
Setiap
ilmu memiliki objek kajian formal yang sama: manusia. Objek manusia dalam studi
sosiologi komunikasi menekankan pada aspek aktivitas manusia sebagai makhluk
sosial yang melakukan aktivitas sosiologi yaitu proses sosial dan komunikasi.
ASpek ini merupakan aspek dominan dalam kehidupan manusia bersama orang lain.
Aspek lainnya adalah telematika dan realitasnya. Aspek ini menyangkut persoalan
teknologi media, teknologi komunikasi, dan berbagai persoalan konvergensi yang
ditimbulkannya termasuk realitas maya yang dihasilkan oleh telematika sebagai
sebuah ruang publik baru yang tanpa batas dan memiliki masa depan yang cerah
bagi ruang kehidupan.
Sebaliknya
perkembangan telematika dan aspek-aspeknya serta pengaruhnya terhadap
perkembangan media massa memberikan efek yang luar biasa pada masyarakat. Efek
media memiliki ruang bahasan yang luas terhadap konsekuensinya pada
proses-proses sosial itu sendiri, baik menyangkut individu, kelompok,
masyarakat, maupun dunia, termasuk pula aspek-aspek yang merusak, seperti
kekerasan, pelecehan, penghinaan, bahkan sampai pada masalah-masalah kriminal.
Pengaruh-pengaruh efek
media
juga ikut membentuk life style dan lahirnya norma sosial baru dalam masyarakat
terutama pada masyarakat kosmopolitan, sekuler, cerdas, profesional,
materialistis dan hedonis, serta modis (Bungin, 2006: 39-40).
BAB III
ANALISIS FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL SERTA
MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA
3.1 ANALISA FUNGSIONAL DAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI MASSA
Menurut
Denis McQuail terdapat lima fungsi media komunikasi massa yakni informasi,
korelasi, sosialisasi (kesinambungan), rekreasi (hiburan), dan mobilisasi.
Sedangkan. menurut penulis buku yang lain, fungsi media komunikasi massa
meliputi: informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi.
fungsi-fungsi
media komunikasi massa menurut pendapat para ahli sosiologi, yaitu Robert K.
Merton dan Paul Lazarsfeld, fungsi komunikasi massa mencakup enam hal:
pengawasan (surveillance), korelasi (correlation), transmisi budaya (cultural
transmision), penganugerahan status (status conferal), dan pengakhlakan
(ethicizing). Sebagai pendukung teori fungsi, Robert K. Merton telah membedakan
antara fungsi-fungsi konsekuensi suatu aktivitas sosial dan tujuan atau maksud
di belakang aktivitas tersebut.
Jadi, konsekuensi
tidak perlu sama. Istilah konsekuensi dari Merton ditujukan untuk fungsi nyata
(manifest functions) yang diinginkan, dan fungsi-fungsi tersembunyi (latent
functions) yang tidak diinginkan. Ia juga menyatakan bahwa tidak semua
konsekuensi dari suatu aktivitas mempunyai nilai positif untuk suatu sistem
sosial ketika konsekuensi itu terjadi atau bagi kelompok-kelompok atau
individu-individu yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi-konsekuensi yang tak
diinginkan ditinjau dari kesejahteraan masyarakat atau anggotanya disebut
dysfunctions (disfungsional). Setiap tindakan bisa memiliki efek-efek
fungsional dan disfungsional. Kampanye kesehatan umum, misalnya, bisa saja
menimbulkan kecemasan yang begitu mendalam pada beberapa orang sehingga mereka
lupa memeriksakan diri kalau-kalau mereka menemukan beberapa penyakit yang
tidak dapat diobati. Kampanye dikatakan mempunyai efek yang fungsional kalau
kampanye itu mendorong semangat para pekerja atau masyarakat dan, mungkin juga
efisisiensi. Tetapi kampanye itu dikatakan disfungsional kalau kampanye
tersebut memiliki efek bumerang sehingga menakut-nakuti pasien (Wright,1985:
9-10).
Menurut
Charles Wright, dengan mengombinasikan spesiiikasi konsekuensi dari Merton atas
enam macam fungsi kornunikasi massa, kita sampai pada suatu kerangka kerja yang
memberikan pedoman bagi penelitian. Secara skema, pertanyaan dasar itu sekarang
menjadi sebagai berkut:
![]() |
Sumber: Dlolah dari Wright,
1985:10 (Dalam teks asli, pain 9 dan 10 tidak ada),
3.1.1 Pengawasan Oleh Media Massa
Pengawasan
secara sederhana berarti penanganan berita yang dilakukan media massa. Salah
satu konsekuensi positif dari pengawasan ialah bahwa komunikasi massa
memberikan peringatan mengenai ancaman dan bahaya yang mengancam di dunia,
katakanlah bahaya yang berasal dari badai atau bahaya yang berasal dari
serangan militer. Dengan peringatan lebih dulu, masyarakat dapat memobilisasi dan
mencegah kerusakan. Selain itu, peringatan melalui media komunikasi massa juga
harus memiliki fungsi tambahan. Itulah fungsi egaliterianisme atau seseorang
merasa sama dengan orang lain. Konsekuensi positif berikutnya ialah bahwa arus
data mengenai lingkungan merupakan alat bagi keperluan lembaga masyarakat
setiap hari, misalnya, kegiatan stok pasar, navigasi, dan lalu lintas udara
(Wright, 1985: 11).
Kita
simpulkan, itulah yang disebut efek fungsional media komunikasi massa. Sifatnya
positif. Kita menyadari, ternyata media telah menampilkan diri sebagai
pembimbing, pemandu, guru, atau petugas penyelamat (search and rescue). Dalam
sejumlah kasus tertentu, media bahkan telah menampilkan dirinya sebagai
pahlawan yang Iayak dielu-elukan. Ia seolah tak tercelakan. Ia lembaga sosial
yang berjasa bagi kelanjutan kehidupan masyarakat. Konsekuensinya, media perlu
senantiasa diberi tempat yang Iayak pula dalam ruang-ruang sosial masyarakat.
Ia bukan musuh bersama (common enemy). Ia justru merupakan sahabat bersama
(common friend) yang pantas untuk didekati dan dijadikan mitra sejati. J adi,
keliru besar kalau ada anggapan yang menyatakan media adalah perusak moral dan
penghancur tata nilai dan tertib sosial (social disorder).
Merton
dengan serta-merta mengingatkan, jangan cepat puas diri apalagi sampai terlena
dan lupa diri. Alasannya jelas. Pengawasan media massa, kata Merton, bisa juga
melahirkan efek disfungsional. Berbagai berita dan laporan, tulisan, gambar,
serta foto yang ditayangkan media massa, tak ubahnya menebar paku ke tengah
jalan. Artinya jelas-jelas mengancam, membahayakan, dan mencelakakan
masyarakat. Paling tidak secara psikologis, masyarakat akan berubah menjadi
penakut, peragu, dan senantiasa merasa khawatir dalam melihat lingkungan
sekitar. Kita seperti pemain sepak bola yang tiba-tiba merasa alergi melihat,
menyentuh, dan menendang bola walau sudah berada di depan gawang musuh.
3.1.2 Korelasi
Korelasi
berarti bagaimana media massa membaca dan sekaligus memberikan tafsir atau
interpretasi terhadap berbagai informasi lingkungan sosial dan fisik di
sekitarnya. Menurut teori jumalistik, ribuan informasi tersebut, sifatnya
berserakan, tak berhubungan atau berkaitan satu sama lain. Ada banyak serpihan,
penggalan, potongan, dan bagian-bagian yang bergelimpangan begitu saja tak
ubahnya tumpukan reruntuhan bangunan korban gempa bumi.
Tugas media, melalui fungsi
korelasi, ialah membaca, mengomentari, dan menafsirkan berbagai serpihan
informasi dan peristiwa tersebut sehingga benar-benar terpolakan. Melalui
mekanisme baku jumalistik, fungsi korelasi lalu dibakukan dalam rubrik
editorial atau tajuk rencana. Sudah tentu, korelasi akan disebut fungsional,
sejauh redaksi mampu memberikan tafsir jurnalistik sehingga khalayak pembaca,
pendengar atau pemirsa yang semula ragu berubah menjadi yakin, semula pesimis
menjadi optimis, dan semula samar-samar berubah menjadi terang-benderang.
Media
massa, adakalnya gagal dalam menunjukkan fungsi nyata (manifest functions), dan
sebaliknya malah “berhasil” dalam menyebarkan fungsi tersembunyi (latent
functions).
3.1.3 Transmisi Budaya
Dalam
bahasa Charles Wrigt, trasmisi warisan sosial (social heritage) berfokus pada
komunikasi pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari satu generasi
ke generasi lain, atau dari anggota-anggota suatu kelompok kepada para
pendatang barn. Pada umumnya, aktivitas ini diidentifikasikan sebagai aktivitas
pendidikan (Wright, 1985:8).
Menurut
sebagian budayawan kita, media massa kita sekarang sedang menuai badai. Seruan
kelompok-kelompok pengamat termasuk lembaga-lembaga pemantau media massa
seperti Komisi Penyiaran Indonesia pusat dan daerah (KPI dan KPID) supaya media
massa kembali ke jalan yang benar dan lurus, nyatanya sering tak digubris. Cuek
bebek. Inilah yang disebut dengan efek disfungsional transmisi budaya media
massa.
3.1.4 Hiburan
Kehadiran media massa, secara
sosiologis telah menyulap segalanya. Orang atau siapa pun yang butuh hiburan,
tak perlu bepergian ke sungai atau datang ke gedung-gedung bioskop dan teater.
Tidak pula perlu persiapan mandi, berdandan, bersolek, berpakaian necis, dan
naik taksi atau mobil pribadi dan membeli tiket bioskop atau tiket pertunjukan.
Kita, dengan pakaian seadanya, semaunya, bahkan baru bangun tidur, dengan
sekali menyentuh tombol kendali (remote control) sudah bisa menyaksikan dan
menikmati berbagai tayangan hiburan televisi. Bahkan tak tanggung-tanggung,
hiburan itu datangnya dari seluruh penjuru dunia! Hebatnya lagi, kita tak perlu
mengeluarkan uang sepeser pun. Cuma-cuma alias gratis!
Fungsi media massa televisi,
memang memberikan hiburan sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya kepada
masyarakat pemirsa. Hasil survei penulis menunjukkan, sedikitnya 70 persen jam
siaran televisi swasta di Indonesia diisi dengan berbagai tayangan program hiburan,
terlepas dari apakah tayangan hiburan itu bermutu atau tidak. Fenomena ini
menunjukkan, posisi dan eksistensi media massa televisi dalam pemenuhan
kebutuhan hiburan masyarakat, benar-benar sangat dominan. Bahkan tak
tergantikan oleh media massa yang lain. Efek fungsional yang terjadi ialah,
masyarakat pemirsa terpuaskan kebutuhan hasrat hiburannya. Tetapi juga fakta
menunjukkan, tak hanya efek fungsional yang muncul dari tanyangan program
hiburan televisi.
Hasil berbagai kajian,
penelitian, dan pe'mantauan, termasuk monitoring dan evaluasi tayangan yang
secara rutin dilakukan KPI dan KPID menunjukkan, televisi siaran juga ternyata
banyak melahirkan efek disfungsional. Orang yang semula menginginkan hiburan
dari televisi, malah justru mendapatkan kekecewaan. Kekecewaan inilah yang lalu
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kemarahan, cacian, tuduhan, dan gugatan
kepada para pengelola statisun televisi komersial. KPI dan KPID pun diminta
bertindak tegas dalam memberikan peringatan dan hukuman kepada stasiun televisi
yang terbukti menampilkan tayangan-tayangan program hiburan yang dianggap
meresahkan menyesatkan.
3.1.5 Penganugerahan Status
Sehubungan dengan pembentukan
citra, kita juga dapat berkata, news make names (berita membuat nama). Orang
yang tidak dikenal mendadak melejit namanya, karena ia diungkapkan
besar-besarau dalam media massa. Orang yang terkenal, sebaliknya,
perlahan-lahan akan dilupakan orang bila tidak pernah dilaporkan media massa.
Menurut Lazarsfeld dan Merton, tampaknya orang beranggapan: “Jika Anda orang
penting, Anda akan akan diperhatikan media massa. Jika Anda diperhatikan media
massa, pasti Anda orang penting”. Pemberian status ini ini tidak hanya berlaku
pada orang, tetapi juga pada kelompok, lembaga, organisasi, tempat, dan juga
t0pik atau isu (Rakhmat, 1998: 225).
Pemberian status akan fungsional
selama status atau julukan baru itu memberikan citra dan dampak positif kepada
seseorang atau organisasi, lembaga, dan tempat yang dilaporkan oleh media.
Misalnya, seorang perajin batik yang nyaris bangkut, tiba-tiba dibanjiri order
pesanan setelah diberitakan media massa. Malah setahun kemudian, ia dikukuhkan
sebagai perajin teladan dan diundang ke Istana Negara, bersalaman dan makan malam
bersama presiden, serta mendapat piagam penghargaan. Efek fungsional media
semacam ini pasti didambakan banyak orang.
Sayangnya, penganugerahan status
media pun sering ditolak mentah-mentah oleh orang, pihak, organisasi, lembaga,
dan tempat yang menerimanya. Apalagi kalau bukan dianggap berkonotasi negatif,
buruk, melecehkan, mengandung unsur penghinaan, bahkan termasuk dalam kategori
pembunuhan karakter seseorang atau suatu Iembaga yang sudah dianggap memiliki
reputasi baik di mata masyarakat? Tak terelakkan lagi, itulah yang dimaksud dengan
fungsi tersembunyi (latent functions) media massa dalam pemberian gelar,
julukan, atau status baru kepada seseorang, suatu organisasi atau lembaga dan
tempat.
Tugas kita bersama ialah
melakukan monitoring dan evaluasi, agar pemberian status oleh media tidak
bersifat negatif. Secara sosiologis dan ynridis, media yang mengalami kesalahan
dalam pemberian status akan menghadapi konsekuensi yang dalam jangka panjang
bisa membuat dirinya mati suri.
3.1.6 Pengakhlakan
Komunikasi massa mempunyai fungsi
mengakhlakkan (ethicizing) kalau komunikasi itu memperkuat kontrol sosial atas
anggota-anggota masyarakat yang membawa penyimpangan perilaku ke dalam
pandangan masyarakat. Surat kabar, misalnya, memublikasikan informasi mengenai
pelanggaran norma-norma. Fakta-fakta seperti itu sudah seharusnya diketahui
oleh anggota masyarakat. Tetapi keterbukaan melalui komunikasi massa
menciptakan kondisi sosial ketika orang banyak harus menolak pelanggaran itu
dan mendukung standar moralitas yang sudah umum, dan bukannya yang bersifat
pribadi. Dengan proses ini, berita-berita yang dikomunikasikan kepada massa
memperkuat kontrol sosial dalam masyarakat perkotaan, ketika anonimitas di kota
telah memperlemah komunikasi tatap-muka yang sifatuya informal dan kontrol
terhadap penyimpangan perilaku (Wright, 1985: 17).
Efek fungsional (manifest
functions) seperti itu, dalam perspektif Merton, tentu saja tidak selamanya
berjalan mulus. Dalam pengamatan kita sehari-hari, alih-alih melakukan
pengakhlakan, dalam sejumlah kasus media massa malah ikut berperan dalam
memperlemah kontrol sosial. Lebih jauh lagi, media massa, dengan logika dan
kepentingannya sendiri, memperkenalkan berbagai program acara yang dalam tempo
singkat, membawa masyarakat ke dalam situasi apa yang disebut sosiologi sebagai
anomie. Artinya, masyarakat cenderung kehil'angan pegangan nilai-nilai lama,
ketika nilai-nilai baru masih dianggap asing dengan dirinya dan belum tentu
bisa diterima serta lebih baik dibandingkan-nilai-nilai lama.
3.2 MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA: PERSPEKTIF
SOSIOLOGIS
Teori apa yang
secara sosiologis dapat menjelaskan posisi media komunikasi massa sebagai salah
satu sistem sosial yang ada dalam masyarakat? Sebagai ilustrasi, penelitian
mengenai penggunaan media massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor
(1973) membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap
kontroversial akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi dari media
massa mengenai peristiwa tersebut. Teori peran kelompok dari John W. Riley dan
Mathilda White Riley (1959), bisa menjelaskan banyak hal.
Pilihan terhadap penggunaan
saluran komunikasi, banyak bergantung kepada maksud dan tujuan komunikasi.
Hasil penelitian membuktikan bahwa media massa akan berperan secara selektif
dalam mengubah pendapat. Sedangkan komunikasi antarpribadi umumnya lebih
efektif dalam mengubah sikap. Pesan-pesan melalui media massa memang kurang
kuat dalam mengubah sikap, kecuali kalau pesan-pesan tersebut justru memperkuat
nilai-nilai dan kepercayaan (belief) khalayak komunikan. Sedangkan pesan-pesan
yang bertentangan akan disaring khalayak komunikasi melalui tingkat
selektivitas mereka (Depari dan Andrews, 1985: 17). Berikut, dipaparkan secara
ringkas empat model komunikasi massa yang memiliki roh dan bobot sosiologis
sangat kuat. Keempat model itu meliputi: model jarum hipodermik, model
komunikasi satu tahap, model komunikasi dua tahap, dan model komunikasi banyak
tahap.
3.2.1 Model Jarum Hipodermik
Model
jarum hipodermik pada hakikatnya adalah model komunikasi satu arah, berdasarkan
anggapan bahwa media massa memiliki pengaruh langsung, segera, dan sangat
menentukan terhadap khalayak komunikan (audience). Media massa merupakan
gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak komunikan yang pasif.
Menurut Elihu Katz:
1.
Media
massa yang sangat berpengaruh mampu memaksakan kehendaknya pada khalayak
komunikan yang sama sekali tidak berusaha untuk mencoba berpikir lain.
2.
Khalayak
komunikan yang otomatis (dianggap tidak memiliki hubungan satu sama lain)
terikat pada media massa tetapi tidak terikat kepada kelompoknya. Pengaruh
media digambarkan sebagai suatu kekuatan yang mengubah perilaku manusia tanpa
dapat dihalangi oleh kekuatan apa pun (Depari dan Andrews, 1985: 17-18).
Secara
teoretis, model jarum hipodermik dewasa ini sudah selayaknya dikubur
dalam-dalam. Sebab asumsi-asumsinya mengenai media massa dan khalayak komunikan
sudah sangat tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tingkat intelektualitas masyarakat.
Secara
praktis, pada beberapa tempat, beberapa kelompok serla lapisun masyarakat,
bahkan juga pada sebagian elit pejabat dan birokrat, model jarum hipodermik
masih dijadikan rujukan. Faktanya, khalayak komunikan memang seperti, atau
sengaja dibuat, tidak berdaya. Gejala ini, secara sosiologis bisa dilacak pada
kondisi ketika nilai-nilai otokratis masih tampil dominan. Sebaliknya roh dan
nilai-nilai serta aplikasi masyarakat demokratis terpinggirkan, atau setidaknya
masih berjalan tertatih-tatih.
3.2.2 Model Komunikasi Satu Tahap
Model komunikasi satu tahap (one
step flow communication model) menyatakan bahwa media massa sebagai saluran
komunikasi langsung berpengaruh pada khlayak komunikan, tanpa membutuhkan
peranan para pemuka pendapat sebagai penyebar informasi. Perbedaan antara model
jarum hipodermik dengan model komunikasi satu tahap terletak pada kenyataan
bahwa:
1.
Model
komunikasi satu tahap mengakui bahwa tidak semua media memiliki kekuatan
pengaruh yang sama.
2.
Model
komunikasi satu tahap memperhitungkan peranan sclektivitus sebagai faktor yang
menentukan penerimaan khalayak komunikan.
3.
Model
komunikasi satu tahap mengakui kemungkinan timbulnya rcaksi yang berbeda dari
khalayak komunikan terhadap pesan komunikasi yang sama (Depari dan Andrews,
1985: 20).
Model ini mengasumsikan terjadinya
proses interaksi sosial antam media dan khalayak komunikan. Pada model ini,
tidak ditemukan hierarki, media perantara, atau pihak ketiga untuk menyampaikan
pesan-pesun komunikasi dari komunikator kepada khalayak komunikan. Media massa
sebagai komunikator, langsung bertemu dan berinteraksi dengan khaluyak. Karena
tidak ada perantara, termasuk tidak ada kelompok rcferensi (reference group),
maka efek media terhadap individu yang satu dan individu yang lain, dengan
sendirinya berbeda. Kondisi ini dipengaruhi banyak faktor, antara lain tingkat
intelektualitas, tingkat terpaan media (media exposure), status sosial ekonomi,
dan dimensi geografis.
Selain itu, kekuatan pengaruh
media tidak diasumsikan sangat me nentukan (powerfull). Asumsi ini secara tidak
langsung mengakui posisi, peranan,
dan eksistensi khalayak dengan tingkat intelektualitas yang di~ milikinya.
Khalayak adalah individu atau kelompok yang memiliki perhatian selektif,
persepsi selektif, terpaan selektif, dan tanggapan selektif. Khalayak, dalam bahasa
sosiologi, memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kekuatan
tawar-menawar (bargaining power) yang cukup tinggi.
3.2.3 Model Komunikasi Dua Tahap
Model komunikasi dua tahap (two
step flow communication model) ini membantu kita dalam menempatkan perhatian
pada peranan media massa yang dihubungkan dengan komunikasi antarpribadi. Model
ini memandang khalayak sebagai individu-individu yang berinteraksi. Hasil studi
menunjukkan, ide senantiasa tersebar melalui radio dan media cetak diterima oleh
pemuka pendapat. Melalui pemuka pendapat inilah ide tersebut tersebar ke
seluruh anggota masyarakat. Tahap pertama, dari sumber informasi ke pemuka
pendapat, pada umumnya mempakan pengalihan informasi. Sedangkan tahap kedua,
dari pemuka pendapat pada pengikutnya mempakan penyebarluasan pengaruh (Depari
dan Andrews, 1985:18).
Dalam perspektif sosiologis,
model komunikasi dua tahap mengasumsikan proses interaksi sosial yang cukup
pekat antara pihak yang terlibat dalam komunikasi. Kehadiran dan fungsi petnuka
pendapat (informal leader) juga cukup menonjol. Pemuka pendapat diasumsikan
sebagai individu atau kelompok orang yang memperoleh terpaan tinggi media massa
(high media exposure). Pemuka pendapat juga diasumsikan sebagai individu yang
memiliki status sosial tinggi dalam struktur sosial masyarakat setempat. Pemuka
pendapat inilah yang kemudian,me1akukan apa yang disebut dalam sosiologi
sebagai kontak sosial (social contact) dan komunikasi.
Kata kontak berasal dari bahasa
Latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya
menyentuh). Jadi artinya secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Kontak
sosial dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Kontak sosial
bersifat positif, mengarah kepada suatu kerja sama. Sedangkan kontak sosial
bersifat negatif mengarah
pada suatu pertentangan atau
bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial. Suatu kontak
dapat pula bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang
mengadakan hubungan langsung bertemu dan bertatap muka sebaliknya kontak
sekunder memerlukan perantara (Soekanto, 1991: 71- 72).
Menurut Eduard Depari dan Colin
MacAndrews, terdapat enam kelemahan model komunikasi dua arah:
1.
Model
ini menyatakan bahwa individu yang aktif dalam mencari informasi hanya pemuka
pendapat, sedangkan anggota masyarakat pada umumnya pasif. Kegiatan pemuka
pendapat dianggap sebagai usaha untuk memperoleh kesempatan berperan sebagai
pemrakarsa komunikasi. Dalam kenyataanya ada model komunikasi yang menunjukkan
bahwa pemuka pendapat ada yang aktif, sebaliknya ada juga yang pasif dalam
mencari informasi. Di samping itu terbukti pula bahwa pemuka pendapat sering
memainkan peranan aktif atau pasif dalam situasi komunikasi.
2.
Pandangan
bahwa proses komunikasi massa pada hakikatnya dua tahap, ternyata membatasi
proses analisisnya, sebab proses komunikasi dapat terjadi dalam dua tahap atau
lebih. Dalam kasus tertentu, dapat saja terjadi proses komunikasi satu tahap,
misalnya media massa langsung memengaruhi khalayak komunikan. Dalam kasus lain,
media massa menimbulkan proses komunikasi yang bertahap banyak (multi stag es).
3.
Model
komunikasi dua tahap menunjukkan betapa tergantungnya pemuka pendapat terhadap
informasi yang disampaikan media massa. Tetapi kini, terdapat petunjuk kuat
yang membuktjkan bahwa pemuka pendapat memperoleh informasi melalui
saluran-saluran yang bukan media massa. Bagi pemuka pendapat di negara sedang
berkembang, ketika media massa belum tersebar sampai ke desa, saluran
komunikasi yang berperan adalah kontak dengan para penyuluh pembangunan
(extension agent).
4.
Penelitian
tahun 1940, yang menghasilkan komunikasi dua tahap, mengabaikan perilaku
khalayak berdasarkan “waktu” pengenalan idea baru. Penelitian tentang difusi
dan inovasi menunjukkan bahwa mereka yang mengenal lebih dahulu ide barn (early
knowers) ternyata lebih banyak memanfaatkan media massa dibandingkan dengan
mereka yang mengenal ide baru kernudian (later knowers).
5.
Pelbagai
saluran komunikasi berperan dalam pelbagai tabap pcnerimaan inovasi dan
pengambilan keputusan. Model komunikasi dua tahap tidak menunjukkan adanya
perbedaan peranan dari pclbagai saluran komunikasi dalam hubungannya dengan
tabap-tahap inovaal. Studi mengenai difusi inovasi menunjukkan beberapa tahap,
scpcrti: (a) tahap penyadaran (awareness stage), (b) tahap pembujukan
(persuasion stage), (c) tahap keputusan (decision stage), dan (d) tahap
pemantapan (confirmation stage)
6.
Pemisahan
khalayak komunikan atas pemuka pendapat dan masyarakat pengikut (followers)
dilakukan oleh model komunikasi dua tahap Padahal tidak selamanya mereka yang
bukan pemimpin (non leaders) adalah pengikut dari pemuka pendapat. Dari model
komunikasi dua tahap ini, ada dua penemuan menonjol yang sangat bermanfaat bagi
penelitian komunikasi. Pertama, diberikannya perhatian khusus pada peranan
pemuka pendapat sebagai sumber informasi. Kedua, beberapa penyempumaan dari
model komunikasi dua tahap, seperti dikenalnya
model komunikasi satu tahap dan
model'komunikasi banyak tahap . (Depari dan Andrews, 1985: 19-20).
3.2.4 Model Komunikasi Banyak Tahap
Model komunikasi banyak tahap
(multi step flow communication model) menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi
dari penyebaran pesan yang berasal dari informan kepada khalayak komunikan.
Sebagian khalayak mungkin memperoleh informasi langsung dari media massa
sebagai sumber informasi. Sebaliknya sebagian khalayak, mungkin memperoleh
informasi setelah melalui pelbagai tahap yang hams dilalui setelah disebarkan
oleh sumber informasi. Banyaknya tahap yang harus dilalui dalam proses penerimaan
informasi bergantung pada: (1) tujuan sumber informasi; (2) banyaknya media
massa yang menyebarluaskan informasi; (3) isi pesan yang disampaikan, apakah
berkenan bagi khalayak atau melibatkan kepentingan khalayak; dan (4) apakah
cara penyampaiannya menarik perhatian khalayak (Depari dan Andrews, 1985'.
20-21). Model ini, secara sosiologis menunjukkan pola interaksi sosial yang
variatif dan dinamis. Variatif, karena terdapat pilihan komunikasi, bisa
langsung dari media massa
sebagai sumber informasi, bisa melalui para pemuka pendapat, bisa pula melalui
rekan sejawat. J adi terdapat pola vertikal, diagonal, dan horizontal yang
dapat dijadikan pilihan dalam proses komunikasi primer atau sekunder. Dinamis,
karena khalayak bersifat aktif, tidak dalam posisi menunggu atau menjadi objek
dari suatu proses komunikasi. Khalayak dapat dengan bebas dan leluasa untuk
menentukan dengan siapa dirinya berkomunikasi dan dari siapa pula memperoleh
informasi.
Secara sosiologis, fenomena ini
menunjukkan pola kemajcmukan yang terdapat dalam masyarakat. Pada kebudayaan
modern, orang diberi peluang dan kesempatan selebar-lebarnya untuk menentukan
pilihan serta tata cara berinteraksi satu sama lain. Hanya dengan cara
demikian, orang
akan dapat menjauh dari friksi
dan konflik. Sosiologi mengajarkan, dalam proses interaksi sosial, orang harus
menghindari konflik (conflict) dan mendekatkan diri ke arah konsensus
(consensus) untuk mencapai harmoni yang diinginkan.
3.3 KOMUNIKASI MASSA, MASYARAKAT, DAN BUDAYA
Apakah bisa dipisahkan antara
komunikasi massa, masyarakat, dan budaya? Komunikasi massa hidup dalam
masyarakat, dalam masyarakat terdapat budaya, dan dalam budaya terdapat
ekspresi~ekspresi serta nilai dan normanorma masyarakat. Memisahkan di antara
ketiganya menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Tugas kita memang bukan untuk
memisahkan, melainkan untuk membedakan posisi dan fungsinya masing-masing untuk
kepentingan kajian dan penelitian. Menurut Melvin DeFleur dalam karyanya yang
monumental, Theories of Mass Communication (1966), terdapat empat teori untuk
menjelaskan pola interaksi media komunikasi massa dengan masyarakat dan budaya.
Keempat teori itu meliputi: teori perbedaan individu (the individual
differences theory), teori penggolongan sosial (the social category theory),
teori hubungan sosial (the social relationship), dan teori norma-norma budaya
(the cultural norms theory).
3.3.1 Teori Perbedaan lndividu
Teori ini bermula dari minat para
ahli psikologi dalam menyelami kelerkaitan antara proses belajar, motivasi, dan
karakteristik watak seseorang. Hasil studi laboratorium menunjukkan, melalui
proses belajar yang ajcg, konsistcn. ternyata faktor motivasi seseorang dapat
ditumbuhkan. Dilemuknn jngn kecenderungan, ternyata motivasi individu satu sama
lain tak selalu sama walaupun berpijak pada stimulus dan kondisi yang sama.
Faktor yang menyebabkan perbedaan motivasi itu, antara lain menunjuk pndn
tipe-tipe kepribadian seseorang. Diajukan asumsi dasar, setiap individu
memiliki kecenderungan kepribadian khas yang membedakan dirinya dengan orang
lain. Kesimpulan yang dapat ditarik ialah kepribadian yang melekat dalam diri
seseorang sedikit-banyak akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam
menanggapi sesuatu.
Para ahli komunikasi, menyambut
baik hasil-hasil penclitian para ahli psikologi itu. Konsekuensinya, berbagai
asumsi dasar yang melekat dalam kajian-kajian serta teori komunikasi massa
selama ini, sedikit banyak hams diubah dan disesuaikan, misalnya tentang
pengaruh media massa terhadap khalayak, dan kecenderungan sikap khalayak
terhadap media massa. Seperti dicatat Depari dan Andrews, teori psikologi umum
telah merumuskan konsep persepsi selektif yang didasarkan pada perbedaan
kepribadian individu. Setiap orang akan menanggapi isi media massa berdasarkan
kepentingan mereka, disesuaikan dengan kepercayaannya serta nilai-nilai sosial
mereka. Atas dasar pengakuan bahwa tiap individu tidak sama perhatiannya,
kepentingannya, kepercayaan dan nilai-nilainya, maka dengan sendirinya
selektivitas mereka terhadap komunikasi massa juga berbeda. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pengaruh media terhadap individu akan berbeda satu sama
lain disebabkan adanya perbedaan psikologi antarindividu (Depari dan Andrews,
1985: 5).
Teori ini merupakan pengakuan
terhadap dua ha]. Pertama, kekuatan pengaruh media massa tidak seperti yang
dibayangkan semula sebagai sesuatu yang bersifat perkasa. Pengaruh mémang ada,
hanya pengaruh itu pun disesuaikan dengan minat, kepentingan, serta tingkat
penerimaan khalayak komunikan. Inilah yang dimaksud dengan perhatian selektif,
persepsi selektif, penerimaan selektif, dan tanggapan selektif. Kedua, khalayak
bukanlah tabung kosong yang siap diisi apa saja dan oleh siapa saja. Sejalan
dengan konsep sosiologi, khalayak adalah individu yang aktif, dinamis, kritis,
dan tiap individu memiliki kecenderungan kepribadian tertentu yang sekaligus
membedakan dirinya dengan orang lain.
3.3.2 Teori Penggolongan Sosial
Teori ini beranggapan bahwa
terdapat penggolongan sosial yang luas dalam masyarakat kota industri yang
memiliki perilaku yang kurang Ichih sama terhadap rangsangan-rangsangan
tertentu. Penggolongan sosial tersebut didasarkan pada seks, tingkat
penghasilan, pendidikan, tempat tinggal, maupun agama. Dalam hubungannya dengan
media massa dapat digambarkan bahwa majalah mode biasanya hanya dibeli oleh
wanita, majalah sport dibeli umumnya oleh pria. Variabel-variabel seperti seks,
umur, pendidikan tampaknya turut juga menentukan selektivitas seseorang
terhadap media yang ditawarkan (Depari dan Andrews, 1985: 5).
Dasar dari penggolongan sosial
adalah teori sosiologi yang berhubungan dengan kemajemukan masyarakat modern.
Teori ini menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang
sama akan membentuk sikap yang sama pula dalam menghadapi rangsangan tertentu.
Persamaan dalam orientasi serta sikap akan berpengaruh pula terhadap tanggapan
mereka dalam menerima pesan komunikasi (Depari dan Andrews, 1985: 6). Ini
berarti, teori penggolongan sosial menunjukkan tidak saja kuatnya pengaruh
teori sosiologi tetapi juga mengakui pola dan bentuk-bentuk interaksi sosial
terutama yang terjadi pada masyarakat modern. Secara sosiologis, masyarakat
modern kecuali dibangun oleh tata nilai individual dengan semangat kompetisi
(competition) sangat tinggi, juga cenderung untuk lebih mengembangkan
nilai-nilai asosiasi, imitasi, dan kooperasi. Sudah tentu, ini mempakan
strategi besar dalam membangun suatu harmoni di tengah struktur sosial yang
sangat dinamis dan kompetitif.
Sebagai konsekuensi dari teori
penggolongan sosial, kini sangat banyak program acara media massa yang
dimaksudkan untuk memenuhi minat, kebutuhan, dan kepentingan kelompok atau
golongan tertentu dalam masyarakat. Namanya segmentasi tayangan acara. Sebagai
contoh, tayangan acara lagu-lagu zaman dulu dengan segmentasi pemirsa televisi
kelompok usia 40-60, ditayangkan pada malam hari selepas pukul 20.30. Sementara
program acara khusus untuk ibu-ibu dan keluarga, ditayangkan pada pagi atau
siang hari mulai pukul 06.30. Akan halnya tayangan acara khusus anak-anak,
biasanya ditayangkan pada sore hari mulai pukul 15.00. Cara-cara demikian,
merupakan upaya pengelola media massa untuk semakin mendekatkan diri sekaligus
membangun hubungan sosial (social relationship) dengan khalayaknya. Bahkan
kemudian, hubungan itu tidak hanya secara di udara (on air) tetapi juga
dilanjutkan di darat (on air) dengan cara membuat serangkaian acara yang
menarik minat dan hobi khalayak.
3.3.3 Teori Hubungan Sosial
Teori ini menyatakan bahwa dalam
menerima pesan yang disampaikan oleh media, orang lebih banyak memperoleh pesan
itu melalui hubungan atau kontak dengan orang lain daripada menerima langsung
dari media massa. Hubungan sosial yang informal merupakan salah satu variabel
yang turut menentukan besarnya pengaruh media. Teori hubungan sosial mencoba
menekankan pentingnya variabel hubungan antarpribadi sebagai sumber informasi
dan sebagai penguat pengaruh media komunikasi (Depari dan Andrews, 1985:6-7).
Asumsi pada teori ini, jumlah
orang yang langsung berhubungan dengan media massa sangat terbatas. Orang yang
sangat terbatas ini, yang lazim disebut pemuka pendapat (informal leader), atau
paling tidak dinamakan pemirsa berat (heavy viewer) untuk televisi, dan pembaca
berat (heavy reader) untuk surat kabar dan majalah, mengakses lebih banyak
informasi dari media. Orang-orang ini dalam teori komunikasi disebut sebagai
kelompok penerima cukup-informasi (well informed). Berbagai informasi yang
diterima dari media lalu dirumuskan sesuai dengan tingkat predisposisinya.
Informasi yang sudah diolah ini, barulah kemudian disebarluaskan melalui
saluran dari mulut ke mulut (mouth to mouth communication) secara informal
Teori hubungan sosial, bisa
disebut merupakan manifestasi dari model komunikasi dua tahap (two step flow
communication model). Arus informasi mengalir dari sumber informasi ke penerima
atau khalayak komunikan melalui dua tahap. Pertama, informasi dari media massa
diterima oleh sejumlah individu yang cukup-informasi (well informed). Proses
ini dilakukan secara langsung. Artinya tidak melalui perantara siapa pun yang
lazim disebut sebagai pihak ketiga. Kedua, informasi yang sudah diterima dan
diolah sesuai dengan tingkat intelektualitas oleh individu-individu cukup-informasi
itu, selanjutnya disebarkan melalui saluran komunikasi antarpribadi kepada
orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap media massa.
Dengan demikian, berbagai
informasi yang diterima orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap media
massa itu merupakan informasi yang sndah diseleksi, ditambah, atau dikurangi.
Boleh jadi, di sini cukup banyak pendapat pribadi pemuka pendapat yang
disebarkan kepada khalayak. Daiam teori hubungan sosial, kecenderungan seperti
itu memang tak terhindarkan. T etapi supaya tak menimbulkan masalah,
kredibilitas dan kapabiiitas
pemuka pendapat hams sudah teruji
terlebih dahulu. Karena itu diperlukan poia interaksi sosial informal secara
berkelanjutan pada semua strata sosial yang ada. Hubungan emosional perlu terus
dibangun. Hubungan fungsional saja yang ditekankan tidak akan efektif selama
hubungan emosional antar individu tidak dilakukan secara memadai.
3.3.4 Teori Norma-Norma Budaya
Teori ini melihat cara-cara media
massa memengaruhi perilaku sebagai suatu produk budaya. Pada hakikatnya, teori
noma-norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang
disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang
oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma budayanya. Perilaku individu
umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang
dihadapinya. Dalam kerangka ini media akan bekelja secara tidak langsung untuk
memengaruhi sikap individu tersebut. Paling sedikit terdapat tiga cara yang
ditempuh oleh media massa untuk memengaruhi norma-norma budaya:
1.
Pesan-pesan
komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku serta
membimbing masyarakat agar yakin bahwa pola-pola tersebnt masih tetap berlaku
dan dipatuhi mayarakat.
2.
Media
massa dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bartentangan dengan
pola budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya.
3.
Media
massa dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku sehingga perilaku
individu-individu yang ada dalam masyarakat dengan sendirinya iimt berubah
serta menyesuaikan diri dengan norma-norma budaya yang barn (Depari dan
Andrews, 1985: 7)
Teori norma-norma
budaya mengasumsikan beberapa hal tentang media massa, sekaligus beberapa hal
pula tentang khayalak. Tentang media massa, setidaknya merujuk kepada tiga hal.
Pertama, media
melaksanakan peranannya sebagai guru yang mengajarkan bagaiinana proses
transformasi sosial Budaya terjadi dalam suatu masyarakat. Seperti dikemukakan
pakar komunikasi Wilbur Schramm, bagi masyarakat media massa adalah teacher,
watcher, dan forum. Sebagai teacher (guru), media mengajarkan hal-hal yang baik
menyangkut pengetahuan, sikap, dan perilaku kepada mayarakat dan generasi
berikutnya. Sebagai watcher (pengamat), media bertugas melaporkan setiap
informasi dan peristiwa yang terjadi di dunia. Sebagai forum (mimbar), media
memberi kesempatan kepada semua pihak untuk tampil dan berdiskusi melalui
media, menyebarkan ide, gagasan, dan perubahan ke arah yang lebih baik dalam
kehidupan kemayarakatan dan kenegaraan.
Kedua, media
melaksanakan peranannya sebagai agen perubahan sosial (social change agent).
Media menyeleksi pesan, memproduksi pesan, dan melakukan distribusi serta
sirkulasi pesan yang dianggap sejalan dengan norma-norma sosial budaya yang
ada. Sebagian pesan itu, bahkan bersifat baru untuk terus dikomunikasikan dan
disosialisasikan kepada masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat
menganggapnya sebagai norma-norma budaya yang patut untuk dijadikan rujukan dan
dipertahankan.
Ketiga, media
diasumsikan tidak mengalami peran ganda (double standard) dalam menjalankan
peran dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Artinya, media hanya
mengungkapkan dan membawa pesan kebaikan kepada masyarakat seperti layaknya
tugas para pemuka agama. Kenyataannya tidaklah demikian. Media, pada saat yang
bersamaan, juga, dan bahkan justru menyebarkan virus-virus negatif kebudayaan.
Sebagai ilustrasi, norma-norma sosial yang dianggap baik dan sudah melembaga,
malah dicitrakan sebagai kuno, ketinggalan zaman, dan karena itu sudah saatnya
ditinggalkan. Media melakukan hal-hal yang kontra-produktif bagi masyarakat
(efek disfungsionl, latent functions).
Tentang khalayak
komunikan, yakni masyarakat pembaca, pendengar atau pemirsa, paling tidak
terdapat tiga asumsi pula.
Pertama, khalayak
kurang berperan aktif dan selektif dalam melihat, mengamati, dan memelihara
norma-norma sosial budaya yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagai
dampaknya, media seolah-olah terpaksa harus mengambil alih peran monitoring dan
evaluasi kebudayaan. Media terpanggil untuk membuat kriteria tentang
jenis-jenis tradisi, adat, tata nilai baru, dan pola-pola kebudayaan yang
dianggap tepat, relevan, dan bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya untuk
satu-dua dekade ke depan.
Kedua, khalayak
memerlukan bantuan, bimbingan, panduan, dan bahkan supervisi media massa untuk
memastikan pergantian dan peralihan norma-norma sosial budaya dari yang lama ke
norma-norma sosial budaya yang baru, berjalan sesuai dengan koridor dan target
yang diinginkan. Khalayak terkesan kurang percaya diri sehingga harus
memerlukan bantuan media. Timbul pertanyaan, apakah kenyataan sesungguhnya di
lapangan memang demikian? Apakah pada kebudayaan dan teknologi modern dewasa
ini, semakin banyak khalayak atau individu yang tidak percaya dengan potensi
dan kapasitas dirinya sendiri? '
Ketiga, khalayak
tidak atau kurang memiliki inisiatif dan kesadaran memadai untuk menyeleksi dan
membangun norma-norma sosial budaya yang baru, atau memperkuat dan memperbarui
(update) norma-norma sosial budaya lama ke arah yang lebih baik dan sempurna.
Khalayak terkesan pasif, bersifat menunggu, dan bahkan mungkin kurang peduli,
apatis. Secara sosiologis, apakah ini merupakan gejala penarikan diri khalayak
dari lingkungan (alienation)? Apakah masyarakat dewasa ini lebih banyak
mengembangkan budaya kompromi (consencus) daripada budaya persaingan
(competision)? Ada baiknya segera dilakukan penelitian.
3.4 KOMUNIKASI MASSA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Bahasan pada bagian ini sebaiknya
dimulai dengan beberapa pertanyaan kunci. Pertama, apa yang dimaksud dengan
perubahan sosial (social change)? Kedua, apa peran media massa, dan seberapa
besar pengaruhnya dalam perubahan sosial? Dalam perubahan sosial, siapa saja
aktor (key person) atau figuran (participant) yang terlibat? Lantas, seperti
apa saja tipe-tipe perubahan sosial yang dapat kita kenali? Pada bagian ini,
kita tidak mungkin mengupas panjang lebar berbagai teori perubahan sosial
seperti yang dipaparkan Ferguson, Robertin, Voltaire, ,Condorcet, Hegel, Simon,
Buckle, Comte, Spencer, atau juga Durkheim, Hobhouse, Darwin, Taylor, Moore,
atau Ogburn. Tetapi cukup mengutip beberapa definisi saja sebagai rujukan pokok
untuk kepentingan pembahasan.
Dalam buku Character and Social
Structure, Gerth dan Mills mencoba membuat model yang mencakup enam pertanyaan
atau masalah pokok yang menyangkut perubahan sosial:
1.
Apakah
yang berubah?
2.
Bagaimanakah
hal itu berubah?
3.
Ke
manakah tujuan dari perubahan itu?
4.
Bagaimanakah
kecepatan perubahan itu?
5.
Mengapa
terjadi perubahan?
6.
Faktor-faktor
penting manakah yang ada dalam perubahan? (Bottomore 1972: 297 dalam soekanto,
1983: 23).
Gillin dan Gillin menyatakan,
perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang
telah diterirna, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk dan ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Samuel Koenig dalam Man and Society
(1957) mengatakan, secara singkat perubahan sosial menunjuk pada modiiikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi itu terjadi karena
sebabsebab intern dan sebab-sebab ekstern. Definisi lain adalah dari pakar
sosiologi terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan. Selo mendefinisikan perubahan
sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu
masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
(Soekanto, 1991:337).
Wilbur Schramm, salah seorang pakar
komunikasi terkemuka Amerika, dalam karya klasiknya yang monumental, Mass Media
and National Develop~ ment (1964), menguraikan secara tepat dan terperinci
mengenai tugas dan peranan media massa dalam pembangunan. Tesis yang
diajukannya antara lain, peranan utama yang dapat dilakukan media massa dalam
pembangunan adalah membantu memperkenalkan perubahan sosial. Menurut Schramm,
terdapat sembilan peran yang dapat dikerjakan media massa dalam membantu perubahan
sosial, yakni (1) media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran; (2) media
massa dapat memusatkan perhatian, (3) media massa mampu menumbuhkan aspirasi,
(4) media massa mampu menciptakan suasana membangun (5) media massa mampu
mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah
politik; (6) media massa mampu mengenalkan norma-norma sosial; (7) media massa
mampu menumbuhknn selcra; (8) media massa mampu mengubah sikap yang lemnh
menjadi sikap yang lebih kuat; dan (9) media massa dapat berperan sebagai
pendidik (Schramm, Mass Media and National Development, 1964, dalam Dcpari dan
Andrews, 1985:40-53). Berikut, tafsir dan penjelasan saya mengenai sembilan
peran media massa dalam perubahan sosial terscbut. Agar mudah dipahami,
disajikan pula contohcontoh yang relevun.
3.4.1 Media Massa Dapat Memperluas Cakrawala Pemikiran
Kata Marshall McLuhan, media itu
sendiri adalah pesan (medium is message). Pada bagian lain dalam buku karyanya
Understanding Media: The Extensions of Man (1964) ia mengatakan, media adalah
kepanjangan manusia (media is the extented of man). J adi, jangankan pesannya,
medianya sendiri sudah merupakan pesan. Seperti dikutip pakar komunikasi J
alaluddin Rakhmat, McLuhan menulis: “Secara operasional dan praktis, medium
adalah pesan. Ini berarti buhwa akibat-akibat personal dan sosial dari media,
yakni karena perpanjangan diri kita, timbul karena skala barn yang dimasukkan
pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh teknologi baru. Media
adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk
hubungan dan tindakan manusia (McLuhan, 1964: 23-34 dalam Rakhmat, 1998: 220).
Dengan kemampuan yang
dimilikinya, media bisa menjangkau tempattempat dan orang-orang yang tidak bisa
kita datangi secara langsung, dalam waktu singkat dan bersamaan, dan bahkan
saat itu juga (real time). Dengan hanya duduk santai di sofa, melalui layar
kaca televisi misalnya, kita dapat menjelajah ke berbagai tempat di dunia yang
belum pernah kita kunjungi hanya dalam hitungan detik dan menit. Benar kata
sebagian orang, termasuk orang Amerika, televisi adalah kotak kecil ajaib yang
bisa menyulap dan menghipnosis khalayak. Dari sinilah, cakrawala pengetahuan
dan pemildran kita, terbentuk, terasah, dan termotivasi. Lewat media, daya
imajinasi, fantasi, dan inspirasi kita benar-benar diekploitasi habis-habisan.
Secara sosiolgis, kontak sosial dan komunikasi menjadi tak terbatas melampaui
dimensi ruang dan waktu.
3.4.2 Media Massa Dapat Memusatkan Perhatian
Kalender musim, menurut teori jurnalistik dapat
meramalkan' berbagai peristiwa buruk yang akan terjadi, misalnya topan hebat,
badai dahsyat di laut, terjangan tsunami, kapal tenggelam; pesawat jatuh; bus
masuk jurang; permukiman tertimpa longsor; banjir di mana-mana, dan puluhan
ribu pengungsi memenuhi masjid-masjid, tanah lapang, bahkan jalan tol dan
ruas-ruas jalan protokol. Para jurnalis mengatakan, inilah yang masuk dalam
kategori berita bencana (disaster news). Semuanya pasti menyita perhatian,
mengagetkan, dan adakalanya mengerikan. Lantas, apa yang dapat dilakukan media
massa?
Banyak. Media dapat melakukan
banyak hal, tetapi yang paling utama ialah memusatkan perhatian khalayak dan
semua pihak termasuk para birokrat untuk tidak lengah, untuk waspada, siaga,
dan bisa berbuat optimal dalam penanggulangan bencana. Tsunami tidak bisa
distop, tetapi jumlah koban bisa diminimalisasi. Banjir tidak bisa dikeringkan
saat itu, tetapi para korban yang teijebak di rumah-rumah bisa segera
diungsikan ke tempattempat aman. Makanan, selimut, obat-obatan, harus segera
didistribusikan. Untuk semua itu diperlukan tenaga-tenaga serta manajemen
bencana yang sangat profesional. Apa yang disebut sistem peringatan dini (early
warning system), mutlak diprogramkan, dididiklatkan, dan terus-menerus
disosialiasikan.
Apakah pemusatan perhatian hanya berlaku
untuk berita buruk, bad news? Tentu tidak. Lihatlah, bagaimana jutaan orang,
dengan sukarela dan suka cita, datang dan memadati The National Mall,
Washington DC, Amerika Serikat, 20 J anuari 2009, untuk menyaksikan pelantikan
presiden teripilih ke-44 AS, Barack Hussein Obama di balkon Capitol] Hill.
Kawasan The National Mall seluas 125 hektar dengan panjang 3 km dan lebar 1,5
km, benar-benar menjadi lautan manusia. Orang-orang seperti terhipnosis dan
histeris dengan terpilih dan disumpahnya Obama sebagai presiden AS. Amerika
selama delapan tahun kepemimpinan George Walker Bush, telah kehilangan
segalanya: harta kekayaan (untuk mesin perang), ribuan tentara muda (selama
invasi ke Irak), dan juga moralitas serta harga diri sebagai bangsa termaju
dalam teknologi, ekonomi, dan dunia industri. Dunia, begitu berharap kepada
Obama, orang kulit hitam pertama yang sukses terpilih menjadi presiden Amerika.
Media dari seluruh dunia, karena itu meliput besar-besaran upacara pelantikan
dan pengambilan sumpah Obama, yang ternyata pernah bermukim empat tahun di
kawasan Menteng, J akata Pusat.
3.4.3 Media Massa Mampu Menumbuhkan Aspirasi
Daniel Lerner pernah melakukan
penelitian di sejumlah desa di Mesir, pada empat dekade silam. Hasilnya
dituangkan dalam sebuah buku yang cukup monumental. Ia menyimpulkan, media
ternyata mampu membangkitkan aspirasi-aspirasi rakyat di desa-desa kecil dan
terbelakang, untuk memulai dan mengawal perubahan sosial yang dicita-citakan.
Dalam bahasa romantis melankolis, sebut saja untuk memulai hidup baru yang
lebih menjanjikan . setelah sekian lama terpuruk dalam kemiskinan yang
mengenaskan. Hanya Lerner mengingatkan, aspirasi yang tumbuh berkat media, akan
menimbulkan ledakan kekecewaan (explotion of frustration) jika saja pemerintah
yang bekuasa gagal menampung dan merealisasikannya.
Daniel Lerner meyakini, media
massa, terutama ketika itu radio dan surat kabar memiliki pengaruh terhadap
orang-orang yang belum melek media (media literacy) sekalipun. Dengan media
massa, orang-orang desa bisa berpikir jauh ke depan. Mereka bicara tentang diri
mereka, masa depan mereka, bahkan memikirkan juga masa depan
saudara-saudaranya, para tetangganya, nasib orang-orang di desa-desa lain di
kota mereka. Luar biasa, aspirasi yang tumbuh dari mereka ternyata begitu
beragam dan menjanjikan. Lerner mengingatkan, ledakan harapan dan aspirasi ini,
akan menjadi born waktu bagi kalangan teknokrat dan birokrat jika mereka gagal
mewujudkannya dalam tempo tak teralu lama. Begitulah, media massa ternyata bisa
memainkan peran dirinya sebagai sarana pencari sekaligus penumbuh
aspirasi-aspirasi khalayak yang bersifat majemuk.
3.4.4 Media Massa Mampu Menciptakan Suasana Membangun
Dengan berbagai informasi yang
disajikannya, berbagai laporan kemajuan yang ditulis, disiarkan atau
ditayangkannya, berbagai cerita sukses orang lain, kelompok lain dan bangsa
lain, media massa pasti dapat menggugah hasrat khalayak untuk memulai dan
berbuat sesuatu yang lebih baik. Kalau sudah demikian, pasti tidak sulit untuk
menumbuhkan suasana membangun, suasana berkarya, mengembangkan potensi diri dan
kreativitas komunitas. Orang melihat hari esok dengan penuh optimisme. Bukankah
suasana membangun tidak akan tercipta manakala kita hanyut dalam pasimisme atau
apalagi fatalistik, menyerah kepada nasib dan alam?
3.4.5 Media Massa Mampu Mengembangkan Dialog tentang Hal-Hal yang
Berhubungan dengan Masalah-Masalah Politik
Salah satu ciri dan kekuatan
media ialah dialog. Menurut teori jumalistik, media bukanlah polisi yang
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukan jaksa yang diberi tugas
melakukan tuntutan dan dakwaan, juga bukan hakim yang berhak untuk menjatuhkan
vonis. Artinya media tak punya kekuatan memaksa, kekuatan koersi. Media hanya
punya kekuatan persuasi; membujuk dan meyakinkan dengan kekuatan logika akal
sehat (common sense) serta sikap kritis.
Sebagai penyandang kekuatan
persuasi, media sudah pasti akan menawarkan metode dialog. Sifatnya interaku'f.
Dalam dialog, kesetaraan dimuliakan sehingga tidak terjadi dominasi dari pihak
yang satn terhadap pihak yang lain. Ada proses tawar-menawar, atau dalam bahasa
khas sosiologi: teljadi kontak sosial dan komunikasi, tercipta interaksi nntuk
saling berbagi ide atau apa saja (idea sharing). Dalam ranah politik, fenomena
seperti itu menjadi suatu keharusan, suatu pilihan yang menjanjikan kemenangan
dan kebahagiaan bersama (win-win solution). Bukankah kata almarhum Wapres Adam
Malik, politik adalah seni mengatur segala kemungkinan?
3.4.6 Media Massa Mampu Mengenalkan Nonna-Norma sosial
Apakah kejujuran, gotong royong,
toleransi, demokratis, sportif, menghargai keberagaman, disiplin tinggi,
transparansi, akuntabilitas, kerelawanan, bukan merupakan nilai dan norma-norma
sosial yang layak untuk terus diestafetkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dari orang-orang tua ke orang-orang muda? Siapa pun tak akan
menyangkal, Indonesia hanya mungkin dibangun dengan berpijak kepada nilai dan
norma-norma semacam itu. Lalu, apa sulitnya bagi media untuk terus mengenalkan
norma-norma sosial? Tidak ada. Media tidak akan mengakar di tengah-tengah
masyarakat bangsanya andaikata tak mengusung nilai-nilai luhur itu.
Perlu dicatat, nilai dan
norma-norma sosial tidaklah bersifat kaku dan statis tetapi justru bersifat
lentur dan dinamis. Sebagai contoh, dulu tak banyak orang yang bercita-cita
menjadi pemusik, main band dari panggung ke panggung. Sekarang? Rasanya setiap
orang berobsesi ingin menjadi artis dan pemusik. Ternyata, jadi artis dan
pemusik bisa meraup kekayaan dalam tempo singkat. Ternyata jadi penghibur bisa
menjamin masa depan. Maka kini setiap jam televisi menayangkan acara pentas
musik, pentas band anakanak muda dengan aneka ragam aliran, dari jenis reggae
sampai pop kreatif. Secara sosiologis, media telah berjasa menghidupkan norma-norma
sosial baru ke tengah-tengah masyarakat.
3.4.7 Media Massa Mampu Menumbuhkan Selera
Apakah orang Indonesia, di desa
dan di kota-kota, tak memiliki selera berkesenian, berpetualang, atau melakukan
wisata kuliner ketika makanan khas tiap daerah dan pelosok dijadikan andalan
bisnis pariwisata? Mengapa orang Bandung begitu gandrung dengan aneka macam dan
jenis kaos bertulis atau bergambar sesuatu yang unik, khas, jenaka, satir, atau
bahkan bemada protes sosial? Menurut sosiologi, apa yang disebut budaya massa
(mass culture) tidaklah baku dan bersifat permanen, apalagi sampai menjadi
legenda. Sesuatu terus berubah. Setelah ada posmo ada neo-posmo. Lihatlah
gejolak gelombang di laut dan riak air di sungai, begitu pula dengan budaya
massa. Penuh gejolak. Senantiasa bergerak dan berubah.
Media, memiliki segalanya untuk
mengangkat dan membangkitkan selera pasar, selera anak-anak muda, bahkan juga
selera anak-anak zadul alias zaman dulu yang kini sudah berusia renta. Ada
saatnya memang selera yang mengisi dan memengaruhi media. Tetapi melalui
kebudayaan industri informasi dan komunikasi, medialah yang justru yang terus
mendobrak dan menggebrak khalayak. Sosiologi menangkap gejala ini sebagai
realitas media yang sangat berlebihan (hiper-reality). Apa yang disebut realitas
maya (virtual reality) misalnya, diperlakukan sebagai realitas faktual yang
teijadi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak negatifnya, penyakit stres sosial
meningkat berlipat hanya dalam beberapa tahun.
3.4.8 Media Massa Mampu Mengubah Sikap yang Lemah Menjadi Sikap yang
Lebih Kuat
Dalam teori jurnalitik perang
(war journalism) seperti yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan Palestina,
kematian adalah tidur panjang, bom bunuh diri adalah jihad suci, dan desingan
peluru adalah tasbih. Tak seorang pun orang Palestina takut mati. Tak seorang
pun orang Palesina takut perang. Mereka hanya takut, Allah murka kepada mereka
kar'ena mereka tak berbuat suatu apa terhadap kekejaman zionisme Israel. Bom
dan roket boleh saja menghancurkan Gaza, kata orang-orang Palestina. Tetapi api
kemerdekaan akan tetap menyala pada setiap dada bocah Palestina. Di situ ada
kuburan warga Palestina, di situ pula terdapat akar-akar nasionalisme. Hidup
dijajah Israel, bagi bangsa Palestina adalah moralitas paling ternistakan.
Sekarang, siapa berani berkata
pejuang Palestina lemah-lembek? Media seperti api dalam memompa semangat,
tekad, dan jiwa perlawanan orang-orang Palestina. Terus bergelora. Terus
berkobar. Maka, dalam setiap peperangan, satu mati seratus berdiri. Tak ada
kata takut dan menyerah kecuali bagi seorang pengkhianat. Melalui media dunia
semakin tahu, ternyata Israel salah besar, mengira dengan senjata Palestina
bakal tekuk lutut. Kenyataan yang ada justru sebaliknya. Sayangnya, masalah ini
tidak disadari Amerika. Padahal teori rambo Amerika sudah usang dan harus
dikubur dalam-dalam.
3.4.9 Media Massa dapat Berperan sebagai Pendidik
Tak perlu diragukan lagi mengenai
peran media m'assa dalam mendidik suatu bangsa. Sosiologi bahkan mengingatkan,
tak ada bangsa cerdas di dunia tanpa kehadiran media. Media telah menjadi
instrumen penting dalam tahap pencapaian peradaban suatu bangsa di mana pun.
Media adalah guru tanpa ruang kelas yang tidak pernah mengambil cuti atau
pensiun. Dalam psikologi perkembangan bahkan dikatakan, proses belajar-mengajar
anak-anak usia remaja dan di atasnya, lebih banyak dibentuk dan dimotivasi oleh
media daripada oleh orang tua mereka sendiri. Gejala semacam ini, dikupas
panjang lebar dalam teori belajar sosial (social learning theory). Intinya,
antara lain, media dapatmengambil peran guru dan orang tua di rumah dalam
proses belajar-mengajar atau transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilau kepada
khalayak yang heterogen dan anonim.
Pakar komunikasi Universitas
Indonesia (UI) Sasa Djuarsa Senjaya mencatat, dalam suatu studi mengenai
penggunaan televisi oleh anak, Brown (1976) menemukan arti penting media
tersebut yang bersifat multifungsi dan memberikan kepuasan bagi kebanyakan anak
pada umumnya, seperti mengajarkan tentang bagaimana orang la'in menjalani hidupnya,
atau memberikan suatu bahan pembicaraan dengan teman-temannya (Senjaya, 2007:
5.43). Jelaslah sudah, media, di tengah gelombang protes dan hujatan kepadanya
dari para pakar dan pengamat pendidikan sendiri, tetap menjalankan perannya
sebagai pendidik. Sudah menjadi takdir media, kalau tidak dipuji, pasti dicaci.
Bahkan dipuji dan dicaci itu, datang secara besamaan secara bertubi-tubi.
BAB IV
TEORI SISTEM PERS DAN KEBUTUHAN
MASYARAKAT
TEORI PERS
OTORITARIAN (AUTHORITARIAN PRESS THEORY)
Menurut Fred S. Siebert, Theodore
Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku karyanya Four Theories of the Press
(1963), teori pers otoritarian muncul pada zaman pencerahan (Renaisans) abad
17, setelah diternukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran
dianggap bukanlah hasil dari massa rakyat, melainkan dari sekelompok keci]
orang bijak yang berkedudukan, membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut
mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan.
Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Para penguasa waktn itu
menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang apa yang oleh
penguasa itu dianggap perlu diketahui rakyat dan tentang kebijakan-kebijakan
penguasa yang harus didukung (Siebert, Peterson, Schramm, 1986: 2).
Di
beberapa negara di dunia, teori pers otoritarian masih dipraktikkan sampai
sekarang. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan
pemerintahan absolut, atau kedua-duanya. Menurut Siebert, tujuan utama pers
otoritarian ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa,
serta mengabdi ke'pada negara. Dalam pers otoritarian, kritik terhadap
mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa merupakan sesuatu yang sangat
terlarang. Teori ini dibangun di atas dasar asumsi filosofis tentang hakikat
manusia; hakikat masyarakat dan negara; hubungan manusia dengan negara; serta
problema filsa‘fat dasar, hakikat pengetahuan, dan kebenaran (Siebert, 1986:
8-10).
Hakikat
manusia. Manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia tak dapat berdiri
sendiri. Dia harus hidup dalam masyarakat. Manusia baru berarti kalau dia hidup
dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Sebagai anggota
masyarakat, kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan bisa didapat
dengan lebih cepat (Rachmadi, 1990: 31). Apa artinya? Di mata teori ini,
seorang individu hanya punya arti apabila dia berbaur dan bergabung menjadi
anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, dia tak berarti apa-apa (nothing). Teori ini
sangat melebih-lebihkan kedudukan, peran, dan fungsi masyarakat sebagai sesuatu
yang memiliki makna kolektivitas. Kenyataan di lapangan tidaklah demikian.
Kalau masyarakat bisa memengaruhi
dan menggerakkan individu, individu pun sebaliknya bisa memengaruhi dan
menggerakkan masyarakat.
Hakikat
atau hubungan masyarakat dengan negara. Kelompok lebih penting daripada
individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting
adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi
masyarakat. Sedangkan dalam konteks hubungan manusia dengan negara, negara
adalah pusat segala kegiatan. Individu tidak penting. Lebih penting adalah
negara, karena merupakan tujuan akhir individu (Siebert, 1986: 32).~ Dalam
teori otoritarian, individu-individu memang diarahkan supaya mengabdi dan
tunduk kepada negara. Individu harus bisa berbuat, dan banyak berbuat, untuk
kepentingan serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Individu yang
tidak bisa berbuat untuk negara, apalagi yang tindakannya merugikan negara,
harus siap-siap menerima sanksi berat dari negara. Tragisnya lagi, dia tak bisa
dan tak memiliki hak sedikit pun untuk membela diri.
Hakikat
pengetahuan dan kebenaran. Jika asumsi tentang hakikat manusia dan masyarakat
serta kewenangan dan kekuasaan negara seperti itu, maka kita tidak sulit untuk
melacak mengenai sosok pengetahuan dan kebenaran di negara-negara yang
melaksanakan sistem pers otoritarian. Seperti dicatat oleh Rachmadi,
pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi itu
harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan
(Rachmadi, 1990: 32). Kekuasaan dan kebenaran berada di tangan gereja.
Gerejalah yang kemudian memutuskan, mana dan siapa yang benar, dan mana serta siapa
yang salah. Pemikiran Plato, Machiavelli, Hobbes, Hegel, serta Trotsky,
mengikuti paradigma itu. Para pengikutnya cukup banyak, termasuk misalnya Adolf
Hitler di Jerman. Hitler, sang Nazi itu, meramu teori kebenaran dengan
propaganda, sesuatu yang memang amat digandrunginya. Hitler berdalil: kebenaran
kita dan kebenaran bagi kita.
Bagi
Hitler, bukan kebenaran kalau kebenaran itu tidak sesuai dengan apa yang
diyakini J erman. Bukan kebenaran, kalau kebenaran itu bahkan bertentangan
dengan konsep dan pemikiran-pemikiran Hitler sendiri. Jadi, siapa pun di luar
Hitler, atau siapa pun di luar Nazi, harus tunduk patuh pada kebenaran Hitler
dan Nazi Jerman. Apa pandangan dan pola pikir semacam ini masih dianut pada
dekade ini di dunia? Di negara-negara komunis, negara-negara junta militer,
negara-negara yang melaksanakan paham absolutisme kekuasaan atau absolutisme
kerajaan, teori Hitler masih dijadikan rujukan dan doktrin kaku kenegaraan.
Artinya, tak ada pilihan bagi rakyat kecuali mengikuti dan melaksanakannya.
TEORI PERS LIBERTARIAN
(LIBERTARIAN PRESS THEORY)
Teori ini muncul dari filasafat
umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi manusia, serta berbagai karya
tulisan Milton, Locke, dan Mill. Teori libertarian semula berkembang di Inggris
dan digunakan setelah tahun 1688. Tujuan utama pers libertarian ialah memberi
informasi, menghibur, dan transaksi bisnis, untuk membantu menemukan kebenaran
serta mengawasi pemerintah yang sedang berkuasa. Siapa saja yang memiliki
kemampuan ekonomi atau modal yang cukup, dibolehkan mendirikan penerbitan pers.
Menurut
Siebert, tujuan media dalam pers libertarian adalah untuk menolong menemukan
kebenaran, membantu penyelesaian masalahmasalah politik dan sosial dengan
mengetengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan
keputusan. Karakteristik yang esensial dari proses ini adalah kebebasan media
dari kontrol dan dominasi pemerintah. Pers diberi tugas menjaga jangan sampai
pemerintah melangkah ke luar garis. Dalam istilah Thomas Jefferson, pers harus
melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang tidak bisa dilakukan oleh lembaga
lainnya. Penganut libertarian menentang monopoli pemerintah dalam jalur-jalur
komunikasi. Mereka mendebat, bahwa setiap orang, warga negara sendiri atau
asing, harus mempunyai kesempatan yang tidak dibatasi untuk memiliki dan
mengoperasikan suatu unit komunikasi massa. Lapangannya terbuka untuk semua
orang (Siebert, 1990: 57-58).
Apa
saja yang dilarang dalam pers libertarian? Penghinaan, kecabulan, kerendahan
moral, dan pengkhianatan pada masa perang, merupakan sesuatu yang sangat
terlarang. Karena itu pers dituntut untuk profesional dalam segala hal. Pers
tidak bisa dikelola secara asal-asalan, meskipun kepemilikannya boleh individu.
Dalam filsafat libertarian, media diberi kebebasan seluas-luasnya untuk
memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu. Tetapi media pun dituntut untuk
bertanggung jawab sebesar - besarnya atas semua apa yang telah dilakukan jika
kemudian menimbulkan kerugian bagi individu dan masyarakat.
Hakikat
manusia. Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak alamiah
untuk mengejar kebenaran dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim
kebebasan menyatakan pendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat
kontrol dari pemerintah. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang
dikendalikan oleh rasio atau akal. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu
merupakan tnjuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Oleh karena kemampuan
yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban
dan sekaligus sebagai penggeraknya (Rachmadi, 1990: 34).
Hakikat
pengetahuan dan kebenaran. Menurut filsafat libertarian, hakikat kebenaran dan
pengetahuan, bukanlah sesuatu yang datang dari raja, penguasa, bahkan gereja
dan pendeta. Kebenaran. dan pengetahuan bukanlah hadiah. Kebenaran dan
pengetahuan harus djcari sendiri, diperjuangkan, dengan menggunakan kekuatan
rasio atau akal sehat yang telah diberikan oleh Tuhan. Manusia adalah makhluk
yang berpikir. J adi, gunakan kekuatan itu secara optimal. Tak ada pilihan
lain. Karya-karya dan kebebasan inividu, dengan demikian mendapat tempat utama
di negara-negara penganut libertarian seperti Amerika.
Etika
profesi dan moralitas. Di negara-negara penganut libertarian, media memang
memiliki kebebasan seluas-luasnya dalam mencari kebenaran dan membantu
masyarakat mencapai cita-citanya. T etapi bukan berarti kebebasan itu dapat
digunakan secara semena-mena. Ada sejumlah rambu yang harus dipatuhi. Jika
tidak, media akan berhadapan dengan hukum. Media akan memperoleh hukuman
menyakitkan secara pidana, lebih-lebih lagi secara perdata. Moralitas
masyarakat dan etika profesi, adalah norma yang mesti dihargai dan dijunjung
tinggi. Moralitas masyarakat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak
baik, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang termasuk kecabulan
dan penghinaan, mana yang termasuk hak-hak privasi dan mana hak-hak publik.
Semua itu mesti dijadikan rujukan oleh media. Agar tak terkena sanksi
sosiologis dan sanksi yuridis, mediaselayaknya memegang teguh etika dan kaidah
profesi.
Teori
libertarian, secara tersirat mengasumsikan individu-individu atau masyarakat
terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang memiliki tingkat intelektualitas,
kapabilitas, dan tingkat integritas cukup tinggi. Kelompok sosial yang matang
dan dewasa, diyakini tidak berbuat sesuatu yang menyakiti orang lain atau
kelompok lain, atau bahkan menyakiti diri sendiri. Secara sosiologis, kelompok
sosial yang memiliki kematangan intelektualitas dan integritas, pasti alctif
melakukan interaksi sosial. Lebih jauh lagi, pasti aktif pula memberikan warna
dan solusi terhadap perubahan sosial yang terjadi pada mayarakat bangsanya. Ia
tidak akan pernah tinggal diam. Dalam metode solusinya itu, ia akan menghindari
fn'ksi dan konflik secara fisik. Ia justru akan mengajak semua potensi yang ada
untuk mengembangkan konsensus dan harmoni. Sebagai contoh, lihatlah, pertikaian
dan kerusuhan antarsuku, jarang teijadi di Amerika Serikat, tetapi tak
terhitung banyaknya di negara-negara kawasan Afrika.
TEORI PERS KOMUNIS
SOVIET (SOVIET COMMUNISM PRESS THEORY)
Lenin pernah berkata, pers
haruslah menjadi suatu collective propagandist, collective agitator, dan
collective organizer, tulis Rivers dan Schramm dalam Four Concepts of Mass
Communications (1960: 42). Menjadi penggerak propaganda kolektif, agitator
kolektif, dan organisator kolektif, berarti menempatkan media hanya sebagai
corong penguasa, sebaga'i pengeras suara negara (state speakers). Media hanya
berfungsi sebagai kaki tangan rezim penguasa. Tetapi suka atau tidak suka,
paradigma inilah yang dianut di negara-negara komunis. Memang benar, Uni Soviet
sudah runtuh dua dekade silam (1991). Tetapi sistem komunis pada negara-negara
bekas Uni Soviet masih tetap bertahan meskipun kini lebih longga'r, atau tidak
seketat dan seabsolut dulu.
J
ika dilacak sejarahnya, teori media massa komunis Soviet berkembang pada awal
abad 20. Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah
(partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus
tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media
masa pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitu sebagai alat dari
partai komunis yang berkuasa. Kritik diizinkan dalam media massa, tetapi kritik
terhadap dasar ideologi dilarang. Media massa melakukan apa yang terbaik bagi
negara dan partai, serta apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan
partai. Tindakan media massa mendukung komunis dan negara sosialis merupakan
perbuatan moral. Sedangkan pebuatan yang membahayakan atau merintangi
pertumbuhan komunis adalah perbuatan immoral (Rachmadi, 1990: 41-42).
Media
milik negara. Perbedaan utama teori media komunis Soviet dengan teori-teori
yang lain: media massa adalah milik negara, dan media yang dikontrol sangat
ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara. Pemikiran Karl Marx,
Lenin, Stalin, Hegel, menjadi dasar filsafat totalitarianisme ini. Seperti
dikutip Schramm dalam nada yang cukup sinis, pers komunis bagi Marx adalah
hanya alat imtuk menafsirkan doktrin, melaksanakan kebijakan-kebijakan kelas
pekerja atau partai militan. Dalam banyak doktrin yang oleh pengikutnya
diucapkan dengan yakin dan bersemangat, Marx praktis tidak bicara tentang
penggunaan komunikasi massa (Schramm, 1986: 127-128).
Sangat
tertutup. Berbeda dengan media liberal yang sangat terbuka, media massa sistem
komunis justru sangat tertutup. Saking tertutupnya, rakyat tidak tahu apa yang
sedang dilakukan pemimpin partai atau penguasa. Akibatnya, ketidakmunculan
pemimpin partai satu atau dua pekan di depan publik, atau ketidakmunculan pada
peristiwa penting kenegaraan seperti hari jadi partai, sering menjadi isu dan
rumors besar yang terus bertiup: jangan-jangan pemimpin partai sudah mati!
Tetapi kalau mati, mengapa tak diumumkan melalui media? Karena media tak
berdaya dan dikendalikan partai, sementara partai sangat panjang birokrasinya,
maka kalaupun suatu saat media memiliki kesempatan menyiarkan berita kematian
pemimpin partai, berita itu sudah sangat basi. Masalahnya, sang pemimpin partai
sudah mati seminggu lalu! Itulah misalnya yang terjadi di Korea Utara dan Kuba
dari
dulu hingga dewasa ini. ' Apa pun kata dunia, media massa komunisme tak
ditakdirkan untuk memiliki banyak pilihan kecuali tunduk kepada.kehendak partai.
Sebagai bukti, perhatikan saja berita harian Pravda edisi 7 Juli 1956: “Partai
Komunis selama ini dan akan terns selanjutnya menjadi induk akal dan pikiran,
juru bicara, pemimpin, dan pengatur rakyat dalam keseluruhan perjuangan mereka
untuk komunisme” (Schramm, 1986: 129). Jika ditatap secara sosiologis, apakah
ini berarti dominasi negara atas individu-individu dianggap sebagai bentuk
kekejaman ataukah jnstru merupakan secercah kebahagiaan?
TEORI PERS TANGGUNG
JAWAB SOSIAL (SOCIAL RESPONSIBILITY PRESS THEORY)
Teori
pers tanggung jawab sosial tumbuh di Amerika Serikat pada abad 2o. Teori ini
berkembang setelah dipengaruhi artikel WE Hocking, para pelaksana media,
kode-kode etik media, dan Komisi Kebebasan Pers. Teori pers tanggung jawab
sosial bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, melakukan transaksi
bisnis, dan yang utama adalah untuk mengangkat kontlik sampai tingkat diskusi
melalui pasar ide yang bebas dan bertanggung jawab. Media tanggung jawab sosial
diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk oleh masyarakat serta oleh berbagai
etika yang dibuat oleh kaum profesional.
Pada
teori tanggung jawab sosial, campur tangan serius terhadap hakhak individu yang
dilindungi oleh undang-undang dan terhadap kepentingan vital strategis
masyarakat, dianggap sebagai tindakan terlarang. Media massa harus menjauhinya.
Media bisa dimiliki oleh perorangan, tetapi tak berarti perorangan bisa begitu
saja mendiktekan keinginannya melalui media. Media harus tunduk pada
hukum-hukum media yang sudah diangap baku. Sebagai pemilik fungsi kontrol
sosial misalnya, media akan digugat seandainya tidak menyuarakan kebenaran,
menyampaikan kritik, dan membela kepentingan umum.
Menurut
Theodore Peterson, pada dasarnya fungsi pers di bawah teori tanggung jawab
sosial sama dengan fungsi pers dalam teori libertarian. Keenam fungsi itu
meliputi:
1. Melayani sistem politik dengan
menyediakan informasi, diskusi, dan perbedaan tentang masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat,
2. Memberi penerangan kepada
masyarakat sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri,
3. Menjadi penjaga hak-hak individu
dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah,
4. Melayani sistem ekonomi dengan
mempertemukan pembeli dengan penjual barang atau jasa melalui medium
periklanan,
5. Menyediakan Hiburan
6. Mengusahakan sendiri biaya
finansial sehingga bebas dari tekanan individu-individu yang memiliki
kepentingan tertentu
Teori
tanggung jawab sosial, masih kata Peterson, secara umum menerima enam fungsi
tersebut, tetapi menyatakan tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan
pelaksana media tentang fungsi itu, serta cara media melaksanakan fungsi
dimaksud. Teori tanggung jawab sosial menerima peran pers dalam melayani sistem
politik, memberi penerangan kepada masyarakat dan menjaga hak-hak individu.
Tetapi teori ini menyatakan bahwa selama ini media tidak menjalankan fungsi itu
secara sempurna. Teori ini menerima peran media dalam melayani sistem ekonomi,
tetapi tidak menghendaki diprioritaskannya fungsi itu melebihi fungsi mendukung
proses demokrasi atau memberikan penerangan kepada masyarakat. Teori tanggung
jawab sosial menerima peran media dalam menyajikan hiburan, dengan syarat
hiburan itu harus "baik” (Peterson, 1986: 84).
Untuk
itu, kata Peterson lebih lanjut, Komisi Kebebasan Pers Amerika, menetapkan lima
syarat yang wajib dipatuhi oleh media. Pertama, media dituntut untuk menyajikan
laporan tentang kejadjan sehari-hari secara mendalam dan cerdas dalam suatu
konteks yang memberi arti kepada kejadian tersebut. Ini menuntut pets untuk
selalu akurat, tidak boleh berbohong. Ini juga berarti, kata komisi, media
harus menyatakan fakta sebagai fakta dan pendapat sebagai pendapat.
Kedua,
media harus menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik. Ini berarti
lembaga~lembaga komunikasi massa yang besar itu hams menganggap diri mereka
sebagai kurir namun bagi diskusi di kalangan masyarakat. Itu tidak berarti
bahwa ada hukum yang memaksa media itu menerima semua orang yang ingin memakairuangnya,
atau bahwa seseorang dapat menuntut, sebagai haknya, media itu menyebarkan ide-idenya.
Ketiga,
media hendaknya menonjolkan sebuah gambaran representatif dari
kelompok-kelompok unsur pokok dalam masyarakat. Kode etik film. radio, dan
televisi, semuanya mengandung pernyataan yang mendomng media untuk menghargai
rasa kebangsaan dan sensitivitas kelompokkelompok suku dan agama.
Keempat,
media hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan-tujuan
dan nilai-nilai masyarakat. Sekali lagi, para praktisi media mungkin menerima
syarat itu dengan sedikit saja keragu-raguan.
Kelima,
media hendaknya menyajikan kesempatan penuh untuk memperoleh berita
sehari-hari. Warga negara sekarang ini menuntut lebih banyak informasi barn
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, sehingga hams ada distribusi berita
dan pendapat yang luas. Media tentu saja setuju (Peterson, 1986: 101-104).
Teori
pers tanggung jawab sosial, muncul sebagai protes terhadap kekebasan mutlak
yang dikembangkan dan diagung-agungkan teori libertarian. Akibatnya, terjadi
kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan
media harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini sering
dianggap sebagai suatu bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya yang
menganggap bahwa tanggung jawab media terhadap masyarakat sangat kurang. Hal
ini ditekankan sebagai orientasi yang utama dari media. Penekanan tanggung
jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan
terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum (Rachmadi, 1990:
37-38).
Perbedaan
utama dengan teori lainnya, teori pers tanggung jawab sosial ialah media hams
menerima tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Media memiliki tanggung jawab
sosial dan tanggung jawab moral. Media tak memiliki kekebasan mutlak. Setiap
kebebasan yang digunakan oleh media pada akhirnya harus dikembalikan dan harus
bisa diterima oleh masyarakat. Secara sosiologis, media merupakan bagian dari
institusi sosial yang ada dengan tugas-tugas dan peran spesiiik. Ia senantiasa
melakukan interaksi sosial. Ada proses saling memengaruhi secara timbal balik.
Dengan demikian, tidak bisa, tidak boleh, dan tidak selayaknya media keluar
dari nilai-nilai serta kepentingan sosial masyarakat.
TEORI MEDIA PEMBANGUNAN
(DEVELOPMENT MEDIA THEORY)
Teori media pembangunan muncul sebagai
jawaban terhadap realitas faktual yang terjadi di negara-negara sedang
berkembang pada dekade 1970-an. Ditemukan fakta, negara berkembang lebih banyak
berkutat pada berbagai masalah kebutuhan pokok masyarakat. seperti sandang,
pangan, sosial ekonomi, dan sangat banyaknya jumlah penduduk yang belum dapat
menikmati pendidikan dasar. Tingkat partisipasi dan melek media (media
leteracy) sangat rendah. Jumlah penduduk nyaris tak terkendali, sementara
infrasruktur dan dunia industri masih tumbuh tertatih-tatih.
Peranan media pembangunan,
menurut Schramm, adalah sebagai agen perubahan (agent of change). Letak
peranannya adalah membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional
ke masyarakat modern. Media massa berperan tidak hanya dalam penyebaran
informasi, tetapi lebih jauh dapat diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan
pendidikan masyarakat. Media pembangunan berperan menjadi salah satu penghubung
yang kreatif antara pemerintah dan masyarakat. Media massa menyampaikan dan
menerangkan rencana pembangunan dan kebijakan pembangunan, sehingga seluruh
masyarakat mengetahui serta memahami seluruh masalah pembangunan. Di sini,
media massa diharapkan tampil sebagai inovator dan motivator pembangunan
(Rachmadi, 1990: 87).
Dalam catatan McQuail, titik tolak
teori pembangunan ialah adanya fakta tentang beberapa kondisi umum di
negara-negara sedang bekembang. Pertama, kenyataan tidak adanya beberapa
kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa:
infrastruktur komunikasi; keterampilan profesional; sumber daya produksi dan
budaya; khalayak yang tersedia, Kedua, adalah munculnya sikap bergantung pada
dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut prodnk teknologi,
keterampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat di negara-negara sedang berkembang
sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, .politik, dan sosial sebagai
tugas utama nasional. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang
berkembang menyadari keserupaan jatidiri dan kepentingan mereka dalam politik
internasional (Quail, 1987: 119).
Lantas apa yang dimaksud dengan
pembangunan? Menurut Everett M. Rogers, pembangunan secara sederhana adalah
perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi' yang diputuskan
sebagai kehendak dari suatu bangsa (Rogers, 1985: 2). Dalam buku yang
dieditorinya, Communication and Development, Critical Perspectives (1976),
Rogers mengupas secara tajam teori-teori dan paradigma pembangunan lama versi
Barat berikut kelemahan-kelemahannya yang sangat mendasar. Ia kemudian sampai
kepada kesimpulan, ternyata musih banyak terdapat jalan alternatif menuju
pembangunan. Ia antara lain menyebut dua unsur utama dalam konsepsi jalan
alternatif itu.
Pertama, pemerataan penyebaran
informasi dan keuntungan sosial ekonorni. Penekanan baru dalam pembangunan ini
membawa kepada pemikiran bahwa penduduk desa dan orang kota yang miskin
hendaknya menjadi sasaran utama dalam program pembangunan. Lebih umum lagi,
bahwa upaya untuk memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi dengan cara
menggerakkan sektor-sektor yang tertinggal, merupakan prioritas program di
banyak negara.
Kedua, partisipasi masyarakat
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan biasanya disertai dengan
desentralisasi kegiatan-kegiatan tertentu di perdesaan. Pembangunan tidak lagi
sekadar fungsi dari apa yang dilakukan pemerintah nasional terhadap masyarakat
di perdesaan, meskipun hams diakui bahwa mungkin sejumlah bantuan pemerintah
Juga diperlukan bagi pembangunan daerah setempat (Rogers, 1985: 160).
McQuaiI, melengkapi dan
menyempurnakan bangunan teori media pembangunan. Menurut McQuail, paling tidak
terdapat enam prinsip utama teori ini sebagai landasan teoretis dan praktis
dalarn aplikasinya di lapangan:
1.
Media
selayaknya dibatasi menerima dan melaksanakan tugas pembangunan sejalan dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan secara nasional.
2.
Kebebasan
media selayaknya dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi clan kebutuhan
pembangunan masyarakat.
3.
Media
perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
4.
Media
hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang
lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
5.
Para
wartawan den karyawan media lainnya memiliki tanggungjawab serta kebebasan
daIam tugas mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya.
6.
Bagi
kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak dan dapat dibenarkan untuk
campur tangan den meiakukan pengendalian Iangsung dalam, atau membatasi,
pengoperasian media, sarana penyensoran, serta pemberian subsidi yang diperlukan
(McQuail, 1987: 120).
Tidak seperti pada teori
libertarian, pada teori media pembangunan, media ditekankan untuk lebih memikul
tangung jawab sosial lebih besar terhadap masyarakat dan negara. Berita,
laporan, ulasan, tulisan, dapat dengan leluasa disajikan, tetapi harus dalam
kerangka memberikan pencerahan dan percepatan ekonomi, atau sesuatu yang masuk
dalam kategori “dibutuhkan oleh pembangunan”. Jika di luar kategori itu,
berbagai berita, informasi, ulasan dan tulisan yang sifatnya menumbuhkan konsumerisme,
gaya hidup mewah, pola borjuasi, media selayaknya tahu diri. Media tak boleh
tergoda, karena secara moral bisa divonis sebagai anti-pembangunan, atau bahkan
dicap sebagai kaki tangan kapitalisme.
TEORI MEDIA DEMOKRATIK-PARTISIPAN
(PARTICIPANT-DEMOCRATIC MEDIA THEORY)
Sejujurnya,
teori ini, seperti juga diakui oleh Munail sendiri, belum banyak dikenal. Boleh
dikatakan teori ini masih asing. Tak heran jika beberapa pihak meragukan
keabsahan teori ini Dalam pandangan McQuail, terlepas dari berbagai catatan
tersebut, teori ini perlu diidentifikasi secara terpisah. Seperti halnya
kebanyakan teori, teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan
pengalaman aktual sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga
media. Stimulus utama teori ini, kata Quail, adalah reaksi terhadap
komersialisasi dan pemonopolian media yang dimiliki secara pribadi sentralisme
dan birokratisasi lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma
tanggung jawab sosial (McQuail, 1987: 121).
Istilah demokratik-partisipan,
kata Quail lebih lanjut, menunjukkan sikap kecewa terhadap partai politik dan
sistem demokrasi parlementer yang telah tercabut dari akar-akar budayanya yang
asli. Titik sentral teori ini terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi
penerima dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas
informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana
informasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil, kelompok
kepentingan subbudaya.
Teori ini menolak keharusan
adanya media yang seragam, desentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan
dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman,
skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dan
penerima, hubungan komunikasi herizontal pada semua tingkat masyarakat, serta
interaksi. Dalam teori ini terdapat beberapa campuran unsur teoretis seperti
libertarian, utopian, egalitarian, sosialisme dan lokalisme. Kandungan prinsip
teori media demokratik-partisipan, menurut Quail sebagai berikut:
1.
Warga
negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media
(hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan
kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
2.
Organisasi
dan isi media selayaknya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan
atau pengendalian birokrasi negara.
3.
Media
selayaknya ada terutama untuk khalayaknya dan bukan untuk organisasi media,
para ahli, atau nasabah media tersebut.
4.
Kelompok,
organisasi, dan masyarakat lokal selayaknya memiliki media sendiri.
5.
Bentuk
media yang berskala kecil, interaktif, dan partisipatif lebih baik daripada
media berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
6.
Kebutuhan
sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa tidak cukup h‘anya
diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan
berbagai lembaga utamanya.
7.
Komunikasi
terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli (McQuail, 1987: 121-122).
Sebagai teori normatif, teori
media demokratif-partisipan, menunjukkan pemihakan secara eksplisit dan tajam
terhadap apa yang disebut dalam budaya dan politik Jawa, sebagai wong cilik
(rakyat jelata). Teori ini secara tegas menolak kapitalisme media. Media
demokratik-partisipan sangat tidak menyukai apa yang kini populer dengan
istilah industri media. Artinya, media dijadikan industri yang padat modal dan
padat teknologi dengan muatan kapitalisme yang jelas-jelas meracuni tata nilai
sosial budaya masyarakat wong cilik. industri,seperti diketahui, alih-alih
menyejahterakan wong cilik, malah meminggirkan mereka. Argumen yang diajukan
pastilah klasik: wong cilik tak berpendidikan dan tak berkeahlian. Industri,
hanya membutuhkan orang-orang berpendidikan dengan tingkat keahlian sangat
beragam.
Teori demokratik-partisipan,
melihat individu wong cilik sebagai subjek warga negara yang memiliki hak-hak
sosial politik yang sama dengan kelompok-kelompok mapan (establishment groups).
Rakyat jelata, orang kecil, orang kampung, udik, berpendapatan rendah, penghuni
permukiman kumuh, perlu didengar dan diakui suara serta aspirasi dan
kepentingan-kepentingan sosial budaya dan politiknya. Media, tidak boleh jauh
dari mereka. Media harus akrab dan selalu berpihak kepada perjuangan mereka.
Salah satu solusinya, menurut teori ini, media komunitas (community media)
perlu lebih banyak didirikan di kantung-kantung permukiman wong cilik.
Apa yang disebut media pun,
menurut teori ini, tidak harus modern, sarat teknologi, gemerlap, dengan jumlah
pembaca, pendengar, atau pemirsa ratusan ribu atau jutaan orang. Media
demokratik-partisipan, sesuai dengan namanya, adalah seperti apa yang bisa
dilakukan oleh orang lokal, orang kampung, orang miskin keahlian dan pengalamam
Teori ini memang melihat media bukan pada bentuknya melainkan pada
substansinya: fungsinya. Meningkatnya partisipasi politik orang kecil sefta
pola-pikir dan perilaku demokratis masyarakat bawah, adalah salah satu ukuran
sukses media demokratik-partisipan. Suara orang kecil tidak boleh dipinggirkan!
Bukankah dalam literatur ilmu politik terkenal pameo vox populi vox dei: suara
rakyat suara Tuhan? Jadi, mengingkari eksistensi dan hak-hak serta aspirasi
orang kecil, sama saja dengan mengingkari Tuhan. Coba, siapa berani?
KOMUNIKASI MASSA
DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MASYARAKAT
Sosiologi meneropong, apa
sebenarnya yang dilakukan individu atau lebih jauh iagi masyarakat, terhadap
media? Apa pula yang diinginkan individu dari media? Begitu pula sebaliknya.
Bagaimana media bisa memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat yang heteroge'n dan
anonim. Sebenarnya, apakah media yang membutuhkan masyarakat, ataukah
masyarakat yang membutuhkan media? Jika kedua belah pihak saling membutuhkan,
pola interaksi sosiai seperti apa yang dipilih dan dikembangkan? Sebagai
contoh, berbagai berita, laporan, ulasan dan tulisan yang disajikan media,
merupakan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan media itu sendiri?
Disadari, pada satu sisi media
merupakan lembaga atau institusi sosial yang bisa disebut sejajar dengan
institusi-institusi sosial lainnya yang ada dalam masyarakat. Media bukanlah
institusi elitis yang eksklusif, dengan seperangkat hak istimewa yang
dipunyainya. Letak perbedaan terutama hanya pada fungsi-fungsinya, seperti pada
fungsi pengawasan lingkungan dan fungsi kontrol sosial (watchdog function).
Pada sisi yang lain, media juga tak bisa menyembunyikan identitas dirinya
sebagai institusi ekonomi, contohnya media televisi yang tampil sebagai pelaku
industri hiburan dengan modal sangat besar. Di sini, berarti media berperan
sebagai lembaga bisnis yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Ketika menjalankan dua peran
sekaligus saat mengejar tujuan sosial (idealisme) dan mencapai target ekonomi
(komersialisme), maka secara teoretis dipastikan media tak selamanya berada
pada titik keseimbahgan. Ada saatnya agak ke condong ke kiri (idealisme), ada
saatnya pula berat ke kanan (komersialisme). Betapapun demikian, kita bisa
menganalisis peran-peran media dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu,
paling tidak terdapat empat teori yang bisa memberi penjelasan terperinci,
yaitu teori belajar sosial (social learning theory), teori model difusi inovasi
(diffusion of innovations model theory), teori model agenda setting (agenda
setting model theory), dan teori kegunaan dan pemuasan kebutuhan khalayak (uses
and graticications model theory).
Teori
Belajar Sosial
Teori belajar sosial dikembangkan
oleh Albert Bandura. Teori ini berasumsi, media massa mempakan agen sosialisasi
yang utama selain keluarga, guru, sahabat karib, dan sekolah. Artinya, dengan
fungsi dan kemampuannya menyeleksi berita dan informasi, ulasan dan tulisan,
serta menyajikan serta memublikasikannya secara secara cepat, luas, dan
serempak kepada masyarakat yang heterogen serta anonim, media massa dapat
berperan sebagai guru yang baik dan profesional. Media tak bebeda dengan ibu
dan bapak gum di ruang kelas yang mengajarkan membaca menulis dan berhitung.
serta transfer ilmu pengetahuan, teknologi, nilai etika dan moralitas kepada
para anak didiknya.
Teori belajar sosial secara
tradisional menyatakan bahwa belajar terjadi dengan cara menunjukkan tanggapan
(response) dan menyelami efek-efek yang timbul. Penentu utama dalam belajar,
kata seorang pakar komunikasi terkemuka dari Universitas Padjadjaran Bandung,
adalah peneguhan (reinforcement). Tanggapan akan diulangi lagi jika organisme
mendapat ganjaran (reward). Tanggapan tidak akan diulangi lagi kalau organisme
mendapat hukuman (punishment) atau bila tanggapan tidak memimpinnya ke arah
tujuan yang dikehendaki. J adi, perilaku diatur secara eksternal oleh kondisi
stimulus yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi peneguhan (Effendy, 1993: 281).
Secara kategoris, teori belajar
sosial terbagi ke dalam empat tahap atau Iangkah, yaitu proses atensi atau
perhatian (attentional process), tahap proses retensi (retention process),
tahap reproduksi motor (motor reproducion process), dan terakhir adalah proses
motivasional (motivational process). Keempat langkah atau tahap ini, secara
operasional menggambarkan peta pexjalanan yang harus dilalui seseorang dalam
aplikasi teori belajar sosial melalui media massa. Berikut penjelasannya secara
singkat:
Tahap proses atensi atau
perhatian
Dalam proses belajar sosial,
langkah pertama‘ adalah kita memberi perhatian kepada suatu peristiwa, dengan
asumsi kita merasa tertarik dengan peristiwa tersebut. Perhatian kepada
peristiwa ditentukan oleh karakteristik peristiwa itu dan karakteristik
pengamat. Ciri-ciri pengamat yang menentukan perhatian adalah antara lain
kemampun seseorang dalam proses informasi, usia, tingkat intelegensia, daya
persepsi, dan taraf emosional. Orang yang emosional, misalnya marah atau takut,
akan lebih atentif terhadap suatu rangsangan tertentu.
Tahap proses retensi atau
pengingatan
Pada proses retensi atau
pengingatan, peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian dimasukkan ke dalam
benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imajinasional sehingga menjadi
bongkahan ingatan (memory). Lambang secara verbal, berarti deretan huruf atau
kata, kalimat atau paragraf, yang kemudian melahirkan suatu pengertian atau
konsep. Lambang verbal adalah bahasa. Bahasa termasuk simbol yang paling banyak
digunakan oleh masyarakat manusia dan paling mudah dipelajari atau diajarkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain lambang verbal, kita juga
mengenal lambang visual. Lambang visual adalah gambar, lukisan, foto, silhuet,
atau sesuatu yang tak dituliskan.
Tahap proses reproduksi motor
Pada tahap reproduksi motor,
hasil ingatan tadi akan meningkat dan bembah menjadi bentuk perilaku. Kemampuan
kognitif dan kemampuan motorik pada langkah ini berperan panting. Réproduksi
yang saksama biasanya merupakan hasil proses uji coba berkali-kali (trial and
error), dan di sini umpan balik memiliki pengaruh cukup berarti (significant).
Perilaku terbentuk karena hasil pengamatan, sesuatu yang bisa dipelajari.
Perilaku negatif secara kategoris akan ditinggalkan. Perilaku positif akan
terns dilakukan dan diteguhkan. Ini hanya mungkin apabila proses umpan balik
(feedback) berjalan secara fungsional. Artinya, umpan balik akan menentukan
bentuk sikap dan perilaku berikutnya.
Tahap proses motivasional
Pada tahap motivasional, perilaku
akan berwujud apabila terdapat nilai peneguhan. Peneguhan dapat berbentuk
ganjaran eksternal, pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran
disebabkan perilaku yang sama, serta ganjaran internal, misalnya rasa puas diri
(Bandura, 1977: 209210). Apa yang dimaksud dengan ganjaran eksternal? Ganjaran
eksternal, berarti pengertian, dukungan, pujian, simpati dari pihak atau orang
lain sebagai tanda persetujuan karena perbuatan yang kita lakukan tidaklah
bersifat negatif. Bahkan boleh jadi bersifat positif dan memiliki cukup
pengaruh terhadap peningkatan kualitas lingkungan sosial di sekitarnya. Dalam
perspektif sosiologi, proses kontak komunikasi dan interaksi sosial tidak
teljadi dan berlanjut, seandainya salah satu pihak menarik diri. Penarikan diri
bisa terjadi karena salah satu pihak memberikan tanggapan atau umpan balik
negatif. Boleh jadi terjadi karena salah persepsi (missperception), salah
pengertian (missunderstanding), yang akhirnya menjurus kepada kesalahan dan
kegagalan komunikasi (misscommunication atau communication failure). Umpan
balik yang sifatnya motivasional, menurut teori komunikasi akan melahirkan pola
dan frekuensi komunikasi yang produktif. Ada banyak basil yang dicapai. Inilah
yang disebut dengan efektivitas clan elisiensi komunikasi.
Teori belajar sosial Bandura,
seperti juga teori normatif yang Iain, tak luput dari berbagai kritikan tajam.
Teori ini dianggap terlalu menyederhanakan masalah terutama yang berkaitan
dengan aspak-aspek kejiwaan dan keberadaan manusia sebagai makhluk sosioiogis
yang berakal (human being). Teori ini menganggap manusia sebagai robot yang
berjalan secara linear dan dikontrol sepenuhnya oleh lingkungan.
Tanggapan-tanggapan, misalnya, dipelajari secara otomatis dan tanpa disadari.
Kecuali itu, proses belajar-belajar dianggap sebagai proses mekanistis.
Kita di sini tak ingin terlibat
dalam perdebatan akademik, apakah teori belajar sosial Bandura layak
dilanjutkan ataukah semestinya dipeti-eskan. Cukuplah ditegaskan, teori ini
telah memberikan kontribusi bera-rti dalam pemetaan sosiologis mengenai peran-peran
media terhadap masyarakat. Pada masyarakat semi modern dan modern misalnya,
diakui semakin tinggi sikap bergantung masyarakat pada media massa. Sejam saja
tanpa menonton televisi, sehari saja tanpa mengikuti siaran radio, atau dua
hari saja tanpa membaca surat kabar atau majalah, orang-orang kota yang disebut
dan mengklaim diri “modern", akan resah dan merasa serba kehilangan.
Hidupnya seperti hampa. Mereka seperti terisolasi dari dunia luar dan gagap.
Melalui teori belajar sosial,
khalayak menyerap banyak pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan tata nilai
sosial serta kaidah-kaidah moral dari media massa untuk dijadikan rujukan dan
pegangan tindakan ke depan. Asumsinya, khalayak adalah orang yang aktif,
selektif, kritis, berpikir logis, serta dapat mengembangkan kerangka
“analitisnya disesuaikan dengan tingkat dan kebutuhan dirinya sebagai individu
yang tercerahkan karena sering berhubungan dengan media (high media exposure).
Melalui teori ini, para ahli pendidikan dan ahli media, tertantang untuk terns
menyempurnakan metode dan kualitas materi isi pengajaran melalui media massa.
Bukankah diyakini bahwa media memiliki nilai daya tarik tinggi di mata
khalayak? Kembali kepada dalil McLuhan, media saja sudah menjadi pesan. J adi
apalagi isinya, pasti menjanjikan banyak hal.
Teori Model Difusi lnovasi
Teori ini dikembangkan oleh
Everett M. Rogers melalui dua buku karyanya, Diffusion of Innovation (1983) dan
Communication Technology, the New Media in Society (1973). Selain itu, bersama
Floyd Shoemaker, sebelumnya in juga menulis buku Communication of Innovations
(1971). Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan
penyebaran pesanpesan sebagai ide baru. Di dalam pesan itu, terdapat
ketermasaan (newness) yang memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut
ketidakpastian (uncertainty). Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan dapat
dilmrangi dengan jalan memperoleh informasi. Menurut Rogers, difusi adalah
suatu proses ketika suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu di antara
para anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide, karya, atau objek
yang dianggap barn oleh seseorang (Effendy, 1993: 283-284).
Pakar komunikasi yang lain
mendefinisikan difusi sebagai suatu proses komunikasi yang menetapkan
titik-titik tertentu dalam penyebaran informasi melalui ruang dan waktu dari
satu agen ke agen yang lain. Salah satu saluran komunikasi yang dianggap
panting dalam proses difusi adalah media massa. Penelitian yang menggunakan
model difusi nformasi pada umumnya merupakan studi korelasional karena
mengambil sampel dari masyarakat. Studi ini pemah merupakan “paradigma” yang
paling populer baik di kalangan ilmu komunikasi maupun ilmu-ilmu sosial yang
lain (Rakhmat, 2000: 71-73).
Rogers menyebutkan, terdapat lima
ciri inovasi yang akan menentukan tingkat adopsi: keuntungan relatif (relative
advantage), kesesuaian (compabilily), kerumitan (complexity), kemungkinan untuk
dicoba (trialability), dan kemungkinan untuk diamati (observability).
Keuntungan relatif adalah suatu derajat ketika inovasi dirasakan lebih baik
daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut
dapat diukur secara ekonomis. Tetapi selain itu, faktor prestasi sosial,
kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur panting. Kesesuaian adalah suatu
derajat ketika inovasi dirasakan konsisten dengan nilai~nilai yang berlaku,
pengalaman, dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. Kerumitan adalah mutu
derajat ketika inovasi dirasakan sukar untuk dipahami dan dipergunakan.
Kemungkinan dicoba adalah mutu derajat ketika inovasi dapat dieksperimentasikan
pada lapangan yang terbatas (Rogers, 1983: 85).
Rogers berpendapat, media massa
lebih efektif dalam menciptakan dan menyebarluaskan pengetahuan untuk inovasi.
Sedangkan komunikasi antarpribadi dianggap lebih efektif dalam pembentukan
sikap terhadap ide-ide barn. Dilihat dari kerangka waktu sebagai salah satu
unsur utama dari difusi ide baru, Rogers mengingatkan terdapat tiga hal yang
harus diperhatikan: proses inovasi keputusan (innovation decision process),
keinovatifan (innovativeness), dan tingkat inovasi dari adopsi (inovations rate
of adoption).
Proses inovasi keputusan, adalah
proses mental ke’a'ka seseorang berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu
inovasi ke pembentukan sikap terhadap inovasi, ke keputusan menerima atau
menolak, ke pelaksanaan ide baru, dan ke peneguhan keputusan itu. Keinovatifan
adalah derajat ketika seseorang relatif lebih dini dalam mengadopsi ide-ide
baru dibandingkan dengan anggota-anggota lain dalam suatu sistem sosial.
Pengadopsi tersebut dikategorikan sebagai: inovator (innovators), pengad0psi
dini (early adopters), mayoritas dini (early majority), mayoritas terlambat
(late majority), dan orang terakhir (laggard). Tingkat inovasi dari adopsi
adalah kecepatan relatif ketika suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota
suatu sistem sosial. Rogers mengingatkan, tingkat adopsi biasanya diukur dengan
waktu yang diperlukan untuk presentase tertentu dari para anggota sistem untuk
mengadopsi suatu inovasi. Sistem sosial di sini diartikan sebagai tatanan
kesatuan yang terhubungkan satu sama lain dalam kerangka pemecahan masalah
untuk mencapai tujuan tertentu (Effendy, 1993: 285-287).
Model difusi mengasumsikan bahwa
media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada ’a'tik-titik waktu yang
berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai dengan memengaruhi adopsi atau
'-rejeksi (penerimaan atau penolakan). Dengan menggunakan model ini, peneliti
meneliti bagaimana inovasi atau informasi baru tersebar pada unit-unit adopsi
(penerima inovasi). Inovasi berupa berita, peristiwa, pesan-pesan politik,
gagasan baru. Sejauh mana media massa atau saluran interpersonal memengaruhi
efek difusi ditentukan oleh variabel antara dan variabel penerima yang antara
lain meliputi data demografis dan variabel sosiopsikologis (Rakhmat, 2000: 70).
Mengapa media massa mengandung
dan membawa inovasi? Secara teoretis, juga secara praktis, media massa selala
membawa dan memublikasikan kebaruan. Jika tidak termasuk barn, apakah itu
informasi atau peristiwa, apakah itu gagasan atau pemyataan, maka media massa
sudah keluar dari fitrahnya sebagai penyebar informasi dan pembentnk pendapat
umum. Kredibilitas dirinya patut diragukan. Menurut teori jumalistik, apa pun
yang disajikan media massa hams aktual. Artinya menunjuk kepada sesuatu yang
barn atau sedang terjadi. Salah satu kriteria umum atau nilai berita (news
value) misalnya menyatakan, news is timeliness: berita adaiah sesuatu yang
aktual. Aktualitas mengandung tiga pengertian: aktualitas kalender, aktualitas
waktu, dan aktualitas masalah.
Aktualitas kalender. Semua orang
tahu, 21 April adalah Hari Kartini, 2 Mei Hari Pendidikan Nasional, atau 20 Mei
Hari Kebangkitan Nasional. Pada hari itu atau beberapa hari menjelang hari-hari
itu, media massa nasional selalu menganggap penting menurunkan tulisan, ulasan,
laporan, siaran, atau tayangan acara mengenai beberapa hal yang berarti yang
berkaitan langsung dengan hari bersejarah tersebut. Itulah yang disebut
aktualitas kalender. Jelasnya, nilai aktualitas suatu peristiwa sudah terdapat
dan ditentukan oleh kalender, apakah itu kalender nasional, hari-hari
bersejarah, hari-hari keagamaan, atau kalender pemerintahan dan dunia
pendidikan. Bahkan pula kalender hari kelahiran kita dan orang-orang terdekat
kita sendiri.
Aktualitas waktu. Berita adalah
laporan tercepat yang disiarkan surat kabar dan media massa lain seperti radio
dan televisi mengenai opini atau fakta, atau kedua-keduanya, yang menarik
perhatian dan diangggap penting oleh sebagian besar khalayak pembaca, pendengar,
atau pemirsa. Sebagai contoh, berita tentang bencana alam seperti gempa atau
banjir selalu mendapat tempat dan waktu utama dalam pemberitaan media massa.
Jadi, aktualitas waktu menunjuk kepada suatu peristiwa berita yang tiba-tiba,
tak diduga, tak diketahui, atau tak direncanakan sebelumnya.
Aktualitas masalah. Korupsi,
manipulasi, pencurian, perampokan, pemerkosaan, merupakan persoalan usang.
Sejak peradaban manusia terbentuk, kasus-kasus seperti itu sudah ada. J adi
dilihat dari tema masalahnya. semuanya tak ada yang barn. Semuanya sudah
kadaluwarasa: out of date. Hanya dilihat dari kemunculan, pengaruh, dan
orang-orang yang mengnngkapkannya, masalah itu dikategorikan tetap dan
senantiasa aktual. Secara sosiologis, sebenarnya menarik juga untuk diteliti,
mengapa kasus seperti pernmpokan, pembunuhan, pemerkosaan, selalu beruiang?
(Sumadiria, 2005: 83-84).
Dimensi inovasi menunjukkan
faedah relatif, komtabilitas, kompleksitas. Faedah relatif menunjukkan tingkat
kelebihan inovasi dibandingkan dengan gagasan yang mendahuluinya.
Kompatibilitas (compability) adalah tingkat kesesuaian inovasi dengan
nilai-nilai yang ada. Kompleksitas berm-ti tingkat kesukaran untuk memahami
atau menggunakan inovasi. Dari penelitian yang pernah dilakukan di Amerika
Serkat, diperoleh dua butir kesimpulan yang menarik untuk dibahas di sini.
Pertama, adopter awal memerlukan waktu lebih lama untuk mengambil keputusan
daripada adopter akhir. Kedua, media massa dan sumber-sumber interpersonal yang
dekat amat efektif dalam mengubah tingkah laku (Rakhmat, 2000: 71-72).
Teori difusi inovasi, secara
tersirat mengakui, media bukanlah institusi sosial yang sangat perkasa sehingga
bisa mengubah segalanya atau semua orang dalam waktu cepat apalagi serempak.
Teori ini dengan jujur mengakui pula adanya kemajemukan dalam masyarakat.
Sejalan dengan ranah sosiologi, pada tiap-tiap kelompok masyarakat terdapat
tata nilai dan normanoprma sosial budaya yang unik dan menarik, yang karena
sifatnya itu tak bisa diseragamkan. Teori ini sekaligus juga mengukuhkan teori
perbedaan individu dalam komunikasi massa seperti sudah kita bahas sebelumnya.
Efek media,~memang berlainan terhadap individu yang satu dan individu yang
lain. Kecuali itu, efek media pun ternyata tidak seketika (real time) dan
serempak dilihat dari dimensi waktu, tetapi 'ternyata memerlukan jeda atau
interval. Adopter awal lebih lama dalam menerima inovasi, sementara adopter
terakhir justru lebih cepat.
Teori Model Agenda setting
Model agenda setting
mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh
media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada
persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap
penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari
perhatian masyarakat. Agenda masyarakat dapat diteliti dari segi apa yang
dipikirkan orang (intrapersonal), apa yang dibicarakan orang itu dengan orang
lain (interpersonal), dan apa yang mereka anggap sedang menjadi pembicaraan
orang ramai (community salience) (Rakhmat, 2000: 68).
Efek terdiri atas efek langsung
dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu:
apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan). Dari
semua itu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience);
bagaimana isu itu diranking oleh responden dan apakah rankingnya itu sesuai
dengan ranking media (prioritas). Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan
tentang peristiwa tertentu) atau tindakan, seperti memilih kontestan pemilu
atau melakukan aksi protes. Hampir semua penelitian yang menggunakan model
agenda setting berkenaan dengan efek media massa dalam bidang politik, seperti
yang dilakukan oleh Shaw dan McCombs. Hasilnya menunjukkan, dalam kampanye
presiden Amerika Serikat 1972, temyata surat kabar menentukan apa yang dianggap
penting oleh masyarakat. Agenda televisi juga berkorelasi dengan agenda para pemilih
(Rakhmat, 2000: 68-69).
Menurut Alexis S. Tan dalam Mass
Communication Theories and Research, studi selanjutnya yang dilakukan Shaw dan
Combs menunjukkan bahwa meskipun surat kabar dan televisi sama-sama memengaruhi
agenda politik pada khalayak, temyata surat kabar pada umumnya lebih efektif
dalam menata agenda dibandingkan dengan televisi. Tan menyimpulkan, dalam agenda
setting, media memengaruhi kognisi politik khalayak melalui dua cara. Pertama,
media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak yang
tersebar, heterogen, dan anonim. Kedua, media memengaruhi persepsi khalayak
mengenai pentingnya masalah politik (Tan, 1981: 277).
Apa maknanya? Media massa tak
ubahnya seorang pemandu wisata. Ia menunjukkan jalan, memandu wisatawan
men'elusuri objek-objek yang menarik, memberikan penjelasan sekaligus
peringatan agar wisatawan tak terjebak ke dalam kesulitan. Ia melakukan
bimbingan dan siap berbuat apa pun yang danggap perlu demi melindungi para
wisatawan yang dibawanya itu dari kemungkinan terburuk yang bisa membahayakan
keselamatan mereka. Pemandu berperan sebagai guru, sebagai teman, sekaligus juga
sebagai penjaga keamanan wisatawan (body guard). Dengan kecakapannya semacam
ini, media diakui kredibilitasnya dalam jagat politik suatu negara.
Di kalangan pengelola atau
praktisi media massa, model agenda setting dijadikan tak ubahnya kitab suci.
Nyaris tak ada satu pun kegiatan perencanaan penyajian clan pemilihan pesan
media dalam bentuk berita, laporan, ulasan,
tulisan, gambar, iota dan sejenisnya, yang tak memperhatikan teori agenda
setting. Bahkan dalam eejumiah kasus, media massa seperti mengambil alih pola
selektivitas yang dipunyai khalayak. Artinya, khalayak tak periu berpikir, tak
perlu mengingat, tak perlu membuat agenda kegiatan. Biarlah media yang
memikirkan dan melaksanakan semna itu. Khalayak cukup menikmatinya saja.
Untuk agenda media surat kabar,
yang sejak awal ditakdirkan sebagai pencipta dan penjaga peradaban, fungsi
agenda setting lebih tertata atau terkendali secara relatif baik. Artinya tak sampai
hanyut oleh godaan-godaan material dengan lebih banyak menonjolkan iniormasi
yang tidak periu, remeh~temeh, dan adakalanya menyesatkan hanya demi mengejar
motif komersial. Berbeda kasusnya dengan media massa televisi. Pada televisi,
dengan fungsinya yang sangat dominan sebagai media hiburan, godaan nntuk
mengejar iklan sebanyak mungkin sering tak terhindarkan. Media televisi lalu
tak ubahnya menjadi budak peringkat (rating). Tayangan~tayangan program acara
yang memiliki peringkat tinggi, meskipun tak bermutu dan mengkesploitasi seiera
rendah, dijadikan ujung tombak siaran. Aneka acara itu ditampilkan pada jam
tayang utama (prime time) atan pukul 18.00-21.00.
Manhein mengingatkan,
konseptualisasi teori model agenda setting meiiputi tiga agenda utama, yaitu
agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijakan. Untuk agenda media,
dimensinya meliputi visibility (visibilitas, yaitu jumlah dan tingkat
menonjolnya berita), audience salience (penonjolan, yaitn tingkat menonjol dan
relevansi isi berita dengan kebutuhan khaiayak), valence (valensi, yaitu
menyenangkan atan tidak menyenangkan cara pemberitaan suatu peristiwa). Untuk
agenda khalayak, dimensinya mencakup familiarity (keakraban, yaitu derajat
keakraban khalayak terhadap topik tertentu), personal salience (penonjoian
pribadi, yaitu relevansi kepentingan dengan ciri pribadi), dan favourdbility
(kesenang'an, yaitu pertirnbangan senang atau tidak senang terhadap topik
berita). Sedangkan untuk agenda kebijakan, dimeneinya meliputi support
(dukungan, yaitu kegiatan menyenangkan bagi posisi snatu berita tertentu),
likehood of action {kemnngkinan kegiatan, yaitu kemungkinan pemerintah
melaksanakan sesuatu yang diibaratkan), dan freedom of action (kebebasan
bertindak, yaitu niiai kegiatan yang mangkin akan dilakukan oleh pemerintah).
Konseptualisasi Manhein ini mendukung teori agenda setting secara menyelm'uh
(Servind dan Tankard, 1992: 226 dalam Effendy, 1993: 288-289).
Teori agenda setting, singkatnya
merefleksikan pola interaksi sosial antara media massa dan masyarakat. Media
memikirkan dan melakSanakan agenda-agenda penting masyarakat. Sebaliknya masyarakat
mengikuti dan merujuk kepada agenda serta preferensi (pengutamaan) yang telah
diseleksi dan diberi bobot nilai atau peringkat oleh media. Pola kausalitas
sosiologis inilah yang mengantarkan lahirnya dalil dalam dunia jurnalistik:
media adalah cermin masyarakat. Dalam bahasa awam disebutkan, jika ingin tahu wajah
masyarakat, lihatlah media. Lalu jika ingin melihat wajah media, lihatlah
kondisi dan perilaku masyarakat.
Kita perlu memberi catatan di
sini. Meksipun agenda setting memmuskan apa yang dianggap penting oleh
masyarakat, dalam praktik tak serta' merta semna yang dianggap penting itu
diperhatikan dan dilaksanakan oleh masyarakat. Fakta menunjukkan, justru cukup
banyak isu, persoalan, gagasan, peristiwa atau berita yang dilewatkan begitu saja.
Berlalu seperti angin. Kalau sudah demikian, sia-sialah berbagai informasi dan
berita yang dipnblikasikan karena tak mampu menggugah perhatian khalayak. Bagi
para perencana dan praktisi media, kenyataan ini tak setiap saat disadari.
Media asyik dengan agendanya sendiri. Khalayak pun tetap membisu karena tidak
bisa memberikan umpan balik secara langsung (indirect feedback). Kalaupun umpan
balik itu dilontarkan, sifatnya tertunda (delayed feedback).
Teori Model Kegunaan dan Kepuasan
Model agenda setting mengasumsikan
adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu
persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu.
Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula
oleh masyarakat. Apa yang diiupakan media, akan luput juga dari perhatian
masyarakat. Penelitian sistematik tentang teori uses and gratifications model
telah dilakukan pada dekade 1960-an dan 197o-an, bukan saja di Amerika
melainkan juga di Inggris, Finlandia, Swedia, Jepang. Karl Erik Rosengren dalam
Uses and Gratifications: A Paradigm Outlined, bahkan menjelaskan teori ini
secara sistematis dalam sebuah paradigma khusus yang diberi nama paradigma
model kegunaan dan pemuasan kebutuhan. Butir pertama paradigma tersebut melambangkan
infratsruktur biologis dan psikologis yang membentuk landasan semua perilaku
sosial manusia. Kebutuhan biologis dan psikologis inilah yang membuat seseorang
bertindak dan bereaksi (Blumer dan Katz, 1974:269; Effendy, 1993: 289-290).
Dalam teori hierarki kebutuhan
Abraham Maslow (1954) dijelaskan, kebutuhan manusia meliputi lima tingkat:
kebutuhan flsiologis (physiological needs), kebutuhan rasa aman (safety needs),
kebutuhan cinta (love needs), kebutuhan peghargaan (esteem needs), dan
kebutuhan aktualisasi diri (selfactualization needs). Kebutuhan sosiologis,
menunjuk kepada kebutuhan dasar manusia yaitu makan-minum, pakaian, tempat
berteduh dan membangun keluarga (rumah). Kebutuhan rasa aman, berbicara tentang
cita
cita atau kehendak seseorang
untuk bebas meIakukan aktivitasnya tanpa gangguan fisik dan psikis. Ia terbebas
dari rasa takut, cacian, ancaman, bahkan berbagai bentuk kekerasan baik
kekerasan faktual maupun kekerasan simbolik virtual.
Kebutuhan cinta, termasuk yang
paling didambakan setiap insan di mana pun di dunia. Setiap orang ingin
dicintai da'n mencintai, ingin dikasihi dan mengasihi. Cinta adalah bahasa dan
ungkapan universal. Perhatikan saja, di dunia ini, sudah jutaan lagu bertema
cinta dibuat dan dinyanyikan melalui berbagai media. Tetapi apakah lagu-lagu
bertema cinta sudah kehabisan pendengar dan penggemar’? Nyatanya tidak. Lagu
cinta nyatanya tetap diterima dan penjualan kaset serta keping cakramnya
(compact disk) sering meledak di pasar. Kebutuhan penghargaan menunjuk pada
hasrat manusia untuk dihargai dan dihormati atas kehadiran dan peran-peran
individual dan sosial yang dijalaninya. Sebut saja seseorang berbuat sesuatu
yang berarti bagi orang lain, atau bagi masyarakat, maka secara psikologis ia
merasa senang jika mendapat pengakuan dan pujian atas dedikasi atau prestasinya
itu. Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak senang menerima pujian, sejauh
pujian itu dilontarkan secara proporsional.
Kebutuhan aktualisasi diri,
sejalan dengan dan mempakan manifestasi dari fitrah manusia. Setiap orang pasti
memiliki hasrat, keinginan, clan mimpi-mimpi untuk dapat menunjukkan posisi,
potensi, fungsi, dan prestasi dirinya kepada orang lain, kepada masyarakat. Ia
akan merasa senang, merasa bahagia, dan merasa hidupnya tak sia-sia, jika ia bisa
berbuat sesuatu dengan orang lain atau untuk orang lain. Secara filosofis, ini
pula yang membedakan manusia dengan hewan. Di mana pun, hewan tak memiliki
cita-cita dan naluri untuk menyenangkan atau membahagiakan hewan lainnya. Fakta
yangada justru sebaliknya, hewan selalu memiliki naluri untuk membinasakan
lawan atau musuh-musuhnya setiap saat. Manusia, selalu menyimpan angan-angan
untuk bisa menunjukkan keberadaan dirinya. “Saya berpikir maka saya ada,” kata
lilusuf Descartes. Begitu juga menurut Maslow dalam teori hierarki kebutuhan:
saya berbuat maka saya ada.
Dikaitkan dengan teori kegunaan
dan pemuasan kebutuhan, maka dipertanyakan: apa yang diperoleh khalayak dari
media? Apakah kebutuhan khalayak yang beragam, konkret dan abstrak, normal atau
ganjil, panting atau menarik, dapat dipenuhi oleh khalayak? Konsep dasar model
ini' diringkas oleh para pendahulunya. Dengan model ini yang diteliti ialah:
(1) sumber sosial dan psikologis dari (2) kebutuhan, yang melahirkan (3)
harapan-harapan dari (4) media massa atau sumber-sumber yang lain, yang
menyebabkan (5) perbedaan pola terpaan media, serta menghasilkan (6) pemenuhan
kebutuhan dan (7) akibat-akibat lain, bahkan sering sekali akibat-akibat yang
tidak dikehendaki (Katz, Blumer, Gurevitch, 1974: 20).
Teori uses and gratifications
model tidak tertarik pada apa yang dilakukan media terhadap djri orang, tetapi
ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak
dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Dari sini
timbul istilah uses and gratifications, penggunaan dan pemenuhan kebutuhan.
Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa komunikasi massa berguna (utility);
bahwa konsumsi media diarahkan oleh motif (intentionality); bahwa perilaku
media mencerminkan kepentingan dan preferensi (selectivity); dan bahwa khalayak
sebenarnya kepala batu (stubborn) (Blumler, 1979: 265; Rakhmat, 2000: 65).
Utility. Pada teori ini, media
massa diasumsikan berguna bagi khalayak dan karena itu media selayaknya
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan tetap memperhatikan
semangat zaman (zeitgeish). Dengan begitu selalu terdapat roh dan nuansa
pencerahan (aufklarung). Para ahli komunikasi, dalam buku-buku yang mereka
tulis, tak memiliki keraguan sedikit pun untuk menyimpulkan, media media massa
berguna dan dibutuhkan masyarakat. Hanya kadar kegunaannya yang berbeda bagi
masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain.
Intentionality. Mengapa orang
tertarilc dan berhubungan dengan media: membaca surat kabar, mendengarkan
radio, dan .menonon televisi? Karena setiap orang memilild motif. Motif adalah
sesuatu yang mendasari sikap dan tindakan tertentu seseorang. Motif berbeda
bagi orang yang satu dan orang lain, serta berbeda menurut dimensi waktu
meskipun pada orang yang sama. Artinya, motif seseorang membaca surat kabar di
ruang tunggu bandara, dan motif membaca surat kabar di teras rumah, pasti
berlainan. Dalam hal ini waktulah yang menentukan motif. Pada saat lain,
motiflah yang menentukan waktu. Misalnya saat orang menonton siaran langsung
sepak bola di televisi. Tidak setiap hari terdapat siaran langsung sepak bola.
Singkatnya, dalam teori kegunaan dan pemuasan, motif menjadi sumber penggerak
orang berhubungan dengan media, dan bukan media yang menggerakkan motif. Dalam
bahasa sosiologi, daya dorong motif (push factor) seseorang jauh lebih besar
daripada daya tarik media (pull factor) ketika' orang itu membaca surat kabar,
mengikuti siaran radio, atau menyaksikan siaran televisi.
Selectivity. Teori perbedaan
individu dalam komunikasi massa mengingatkan, tiap individu memiliki tingkat
perhatian, minat, kepentingan, orientasi, dan nilai-nilai yang berbeda saat
bersentuhan dengan media. Sebaliknya, dampak atau efek media berbeda terhadap
individu yang satu dan individu yang lain. Asumsinya, tiap individu memiliki
mekanisme pertahanan moral mental dan tingkat intelektual yang tidak sama.
Individu mampu berpikir logis dan bersikap kritis. Individti, kecuali mempunyai
daya terima, juga selalu siap dengan daya tolak yang ada pada dirinya atas apa
pun yang datang dari luar termasuk dari media. Apabila suatu waktu seorang
individu mengakses media, pasti karena dia didorong oleh motif kepentingan dan
preferensi tertentu.
Stubborn. Sering dikatakan,
secara filosoiis manusia adalah makhluk berpikir yang berbudaya (homo sapiens).
Manusia juga termasuk makhluk bijaksana, sebab hewan tidaldah memiliki rasa
kebijaksanaan. Karena berpikir dan bijaksana, logikanya manusia akan dapat
dengan mudah mengembangkan potensi sikap-sikap dan perilaku baik yang ada pada
dirinya. Ia tidak akan mudah tergoda untuk berbuat tidal: baik apalagi berbuat
jahat. Tetapi, teori adakalanya jauh panggang dari api: bertolak belakang.
Karena memiliki tata nilai, minat, dan kepentingan sendiri-sendiri, maka tidak
jarang seseorang menampilkan sikap mau menang sendiri, mau pintar sendiri, mau
senang sendiri, mau selamat sendiri! Ia kembali ke situasi dan alam primitif.
Ia menjadi seseorang yang berkepala batu. Egois. Otoriter.
Teori stubborn audience atau
khalayak berkepala batu ini, merujuk kepada Karl Erik Rosengren, tak bisa
dilepaskan dari posisi dan fungsi lingkungan sosial (social environment) dalam
menentukan tingkat dan kebutuhan khalayak. Lingkungan sosial itu meliputi
ciri-ciri aiiliasi kelompok dan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kebutuhan
individual, kata Rosengren, dikategorikan ke dalam kebutuhan kognitif
(cognitive needs), kebutuhan afektif (affective needs), kebutuhan pribadi
secara integratif (personal integative needs), kebutuhan sosial secara integratif
(social integrative needs), dan kebutuhan penglepasan (escapist needs).
Berikut penjelasan ringkasnya,
yang penulis lengkapi dengan catatancatatan kecil dan contoh yang relevan di
sana-sini sekadar untuk mempertajam tingkat pemahaman dan memudahkan mengikuti
j alan pikiran Rosengren:
Cognitives needs. Kebutuhan yang
berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan, dan pemahaman mengenai
lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai
lingkungan. Juga untuk memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk
penyelidikan kita. Dalam bahasa jurnalistik, fenomena ini dikenal dengau
curiousity (rasa ingin tahu). Setiap jumalis dituntut kemampuannya untuk
menumbuhkan naluri curiousity agar ia menjadi seorang yang berkecukupan informasi
(well informed). Bukankah media berperan sebagai pembentuk pendapat umum?
Pendapat umum tidak mungkin terbentuk dan tumbuh manakala media dalam posisi miskin
informasi (poor informed).
Ajfective needs. Inilah kebutuhan
yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan
emosional. Hanya manusia yang memiliki rasa keindahan, cita rasa seni, cita
rasa kesusastraan, hasrat dan sikap estetis, pengalaman-penalaman menyenangkan,
serta hubungan emosional yang akrab, hangat, menggairahkan. Dalam teori
komunikasi disebutkan, kehangatan hubungan sesame individu, rekan sejawat,
dapat diciptakan melalui apa yang disebut hubungan manusiawi (human relations).
Personal integrative needs.
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan,
stabilitas, dan status individual. Hal-hal tersebut diperoleh dari hasrat
terhadap harga diri. Pada dasamya, tiap individu ingin dihargai, dihormati,
diberi apresiasi oleh Orang lain. Tidak adanya penghargaan dan penghormatan,
akan melahirkan bentuk-bentuk kelompok sosial dan masyarakat yang miskin etika
dan norma, liar, bahkan barbar.
Social integrative needs.
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman, dan
dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi. Manusia
adalah makhluk sosial. Hidupnya berkelompok dan saling bergantung sama lain.
Kebutuhan untuk senantiasa menjalin kontak komunikasi, berinteraksi sosial,
melahirkan masyarakat paguyuban (gemeinschaft) dan meninggalkan pola patembayan
(qesellschaft)
Escapist needs. Kebutuhan yang
berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan, dan hasrat atas
keanekaragaman. Manusia pada dasarnya tidak menyukai konflik. Kalaupun terjadi
kontlik, maka secara sosiologis biasanya hal itu terjadi akibat perbedaan
tingkat pemahaman dan perbedaan tingkat kepentingan yang tajam antara individu
yang satu dan individu yang lain. Sosiologi mengajarkan, konflik (conflict)
akan melahirkan harmoni selama diakhiri dengan konsensus (concensus) (Blumler
dan Katz, 1974: 269; Effendy, 1993: 294).
BAB V
SOSIOLOGI
KOMUNIKATOR DAN PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
SIAPA KOMUNIKATOR
DALAM KOMUNIKASI MASSA?
sosok
komunikator itu dapat dilacak lagi ke belakang dengan memperhatikan aspek
posisi dan peran sosial yang melekat dalam diri individu. Contoh diantaranya,
memaparkan tentang munculnya pandangan bahwa media massa Amerika telah gagal
dalam melaporkan hubungan antar-ras dan berbagai masalah perkampungan miskin
kulit hitam secara selayaknya. Salah satu cara untuk memperbaiki pandangan yang
keliru itu adalah dengan memasukkan orang-orang berkulit hitam ke dalam
lembaga-lembaga jumalistik dan organisasi-organisasi berita lainnya. Komisi
yang dibentuk untuk keperluan itu pada 1968, National Advisory Commission, akhimya
menyirnpulkan, meningkatnya pegawai berkulit bjtam berdampak positif terhadap
liputan berita tentang berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang kulit
hitarn di Amerika.
Dalam
perspektif komunikasi massa, para ahli sosiologi sangat tertarik untuk mengetahui
apakah, misalnya, ketika anak seorang petani di kampung yang bergelar sarjana
sosial, dan anak seorang pengusaha di perkotaan yang juga bergelar sarjana
sosial, bergabung dalam satu institusi media massa, akan memiliki tingkat dan
kualitas empati yang sama terhadap nasib dan masa depan petani di perdesaan?
Untuk itu, kita bisa mengajukan dua asumsi. Asumsi pertama, sarjana sosial anak
petani dan saljana sosial anak pengusaha, keduanya sama~sama akan melahirkan
perspektif dan kualitas empati yang sama ketika diminta menulis masalah nasib
dan masa depan petani di perdesaan. Asumsi kedua, sarjana sosial anak petani
akan memiliki tingkat empati lebih tinggi dan perspektif lebih utuh dalam
mengungkapkan masalah penderitaan para petani dan masa depannya di perdesaan
daripada satjana sosial anak pengusaha.
Lantas,
asumsi mana yang paling mendekati kenyataan? Teori sosiologi komunikasi massa
berpandangan, asumsi kedua dianggap lebih mendekati kenyataan daripada asumsi
pertama. Artinya, secara sosiologis, anak seorang petani, walau sudah bergelar
sarjana dan bekerja di kota, tidak akan pernah bisa melupakan asal-usul
kelahiran dan masa lalu serta ruang-ruang sosial budayanya. Bagaimanapun, dia
tetaplah brang kampung, bernafas kampung, berbudaya kampung, dengan segala
sentuhan kejiwaan dan cita rasa kampung. Jadi, sangat sulit diterima akal
sehat, jika ia lalu “berkhianat” terhadap warga kampung dan kampungnya sendiri.
Bahkan sedikit-banyak, ia pastilah akan membela apa pun yang telah dan akan
dilakukan orangorang kampung. Bukankah ia sendiri orang kampung, dan menjadi
bagian tak terpisahkan di dalarnnya?
Dalam
bahasa sinetron televisi, kisah-kisah dramatik penderitaan orangorang kampung
yang tergilas modernisasi, bahkan westernisasi, akan jauh lebih berhasil jika
diceritakan oleh wartawan yang berasal dari kampung miskin daripada wartawan
yang berasal dari perkotaan gemerlap. Jadi, variabel komunikator sangat
berpengaruh terhadap isi pesan, kualitas pesan, dan bahkan terhadap kecepatan
efek atau dampak pesan yang ditimbulkannya. Ini berarti, variabel sosiologis,
seperti tempat kelahiran, asal-usul keluarga, latar belakang orang tua, status
sosial, tingkat pendidikan, posisi pekerjaan, tingkat penghasilan,
karakteristik gender, afiliasi kelompok, orientasi sosial budaya, menjadi
deretan faktor pengaruh dalam diri komunikator komunikasi massa. Bagaimanapun
ia tidak bisa melepaskan diri dari aspek-aspek dan nilai-nilai preferensi
sosiologisnya. Preferensi sosiologis berarti seseorang akan lebih mengutamakan
nilai-nilai ikatan sosial yang melekat dalam dirinya daripada ikatan-ikatan
lain yang tak berkaitan langsung dengan kehidupan dan kepribadiannya.
Penelitian Warren Breed dan Lee
Sigelman, sedikit-banyak bisa memberikan gambaran kepada kita bagaimana
aspek-aspek sosiologis pada komunikator komunikasi massa bisa memengaruhi serta
menentukan bentuk dan kualitas isi pesan. Warren Breed, dalam Social Control in
the News Room (1955: 326~35), melakukan analisis mendalam mengenai kontrol
sosial di ruang berita. Studinya memperlihatkan bagaimana para wartawan, apakah
berada di bawah perintah langsung atau tidak, dipengaruhi oleh kebijakan surat
kabarnya dan oleh norma-norma mengenai isi berita yang kadangkadang eksplisit,
sering sekali implisit, serta disampaikan melalui rekan reporter dan pengawas
di ruang berita.
Pada
satu sisi, wartawan harus mampu berpikir bebas, berkarya bebas. Ia memiliki
kemerdekaan pers dan kemerdekaan media. Tetapi pada sisi yang lain, wartawan,
sebagai anggota organisasi dan unit produksi dari satu institusi media, hanya
dihadapkan kepada satu pilihan: tunduk kepada kaidah dan norma-norma institusi
media. Secara teoretis, realitas subjektif inilah yang menyebabkan mengapa
media massa yang satu, sering dipersepsikan berbeda dengan media massa yang lain
dilihat dari tingkat keberanian dan pemihakannya kepada kepentingan publik.
Dalam bahasa sederhana, ada media yang lebih tunduk kepada kepentingan kapital;
ada pula media yang Iebih asyik dengan arus pemikiran dan orientasi sosia1..
Media yang disebut pertama, merepresentasikan kepentingan komersial. Sedangkan
media yang kedua, cenderung lebih merepresentasikan dinamika sosial yang
terjadi dalam masyarakat bangsanya.
KOMUNIKATOR
KOMUNIKASI MASSA VERSI ARISTOTELES
Melalui
tiga jilid bukunya yang termasyhur, De Arte Rhetorica, Aristoteles menyebutkan
terdapat tiga syarat penting yang harus dipenuhi oleh komunikator dalam
memengaruhi khalayak: ethos, pathos, logos. Melalui tiga pendekatan ini,
Aristoteles sebenarnya ingin mengingatkan tentang betapa pentingnya aspek atau
kajian-kajian sosiologi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas komunikasi
individual dan sosial, tennasuk komunikasi massa.
Ethos
Pada
dimensi ethos, komunikator individual dalam aktivitas sosial atau komunikator
institusional dalam aktivitas komunikasi massa, selayaknya menguasai dengan
baik tiga aspek: pengetahuan luas, kepribadian terpercaya, dan status
terhormat. Pengetahuan luas, hanya mungkin diperoleh apabila komunikator
membangun jaringan sosial, mengasah kepekaan intelektual, dan mengembangkan
ikatan serta norma-norma sosial pada unit satuan masyarakat terbawah sampai
dengan unit satuan masyarakat lapis menengah dan atas. Ia senantiasa melakukan
interaksi sosial secara cair. Artinya proses interaksi sosial yang dilakukannya
tidak lagi dibatasi sekat-sekat struktural formal secara hierarkis dan kaku.
Kepribadian
terpercaya, hanya dapat dibangun melalui proses panjang relasi dan interaksi
sosial secara harmonis. Di sini, komunikator harus terikat secara kuat dalam
norma-norma sosial yang sudah disepakati. Menurut literatur sosiologi,
norma-norma sosial yang mesti dipatuhi itu ialali cara (usage), kebiasaan
(folkways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom). Cara (usage)
menunjuk kepada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang
sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan (folkways). Kebiasaan menunjuk
pada perbuatan yang diulangulang dalam bentuk yang sama.
Cara
(usage) lebih menonjol dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat. Suatu
penyimpangan terhadapnya tak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi
hanya sebatas celaan. Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat lebih besar
daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam
bentuk yang sama. Apabila kebiasaan tidak hanya diterima sebagai cara perilaku
tetapi juga sebagai norma-norma pengatur, kebiasaan itu berubah menjadi
moresatau tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari
kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Tata kelakuan
memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga merupakan
alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat
melakukan suatu perbuatan. Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya
dengan pola-pola perilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya
menjadi custom atau adat-istiadat (Soekanto, 190: 220-221).
Status
terhormat, sebagai salah satu bentuk pengakuan dan penghargaan sosial, tidaklah
datang tiba-tiba dan sekaii jadi. Seseorang menyandang predikat terhorrnat
secara sosial, apabila orang itu tidak meiakukan perkataan, sikap dan perbuatan
tercela. Ia tidak pernah memperoleh cercaan serta bentuk-bentuk sanksi sosial,
dari yang halus sampai dengan yang bersifat kasar, dari yang tersembunyi sampai
dengan yang sifatnya terbuka. Pada status terhormat senantiasa melekat etika
individual dan etika sosial. Etika individual hanya dikerjakan di dan berlaku
ke dalam (internal). Etika sosial lebih banyak dikeljakan di dan berlaku ke
.luar (eksternal). Apa yang akan terjadi, jika aktivitas-aktivitas komunikasi
massa tidak mengindahkan etika sosial?
Pada
akhirnya, ethos harus tunduk kepada kaidah dasar sosiologis: pikiran baik (good
sense), akhlak baik (good moral character), dan maksud baik (good will). Tampa
pikiran-pikiran baik dalam diri komunikator institusional, komunikasi massa
hanya akan melahirkan friksi dan konflik sosial. Isi pemberitaan media massa
hanya akan lebih banyak dimuati prasangka, pola pikir negatif (negative
thinking), dan potensi konflik yang meruncing antar unsur masyarakat dan
lembaga-lembaga kenegaraan serta kebudayaan.
Begitu juga dengan akhlak baik (good
moral character). Dalam teori media tanggung jawab sosial (social
responssibility press theory), ditekankan, apa pun kemasan dan sajian si media,
pertama-tama harus dibangun di atas landasan akhlak baik, bukan akhlak dengan
hasrat merusak dan menghancurkan. Teori jumalistik mengajarkan, jika media
melakukan kritik setajam silet, kritik itu hams dibangun atas landasan akhlak
mulia (akhlaqul karimah). Jadi tidak dimaksudkan untuk mematikan siapa pun
kecuali kejahatan. Media hanyalah bertugas sebagai satpam negara (watchdog
state function). Dalam perspektif sosiologi komunikasi massa, kecenderungan
untuk melakukan swasensor (self cencorship) dengan semangat untuk lebih
mengutamakan nilai-nilai kebajikan lokal (local wisdhom), dipahami sebagai
bagian dari pengamalan nial-nilai akhlak baik tersebut.
Akhirnya,
tujuan baik (good will), dapat dirumuskan sebagai pengikat kasat mata mengenai
tindakan apa pun yang dilakukan seorang komunikator. Tujuan baik akan membawa
media massa ke dalam kehormatan dan penghormatan secara layak dari
lingkungannya. Sebaliknya tujuan buruk akan membawa media massa ke jurang dan
lembah kehancuran yang menyakitkan. Cepat atau lambat, media massa jenis ini
akan memperoleh vonis dan hukuman sosial. Ia akan dikucilkan melalui mekanisme
pasar bebas dengan tidak lagi diakui sebagai lembaga institusi sosial pada satu
sisi, dan institusi ekonomi pada sisi yang lain. Ia akan mati suri. Sejarah
membuktikan, hanya media-media dengan ideologi-baik saja yang berumur panjang
dan meraih sukses gemilang.
Pathos
Pada
dimensi ini, komunikator media massa melalui pesan~pesan yang diproduksi dan
disebarluaskannya, ditantang untuk senantiasa mampu menyentuh hati khalayak
(audience heart touch). Para ahli komunikasi mengajarkan, pesan-pesan
komunikasi massa harus informatif dan komunikatif. Sedangkan para ahli
sosiologi komunikasi massa mengingatkan, pesan-pesan komunikasi massa harus dapat
menyentuh hati sekaligus membangkitkan empati sosial. Hal ini misalnya hams
tampak pada jurnalistik liputan bencana (disaster coverage journalism) seperti
ketika terjadi bencana besar di Aceh, Nias, Yogjakarta, dan Bengkulu beberapa
tahun silam dengan korban tewas mencapai ribuan orang. Sosiologi mengajarkan,
ketika tteadi bencana, media massa tidak bisa tinggal diam. Media inassa pun
harus melakukan tindakan-tindakan sosial, antara lain dengan cara membuka
dompet bantuan bencana dan menjadi inspirator serta inovator peneljunan para
relawan ke daerah-daerah bencana sedini mungkin. Jadi, tugas media tidak hanya
menulis, memotret, dan melaporkan. Media hams juga menjadj penggerak aksi
solidaritas sosial.
Logos
Pada
dimensi ini, komunikator media massa disyaratkan menguasai materi pesan dengan
baik. Materi pesan harus berkualitas tinggi, memiliki nilai jual prima, sarat
data, dengan diperkuat latar beiakang serta argumen-argumen yang meyakinkan.
Kajian sosiologis dalam lingkup terbatas yang beberapa kali penulis lakukan
menunjukkan, berita-berita-media massa yang djbuat jurnalis lokal, sering tidak
didukung data, dilengkapi fakta, ditunjang latar beiakang, dan ditopang argumen
yang kuat meyakinkan. Terkesan banyak yang bersifat asal-asalan atau main
tembak langsung. Akibatnya, kapabilitas media massanya diragukan. Secara
sosiologis, gejala demikian tentu saja mengkhawatirkan, karena salah-salah
media massa lokal djpersepsikan sebagai media tidak serius dan bahkan
kampungan.
Sosiologi
memang tertarik untuk meneropong, apakah derajat intelektual serta latar
belakang sosial komunikator komunikasi massa memengaruhi bentuk, isi, dan
kualitas pesan yang disebarluaskan kepada khalayak? Jika memang ada, lantas
seberapa besar? Sosiologi ingin tahu, seberapa besar publik memengaruhi media,
dan seberapa besar pula media memengaruhi pubiik untuk dan dalam konteks
isu-isu atau persoalan tertentu. Proses saling memengaruhi itu pun dilakukan melalui
cara apa dan bagaimana?
Seperti
dipaparkan seorang pakar komunikasi terkemuka dari Bandung, kehadiran media
massa dalam masyarakat modern yang serba ada (ubiquitous) dan serba meliputi,
memaksa para sosiolog untuk tidak bisa mengabaikan peranan media massa. Memang
menarik untuk meneliti secara psikologis pengaruh media massa pada pembentukan
opini dan sikap individual. Tetapi lebih menarik lagi iaiah mengkaji bagaimana
media massa mengembangkan norma-norma sosial, membentuk interaksi sosial,
melakukan kontrol sosial, dan menimbulkan perubahan sosial.
Sosiologi komunikasi massa berusaha
menelaah hubungan timbalbalik antara media massa dan masyarakat. Orang awam
bertanya dapatkah media massa meningkatkan taraf kejahatan dan kekerasan,
meruntuhkan tatanan moral, memorakporandakan budaya tradisional, atau
mengantarkan masyarakat pada masyarakat adil dan makmur. Ilmuwan benanya sejauh
mana proses dan dinamka sosial dipengaruhi media massa, sejauh mana pula proses
sosial memengaruhi mekanisme kerja media massa (Rakhmat dalam Wright, 1985:
xii-xiii).
Dilihat
dari perspektif logos, sebagian media massa kita, termasuk media massa papan
atas (mainstream) sering dianggap bersikap asosial. Untuk membuktikannya,
gunakanlah indikator paling sederhana dengan menghitung berapa banyak
narasumber berita pada halaman muka yang dikutip media selama tiga hari
berturut-turut. Setelah dijumlahkan, lalu coba klasifikasikan, berapa banyak
narasumber arus atas bersifat resmi (formal), berapa banyak pula narasumber
arus bawah bersifat tidak resmi (informal). Arus atas, sebut saja mulai dari
tingkat camat sampai dengan tingkat menteri. Arus bawah, mulai dari orang-orang
pinggiran seperti pemulung dan pedagang kecil sampai dengan aparat dan kepala
desa atau lurah. Hasilnya, dipastikan jumlah narasumber arus atas jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah narasumber arus bawah.
Apa
maknanya? Secara sosiologis, media massa kita kurang banyak menggali realitas
dan problematika sosial dari bawah, atau dari lokasi-lokasi peristiwa yang
sering sulit dijangkau sarana transportasi modern. Orientasi media lebih
bersifat vertikal daripada horizontal dan diagonal. Dalam bahasa awam, titik
masalahnya lebih banyak terjadi kampung di gunung-gunung dan kawasan pantai, di
kawasan kumuh yang kotor dan berbau. Dalam bahasa sosiologi, mereka berada pada
lapisan terbawah piramida atau stratifikasi sosial. Dalam bahasa politik,
mereka sama sekali tidak memiliki posisi tawarmenawar (bargaining position)
dengan para elite lokal. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tidak
berdaya secara sosial ekonomi. Mereka itulah yang oleh penyanyi balada Iwan
Fals dijuluki sebagai orang-orang pinggiran. Jadi, untuk apa diangkat dan
diagendakan oleh media?
DAYA TARIK
KOMUNIKATOR DAN KEPERCAYAAN KEPADA KOMUNIKATOR
Jika
memang demikian, siapa sebenamya yang hendak dibela atau diperjuangkan media
massa? Sosiologi tak hanya bicara apa yang disampaikan media massa, tetapi juga
dari kelompok sosial mana orang-orang yang menjadi aktor pengisi acara atau
pengelolanya? Terhadap pertanyaan ini, kita sudah menemukan jawabannya, seperti
juga tesis yang diajukan Wright Wright berkata, redaktur kepala memengaruhi
keseluruhan isi pesan atau isi berita media. Artinya, redaktur kepala yang
dalam struktur organisasi media menempati posisi atas (kalau bukan yang
teratas), diasumsikan memiliki status sosial tinggi dengan derajat intelektualitas
tinggi pula.
Teori
dasar ilmu komunikasi menyebutkan, terdapat dua syarat panting yang hams
dikuasai dengan baik oleh para komunikator media massa: aspek daya tarik
komunikator (source of attractiveness), dan aspek kepercayaan kepada
kornunikator (source of credibility). Aspek yang disebut pertama, lebih banyak
bersifat tisik kasat mata. Sedangkan aspek yang disebut kedua, lebih banyak
menunjuk kepada nontisik dan tidak kasat mata karena berkaitan dengan sosok kepribadian
(personality) seseorang atau suatu Iembaga.
Daya Tarik
Komunikator
Persoalan
komunikasi tak hanya berbicara komunikasi. Persoalan komunikasi sekaligus juga
menyentuh aspek-aspek sosiologi. Sosiologi, seperti dikutip Narwoko dan Suyanto
(2007: 3), mempelajari perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang
dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, komunitas dan
pemerinahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, bisnis. Sosiologi
mempeléjari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul
pertumbuhannya, serta menganaiisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap
anggotanya (Occupational Outlook Handbook, 1980-1981, US Departement of Labor
1980: 431).
Jadi,
komunikator komunikasi massa, siapa pun dia, pertama-tama dibentuk oleh ikatan
serta norma-norma kelompok. Ikatan dan norma-norma kelompok inilah yang akan
mengantarkan dirinya untuk menyepakati apa yang dalam sosiologi disebut sebagai
kompromi dan harmoni. Artinya, ia tidaklah mungkin untuk bisa keluar dari dalam
pagar ikatan serta normanorma kelompok inti. Itulah keluarga dan masyarakat
atau ikatan-ikatan komunitas di sekitarnya.
Dengan
paparan itu kita ingin menegaskan, betapapun teori komunikasi mengajarkan
seorang komunikator harus memiliki daya tarik secara fisik, dia tidak
serta-merta dapat melepaskan diri dari kaidah, norma-norma, atau ikatan
kelompok. Justru daya tarik itu selayaknya dibangun di atas landasan kaidah dan
norma-norma kelompok agar kelak tak melahirkan friksi dan konflik. Dalam
realitas film atau dramaturgi, daya tarik fisik berhubungan dengan masalah
postur tubuh, penampilan, aksesori, pakaian dan perhiasan yang digunakan, serta
perangkat dekorasi atau tata panggung. Semuanya diberi sentuhan kreativitas dan
polesan seni peran agar seluruh komponen tampil lebih menarik serta
menjanjikan.
Apakah
media massa juga tunduk kepada kaidah dan norma-norma itu? Tidak terkecuali.
Lihatlah industri televisi dewasa ini. Seluruh acara dikemas melalui pendekatan
tata suara, tata pencahayaan, dan tata panggung sangat menarik, dan bahkan
sebagian masuk dalam kategori glamourisme habis-habisan. Sosiologi memang
melihat, industri televisi tidak hanya hidup dalam dunia realitas aktual
(nyata). Industri televisi juga hidup dalam dunia realitas Virtual yang sangat artifisial
(buatan). Dengan logika ini, siapa pun komunikator komunikasi massa, jika ingin
meraih sukses tidak ada pilihan lain kecuali masuk dalam realitas itu berikut
aneka tuntutan serta konsekuensi yang menyertainya. Jika tidak, ibarat sebuah
pertunjukan, siapsiap saja turun dari panggung dan disoraki massa penonton.
Sandal jepit pun dipastikan ikut beterbangan!
Kepercayaan kepada
Komunikator
Kepercayaan
kepada komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya.
Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan
daya perubahan sikap, serta kepercayaan yang kecil akan mengurangi daya
perubahan yang menyenangkan. Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa
pesan yang d‘iterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan
empiris. Juga pada umumnya diakui bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai
daya pengaruh lebih besar apabila komunikator dianggap sebagai seorang ahli
(Effendy, 1993: 43-44).
Kita
perlu mengingatkan lagi, komunikator berkonotasi jamak. Bisa individual, bisa
juga institusional. Pada yang disebut pertama, ia bisa bermakna tunggal,
perorangan, individu. Dalam aktivitas sosial sehari-hari, seseorang bisa
memainkan dirinya sebagai komunikator inividual. Ia tidak membawa aspirasi dan kepentingan
lain kecuali aspirasi dan kepentingan dirinya. J adi, ia pun tidak akan
menerima konsekuensi atau bahkan sanksi kelembagaan seandainya pesan-pesan yang
dia komunikasikan berdampak negatif pada khalayak dan lingkungannya. Pada yang
disebut kedua, tidak demikian halnya dengan komunikator komunikasi massa.
Konotasi dan maknanya tidak tunggal dan individual tetapi justru kolektif dan
institusional. Para ahli komunikasi menegaskan, komunikator komunikasi massa
bersifat melembaga.
Apa
konsekuensinya? Siapa pun dan pada leVel mana pun komunikator komunikasi massa,
harus memiliki setidaknya dua modal pokok: ahli di bidangnya, dan dapat
dipercaya. Keahlian apa pun bisa diperoleh melalui pendidikan, tempaan
pengalaman, dan pelatihan yang terus-menerus. Jika para komunikator media massa
sudah merasa tidak perlu lagi mengikuti pendidikan, pelatihan, atau menempa
pengalaman di lapangan, mereka sedang menggali kubumya sendiri. Komunikator
media massa adalah orangorang yang mesti tunduk kepada {ilosofi dan visi misi
pembelajaran seumur hidup (long life education). Jika tidak, maka keahlian yang
dimilikinya akan tumpul dan tertinggal. Kita tahu, “ilmu dan teknologi
berkembang amat pesat, dan bahkan kini tingkat perkembangannya tidak lagi
dihitung dengan faktor pembilang dekade atau tahun, tetapi sudah ke faktor
pembilang bulan dan pekan! Sebagai contoh, lihat saja teknologi dalam industri
telepon genggam, komputer, laptop, dan kamera digital.
Secara
sosiologis, seorang ahli tidak otomatis merupakan sosok yang dipercaya,
disegani, dihormati, bahkan dimuliakan. Derajat kepercayaan kepada komunikator
datang dari khalayak komunikan. Sifatnya bukan sebab melainkan akibat. Jadi
bukan sesuatu yang otomatis keluar dari dalam diri komunikator. Karena
merupakan akibat, maka derajat kepercayaan merupakan hasil keja persepsi dan
interaksi yang tidak berlangsung satu kali.
Ada
proses terus-menerus yang tak mengenal henti. Dalam ilustrasi yang lebih
konkret, media massa tak berumur sehari kemudian meraih prestasi dan apresiasi
dari publik.
Kepercayaan
khalayak komunikan kepada komunikator hanya mungkjn diberikan apabila
komunikator senantiasa menjaga kredibilitas dan integritas dirinya sebagai
sosok intelektual dan profesional yang terhormat. Ia tidak tergoda dengan
berbagai macam bujuk-rayu negatif yang hanya akan membawa dirinya ke dalam
penurunan derajat bahkan penistaan secara etika profesional dan sosial. Ambil
saja contoh di dunia parlemen, meskipun mungkin contoh ini tak berhubungan sama
sekali. Sudah berapa banyak anggota DPR kita yang dijadikan tersangka terdakwa
terpidana dan masuk penjara? Bukankah semula mereka adalah orang-orang
terhormat dengan derajat kepercayaan dari masyarakat sangat tinggi? J adi,
sosiologi kepercayaan selayaknya dijadikan rujukan utama oleh para komunikator
komunikasi massa di mana pun, baik secara individual maupun secara
institusional.
Dalam
redaksi yang berbeda, para komunikator media massa perlu senantiasa membangun
kepercayaan sosial (social trust) secara terencana dan sistemau's agar reputasi
dan kredibilitas dirinya tetap tinggi di mata publik. Merujuk kepada orientasi
bisnis, social trust ini juga sangat diperlukan sebagai sarana peningkatan
kuann'tas dan kualitas transaksional media dengan kaum kapital dalam bentuk
kontrak pemuatan atau penayangan iklan. Tanpa social trust yang tinggi dan
konstan, tidak fluktuatif, media massa lambat atau masuk cepat akan terperosok
ke dalam kondisi marginal. Terpinggirkan. Tidak keliru jika kemudian sebagian
pengamat menyatakan, bisnis media pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan.
Satu hal yang harus dicatat, kepercayaan bergantung kepada persepsi dan
realitas subjekif se'seorang atau sekelompok orang. Ada saatnya naik, ada pula
saatnya turun.
SOSIOLOGI PESAN
DALAM KOMUNIKASI MASSA
Pakar
komunikasi terkemuka Wilbur Schramm, menyebutkan terdapat empat kondisi sukses
dalam komunikasi (the four condition of success in communication) yang perlu
diperhatikan oleh siapa pun yang hendak berkomunikasi dengan baik. Keempat
kondisi itu ialah: (1) pesan dirancang secara menarik; (2) pesan menggunakan
simbol yang sama; (3) pesan membangkitkan kebutuhan khalayak; dan (4) pesan
memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan. Sosiologi pesan, pada intinya
mengingatkan kita untuk jangan sekali-kali bersikap asosial, apalagi amoral,
dalam mempersiapkan, merancang, dan mereproduksi pesan agar tersebar secara
simultan dan masif.
Pesan Dirancang
Menarik
Para
ahli psikologi, banyak melakukan penelitian tentang jenis-jenis pesan seperti
apakah yang mudah mendapat respons menggembirakan dari khalayak komunikan.
Sharp dan McClung (1966), juga Baker (1965) menunjukkan bahwa organisasi pesan
yang lebih baik meningkatkan kredibilitas. Pearce dan Brommel (1972), juga
Pearce dan Conklin (1971) membuktikan cara pengaruh bicara kepada kredibilitas.
Mereka menemukan, misalnya, bahwa orang yang berbicara dengan g'aya percakapan
cenderung dipandang lebih dapat dipercaya tetapi kurang dinamis. Persepsi
tentang keahlian ternyata tidak dipengaruhi oleh cara penyampaian. Selain
peIaku persepsi dan topik yang dibahas, faktor situasi juga memengaruhi
kredibilitas. Pembicara pada media massa memiliki kredibilitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pembicara pada pertemuan tingkat RT (Rakhmat, 1993:
259-260).
Merancang
pesan secara menarik, kata ahli ilmu jiwa HA Overstreet, dapat dilakukan dengan
dua cara: pengorganisasian pesan (message organization), dan pengaturan pesan
(messag'e arrangement). Let your speech march, katanya. Pengorganisasian pesan
bisa menggunakan enam pendekatan: deduktif, induktif, kronologis, logis,
spasial, dan topikal. Sedangkan pengaturan pesan bisa dilakukan dengan memperhatikan
cara berpikir khalayak.
Deduktif,
berarti pesan disusun dengan cara mendahulukan kesimpulan disusul kemudian
dengan penjelasan dan uraian. Induktlf, berarti pesan disusun dengan cara
menguraikan terlebih dahulu latar belakang dan penjelasan-penjelasan untuk
kemudian diakhiri dengan kesimpulan. Kronologis, berarti pesan disusun
berdasarkan urutan waktu atau urutan peristiwa logis, berarti pesan disusun berdasarkan
hubungan sebab-akibat. Spasial, berarti pesan diusun berdasarkan urutan dimenSi
tempat atau ruangan.
Topikal,
berarti pesan disusun berdasarkan penetapan topik atau pokok-pokok bahasan
tertentu.
Pesan Menggunakan
Simbol yang Sama
Merancang
pesan secara menarik, dapat dipastikan akan menemui kegagalan jika pesan itu
tidak mengunakan simbol yang sama. Simbol yang sama, berarti menunjuk kepada
bahasa yang sama sekaligus mengandung pengertian dan pemahaman yang sama bagi
komunikator dan khalayak komunikan. Artinya, hitam kata komunikator, harus juga
dipahami hitam oleh komunikan. Tidak boleh hitam menurut komunikator, tetapi
kemudian diartikan menjadi putih atau merah dalam pandangan dan keyakinan
khalayak komunikan. Simbol, kata para ahli komunikasi, bisa berbentuk kata
benda, binatang, bisa apa saja, sejauh dipahami serta disepakati maknanya oleh
suatu kelompok atau suatu komunitas sosial.
Secara
sosiologis, kegagalan komunikasi kerap terjadi akibat kurangnya penggunaan
simbol yang sama oleh komunikator dan komunikan. Bisa juga terjadi, komunikator
terlalu memaksakan diri dengan simbol~simbol yang dikuasainya tetapi tidak
memperhatikan kesenjangan sosial (social gap) di antara mereka. Orang kaya dari
kota bicara 'dengan bahasa asing, orang miskin di kampung bicara dengan bahasa
lokal, dipastikan tidak mendapat tidak temu. Kedua belah pihak hanya bisa
melahirkan monolog dan lupa dengan betapa pentingnya dialog.
Disadari
atau tidak, di akui atau tidak, industri televisi kita, paling tidak sebagian,
kini mulai hanyut dengan kecenderungan negatif seperti itu. Lihat saja berbagai
tayangan sinetron, nyaris semuanya mengunakan bahasa serta dialek Betawi.
Seolah-olah, bahasa dan dialek Betawi sudah menjadi “bahasa nasional sinetron”
dan seolah~olah semua provinsi atau kota di Indonesia, menggunakan bahasa dan
dialek Betawi dalam komunikasi mereka sehari~ hari. Menurut sosiologi, 'itulah
yang disebut sikap asosial dan bahkan sikap amoral industri televisi!
Pesan Membangkitkan
Kebutuhan Khalayak
Ungkapan
know your audience (kenali siapa khalayakmu), sudah menjadi kata kunci
sehari-hari para mahasiswa komunikasi dalam diskusi-diskusi mereka di kampus.
Ungkapan ini menunjukkan hubungan sosiologis antara komunikator pada satu sisi,
dan khalayak komunikan pada sisi yang lain. Artinya, komunikator harus
berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan khalayak, dan bukan sebaliknya
komunikan berorientasi kepada keinginan atau obsesi komunikator. Penguasan
aspek-aspek sosiologis khalayak menjadi sangat penting bagi komunikator. Dalam
industri media massa, variabel sosiologis ini bahkan dijadikan salah satu
rujukan utama ketika hendak menentukan siapa profil pembaca, pendengar, atau
pemirsa mereka.
Dalam
logika psikologi dan sosiologi pesan, orang setiap hari menerima dan merespons
ribuan pesan. Tidak semua pesan yang diterima dan direspons itu menarik, atau
penting, atau kedua-duanya menarik dan panting. Cukup banyak juga pesan
informasi yang tidak penting, tidak menarik, dan sifatnya remeh-temeh. Tetapi
orang'telanjur mengonsumsinya pula karena berbagai alasan, atau bahkan tanpa
alasan sama sekali. Fenomena ini misalnya tampak pada banyaknya tayangan acara
infotainment (informasi dan hiburan) di televisi-televisi komersial kita.
Sebaliknya, tidak sedikit pula orang yang setiap hari tidak mengonsumsi, dalam
arti tidak membaca, tidak mendengar, dan tidak melihat informasi, juga karena
berbagai alasan. Sebagian besar dari mereka, terjebak ke dalam lilitan
kemiskinan dan keterbelakangan sosial ekonomi yang tak berkesudahan.
Secara
ideologis, pesan apa pun yang disebarluaskan media komunikasi massa, selayaknya
mencerahkan, inspiratif, dan motivatif. Tetapi secara bisnis, apa yang
seharusnya dilakukan itu (das Sollen), kerap tidak bisa dilakukan mengingat
muatan kepentingan bisnis lebih dominan dibandingkan muatan kepentingan
ideologis (das Sein). Jadi faktanya, media massa lebih tertarik menayangkan
informasi layak-jual daripada informasi layak-sosial. Informasi layak-jual,
konotasinya komersial. Sedangkan informasi layak sosial, konotasinya ideal,
sesuatu yang sulit dijangkau karena menyangkut kepentingan kebangsaan.
Timbul
pertanyaan kritis, pesan yang mampu membangkitkan ke~ butuhan khalayak mana
yang mesti diperjuangkan? Idealnya tentu khalayak mayoritas, khalayak paling
banyak menurut perhitungan populasi penduduk Tetapi dalam industri televisi,
khalayak mayoritas justm kerap dikorbankan. Dengan merujuk kepada logika bisnis
kelompok minoritas, mereka meng utamakan
tayangan acara yang kurang atau sama sekali tak berkualitas. Inilah yang disebut
realitas sosiologis dengan motif bisnis dominan. Inilah pula yang disebut
distorsi komunikasi. '
Pesan Memberikan
Jalan Keluar atau Alternatif Tindakan
Secara
normatif kita bisa mengatakan, pesan komunikasi massa yang baik ialah pesan
yang memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan yang perlu ditempuh oleh
khalayak komunikan. Secara akademis, terhadap pernyataan ini memang muncul dua
pandangan. Pandangan pertama, khalayak media massa bersifat anonim, heterogen,
dan tersebar. Karena sifatnya yang demikian, maka memberikan alternatif
tindakan atau jalan keluar bagi khalayak, merupakan sesuatu yang positif.
Apakah khalayak menerima atau menolak saran tersebut, itu mempakan perkara
lain. Pokok terpenting, berilah saran dan jalan keluar. Setelah itu selesai
sudah.
Pandangan
kedua menyatakan, khalayak media massa memang benar anonim, heterogen, dan
tersebar. Tetapi mereka khalayak yang kritis, dan sebagian berkepala batu.
Mereka tidak akan dengan mudah menerima begitu saja saran-pandangan dan
alternatif tindakan yang diajukan pihak media massa. Mereka selayaknya
dikategorikan ke dalam kelompok khalayak cerdas yang mampu berpikir mandiri.
Jadi, biarlah mereka yang mengambil keputusan sendiri tanpa harus dibantu oleh
pihak media massa: Dengan logika ini, lantas untuk apa memberikan saran,
pandangan, atau alternatif pilihan tindakan kepada khalayak? Jika dipaksakan,
maka media dikesankan superior: seolah tahu banyak atau tahu segala-galanya,
padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Kedua
pandangan tersebut, memiliki dasar argumen serta kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Kita tidak bermaksud untuk menunjukkan mana yang dianggap lebih
baik dan pantas untuk dipilih, tetapi ingin memberikan gambaran, setiap pilihan
pasti melahirkan konsekuensi tertentu. Tugas kita hanya mengingatkan mengenai
perlunya kesadaran untuk memikul konsekuensi-konsekuensi itu. Inilah apa yang
disebut Jurgen Habermas sebagai pilihan bebas yang dilakukan secara sadar dalam
diskursus sosial mang terbuka (public sphere social discourse).
Kita
sudah menguraikan cukup panjang Iebar mengenai penorganisasian pesan dalam
perspektif komunikasi massa. Namun sebegitu jauh, kita belum menguraikan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan pesan. Padahal pengaturan
pesan pun sangat penting dalam sosiologi komunikasi massa. Menurut Raymond S.
Ross dalam Persuasion: Communication and Interpersonal Relations (1974: 185),
kita bisa merujuk kepada teori Hollingsworth, teori Raymond S. Ross, atau teori
Alan Monroe untuk menjelaskan secara terpen'nci tentang pengaturan pesan dalam
komunikasi massa.
PENGATURAN PESAN
DALAM KOMUNIKASI MASSA
Teori Hollingsworth
Menurut
Hollingsworth dalam Psychology of The Audience, pesan yang baik harus memenuhi
lima kategori agar dapat memengaruhi khalayak: perhatian, minat, kesan,
keyakinan, dan pengarahan. Melalui kelima jurus psikologi komunikasinya itu,
Hollingsworth tidak menjamin persoalan yang muncul akan terpecahkan dengan
sendirinya. Hollingsworth hanya memberikan pilihan, karena diakuinya pula
terdapat teori dari pakar yang lain yang dapat menjelaskan persoalan yang sama.
Buku ini juga tidak berpretensi untuk melebihkan teori yang satu dan
mengurangkan teori yang lain. Biarlah pembaca yang budiman yang mempertimbangkan
dan memutuskannya.
Perhatian.
Agar efektif, kata Hollingsworth, pesan-pesan komunikasi massa harus dapat
membangkitkan perhatian khalayak. Perhatian menunjuk kepada wilayah dan titik
tekan secara psikologis. Jadi perhatian belum menukik kepada masalah pokok atau
substansi pesan yang sesungguhnya. Karena barn sebatas wilayah psiko1ogis, maka
yang disentuh adalah dimensi afektif khalayak. Caranya ialah dengan memberikan
pilihan daya tarik penyajian atau kemasan pesan.
Minati
J ika perhatian hanya dimaksudkan untuk mengusik, atau ibarat membangunkan orang
yang sedang mengantuk, maka minat justru diarahkan pada suatu tindakan yang
konkret dan spesifik. Contoh, kata-kata: minat membaca, minat menonton, minat
membeli; semuanya bersifat konkret dan Spesiflk. Semua orang bisa memahami dan
menerimanya dengan baik. Tugas media massa, ialah menumbuhkan minat khalayak,
paling tidak untuk terus selalu mengikuti perkembangan situasi serta peristiwa
dun menyerap lebih banyak informasi tentang lingkungan sosialnya.
Kesan.
Di balik arus deras informasi yang diberikan kepada khalayak komunikan, niscaya
muncul kesan. Sebagai contoh, banyaknya pemberitaan media massa tentang daftar
pemilih tetap (DPT) bermasalah dalam pemilu legislalif 9 April 2009, telah
melahirkan kesan negatif tentang kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beralasan
jika kemudian muncul banyak gugatan supaya seluruh anggota dan ketua KPU
diganti. Kesan, sesuai dengan namanya, bisa berpijak kepada fakta, tetapi bisa
juga bersandar kepada persepsi dan asumsi-asumsi. Kesan positif harus lebih
menonjol daripada kesan negatif. Jika yang tteadi sebaliknya, maka strategi
sosiologi komunikasi massa kita patut ditinjau kembali. Pasti ada sesuatu yang
keliru atau salah.
Keyakinan.
Jika kesan positif sudah ditebar dan tertanam kuat di benak khalayak, maka
khalayak perlu diyakinkan mengenai apa yang akan dilakukannya itu memang sudah
tepat dan benar. Artinya tidak perlu lagi muncul keraguan apa pun. Segala
sesuatunya sudah dalam titik pusat tujuan dan jangkauan: in focus. Keyakinan
antara lain diperoleh dengan cara memberikan argumentasi-argumentasi logis,
teoretis, dan empiris. Tentu saja, data dan fakta akurat serta lengkap sangat
diperlukan. Sebagai catatan, data dan fakta itu haruslah bunyi (informatif). '
Pengarahan.
Akhirnya, khalayak diberi sentuhan arahan secara spesiflk dan akurat mengenai
waktu, sifat, tempat, cara, dan aba-aba kapan tindakan itu diambil serta pada
saat apa yang dianggap paling tepat. Pengarahan, mendorong khalayak untuk tidak
membuang-buang waktu, mengambil keputusan secara cepat dan tepat, serta
membangkitkan rasa percaya diri secara fungsional dan proporsional. Bukankah
khalayak kerap diasumsikan bekepala batu?
Teori Raymond 5.
Ross
Teori
Raymond S. Ross, dikenal dengan rumus atau teori ANPORA sebagai singkatan dari
attention (perhatian), need (kebutuhan), plan (rencana), objection (keberatan),
reinforcement (peneguhan), dan action (tindakan). Rumus ini paling lengkap
dibandingkan dengan yang lain sekaligus mudah dipahami makna dan arahnya. Rumus
ini berlaku bagi penyampaian pesan secara sistematis dengan volume lebih banyak
atau lebih lama.
Perhatian.
Sama seperti teori Hollingsworth, pada fase ini khalayak dibangkitkan
perhatiannya agar siap menerima serangkaian pesan dengan volume cukup banyak
dari pihak komunikator. Inilah saat pemanasan bagi khalayak agar tidak kaget
dan benar-benar siap menerima serta menyerap pesan yang cukup rumit dan
abstrak. Orang yang tidak menaruh perhatian, atau orang yang tidak memusatkan
perhatian, hanya akan mendapatkan informasi nihil (zero information). Faktor
ini pula yang menyebabkan, mengapa secara sosiologis cukup banyak tayangan
acara televisi yang terkesan glamor, mewah, gemerlap. Tetapi kualitas begitu,
justru kerap mengundang persoalan.
Kebutuhan.
Jika orang sudah memusatkan perhatian, maka tahap berikutnya ialah memberikan
kepadanya apa-apa yang dibutuhkan. Ibarat orang sudah masuk restoran siap saji,
ia harus segera ditawari daftar menu. Ia tinggal menyebutkan kebutuhan dan
petugas harus segera memenuhinya dalam waktu sesingkat mungkin. Apa pun pesan
yang disampaikan kepada khalayak, harus dipastikan semuanya sesuai dengan
kebutuhan. Jika tidak, daftar kebutuhan akan berubah menjadi daftar
kemubaziran.
Rencana.
J ika kebutuhan sudah tersedia, maka perlu dijelaskan rencana apa saja yang
akan dilakukan ke depan. Berbagai hal pokok yang berkaitan dengan rencana
diingatkan dan dibahas secara kontekstual dan visioner. Pastikan rencana yang
ditetapkan dapat dikerjakan secara terukur, tepat, dan akurat dengan tingkat
efisiensi tinggi. Kata pakar manajemen, rencana yang baik dan operasional
adalah setengah keberhasilan. Setengahnya lagi nanti pada saat pelaksanaan di
lapangan. Sering kita mendengar nasihat, bila dengan rencana saja masih terjadi
kekurangan dan kesalahan, apalagi jika tanpa rencana. Resepnya, jangan pernah
sepelekan rencana jika tak mau menuai kegagalan.
Keberatan.
Dalam proses berpikir dialektis, tak setiap hal btealan linear atau hanya
sebatas garis lums. Suatu persoalan kerap hidup dalam nalurinya sendiri: rumit,
pelik, melingkar-lingkar, sarat dengan ketidakjelasan dan kegelapan. Jadi,
segala kemungkinan bisa terjadi, apakah positif atau negatif. Jika kita siap
dengan dukungan atas suatu hal, selayaknnya kita pun siap dengan penolakan,
betapapun pahitnya. Pesan yang baik, adalah pesan yang memungkinkan lahirnya
keberatan tetapi sekaligus pula memberikan peluang persetujuan. Inilah yang
disebut dinamisme kritis. Dalam bahasa sosiologi, setiap ada konflik, akan
lahir sebuah harmoni, atau paling tidak kompromi. Hanya dengan demikian, suatu
orde sosial bisa terus berlanjut, dan peradaban bisa dipertahankan.
Peneguhan.
Orang yang menerima keberatan, penolakan, dampaknegatif, sesuatu yang merugikan
atau mengerikan, sesungguhnya sedang menerima rentetan pukulan psikologis.
Mentalnya sedang dihancurkan. Egonya sedang diruntuhkan. Hanya orang dengan
kapabilitas dan kredi~ bilitas tinggi saja yang bakal lolos dan lulus dari
ujian kejiwaan semacam ini. Agar tersembuhkan, peneguhan atau penegasan
kembali, perlu dinyatakan dalam pesan yang tegas dan jelas. Pesan dengan sarat
gagasan atau perubahan ke arah lebih baik, perlu ditunjukkan dj sini. Hasilnya
pasti: khalayak akan meyakini pesan yang diterimanya adalah berkah dan bukan
musibah!
Tindakan.
Perlu diingat, khalayak media massa sering berada dalam situasi serba
ketergesaan. Ruang untuk bergerak sangat terbatas, ruang untuk berpikir pun
sangat terbatas. Karena aneka intervensi eksternal bertubi-tubi seperti bunyi
klakson mobil, hiruk-pikuk lalu lintas, atau cuaca hujan yang sangat tidak
bersahabat, kita kerap merasa sesak-nafas. Apakah arif, jika dalam situasi
serba darurat seperti ini, media massa tidak mengambil inisiatif alternatif
tindakan yang hams dilakukan khalayak komunikan? Keputusan harus diambil,
tindakan harus djalankan. .
Teori Alan H.
Monroe
Teori
Alan Monroe termasuk yang paling populer karena sering digunakan oleh semua
kalangan intelektual termasuk para jurnalis media massa. Teori Alan Monroe
dikenal dengan sebutan ANSVA sebagai singkatan dari attention (perhatian), need
(kebutuhan), satisfaction (pemuasan), visualization (penggambaran), dan action
(tindakan). Teori Monroe sangat disukai karena sederhana, sistematis, logis,
representatif, dan terasa begitu akademis bagi siapa pun yang menggunakanya.
Bagi para perencana media, teori Monroe dijadikan rujukan dasar dalam proses
pembuatan program acara dengan efek dramatis tinggi.
Perhatian.
Dapatkah kita mengajak khalayak melakukan sesuatu padahal kita tidak
membangkitkan perhatian mereka terlebih dahulu? Jelas tidak. Perhatian itu
sangat panting dan bahkan seSuai dengan naluri serta sifat-sifat dasar manusia.
Dalam ilmu retorika dikatakan, sentuhlah pendengarmu pertama-tama dengan
perhatian yang menarik. Setelah itu barulah isi kepalanya dengan pengetahuan
yang bermanfaat. Dalam bahasa remaja, siapa sih yang tidak mau atau tidak
senang diberi perhatian? Hanya tentu saja, perhatian apa pun, selayaknya bersifat
kontekstual dan fungsional.
Kebutuhan.
Jika khalayak sudah dalam posisi siap menerima pesan terburuk sekali pun,
bukankah tidak ada cara terbaik kecuali segera memenuhi kebutuhan yang
dicarinya? Jadi, sajikan kebutuhan, dan penuhi kebutuhan itu dengan serangkaian
pesan aktual serta akurat dengan tingkat objektivitas sangat tinggi. J ika
khalayak butuh jambu, maka berilah jambu yang manis. Jika khalayak butuh nenas,
maka berilah nenas yang matang. Pemenuhan kebutuhan yang ditunda-tunda, hanya
akan melahirkan aneka respons negatif dari khalayak. Sebaliknya, pemenuhan
kebutuhan yang dilakukan segera atau seketika, justru akan memunculkan sikap respek
dan ungkapan sanjungan yang mengharukan.
Pemuasan.
Jika pesan yang dirancang sudah diasumsikan memenuhi kebutuhan khalayak, fase
berikutnya ialah berusalia untuk memberi kepuasan. Sebagai ilustrasi, orang
yang lapar diberi nasi goreng lezat pasti akan berterima kasih. Tetapi ia akan
serta-merta melancarkan protes bila nasi goreng lezat yang diterimanya hanya
dua-tiga sendok saja. Mengapa? Karena perutnya sedang lapar, tiga sendok nasi
tidak mungkin akan dapat memuaskan kebutuhan perutnya. Ia akan terpuaskan
kebutuhannya apabila diberi satu piring nasi goreng. Pesan apa pun yang tidak
memuaskan kebutuhan khalayak, niscaya hanya akan melahirkan kekecewaan publik
sekaligus akhirnya bisa meruntuhkan kredibilitas media.
Penggambaran.
Penggambaran atau visualisasi, sangat diperlukan dalam strategi rancangan
pembuatan dan penyebaran pesan. Jika aspek pemuasan lebih banyak menunjuk
kepada substansi pesan, maka penggambaran atau visualisasi lebih menekankan
kepada pengemasan pesan. Pesan apa pun harus dikemas dengan baik. Lebih dari
itu, pesan perlu diberi sentuhan ilustrasi, perbandingan, contoh-contoh,
deskripsi, dan bahkan kalau perlu narasi. Psikologi komunikasi mengingatkan,
tak ada bahasa yang paling tepat bagi khalayak kecuali contoh-contoh. Dengan
bahasa contoh, khalayak akan dapat lebih cepat dan lebih mudah dalam menyerap
serangkaian pesan. Dengan visualiasi yang tepat, khalayak akan lebih cepat
dipahamkan sekaligus diyakinkan mengenai suatu gagasan atau alternatif
tindakan.
Tindakan.
Apabila khalayak sudah teryakinkan atas suatu atau rentetan pesan yang
diterimanya, tugas komunikator tinggal mendorong agar khalayak segeramengambil
tindakan yang diperlukan. Khalayak tidak boleh dibiarkan hanyut dalam keraguan
atau bahkan keputusasaan. Khalayak harus diyakinkan, dimotivasi, untuk akhirnya
diminta melakukan eksekusi. Artinya, khalayak melakukan suatu tindakan yang
diasumsikan sangat bermanfaat bagi dirinya dan sekaligus bagi lingkungan
sosialnya sesegera mungkin. J adi, khalayak perlu didorong untuk selalu mengambil
alternatif solusi, dan selalu siap pula dengan konsekuensi yang menyertainya
kemudian. Inilah yang disebut proses pembelajaran secara partisipatif.
PENELITIAN ISI
PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Mengapa
kita harus meneliti isi pesan media massa? Sedikitnya terdapat tiga macam
alasan. Pertama, kita memang sering diterpa komunikasi massa, tetapi pengalaman
personal ini sangat terbatas dan selektif sifatnya. Misalnya, tidak mungkin
bagi kita untuk memperhatikan semua acara televisi. Kedua, ldta cenderung selalu
menggeneralisasikan pengalaman komunikasi kita yang khas. Misalnya saja, jika
suatu saat kita menyaksikan beberapa acara televisi yang menggambarkan
kekerasan, maka kita cenderung mengasumsikan bahwa kebanyakan isi pesan
televisi mencerminkan kekerasan. Ketiga, dalam terpaan kita sehari-hari pada
komunikasi, kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga
dari isi pesan secara sosiologis (Wright, 1985: 136).
Penelitian
isi pesan media massa dilakukan melalui beberapa metode dan pendekatan. Satu di
antaranya melalui analisis isi. Analisis isi dalam buku ini didefmisikan
sebagai teknik penelitian untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi massa
yang objektif, sistematik, dan relevan secara sosiologis. Objektivitas menuntut
agar kategori analisis didefinisikan secara jelas dan operasional sehingga para
peneliti lain dapat mengikutinya dengan tingkat reliabilitas cukup tinggi
Analisis yang sistematik menghendakj semua isi (content) yang relevan, diteliti
berdasarkan kategori yang bermakna (Wright, 1985: 137).
Dari
sejumlah penelitian mengenai isi pesan media massa televisi di Amerika Serikat,
kita dapat memperoleh gambaran mengenai fenomena sosiologi komunikasi massa,
antara lain tentang tokoh-tokoh idola dalam biografx, posisi dan peran gender,
posisi dan peran sosial, representasi kelompok usia dalam cen'ta, dan
pencitraan orang-bang kulit putih dan orangorang kulit hitam. Kita lalu
merangkumnya secara sekilas di sini dari apa yang sudah dikumpulkan dan
dituliskan Charles R. Wright (1985: 136-169):
Tokoh Orang Ternama
dalam Biografi
Leo
Lowenthal dalam Biografies in Popular Magazines, telah menganalisis sampel
sistematis mengenai semua biografi orang ternama dalam dua majalah populer
Amerika, yakni Colliers dan Saturday Evening Post, selama empat dasawarsa
pertama abad 20. Kecenderungan tertentu muncul selama rentang waktu 4O tahun.
Hasilnya menunjukkan, idola yang terpilih untuk biografl pada awal dasawarsa,
ternyata sangat berbeda dengan yang terpilih untuk biografi di akhir dasawarsa.
Idola produksi dalam ruang lingkup politik, bisnis, dan profesi, telah
mendominasi periode awal. Sedangkan idola konsumsi, terutama dalam bidang
hiburan, telah menonjol dalam periode akhir dasawarsa.
Lebih
dari itu, Lowenthal telah mencatat pergeseran perhatian dari biografl artis
dalam bidang seni klasik atau seni serius (sastra, seni lukis, tari, musik
klasik, teater) ke arah pahlawan seni populer. Sebagai contoh, 77 persen para
artis yang telah tertulis dalam biograii sebelum Perang’ Dunia I adalah orang-orang
dalam bidang seni serius. Selarna tahun 1920-an proporsi tersebut menurun
sampai 38 persen. Setelah 1940-1941, kurang dari satu (1) dalam 10 biografi
tentang artis berkenaan dengan artis yang serius.
Realitas dalam
Drama Televisi
Seperti
dilaporkan Dallas Smythe dalam Three Years of New York Television, Dada 1953
telah dilakukan analisis isi sistematis mengenai semua acara siaran televisi di
Kota New York, Amer’ika Serikat, selama minggu pertama J anuari. Dianalisis 68
acara drama televisi, pertama dalam hal setting dan jenis karakter dalam dunia
televisi, kemudian dalam hal karakteristik sosial clan psikologis pahlawan,
penjahat dan pemeran pendukung, dan akhirnya dalam kualitas yang dikenakan pada
kelompok-kelompok kerja dalam cerita itu.
Drama
televisi yang diteliti selama seminggu itu pada pokoknya telah menggambarkan
setting Amerika yang kontemporer tetapi khayali. Laki-laki berjumlah lebih
banyak daripada kaum perempuan dalam daftar pemeran yaitu dengan perbandingan
2:1. Orang-orang sangat muda (di bawah usia 20 tahun) dan orang-orang sangat
tua (di atas usia 60 tahun) kurang terwakili dalam cerita. Kedudukan pegawai
kantor seperti manajer dan para profesional yang berstatus lebih tinggi, sangat
ditonjolkan dengan mengorbankan pekerjaan kantor rendahan atau pekerja kasar.
Pekerja bidang jasa dan rumah tangga juga ditampilkan berlebihan. Kebanyakan
tokoh televisi adalah individu-individu yang patuh pada hukum, sehat, normal.
Mereka kebanyakan orang kulit putih Amerika, kadang-kadang Eropa, tetapi jarang
sekali orang kulit hitam.
Dalam
gambaran dunia yang agak didistorsi ini, Ialu bagaimanakah para pahlawan dan
penjahat muncul? Dominasi kaum pria ternyata berlanjut terus. Para pahlawan
pria berjumlah lebih banyak daripada pahlawan wanita dengan perbandingan 2:1.
Para penjahat pria berjumlah lebih banyak daripada penjahat wanita dengan
perbandingan 4:1. Para pahlawan biasanya lebih muda dibandingkan dengan
penjahatnya. Penjahat wanita rata-rata lebih tua daripada penjahat pria. Para
pahlawan wanita rata-rata lebih tua daripada penjahat pria. Para pahlawan
wanita rata-rata lebih muda daripada pahlawan pria.
Smythe
memperkirakan bahwa dalam penggambaran ini para penjahat menyajikan ancaman
generasi lebih tua. Mereka memiliki lebih banyak kekuasaan sosial daripada para
pahlawannya. Selain itu, ora11g~orang kulit putih Amerika lebih beruntung
daripada orang-orang asing. Secara proporsional, jumlah pahlawan orang kulit
putih Amerika lebih banyak (83 persen) daripada sejumlah penjahat orang asing
(69 persen). Namun, dan ini menarik, orang-orang asing yang menjadi pahlawan,
cenderung lebih banyak wanita daripada pria. Sedangkan di antara para pahlawan
berkebangsaan Amerika, jumlah pahlawan pria justru lebih banyak daripada
pahlawan wanita dengan perbandingan 3:1.
Realitas dalam
Siaran lklan Televisi
Hasil
sejumlah penelitian menunjukkan, stereotip yang dikenakan kepada jenis kelamin
dalam peran pekerjaan tidaklah terbatas pada acara-acara dramatis seperti yang
ditunjukkan oleh hasil analisis isi oleh Joseph Dominisk dan Gail Rauch
mengenai citra wanita dalam siaran iklan televisi di New York, Amerika Serikat,
selama awal tahun 1971. Hasil penelitian yang dilaporkan Dominisk dan Ranch
dalam The Image of Women in Network TV Commercials (1972), cukup menarik.
Kaum
pria dalam siaran iklan televisi telah memerankan 43 macam pekerjaan, dan
wanitanya hanya 18 macam pekexjaan. Lebih dari setengah jumlah wanita ini
terlihat dalam peran isi rumah tangga atau ibu. Satu dari setiap tujuh orang
pria terutama tergambar sebagai seorang ayah atau suami. Contohcontoh lainya
dapat ditambahkan, tetapi hasil analisis isi tersebut cukup untuk menggambarkan
bahwa peran minoritas tertentu tampil lebih menonjol pada televisi Amerika.
Bahkan mungkin pula pada isia media massa lainnya seperti surat kabar, majalah,
dan radio siaran (Wright, 1985: 157-158).
Dari
serangkaian analisis isi yang dilakukan oleh para pakar terhadap media massa
massa Amerika itu, terutama televisi dan majalah, kita mendapat kan beberapa
catatan menarik sebagai sumber rujukan bagi penelitian tindak lanjut di
Indonesia. Kita ingin merekomendasikan beberapa hal. Karena waktu penelitian
dilakukan 4-5 dekade silam, maka perlu diberi catatan-catatan tertentu atas
setiap petunjuk atau kesimpulan yang diperoleh. Kita misalnya bisa bertanya,
jika penelitian atas kasus yang sama dilakukan tahun ini, apakah hasilnya juga
akan sama, atau justru akan berbeda jauh?
Pertama,
para pengelola media massa Amerika, seperti tercermin pada hasil anah’sis
biografi dua majalah yang kita kutip tadi, cenderung mengalami pergeseran visi
dan orientasi. Jika pada dasawarsa awal mereka menganggap pelaku seni serius
sebagai tokoh, orang penting, atau pahlawan, pada dasawarsa akhir pandangan
mereka telah bergeser. Tokoh pelaku seni serius tidak lagi dipahlawankan. Tokoh
seni populer yang justru lebih ditonjolkan dan diasumsikan sebagai pahlawan.
Kita bisa mengatakan, redaktur media massa cetak Amerika yang semula idealis
ternyata telah berubah orientasinya menjadi cenderung pragmatis. Diteropong
secara sosi010gis, hal ini mengiSyaratkan telah terjadi perubahan pandangan
serta norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Amerika.
Kedua,
pada bangsa Amerika yang kerap dilukiskan sudah sangat modern, maju, dan posisi
serta fungsi individu-individu mendapat tempat sangat layak dalam struktur dan
relasi sosial, temyata peran sosial kaum pria masih cenderung dominan
dibandingkan kaum wanita. Pandangan sosiologis mengatakan, secara kategoris
pria memang lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah (out ward looking).
Sementara kaurn wanita lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah (in word
looking). Wanita lebih banyak memerankan fngsi domestik seperu' mengurus rumah
tangga dan anak. Menarik untuk diteliti, apakah orientasi sosial budaya orang Amerika
abad 21 sekarang, juga masih seperti pada empat-lima dekade silam? Juga menarik
untuk diteliti, bagaimana pula kecenderungan yang terjadi pada rata-rata pria
dan rata-rata wanita dewasa Indonesia? Apakah kecenderungan dominasi pria atas
wanita, juga teijadi di sini, atau bahkan menjukkan kondisi yang lebih parah?
Ketiga,
orang Amerika secara kategoris masih cenderung bersikap rasialis. Mereka
memandang orang-orang kulit putih jauh lebih tinggi derajat individual dan
sosialnya daripada orang-orang kulit hitam atau orang-orang kulit berwarna.
Pandangan demikian, yang sampai dengan hari ini masih banyak penganutnya di
Amerika, tentu saja sangat menyesatkan. Akan selalu muncul bentuk-bentuk
kebijakan yang bersifat rasialis. Namun sebagai dampaknya, akan muncul pula
berbagai bentuk perlawanan kelompok minoritas terhadap kaum mayoritas. Friksi,
konflik, dan kerusuhan yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah
banyak pun, akhirnya terjadi pula di Amerika dalam dua dekade terakhir. Timbul
pertanyaan, apakah secara sosiologis media massa terpanggil untuk memberikan
solusinya?
Selain
itu, media massa televisi Amerika juga cenderung diskrimatif dalam memandang
peran dan status sosial masyarakat. Orang-orang dengan status sosial tinggi
dianggap memiliki peran lebih penting dan karena itu layak ditonjolkan.
Sementara orang-orang dengan status sosial rendah dipandang kurang penting dan
hanya ditampilkan scara sekilas. Artinya, televisi Amerika lebih berorientasi
vertikal daripada horizontal. Amat masuk akal, jika kemudian televisi Amerika
sangat kurang berempati pada berbagai pemberitaan bencana dan tragedi
kemanusiaan. Pertanyaan kritis: apakah gejala ini juga tetjadi pada media massa
televisi Indonesia?
Keempat,
dalam iklan, kaum pria Amerika dicitrakan lebih mendominasi banyak peran
individual dan sosial. Terdapat begitu banyak variasi jenis pekerjaan yang bisa
dilakukan oleh pria Amerika. Sebaliknya, pada kaum wanitanya, variasi jenis
pekerjaan dikesankan sangat terbatas. Dalam perspektif sosiologi tampak,
mobilitas fisik sosial pria Amerika jauh lebih tinggi dan cenderung dominan.
Menarik untuk ditelitj, apakah proporsi jumlah pengangguran pria di Amerika
Iebih sedikit dibandingkan dengan wanita?
Dalam
konteks Indonesia, apakah pencitraan penguasaan banyak peran sosial dan variasi
jenis pekerjaan pada jenis kelamin pria dalam berbagai iklan televisi, juga
terjadi demikjan marak? Jika ya, apakah perjuangan hak-hak emansipasi wanita
dan ideologi gender, belum banyak menuai hasil? Jika tidak, apakah realitas
iklan lebih banyak berhubungan dengan fungsi domestik kaurn wanita? Artinya,
yang lebih banyak menonton televisi adalah wanita dan yang lebih banyak
membelanjakan kebutuhan konsumsi rumah tangga juga wanita. Dengan premis ini,
selayaknya penokohan dalam bintang-bintang iklan semestinya juga wanita. Ladang
penelitian sosiologi komunikasi massa, ternyata memang demikian luas dan nyaris
tak terbatas. Sayangnya, belum banyak pihak perguruan tinggi dan individu
akademisi yang tertarik untuk melakukannya. Akibatnya, memang kasat mata:
sedikit sekali buku yang secara khusus mengupas sosiologi komunikasi massa yang
beredar di pasaran.
BAB VI
SOSIOLOGI
KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
SIAPA
KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA?
Dalam
sosiologi, massa secara sederhana diartikan sebagai kumpulan orang dari
karakteristik sosial bersifat homogen atau heterogen serta anonim yang berada
dalam suatu tempat yang sama tetapi tidak selalu terikat kepada kepentingan dan
tujuan yang spesifik. Sebagai contoh, ratusan pekerja pabrik Yang berdemo
menuntut kenaikan upah minimum di depan gedung DPRD di suatu kota, disebut
massa. Dalam konsep ini, massa dipahami ini miliki kepentingan atau tujuan yang
sama: menuntut kenaikan upah. Tetapi, jika kita melihat kerumunan orang di depan
pintu gerbang stadion sepak bola sesudah Pertandingan selesai, maka dapatkah
kita mengatakan mereka sesungguhnya terikat kepada kepentingan atau tujuan
tertentu yang bersifat Spesifik? Kita Pasti akan mengatakan tidak. Kalaupun
dikatakan ndak, mereka tetap disebut massa.
Komunikasi
Massa Perspektif Sosiologi
Komunikasi massa dalam
perspektif sosiologi, sangat berbeda dengan pengertian komunikasi massa menurut
perspektif komunikologi. Dalam bahasa sosiologi, berbicara lantang berapi-api
dengan tangan terkepal ke udara dari atas panggung kampanye pemilu yang
dihadiri ratusan atau ribuan orang di lapangan terbuka seperti stadion sepak
bola, adalah komunikasi massa. Komunikasi massa di sini, hanya merupakan
singkatan kata dari frasa atau ungkapan komunikasi dengan massa. Artinya
berkomunikasi dengan orang banyak yang secara kuantitatif jumlahnya mencapai
ratusan, ribuan, atau bahkan ratusan ribu.
Komunikasi massa
seperti itu, dalam komunikologi disebut public speaking. Disebut public
speaking, karena sesuai dengan namanya: berbicara di depan umum. Pembicara
dalam public speaking disebut speaker atau orator. Orator adalah ahli pidato
yang pandai memukau massa. Berbeda dengan orator yang dikesankan memiliki
keahlian khusus dalam berpidato atau memukau massa, speaker mengandung
pengertian netral. Rumusnya sederhana: seorang orator dengan sendirinya seorang
speaker, tetapi seorang speaker belum tentu seorang orator. Dalam aktivitas
public speaking seperti pada masa kampanye pemilu, masyarakat Iebih merindukan
seorang orator‘ daripada seorang speaker. Biasanya, para aktivis dan pendiri
partai politik lebih banyak memerankan diri sebagai seorang orator. Sedangkan
para pejabat tinggi atau menteri sebagai pendukung partai pihak pemerintah yang
sedang berkuasa Iebih banyak memosisikan diri sebagai speaker.
Komunikasi massa dalam
perspektif sosiologi, hanya menunjuk kepada satu dimensi ruang dan satu dimensi
waktu. Artinya, komunikasi dengan massa terjadi di suatu tempat, sebut saja
sebuah lapangan sepak bola. Juga terjadi hanya pada saat itu saja dan dengan
sekumpulan orang atau massa itu saja. Seorang speaker atau orator tidak bisa
berbicara dengan massa pada banyak tempat. Walaupun massanya ratusan atau
ribuan, jumlahnya tetap termasuk terbatas (limited), dan bukan tak terbatas
(unlimited). Karena berada dalam satu tempat dengan jumlah orarig yang
terbatas, seorang speaker atau orator bersifat kasat mata: ia bisa melihat
massa, ia juga bisa dilihat massa. Dengan demikian, ia bisa memengaruhi,
mengendalikan, dan menggerakkan massa untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu pada saat bersamaan secara serempak. Ia, dalam bahasa intelijen,
disebut sebagai penggerak atau agitator massa.
Komunikasi
Massa Perspektif Komunikologi
Dalam perspektif atau
sudut pandang komunikologi, komunikasi massa bukanlah berbicara di atas
panggung dengan ratusan atau ribuan orang di suatu tempat secara langsung.
Komunikasi massa secara sederhana berarti berkomunikasi dengan menggunakan
media massa. Media massa, berdasarkan bentuknya terdiri atas surat kabar,
tabloid, majalah‘, radio siaran, televisi siaran, dan media on line internet.
Prosesnya bukan primer atau bukan berhadapan langsung dengan khalayak
komunikan. Kebalikan primer (langsung) adalah sekunder (tidak langsung).
Sekunder berarti komunikasi dilakukan secara tidak langsung tatap muka serta
menggunakan media bantu bantu seperti tampak pada radio dan televisi.
Kita bisa mengatakan,
komunikasi massa dalam pengertian sosiologi dilakukan secara manual. Sifatnya
cenderung individual. Sedangkan komunikasi massa dalam pengertian komunikologi
dilaksanakan secara teknologikal. Sifatnya justru institusional. Jika khalayak
komunikasi massa dalam perspektif sosiologi bersifat terbatas, komunikasi massa
dalam perspektif komunikologi bersifat tak terbatas. Apabila komunikasi masa
dalam sudut pandang sosiologi hanya dapat dilakukan dengan khalayak komunikan
di suatu tempat, komunikasi massa dalam sudut pandang komunikologi dilakukan
dengan khalayak komunikan tak terbatas pada banyak tempat. Selain itu, komunikasi
massa dalam perspektif komunikologi hanya dapat dilakukan secara sekunder:
tidak langsung dan hanya melalui peralatan (medium). Tak ada kegiatan
komunikasi massa yang tidak meng~ gunakan media. Dalam literatur komunikasi
massa, kita mengenal banyak media: media cetak, media auditif, media
audiovisual, media on line internet.
Apakah komunikasi
massa, atau komunikasi dengan menggunakan media massa, seperti ketika seorang
orator berbicara dengan ribuan orang di stadion sepak bola pada kampanye
pemilu, steril dari pengaruh aspekaspek atau dimensi sosiologis? Teori
sosiologi menyatakan, orang melakukan suatu perbuatan karena pengaruh kelompok
di sekitarnya. Ada perilaku yang disadari dan direncanakan. Ada pula perilaku
yang tidak disadari dan tak direncanakan seperti tampak pada kasus-kasus
kerusuhan sepak bola di banyak tempat di Indonesia dan belahan dunia lain
termasuk di Eropa.
Dalam teori komum'kasi
kategori sosial (social category communication theory) dikemukakan, khalayak
dari kelompok lapisan sosial yang sama, atau yang bersifat homogen, misalnya
pria-remaja pelajar setingkat SMA, akan memberikan sikap dan tanggapan yang
cenderung sama terhadap laporan media massa yang berkaitan erat dengan minat,
perhatian, dan kepentingannya. Mereka katakanlah penggemar fanatik klub sepak
bola profesional (Iiga utama) di kotanya. Ketika klub sepak bola yang
didukungnya mati-matian menderita kekalahan dalam satu pertandingan penting
penentuan lolos degradasi, mereka dipastikan bakal histeris, panik, dan bahkan
anarkis‘. Mereka tidak bisa menerima realitas kekalahan im. Mereka hanya siap
dengan satu realitas yang dikehendakinya: kemenangan‘!
Teori kategori sosial
dengan jelas menunjukkan kepada kita, aspekaspek sosiologis sangat memengaruhi
tanggapan, sikap, dan perilaku khalayak komunikasi massa. Apa maknanya? Para
calon komunikolog, seperti juga Anda, atau bahkan para komunikolog profesional,
tak ada pilihan kecuali harus menyelami sosiologi secara sungguh-sungguh
(intens) jika perencanaan, penelitian, dan pelaksanaan kegiatan komunikasinya
tak ingin berakhir dengan kegagalan fatal. Komunikasi tak hanya persoalan
kemasan pesan atau isi pesan (content). Komunikasi mempersoalkan juga siapa
bicara apa, dengan media apa, dalam situasi personal dan situasi sosial (konteks)
seperti apa, agar melahirkan efek sebesar apa kepada siapa.
Khalayak
Media Komunikasi Massa
Richard T. La Piere,
dalam buku karyanya Theory of Social Control, berpendapat bahwa lingkungan inti
seperti rumah, keluarga, gereja, dan jaringan persahabatan, lebih memengaruhi
nilai-nilai, sikap dan perilaku individu daripada media massa. Orang-orang
berpaling ke media untuk memperoleh apa yang mereka cari, bukan dalam kerangka
menyediakan diri untuk dipengaruhi. Jumlah media begitu banyak sehingga
orang-orang memiliki banyak pilihan dan tidak akan terikat oleh media tertentu
saja. Selain itu, seseorang tidak akan mudah mengubah keyakinannya. Hubungan
dengan media juga berjarak, dan orang-orang pada umumnya akan lebih memercayai
kelompok sosial terdekatnya. Hubungan personal merupakan saringan bagi hubungan
impersonal yang dilancarkan media massa. Pesan media baru akan diterima jika
hal itu sesuai dengan pesan lingkungan sosial.
Media massa baru akan
benar-benar berpengaruh jika sebelumnya ia berhasil menjalin kedekatan dengan
khalayaknya. Pada tahun 1930-an Pendeta Coughlin menggunakan radio untuk
menyampaikan khotbah bagi jemaahnya. Dalam situasi ini media radio memang
sangat berpengaruli. Banyak diktator yang mencoba cara seperti ini. Pengiriman
kartu ulang tahun, atau kartu ucapan selamat yang sering dikirimkan kepada atau
dari para aktor atau tokoh-tokoh kartun terkenal namun tidak dikenal secara
pribadi, sangat lazim dilakukan. Ini membuktikan bahwa media bisa efektiiC jika
ada kedekatan personal, dan sebaliknya media memang bisa menumbuhkan kedekatan
personal.
Media massa di Amerika
Serikat, bahkan diarahkan untuk menyenangkan sebanyak mungkin orang. Dengan
demikian mereka akan lebih mudah dibujuk. Para pengelola media dalam
kenyataannya memang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan selera pasar‘
Dengan cara ini mereka bisa menekan biaya dan memaksimalkan pendapatan,
misalnya dari iklan. Lebih jauh, untuk dekat dengan pasar atau sebanyak mungkin
orang, media harus mengetahui nilai-nilai yang mereka anut, dan menyesuaikan
diri terhadapnya. Semakin banyak mereka tahu karakter masyarakat, semakin mudah
media merangkulnya. Pengabaian nilai-nilai tersebut jelas akan membuahkan
malapetaka ekonomi (Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 40-41).
Kita sengaja mengutip
La Piere agak panjang sekadar untuk menun~ jukkan sekaligus membuktikan tesis
kita: khalayak media komunikasi massa memiliki keterikatan sosial sangat tinggi
dengan lingkungannya. Khalayak media tidak seperti dilukiskan dalam teori jarum
hipodermik yang selalu menerima pesan tanpa reserve dan pengaruh media begitu
perkasa. Orang berhubungan dengan media karena tujuan tertentu, dan bukan
karena pasrah atau sukarela dirinya siap dipengaruhi media. La Piere bahkan
mengingatkan kita, orang akan lebih cenderung memercayai kelompok sosial
terdekat daripada memercayai pesan media massa. Jadi, sumber rujukan utama
khalayak bukanlah media, melainkan kelompok, ikatan-ikatan, dan normanorma
sosial setempat.
PRINSIP
UMUM PERILAKU KHALAYAK KOMUNIKASI MASSA
Pada 3 September 1919,
Presiden Woodrow Wilson mulai mengendarai mobil pribadinya yang besar dan
berwarna biru gelap untuk berkampanye menggalang dukungan rakyat Amerika
terhadap idenya membentuk Liga Bangsa-Bangsa. Sebagian besar senator menentang
ide itu, namun presiden yakin rakyat akan mendukungnya jika ia menjelaskannya
secara tepat. Dalam 22 hari berikutnya ia berkeliling 17 negara bagian sejauh
delapan ribu mil dan memberikan 4o kali pidato resmi. Hugh Baillie, yang
meliput perjalanan presiden itu, mengenangnya 30 tahun kemudian dalam memoarnya
yang berjudul High Tension: “Seandainya saja saat itu sudah ada radio dan
televisi yang memungkinkannya menyampaikan pesan-pesan kepada jutaan orang
sekaligus, sejarah mungkin akan berbeda. Dengan televisi, saya yakin Wilson akan
meraih dukungan bagi ide pembentukan Liga BangsaaBangsa”. Pada tahun 1919,
seseorang memang hanya dapat memiliki khalayak sebanyak jumlah orang yang
mengerumuninya saja. Kini, media siaran memungkinkannya menyampaikan pesan
kepada jutaan orang sekaligus (Rivers, Jensen, Peterson, 2003:301).
Wilson, seperti dicatat
sejarah, terbukti benar. Idenya menjadi kenyataan. Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB), yang dulu bernama Liga BangsaBangsa (LBB), masih berdiri kokoh sampai
detik ini. Jumlah anggota PBB Tercatat mencapai 200 negara lebih. Kita bisa
membayangkan, apa yang akan terjadi di planet ini seandainya tidak ada PBB. Di
sini, kita tidak akan menguias sejarah, fungsi, pengaruh, dan eksistensi PBB.
Cukuplah dikatakan, ide-ide besar sering berlaku dan diakui pengaruhnya setelah
pencetusnya dada. Media massa, terbukti memiliki andil besar dalam soai itu.
Khalayak berbagai
media, mulai dari surat kabar sampai dengan film, memiliki ciri-ciri spesifik,
meskipun dalam sejumlah hal juga menunjukkan kesamaan tertentu. Pemirsa
televisi misalnya, biasanya jarang menggemari buku. Sedangkan pembaca setia
surat kabar biasanya bukan merupakan penggemar mm. Bahkan terhadap satu jenis
media, ketertarikan khalayak berbeda-beda, bergantung pada profesi, minat, dan
selera mereka, kata Rivers, Jensen, dan Peterson dalam buku karya mereka, Mass
Media and Modern Society. Dari berbagai penelitian terungkap, terdapat empat
prinsip umum perilaku khalayak komunikasi massa. Di sini, kita mengutip secara
penuh dari Rivers dan kawan-kawan keempat prinsip umum khalayak tersebut agar
tidak kehilangan makna dan konteksnya (Rivers, Jensen, Peterson, 2003:
306-308):
Prinsip
Semua atau Tidak Sama Sekali
Paul Lazarsfeld dan
Patricia Kendall memperkenalkan prinsip semua atau tidak sama sekali.
Maksudnya, seseorang yang senang dengan suatu media, biasanya akan menyenangi
jenis media lain pula. Sedangkan mereka yang tidak menyukai suatu jenis media,
biasanya juga tidak menyukai jenis media lainnya. Keduanya juga mencatat bahwa
setiap orang merupakan khalayak dari beberapa media sekaligus. Sebagai contoh,
pendengar radio biasanya senang menonton film ke bioskop. Sebaliknya meréka
yang tidak pernah suka mendengarkan radio juga jarang ke bioskop.
Dari
risetnya tentang pembaca majalah, Lazarsfeld dan Wyant menemukan bahwa pembaca
majalah biasanya membaca beberapa jenis majalah sekaligus. Kesimpulan serupa
juga didapat dari studi yang dilakukan Magazine Advertising Bureau: separuh
pembaca majalah membaca empat majalah atau lebih, 32 persen membaca dun atau
tiga majalah. dan hanya 18 persen yang membaca satu majalah saja.
Studi tentang khalayak
televisi ikut memperteguh kesimpulan itu. Para pemilik televisi biasanya
sebelumnya juga menikmati media iain seperti radio, surat kabar, majalah, atau
film. Studi lain menunjukkan bahwa ketika televsi berjaya, hanya radio dan film
yang terpukul. Para penggemar televisi kenyataannya masih tetap membaca surat
kabar atau majalah. Televisi umumnya digunakan sebagai media hiburan, sehingga
tidak akan men ganggu fungsi media cetak sebagai penyedia informasi.
Prinsip
Pendidikan
Berbagai studi juga
berkesimpulan bahwa secara umum orang berpendidikan lebih banyak menggunakan
media, meskipun ada variasi untuk media tertentu. Penggunaan surat kabar
berbanding lurus dengan tingkat pendidik~ an, demikian pula dengan majalah dan
buku.
Meksipun demikian,
tingkat pendidikan ternyata tidak banyak berhubungan dengan pemilihan media
elektronik atau media siaran. Kalau media bacaan lebih digemari oleh mereka
yang berpendidikan tinggi, penggemar televisi dan radio kebanyakan adalah
mereka yang hanya berpendidikan sekolah menengah.
Di sini kita ingin
menegaskan, Rivers dan kawan-kawan benar. Sejarah membuktikan, media cetak
ditakdirkan untuk membuat dan melanggengkan peradaban, radio siaran
dikembangkan untuk pekabaran tercepat melintas batas-batas geografis, dan media
massa televisi diciptakan untuk membangun industri hiburan secara
besar-besaran. Orang yang lebih banyak menonton televisi, tidak sedang mencari
informasi atau edukasi. Mereka justru sedang mencari rekreasi, dan ini terjadi
di seluruh dunia, bukan di Indonesia semata.
Prinsip
Ekonomi
Semakin
tinggi penghasilan akan semakin tinggi pula tingkat penggunaan media. Namun
prinsip ini hanya berlaku untuk media cetak, dan tidak terlalu terasakan pada
media siaran. Kebiasaan membaca surat kabar meningkat seiring dengan kenaikan
pendapatan, termasuk perhatian terhadap heritaberita tentang masalah sosial,
politik dan ekonomi, serta tajuk rencana.
Kecenderungan mereka yang
berpenghasilan tinggi membaca majalah jauh lebih besar daripada mereka yang
berpenghasilan rendah. Sekitar 90 persen orang berpenghasilan tinggi adalah
pernbaca majalah, namun hanya separuh dari mereka yang berpenghasilan rendah.
Semakjn tinggi pendapatan, semakin banyak pula majalah yang dibaca. Hal yang
sama berlaku untuk buku.
Dalam konteks Indonesia, kita
ingin menegaskan, tingkat pendapatan masyarakat yang rata-rata rendah atau
bahkan sangat rendah, telah menjadi faktor penyebab mengapa tiras surat kabar
dan majalah per hari menjadi sangat kecil. Orang menjadi tidak terbiasa untuk
berlangganan surat kabar atau majalah di rumah. Orang lebih banyak mengandalkan
televisi sebagai pemasok informasi walaupun serba singkat dan selintas. Tekanan
ekonomi telah menjadi pemicu jumlah penurunan tiras surat kabar dan majalah
setiap tahun. Selain itu, juga sedikit sekali atau bahkan nyaris tidak ada
surat kabar dan majalah baru terbit dalam kurun waktu satu tahun. Kalaupun
satu-dua ditemukan media baru, biasanya umurnya hanya beberapa bulan dan tidak
lebih dari satu tahun.
Prinsip
Usia
Semakin tinggi uéia seseorang,
semakin besar kecenderungannya menggunakan media untuk hal-ha] serius, bukan
sekadar hiburan. Para pembaca yang lebih lanjut usia memiliki kecenderungan
jauh lebih besar daripada pembaca muda untuk menyimak surat-surat pembaca di
surat kabar atau liputan tentang masalah-masalah sosial. Bagi para pembaca usia
60 tahun ke atas, surat pembaca justru hal nomor dua yang paling digemari
setelah foto-foto berita.
Sebaliknya, pembaca berusia 20
tahun ke bawah jarang sekali membaca tajuk rencana. Untuk acara radio,
pendengar berusia l‘anjut lebih menyukai acara-acara serius sepeni warta
berita, diskusi'masalah-masalah sosial, musik klasik dan semiklasik, program
keagamaan, dan kuis yang mungkin dianggap baik atau menarik karena bersifat
mendidik. Pola yang kurang lebih serupa juga berlaku untuk televisi. Generasi
muda biasanya mem’ilih musik khas keagamaan mereka, film atau drama mencekam.
Jangkauan sejauh mana seseorang
menggunakan media tampaknya tidak dipengaruhi oleh usia. Kecenderungan umumnya
adalah semakin bertambah usia seseorang, minatnya terhadap media cenderung
berkurang.
kegemaran
terhadnp media dimnlai pada usia belasan tahun dan puncaknya biasanya pada usia
lima puluh. Pembaca usia lanjut membaca lebih sedikit buku atuu nmjnluh
daripada pembaca usia muda. Khusus untuk film, puncak nlinat justru tumbuh di
kalangan remaja, dan mulai merosot sejak usia 30-an Rivers, Jensen, Peterson,
2003: 306-308).
Kecenderungan
yang sama kini texjadi di Indonesia. Film-film bioskop, setelah satu dekade
mati suri, kini seolah bangkit kembali. Para sutradara muda bermunculan. Aktor
dan aktris remaja banyak tampil pada film-film layar lebar. Di kota-kota besar
bioskop dibanjiri penonton pada sore dan malam hari. Bahkan beberapa judul film
karya anak muda, mencapai jumlah penonton rekor tertinggi atau mencapai di atas
tiga juta orang. Secara sosiologis, ldni anak-anak muda perkotaan akan merasa
tidak gaul dan tidak percaya diri jika dalam satu bulan tidak menonton film
terbaru yang banyak dibicarakan media massa. Menonton film, yang semula sebagai
kebutuhan psikologis, bagi mereka telah berubah menjadi kebutuhan sosiologis.
Fenomena
tersebut, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan John Dewey. Ia
menyatakan, komunikasi massa adalah hal yang paling menakjubkan. Masyarakat
manusia, katanya, bertahan berkat adanya komunikasi, dan terus berkembang
barkat komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai penyesuaian
diri yang diperlukan, dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada
sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula
manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan
norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke
generasi.
Pada
setiap masyarakat, mulai dari yang paling primitif hingga yang kompleks, sistem
komunikasi menjalankan empat fungsi. Harold Lasswell telah mendeflnisikan tiga
di antaranya: pengawasan lingkungan yang mendukung; pengaitan berbagai komponen
masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; serta
pengalihan warisan sosial. Wilbur Schramm menggunakan istilah yang lebih
sederhana, yakni sistem komunikasi sebagai penjaga, forum dan guru. Ia dan sejumlah
pakar menambahkan fungsi keempat: sumber hiburan (Rivers, Jensen, Peterson,2003
:33-34)
Fungsi keempat komunikasi massa
sebagai sumber hiburan, telah menyebabkan televisi menjadi primadona hiburan
yang paling populer, massal. dan menasional. Artinya tak hanya digemari pada
satuan komunitaé tokal tertentu, tetapi sudah mencakup seluruh wilayah nasional
suatu negara/ Sebut saja di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dengan
cakupan 13 fibu pulau besar-kecil. Fenomena demikian bukan berarti tidak memberikap
dampak negatif. Fakta menunjukkan, secara sosiologis cukup banyak materi siaran
televisi yang bisa dikategorikan membunuh kekayaan norma-norma sosial budaya
lokal. Televisi telah melahirkan budaya seragam, satu warna, monoton, dan
bahkan bersifat mendikte.
PENELITIAN
SOSIOLOGI KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
Pada
bagian ini, kita masih ingin meneropong lebih jauh tentang sosiologi khalayak.
Kita ingin belajar dari para pakar terdahulu tentang bagaimana mereka melakukan
penelitian yang bersinggungan dengan aspek-aspek sosiologi khalayak, dan apa
serta bagaimana pula hasilnya. Jika konsentrasi komunikologi lebih banyak pada
media dan isi pesan komunikasi, sosiologi justru tertarik pada pertanyaan:
siapa dan dari kelompok mana yang menjadi komunikator dan komunikan dalam
aktivitas komunikasi massa. Berikut kita sajikan beberapa hasil penelitian
sosiologi khalayak komunikasi massa. Diakui, contoh-contoh penelitian semuanya,
terjadi di benua Amerika. Karena itu bisa saja muncul penilaian roh sosiologi
khalayaknya kurang membumi karena inengambil latar (setting) Amerika. Tidak
apa-apa, sejauh relevansinya cukup kuat untuk menjelaskan fenomena sosiologis
dalam komunikasi massa di Indonesia.
Penelitian Mengenai
Peran Para Pemuka Pendapat
Paul
Lazarsfeld, Bernard Berelson, dan H. Gaudet dalam buku karya mereka The
People’s Chaise (1948), telah melakukan penelitian mengenai peran para pemuka
pendapat (opinion leader) dalam kampanye pemilihan umum di Amerika Serikat.
Mereka tertarik untuk menemukan bagaimana dan mengapa orangnorang memutuskan
untuk memberikan suara mereka pada kaat pemilu. Dalam catatan Wright,
penelitian Lazarsfeld, Berelson dan Gaudet telah memberikan bukti-bukti menarik
mengenai pemuka pendapat dan mendorong penelitian berikutnya temtama berkaitan dengan
pengaruh personal dalam kelompok-kelompok sosial.
Pertama,
kata Wright, para pemuka pendapat terdapat pada seluruh struktur sosial. Pesan
yang ingin disampaikan kepada kita ialah bahwa pengaruh personal mengalir bukan
hanya dari atas ke bawah dalam masyarakat, melainkan juga secara horizontal
dalam kelas sosiai atau status kelompok lainnya.
Kedua,
pemuka pendapat diketahui sebagai orang-orang yang waspada, tertarik, dan aktif
secara politis. Diketahui, enam dari 10 orang pemuka pendapat mengatakan mereka
sangat tertarik pada pemilihan umum; berbeda dengan hanya satu dari empat orang
yang bukan pemuka pendapat.
Ketiga,
para pemuka pendapat lebih banyak diterpa kampanye media massa daripada yang
bukan pemuka pendapat. Pemuka pendapat, cenderung membaca artikel surat kabar
dan majalah mengenai pemilihan umum daripada yang bukan pemuka pendapat. Mereka
juga lebih cenderung mendengarkan radio dan mengikuti rapat kampanye politik.
Selanjutnya, mereka adalah pemakai media massa kelas berat. Pemuka pendapat cenderung
banyak menggunakan media daripada yang bukan pemuka pendapat.
Keempat,
dan ini yang paling penting, terdapat bukti bahwa pemuka pendapat telah
menggunakan gagasan dan informasi yang diperoleh dari media massa dalam nasihat
dan penerangan yang mereka sampaikan kepada para pengikutnya. Salah satu fungsi
pemuka pendapat adalah menjadi perantara antara media massa dan orang lain
dalam keiompok mereka (Wright, 1985: 101-102).
Apakah
kita akan menerima begitu saja hasil penelitian Lazarsfeld,Berelson, dan
Gaudet? Logika akademik mengatakan, setiap inteiektual harus bersikap kritis.
Kita pun demikian. Artinya tidak semua hasil penelitian Lazarsfeld dan
kawan-kawan kita terima bulat 100 persen. Kita ingin memberikan beberapa
catatan bersifat teoretis akademis. Pertama, penelitian Lazarsfeld dilakukan
enam dekade silam. Kedua, penelitian terjadi pada masyarakat Amerika. Apakah
dalam rentang waktu enam dekade dengan setting Amerika, masih juga ditemukan
kecendernngan serta bahkan kesimpulan yang sama untuk kurun waktu sekarang ini?
Kita mencatat, perubahan sosial budaya dan peran personal dalam struktur sosiai
,Amerika, terjadi sangat cepat, sehingga saking cepatnya, masyarakat seolaH
)upa dan tak merasa perlu untuk menghitungnya. Jadi, realitas empirik d} Amerika
abad 21 dewasa kini, boleh jadi sudah'sangat berlainan dengan fealitas empirik
Amerika dulu. Logika akademik menggugat: apakah layak membandingkan dua hal
yang berlainan?
Dalam
beberapa hal lain, harus diakui, kita percaya dan bahkan meyakini kebenaran serta
keajegan hasil penelitian Lazarsfeld dan kawan/ kawan mengenai kaitan media
massa dengan pemuka pendapat dalam sosiologi khalayak. Katakanlah misalnya para
pemuka pendapat lebih banyalt menggunakan media massa sebagai sumber rujukan
atau referensi dalam memperoleh informasi serta legitimasi ketika melakukan
kontak komunikasi dengan individu-individn dalam kelompok sosialnya. Di sini,
persis seperti dikemukakan Schcramm, media massa diakui dan diperlakukan
sebagai guru.
Dalam
logika sosiologis, seorang guru tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang negatif
atau bertentangan dengan norma-norma kelompok dan norma-norma sosial dalam
suatu masyarakat. Ia pasti memberikan hal~ hal baik dan juga yang terbaik.
Bukankah guru juga adalah seorang pemuka pendapat yang telah mendapat
legitimasi formal sekaligus legitimasi sosial? Legitimasi fOrmal, terlihat dari
tingkat pendidikan dan jabatan fungsionalnya di sekolah. Ia pendidik yang
disegani. Legitimasi sosial, terlihat dari pengakuan dan kontribusinya dalam
berbagai aktivitas sosial di tengah~ tengah berbagai kelompok sosial
masyarakat. Ia seorang pemuka pendapat atau tokoh yang dihormati.
Penelitian Perilaku
Komunikasi Tokoh Lokal dan Kosmopolitan
Siapa
yang tidak kenal Robet K. Merton? Dalam literatur komunikasi, namanya begitu
sering disebut. Ia seorang pakarkomunikasi Amerika yang sangat diakui
reputasinya. Dalam buku Lazarsfeld dan Stanton, Personal Influence, Merton
membahas panjang-lebar tentang apa yang disebutnya patterns influence atau
poia-corak pengaruh. Ia melakukan penelitian Inengenai pengaruh interpersonal
dan perilaku komnnikasi di sebuah komunitas kecil berpenduduk 11 ribu orang di
Eastern, Amerika Serikat.
Wright
melaporkan, Merton dan teman-temannya telah membuat suatu penemuan penting yang
telah memperluas pengertian kita mengenai pemuka pendapat pada umumnya dan
mengenai ruang lingkup di antara mereka dengan komunikasi massa khususnya.
Penemuan itu telah menjadi bukti bahwa konsep keseluruhan mengenai influentials
(orang~orang yang berpengaruh) tidak cukup spesifik, karena tidak ada satu
corak tunggal yang terpisah dari orang lain dalam suatu komunitas. Tetapi
terlihat ada beberapa corak orang berpengaruh, sedikitnya terdapat dua corak
tampak pada pemuka pendapat.
Merton
telah mengidentiflkasikan para pemuka pendapat tersebut sebagai local
influentials atau tokoh lokal dan cosmopolitan influentials atau tokoh
kosmopolitan. Kriteria utama untuk membedakan kedua corak ini adalah orientasi
mereka ke arah kota mereka. Tokoh lokal, pada hakikatnya lebih memikirkan
hubungan-hubungan dengan masyarakatnya sendiri. Sedangkan tokoh kosmopolitan,
selain memikirkan masyarakat kotanya, juga berm'usan dengan dunia yang lebih
luas, baik nasional maupun internasional, serta masalah-masalahnya.
Tokoh
lokal dan tokoh kosmopolitan juga berbeda dalam perilakn komunikasi mereka.
Mereka menggunakan media massa lebih banyak daripada yang dilakukan oleh
rata-rata orang biasa dalarn masyarakat. Hanya dalam cita-rasa komunikasi dan
penggunaan materi komunikasi, mereka berbeda. Pola dalam membaca majalah
berita, misalnya, tokoh lokal lebih menyukai topik yang ringan, sementara tokoh
kosmopolitan lebih menggandrungi pokok bahasan yang relatif berat.
Merton,
menjelaskan perbedaan ini dengan melihat fungsi majalah yang berlaku bagi setiap
corak tokoh ini. Bagi tokoh kosmopolitan, majalah berita adalah rantai
penghubung yang penting dengan dunia luar, memberikan informasi untuk
mengurangi perasaan isolasi budaya mereka, serta memungkinkan mereka untuk
memelihara kepemimpinan mereka atas topik-topik nonlokal. Bagi tokoh lokal,
majalah berita mempakan kemewahan, karena majalah ini tidak berisi banyak
materi mengenai berbagai peristiwa lokal. Padahal berita mengenai berbagai
peristiwa lokal sangat mereka perlukan. Mereka akan dimintai pendapatnya oleh
warga-warga lokal setempat. Tokoh kosmopolitan lebih menyukai media massa
nasional. Sebaliknya tokoh lokal lebih mengutamakan media massa lokal (Wright,
1985: 103-105).
Kita
juga mencatat, penelitian Merton memberikan arah mengena? keeenderungan dampak
pengaruh sosial kehadjran pemuka pendapat, baiV dalam kapasitas sebagai tokoh
lokal maupun dalam posisi sebagai tokoh kosmopolitan. Pertama, tokoh lokal
cenderung bersifat polimonphis: malnpv memberikan pengaruh dalam berbagai
bidang dan aspek kehidupan, dart fungsi itu diakui oleh komunitas lokal
setempat. Kedua, tokoh kosmopolitan cenderung bersifat monomorphis: hanya mampu
memberikan pengaruh terbatas sesuai dengan tingkat keahlian, pendidikan, atau
penguasaan pengalamannya masing-masing. Jika ia seorang sarjana ekonomi, maka
i3 hanya diakui kepakarannya dalam bidang ekonomifLain tidak.
Kontribusi
penelitian Merton tentang corak perilaku komunikasi dan pengaruh personal
pemuka pendapat, sangatlah berarti. Dari Merton, kita bisa menjelaskan fenomena
posisi, fungsi, dan eksistensi tokoh-tokoh lokal dalam komunikasi serta
sosialisasi politik. Bukankah para calon anggota legislatif dan para anggota
parlemen yang ingin terpilih lagi dalam pemilu berikut, termasuk dalam
pemilihan gubernur, bupati atau wali kota, harus menguasai terlebih dahulu
sosiologi komunikasi‘khalayak di suatu atau di tiap kota setempat?
Sebagai
bahan rujukan dan perbandingan, tengoklah misalnya basil pemilu legislatif 9
April 2009 di Indonesia. Tingkat penguasaan sosiologi komunikasi khalayak yang
sangat rendah, dan bahkan nihil sama sekali, telah menyebabkan banyaknya calon
anggota legislatif (caleg) yang stres, depresi, gila, dan atau bahkan bunuh
diri, hanya beberapa saat setelah mengetahui dirinya diyakini gagal melenggang
menjadi wakil rakyat di kotanya masing» masing. Mereka hanya mengenal psikologi
kemenangan tetapi lupa dengan psikologi kekalahan, Mereka tidak menyadari,
dalam kompetisi pasti ada yang menang, ada pula yang kalah.
Sebegitu
jauh, partai politik yang memayungi mereka hanya bersikap pasif. Tidak ada
upaya secara sadar dan sistematis mengenai penempaan intelektual dan mental
terhadap para caleg mereka. Ada kesan, para caleg itu dilepas begitu saja untuk
memasuki arena pertarungan legislatif yang diketahui sangat keras dan bahkan
kejam. Disebut kejam, karena jika dulll bersaingan yang terjadi hanya
antarparpol, kini pe‘rsaingan itu semakin hebat Elan kasar dalam tubuh internal
satu parpol sendiri. Di antara sesama caleg satu parpol, teljadi saling sikut,
saling banting, dan saling menjatnhkan tanpa bingkai etika sosial politik.
Sungguh mengerikan.
Penelitian Pengaruh
Personal Para Pemuka Pendapat
Apakah
para pemuka pendapat memiliki pengaruh personal dibandingkan dengan pengaruh
media massa? Jika ya, sebesar apa pengaruh itu? Besarkecilnya tingkat pengarnh
personal, akan tampak pada berapa banyak orang yang mengikuti pendapat,
mengubah sikap, dan melakukan suatu perbuatan seperti yang secara sadar
dikehendaki oleh pemuka pendapat. Untuk menjawab pertanyaan itulah, Elihu Katz
dan Paul Lazarsfeld pada 1945 telah melakukan penelitian panel mengenai pemuka
pendapat di Decatur, Illionis, sebuah kota bependuduk enam ribn jiwa di Amerika
Serikat. Hasil penelitiannya, barn 10 tahun kemudian dipublikasikan dalam
Personal Influence.
Empat
masalah telah menarik perhatian para peneliti. Pertama, mereka tertarik untuk
menetapkan dampak pengaruh personal dibandingkan dengan dampak media massa,
dalam empat bidang pengambilan keputusan, yakni: pemasaran, mode, masalah kemasyarakatan,
dan pemilihan film.
Kedua,
mereka telah meneliti karakteristik yang telah membedakan pemuka pendapat dalam
keempat bidang tersebut, khususnya mengenai kedudukan pemuka pendapat dalam
siklus kehidupan, misalnya: wanita muda atau yang sudah berkeluarga, status
sosioekonomi, dan pola persahabatan.
Ketiga,
mereka meneliti arus pengaruh (the flow of influence), misalnya apakah arus itu
berlangsung dari wanita yang lebih tua kepada wanita yang lebih muda atau dari
wanita kaya kepada kepada wanita miskin.
Keempat,
mereka telah mempelajari bagaimana pengaruh personal berkaitan dengan media
massa, yaitu bagaimanakah kebiasaan komunikasi para pemuka pendapat itu dan
pada gilirannya sejauh mana para pemuka pendapat dipengaruhi media massa. Hanya
bidang-bidang penelitian yang pertama dan terakhirlah yang menjadi perhatian
kita di sini (Wright, 1985: 105-106).
Katz
dan Lazarsfeld, melalui apa yang disebutnya indeks efektivitas, telah menemukan
dua faktor penting, yakni daya jangkau (coverage) dan daya persuasif (persuasiveness)
dalam mengukur pengaruh personal. Ia Inerumuskan, indeks efektivitas, sama dengan
terpaan elektif dibagi oleh terpaan keseluruhan. Artinya, seperti dicatat
Wright, hasil dari indeks efekn'vitas itu merupakan proporsi atau perbandingan
dari orang-orang yang menilai suatu media tertentu sebagai medium yang paling
berpengaruh dalam pembuatan keputusan mereka terhadap jumlah total orang-orang
yang membuat keputusan tersebut yang melaporkan diterpa oleh medium tersebut.
Wright
melaporkan, tiga dari empat bidang pengambilan keputusan yang dipelajari, yakni
pemasaran, mode, dan pemilihan film, kontak personal ternyata memiliki pengaruh
yang Iebih besar terhadap diri para pengambil keputusan daripada media massa.
Lantas, mengapa komunikasi personal merupakan alat persuasi yang Iebih efektif
daripada komunikasi massa? Dalam penelitian terdahulu mengenai perilaku pemilih
dalam pemilihan umum, Lazarsfeld dan kawan-kawan telah menemukan lima
karakteristik yang menguntungkan dari hubungan personal:
Pertama,
kontak personal Iebih kasual (sepintas), terlihat seperti kurang bertujuan, dan
Iebih sulit untuk dihindari daripada komunikasi massa. Banyak orang yang sangat
selektif terhadap komunikasi massa, menghindari materi-materi yang bertentangan
dengan pendapat pribadi mereka atau yang tidak menarik bagi mereka.
Kedua,
komunikasi tatap muka memungkinkan fleksibilitas yang Iebih besar dalam isi
pesan. J ika seorang komunikator menghadapi penolakan dari khalayak, ia dapat
mengulur jalan pembicaraan untuk menyesuaikan diri dengan reaksi khalayak.
Ketiga,
hubungan personal yang langsung’dalam komunikasi tatap muka dapat meningkatkan
ganjaran bagi penerimaan pesan atau argumen dan hukuman untuk penolakannya.
Keempat,
sebagian orang cenderung pada pertimbangan dan pandangan orang-orang yang
mereka kenal dan hormati daripada pertimbangan dan pandangan dari komunikator
massa yang impersonal.
Kelima,
dengan kontak personal, komunikator kadang-kadang dapat mencapai maksudnya
tanpa bersungguh-sungguh membujuk khalayak untuk menerima pandangan baru. Dalam
pemberian suara, misalnya, seorang petugas partai yang kuat atau seorang teman
bisa saja memengaruhi individu agar pergi ke tempat pemungutan suara dan
memberikan suara tanpa benar~ benar mengubah atau mengaktifkan minat mereka
pada kampanye atau posisi mereka dalam persoalan politik (Wright, 1985:
107-109).
Hasil
penelitian Katz dan Lazarsfeld yang dilaporkan dalam buku Personal Influence
(1955) makin memberikan gambaran dan petunjuk kepada kita mengenai besarnya
pengaruh variabel sosiologis dalam efekti~ vitas perilaku komunikasi personal
para pemuka pendapat. Kedekatan psikologis dan norma~norma serta ikatan
sosiologis, seperti derajat kedekat~ an personal, tingkat hubungan sosial,
serta frekuensi dan durasi kontak komunikasi, menjadi faktor atau variabel
cukup menentukan dalam proses interaksi sosial seorang pemuka pendapat.
Apa
maknanya bagi kita? Pertama, komunikasi massa diyakini memiliki pengaruh
terhadap khalayak dalam suatu komunitas sosial. Namun pengaruh itu tidaklah
sebesar seperti yang diduga. Artinya, khalayak tidak serta-merta menerima pesan
media massa. Khalayak menerimanya secara selektif. Bahkan, dalam beberapa hal,
khalayak hanya bersedia diterpa media massa sejauh pesan yang disampaikan itu
sesuai dengan minat, kepentingan, dan orientasi sosiolgisnya.
Kedua,
komunikasi tatap muka secara personal, memiliki sifat tidak tergantikan. Kita
tidak bisa mengatakan, tidak perlu melakukan kontak personal karéna langkah ini
tidak efektif. Bukankah kita sudah memiliki media yang diakui pengaruhnya
begitu besar, yaitu media massa? Ternyata argumen demikian keliru dan bahkan
menyesatkan. Kita harus mengubah asumsi dan argumen kita. Kita selayaknya
bersikap proporsional. Kita selayaknya berpendapat moderat: setiap media memiliki
kekuatan dan kelemahan masing-masing disesuaikan dengan konteks dan tujuan yang
ingin dicapai.
Ketiga,
hubungan secara personal dalam banyak situasi sosial, baik dalam lingkungan
komunitas kecil maupun dalam kelompok-kelompok komunitas besar, memiliki lebih
banyak muatan unsur ganjaran (reward) daripada unsur hukuman (punishment).
Selain itu, hubungan langsung secara personal jauh lebih menyenangkan daripada
hubungan melalui media massa. Hubungan personal bersifat langsung dan cair.
Hubungan melalui media massa bersifat tidak langsung dan kaku. Hubungan
personal bersifat dialogis. Hubungan melalui media massa bersifat monologis.
Penelitian
Pencarian dan Kepemimpinan Pendapat
Apa
yang terjadi apabila seseorang diterpa media massa? Apakah orang ini akan
bersikap pasif, negatif, atau aktif? Pasif, berani dia bersikap masa bodoh,
dingin, tidak ambil pusing, tidak ambil peduli, karena merasa pesan media massa
tak ada hubungannya dengan apa yang dipikirkan dan diinginkannya saat itu. Ia
hanya kebetulan saja terkena terpaan media. negatif, berarti dia memberikan
komentar dan, penolakan atas gagasan, pendapat, dan usulan yang disampaikan
media massa. Dia akan dengan germ-mam menyatakan penolakannya melalui berbagai
cam. Positif, berarti din memberikan persetujuan serta dukungan atas apa yang
disampaikan Media massa.
Wright
mengingatkan, dari perspektif sosiologis, kepemimpinan pen-dapat bukanlah sifat
individu, seperti ciri kepribadian, melainkan tindakan sosial (social act) atau
serangkaian tindakan yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih.
Minat sosiologis berfokus pada pertanyaan pada kandisi apakah interaksi itu
cenderung teljadi; sifat interaksi; keteraturan dalam karakeristik sosial dari
omng-orang yang cenderung memainkan peranan sebagai pemuka pendapat, pad:
berbagai macam persoalan dalam kondisi yang berlainan dan perilaku komunikasi
serta aktivitas-aktivitas lain dari orang yang memainkan peranan sebagai pemuka
pendapat atau pengikut beberapa tapik.
Wright
dan Muriel Cantor, dalam sebuah studi tentang kepemimpinan pendapat dan
perilaku komunikasi di antara mahasiswa tingkat sarjana, telah menunjukkan
pentingnya membedakan antara kepemimpinan pendapat (sprinter: leading), maxim
pendapat (opinion sgeking), dam penghindaran pendapat (opinion avoiding)
mengenai persoalan tenentu. Mengenai salah satu topik yang diteliti, telah
ditemukan bahwa individu tertentu secara aktif menari pendapat dari orang lain.
Sedangkan beberapa orang lainnya menghindari pendapat tersebut. Orang yang
terlibat dalam setiap aktivitas tersebut mungkin saja tidak memainkan peranana
sebagai pemnka pendanpat (wright. 1985: 113-114).
Hail
studi wright dan cantor, secara teoretis semakain memetakan karakteristik
khalayak komunikasi massa di hubungkan dengan posisi individual serta peran dan
norma-norma sosial seseorang atau sekelompok orang. Dalam situasi dan kondisi
sosial tertentu, boleh jadi akan ditemukan lebih banyak orang yang diterpa
media massa yang bersikap pasif. Dalam situasi dan kondisi sosial yang lain,
boleh jadi akan ditemukan lebih banyak orang yang bersikap negatif atau bahkan
sebalilmya. Tetapi dalam situasi dan kondisi sosial yang lain lagi, justru akan
ditemukan lebih banyak orang yang bersikap aktif atau bahkan sebaliknya.
Dalam
teori perbedaan individu perspektif komunikasi massa memang disebutkan, setiap
orang memiliki minat, perhatian, kepentingan, orientasi nilai, dan derajat
kepercayaan yang berbeda terhadap terpaan media massa, Tiap individu berbeda
satu sama lain disesuaikan dengan karakteristik sosial yang dimilikinya.
Sebagai contoh, seorang petani dan seorang mahasiswa, ketika mendapat terpaan
media massa, akan memberikan tanggapan yang berlainan walaupun misalnya
dihadapkan kepada suatu topik tertentu yang sama. Bisa jadi, sikap petani akan
apatis, bahkan fatalis. Sebaliknya, sikap mahasiswa akan kritis, bahkan
orientalis. Artinya memiliki bayangan keinginan, obsesi, dan proyeksi tertentu
masa depan yang diasumsikan bakal mengubah keadaan kc arah yang lebih baik.
Lantas,
apakah kepemimpinan pendapat seseorang setelah menerima lebih banyak terpaan
media massa, diasumsikan tidak akan menimbulkan pengaruh cukup menentukan
terhadap para pengikutnya dalam suatu komunitas sosial terutama pada tingkat
atau lingkup lokal? Hasil berbagai penelitian menunjukkan, pengaruh itu ada,
dan cukup besar untuk kelompok khalayak tertentu; tetapi tidaklah sangat besar
dan bersifat mutlak. Fenomena ini menunjukkan, khalayak komunikasi massa adalah
kelompok individu yan berpikir logis, kritis, selektif, aktif, dan dinamis.
Secara
sosiologis, kepemimpinan pendapat masih sangat diperlukan dalam berbagai bidang
kehidupan yang bergerak dinamis melalui pola tata hubungan sosial dan aturan
main yang bersifat demokratis dan humanis. Demokratis, menunjukkan tak ada
dominasi atau bahkan intervensi satu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Terdapat prinsip equalitas yang dihargai bersama. Humanis, menunjukkan apa pun
produk kebijakan atau peraturan yang ditetapkan pemerintah bersama parlemen,
selayaknya diarahlcan untuk lebih memuliakan manusia. Prinsip-prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab mesti dijunjung tinggi oleh aparatur negara
pada semua tingkatan dari hulu sampai hilir.
Dalam
ruang publik yang semakin terbuka, tatanan masyarakat yang semaldn demokratis,
iklim kebebasan dan kemerdekaan media massa yang sangat tinggi di Indonesia
dewasa ini, setiap warga negara berhak mencari dan terns mencari pendapat yang
dianggap lebih tepat, iebih haik, lebib mengakar, dan iebih mencerahkan. Kata
orang bijak, perbadaan pendapat adalah rakhmat. Kita di sini juga ingin
menegaskan, pencarian pendapat itu adalah pintu pembuka rakhmat. Artinya, tanpa
pencarian pendapat kita tidak mungkin mendapatkan rakhmat. Dalam perspekif
Sosiologis, rakhmat tidaklah datang begitu saja dari langit. Rakhmat adalah mm
yang hams terns kita perjuangkan bersama. Isyarat apakah itu semakin banyak orang
yang melakukan penghindaran
pendapat?
Satu hal yang pasti, pada masyarakat yang tertutup, kekuasaan yang monolitik
dan otoriter, serta pada pola kemerdekaan media massa yang serba terbatas,
penghindaran pendapat akan lebih banyak terjadi. Mencari pendapat dan berbeda
pendapat, atau bahkan mengajukan pandapat,L diasumsikan hanya akan melahirkan
risiko negatif dan menimbulkan masalah yang merugikan dirinya. Secara ekstrem kita
bisa mengatakan, pada negara komunis, penghindaran pendapat jadi pilihan mutlak
masyarakat. Hanya dengan begitu masyarakat merasa aman. Pada negara demokratis,
penghindaran pendapat justru dihindari karena tak memberikan kontribusi serta
membawa solusi ke arah yang lebih baik. Jadi, mengapa hams menghindar dari
pendapat?
Secara
teoretis, bahkan teknis, tugas media massa antara lain menam~ pilkan berbagai
pendapat dalam panggung diskusi sosial dan intelektual yang bermartabat. Media
menyajikannya secara berimbang, akurat, lengkap, aktual, ieiaa, jernih, clan
sarat perspektif. Media tidak bersifat mendikte. Media tidal: menunjukkan
pemihakan kepada pihak yang satu serta memperlihatkan benolakan kepada pihak
yang lain. Media hanya menjadi mediator yang adil dan terhormat. Teori
jumalistik mengingatkan, media bukan polisi yang imbak melakukan penyidikan,
bukan jaksa yang berhak melakukan tuntutan dan dakwaan, bukan pula hakim yang
berhak menjatuhkan vonis hukuman. Media hanya melaporkan. Masyarakat pembaca,
pendengar, dan pemirsalah yang memutuskan
ALASAN DI BALlK
PEMILIHAN MEDIA MASSA
Cobalah
sekali-kali datang ke sebuah toko bukn besar. Jika toko buku besar itu tak
ditemukan, cobalah menyempatkan diri datang ke sebuah kios surat kabar dan
majalah. Pastikan di kios itu disajikan beragam jenis surat kabar, majalah, dan
tabloid dalam berbagai ukuran dan warna serta kemasan. * Kemudian amati secara
saksama, siapa saja yang datang melihat-lihat dan membeli surat kabar, majalah,
atan tabloid ke ldos itu. Apakah secara gender, lebih banyak pria atau wanita?
Apakah berdasarkan kelompok usia, lebih banyak orang tua dan dewasa, ataukah
kelompok remaj a dan anak-anak? Lebih baik lag' kalau kita menyapa mereka dan
bertanya: informasi apa yang sedans dicari dan dalam konteks apa? Informasi
berarti menunjuk kepada ranah knmunikasi. Sedangkan konteks apa berarn' menunjuk
kepada ranah sosiologi.
Rivers,
Jensen, dan Peterson, dalam Mass Media and Modern Society mengajukan pertanyaan
menarik: atas dasar apakah orang-orang memilih media? Wilbur Schramm dari
Universitas Stanford menawarkan jawaban ' sementara atas pertanyaan itu. Ia
mengajukan dua prinsip yang menjadi dasar pemilihan. yakni prinsip kemudahan,
dan pinsip harapan-imbalan memperoleh sesuatu.
Prinsip Kemudahan
Schramm
menyatakan bahwa pendengar, pembaca, atau pemirsa memilih snam media yang
paling mudah diperolehnya. George Zipt dari Universitas Harvard menulis buku
mengenai masalah ini. Ia menyatakan bahwa manusia memang cendemng memilih yang
gampang-gampang saja, dan ini diterapkan pula dalam pernilihan media. Selama
medianya tersedia, khalayak akan memilih yang paling dekat dalam jangkauannya.
Buktinya, orang lebih suka tinggal di mmah nonton televisi daripada repot-repot
berdandan untuk pergi kc bioskop.
Jika
semua saluran menawarkan acara hiburan, yang dipilih adalah yang gambamya
paling jelas. Sebagian anggota keluarga yang tidak menyukai acara ini pun akan
tetap duduk menyaksikannya daripada hams beranjak pergi mencari hiburan lain.
Seorang pasien di mang tunggu akan meraih majalah yang paling dekat letaknya
daripada ia harus berjalan ke tempat lain mencari surat kabar, meskipun ia
lebih menyukai surat kabar.
Biaya
juga termasuk dalam prinsip ini. Kalau sebuah keluarga sudah menghabiskan
sekian juta untuk membeli televisi, mereka tidak akan tertarik bergabung dalam
klub membaca, atau berlangganan majalah dan surat kabar barn. Waktu pun menjadi
pertimbangan. Memang ada orang yang mau bezjalan jauh untuk menemukan surat
kabat yang disukainya. Namun umumnya orang menikmati media pada waktu-waktu
tertentu yang tidak merepotkannya. Contohnya, ibu-ibu mendengarkan radio saat
memasak dan menonton televisi saat sore hari sambil mengasuh anak.
Schramm
juga menyatakan bahwa peran, kebiasaan, dan tradisi juga memengaruhi pemilihan
media. Misalnya, menonton televisi jika sudah biasa akan terns dilanjutkan
karena tiap orang lebih mudah mempertahankan kebiasaan daripada mengubahnya.
Perilaku komunikasi merupakan bagian dari perilaku sosial sehingga pemilihan
media pun dipengaruhi oleh kebiasaankebiasaan sosial. Misalnya, yang paling
banyak menonton adalah pasangan yang sedang berpacaran karena sudah menjadi
kebiasaan jika muda-mudi yang sedang bermesraan akan pergi ke bioskop.
Prinsip Harapan
Imbalan
Schramm
menjelaskan bahwa prinsip harapan-imbalan berarti orang-orang akan memilih
media yang menurut harapannya akan memberikan imbalan terbesar. Schramm sendiri
mendefinisikan dua macam imbalan, yakni imbalan langsung dan imbalan yang
tertunda. J ika seseorang merasa senang dengan membaca suatu artikel, ia
memperoleh imbalan langsung. Jika seseorang membaca artikel tentang
meningkatnya kriminalitas lalu bersikap lebih hati-hati, ia memperoleh imbalan
yang tertunda (Rivers, Jensen, Peterson, 2003: 311-313).
Sejujurnya,
harus diakui memang prinsip ini lebih banyak dijadikan rujukan praktis bagi
khalayak media, terlebih lagi bagi kalangan mahasiswa di kampus. Mereka mau
membaca buku yang dianjurkan dosen hanya karena harapan imbalan bakal
memperoleh nilai tinggi pada saat ujian nanti. Begitu juga, banyak pegawai
negeri yang membaca berbagai peraturan tata pemerintahan dan ketentuan
perundang-undangan hanya karena ingin Inendapat imbalan dalam bentuk kenaikan
pangkat atau dipromosikan ke posisi jabatan yang lebih tinggi.
Gejala
inilah yang dalam istilah komunikasi bisnis disebut sebagai komunikasi
transaksional. Artinya, kegiatan apa pun yang dilakukan dalam lingkup
komunikasi, pada akhirnya dimaksudkan untuk memperoleh nilai transaksi ekonomi
yang Iebih menguntungkan secara bisnis. Dalam istilah sosiologi, gejala ini
lazim disebut “Anda jual saya beli”. Setiap orang, atau setiap pelaku
komunikasi, tidak diharamkan mengharap imbalan, sejauh imbalan itu berada dalam
koridor logis dan etis. Misalnya, logis bukan jika mahasiswa yang belajar
sungguh-sungguh mendapat nilai A? Logis pula bukan, jika seorang pemuka
pendapat yang membaca surat kabar dan buku mendapat pujian saat berpidato dalam
pertemuan warga di balai desa?
ALASAN DI BALlK
PENGGUNAAN MEDIA
Rivers
dan kawan-kawan menyimpulkan, tiap orang menggunakan media secara berbeda.
Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosialekonomi, memengaruhi
alasan seseorang menggunakan media. Selain itu masih banyak faktor lain yang
tidak terlalu tampak seperti sikap-sikap individual, aspirasi, harapan,
ketakutan. Semua faktor itu tidak saja memengaruhi penggunaan media oleh
seseorang, tetapi juga memengaruhi apa yang akan ditemukannya dari media:
Penggunaan Surat
Kabar
Pemyataan
bahwa orang membaca surat kabar untuk memperoleh informasi memang tidak salah
tetapi terlalu sederhana. Seseorang ingin tahu sesuatu karena berbagai alasan:
untuk meraih prestise, menghilangkan kebosanan, agar merasa Iebih dekat dengan
lingkungannya, atau untuk menyesuaikan perannya dalam masyarakat. Bernard
Berelson, melakukan penelitian di New York setelah loper koran mogok ktea
selama dua minggu. Bereson bertanya: apa yang dilakukan atau dirasakan orang
tanpa surat kabar?
Bagi
sebagian orang, surat kabar merupakan sumber informasi dan gagasan tentang
berbagai masalah publik yang serius. Mereka memerlukan tidak hanya beritanya,
tetapi juga penafsirannya. Banyak juga yang menjadikan surat kabar sebagai alat
untuk membuat dirinya merasa serbatahu. Jadi, bagi mereka surat kabar adalah
prestise. Di samping itu, bagi sebagian orang yang lain, surat kabar bukan
untuk mencari informasi melainkan untuk mengisi rutinitas. Tanpa surat kabar
mereka merasa ada sesuatu yang hilang.
Sebagian
pembaca juga menjadikan surat kabar sebagai alat kontak gosial. Ada pula yang
menjadikan surat kabar untuk membuang kejenuhan dari kehidupan sehari-hari.
Surat kabar mempakan sarana wisata murab untuk sejenak melupakan rasa
frustrasi, rasa tertekan dan kebosanan. Lebih dari itu, surat kabar merupakan
alat pelarian yang secara sosial dapat diterima.
Berelson
akhirnya menyimpulkan, kebiasaan membaca surat kabar mempunyai nilai tinggi di
Amerika, dan surat kabar merupakan bahan bacaan yang menarik serta murah. Surat
kabar memberikan rasa aman di tengah dunia yang tidak aman sehingga bagi banyak
orang membaca surat kabar menjadi suatu ritual yang menyenangkan. Departemen
Jurnalistik Universitas New York juga menyimpulkan, ketika surat kabar tidak
hadir akibat pemogokan, orang~orang merasa sangat kehilangan. Mereka mencoba
berpaling ke radio dan televisi. Ternyata, dan ini yang menarik, radio dan
televisi tidak bisa sepenuhnya menggantikan surat kabar.
Penggunaan Majalah
Apa
sebenarnya motivasi kaum wanita membaca majalah? Pertanyaan itulah yang
mengusik perhatian para ahli sosiologi komunikasi Amerika. Mereka kemudian
melakukan penelitian terhadap enam majalah wanita dan dua majalah umum.
Hasilnya, seperti dilaporkan Rivers dan kawan-kawan, ternyata cukup bervariasi.
Banyak wanita membaca majalah karena ingin mempertahankan statusnya, di samping
untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Mereka ingin figur sentral mereka
dalam rumah diakui.
Lamas
apa sebenarnya peran majalah wanita bagi kehidupan pembacanya? Menurut
penelitian Social Research Inc, majalah berperan sebagai orientasi sosial,
pokok perhatian yang realistis, dan rujukan pengalaman pibadi., Majalah juga
yang mengajarinya hal-hal praktis tanpa perlu bantuan orang lain seperti
keternmpilan memasak, menjahit, dan mengurus mmah. Selain itu, majalah menjadi
rujukan tentang apa sebenarnya cita-citanya, dun apa sajn yang harus dimihnya
dari kehidupan ini.
Mnjnlnh
juga masuk ke pengalaman pribadi pembacanya. Majalah membantnnya menghadapi
kesepian, menyajikan hal-hal yang menyenangkan untuk dikhayalkan, dan
mengajarinya berbagai hal baru. Di samping itu, majalah dapat memperkuat rasa
percaya diri, menegaskan arti panting peran dan kebemdaan dirinya, sekaligus
meneguhkan kebijakan dun nilaie nilai positif yang dimilikinya. Lantas, siapa
saja pembaca majalah wanita? Sebagian besar ternyata wanita kelas menengah.
Penggunaan Media
Siaran
Radio
dan televisi juga memiliki banyak fungsi sosial. Untuk kontak sosial, rujukan
kehidupan sehari-hari, untuk menyenangkan diri sendiri, dan melepas kebosanan,
tulis Rivers dan kawan-kawan. Herta Herzog dan McCann-Erickson meneliti apa
sebenanya yang dinikmati para pemirsa dan pendengar dari film-film serial dan
opera sabun di radio dan televisi. Ternyata bagi banyak wanita, acara seperti
itu bisa mengurangi beban emosional mereka. Opera sabun juga dinikmati karena
pemirsa mengidentifikasikan diri mereka dengan tokoh fiksi tertentu, dan ini
membuat mereka merasa bahagia.
Acara
seperti itu juga ternyata menjadi sumber nasihat atau rujukan kehidupan
sehari-hari, misalnya tentang perilaku yang baik. Jika mereka melihat seorang
ibu menampar anaknya, itu membuat mereka beljanji bahwa mereka tidak akan
menampar anak-anaknya sendiri. Dengan mengidolakan pameran atau karakter
tertentu, mereka merasa ikut berada di suatu lingkungan berbeda yang lebih
menyenangkan daripada lingkungan hidup mereka yang sebenamya. Dari kisah-kisah
sedih, mereka bisa memperkirakan sikap terbaik untuk menghadapi suatu cobaan.
Tidak sulit untuk memahami kecenderungan itu. Pada dasarnya terdapat tiga
alasan:
Pertama,
adalah keinginan di kalangan pemirsa atau khalayak untuk ditenangkan dengan
bujukan bahwa segala sesuatunya baik-baik saja. Kedua, mereka bisa mengalihkan
kesalahan atas terjadinya suatu masalah ke pihak lain. Ketiga, mereka ingin
mendengar saran-saran gampang untuk merasa lebih bahagia. Rasional atau tidak,
itulah yang dirasakan jutaan pendengar radio dan pemirsa televisi.
Menurut
Herzog, ada empat alasan mengapa orang menyukai kuis pada radio dan televisi,
yaitu semangat kompetisi, sifat mendidik, ujian bagi diri sendiri, dan unsur
sport. Dengan mengikuti kuis, khalayak bisa mencurahkan semangat kompetisi,
semangat mendidik, semangat ujian, dan semangat
sport
tanpa risiko apa-apa. Ia bahkan bisa unjuk gigi di depan keluarga atau
reman-temannya dengan kemampuan menebak pertanyaan-pertanyaan kuis. Jelas ini adalah
sarana yang murah dan menyenangkan diri sendiri.
Penggunaan
Film-Film Koboi
Dr.
Ernest Dichter, tulis Rivers dan kawan-kawan, pelopor riset motivasi, mencoba
menjelaskan mengapa film-{11m koboi begitu popular di Amerika. Dalam majalah
Broadcasting, ia mengatakan film koboi menyajikan pano' rama dan nilai-nilai
yang lebih abadi daripada kehidupan singkat seseorang. Para penonton akan
merasa dibawa ke masa lampau ketika segala sesuatunya terasa menyenangkan
meskipun dalam mm koboi nyaris selalu ada adegan kekerasan dan pembunuhan. ,
Kemunculan
tokoh jagoan, sekonyol apa pun, selalu disambut gembira karena penonton merasa
dirinyalah jagoan itu. Ini hal lazim karena setiap orang memiliki motivasi
untuk menjadi sosok yang hebat. Bagi pemirsa wanita, fllm koboi juga disukai
karena memmjukkan betapa pentingnya peran wanita dalam pembentukan masyarakat
Amerika yang besar (Rivers, Jenson, Peterson, 2003: 313-318).
Menarik
untuk diteliti, bagaimana dengan kecenderungan khalayak di Indonesia dewasa
ini. Ketika televisi swasta komersial banyak menayangkan sinema elektronik
(sinetron) dengan tampilnya tokoh atau karakter culas, jahat,pe1aku kekerasan,
pelaku pembunuhan, pemeras, pemerkosa, atau penguras harta dalam rumah tangga,
apakah hal itu mencerminkan masyaraknt kita sangat menyukai kekerasan dan
kejahatan? Mengapa tema-tema itu yang lebih disukai atau lebih ditonjolkan oleh
televisi, atau oleh pemilik mmahrumah produksi yang membuat sinetron itu hingga
ratusan episode dan ditayangkan tiap hari? Apakah memang tidak ada tema lain
yang dianggap menarik dan layak dijual sehingga meraup banyak iklan saat
ditayangkan di televisi dengan tetap mengedepankan kualitas?
KONSEP KHALAYAK
DALAM KOMUNIKASI MASSA
Posisi
dan fungsi khalayak (audience) sangat strategis dalam paradigma komunikasi
Harold Lasswell. Penelitian untuk mengetahui seberapa Deming kedudukan khalayak
dalam aktivitas komunikasi, dilakukan pada 1950 ketika diperkenalkan model
komunikasi transaksional. Menurut Raymond Bauer dalam The Audience (1973),
dalam model komun.kasi ini digambarkan bahwa komunikator yang diberi kedudukan
sebagai penjual dalam proses transaksi Uual-beli) menawarkan barangnya kepada
khalayak yang berkedudukan sebagai pembeli. Melaluj model transaksional ini
hendak digambarkan bahwa dalam proses komunikasi baik komunikator maupun
komunikan mempunyai kedudukan yang sama.
Khalayak sebagai
Penentu Sikap
Sudah
merupakan hal yang umum bahwa rasa senang dan rasa tidak senang khalayak, akan
memengaruhi sikapnya dalam bereaksi terhadap komunikasi. Bahkan pada saat
pengaruh komunikasi belum merupakan suatu objek studi, pengukuran telah
dilakukan terhadap rasa suka dan tidak suka khalayak film dan radio terhadap
acara hiburan yang disuguhkan kepada mereka.
Menurut
Bauer, penelitian pemasaran (marketing research) yang menyangkut produk yang
diharapkan potensia] serta aktual bagi konsumen, merupakan bagian dari
pengukuran rasa suka dan rasa tidak suka khalayak. Penelitian ini tidak hanya
menyangkut usaha menarik perhatian konsumen yang dianggap potensial tetapi juga
menyangkut usaha-usaha membujuk khalayak agar membeli produk yang ditawarkan.
Logika yang sama juga diterapkan pada penelitian mengenai sikap sosial dan
politik khalayak dengan maksud menentukan suatu kebijakan politik baru, atau
memperkenalkan kebijakan baru dari seorang tokoh politik kepada khalayak.
Dalam
beberapa hal kita melihat bahwa rasa suka dan rasa tak suka khalayak timbul
dalam poses komunikasi. Perasaan ini tampak pada sikap setuju dan sikap tidak
setuju khalayak terhadap apa yang disampaikan komunikator. Dalam keadaan wajar
diakui memang senantiasa terdapat jarak kritis antara kedudukan komunikator
dengan khalayak yang akan dibujuknya. Seandainya ajakan komunikator dipandang
terlalu ekstrem oleh khalayak, maka komunikasi dianggap menyimpang dan tidak
moderat.
Khalayak sebagai
Pengelola lnformasi
Terdapat
perbedaan dalam kecenderungan seseorang menerima dun mencari informasi. Faktor
yang menentukan karakter tersebut adalah pendidikan atau Intelegensia. Orang
yang terdidik dan memiliki intelegensia yang cukup baik memiliki kecendemngan
lebih menyukai media cetak dibandingkan dengan orang yang kurang terdidik.
Menurut Bauer, orang yang terdidik mempunyai Iebzh banyak informasi yang
disampaikan melalui proses komunikasi, tetapi mereka sulit untuk mengubah-ubah
sikap. Orang yang terdidik lebih menyukai argumen yang lengkap dan canggih.
Khalayak sebagai
Perisai Ego
Salah
satu sikap yang melekat pada khalayak adalah pertahanan terhadap egonya.
Pertahanan ego harus diperlakukan sebagai salah satu mekanisme perantara dalarn
menerima pesan komunikasi. Dalam buku-buku komunikasi cukup banyak dijelaskan
betapa mekanisme pertahanan ego ditolak, ditindas, mengalami represi dan
proyeksi. Ini bisa dianggai) sebagai suatu gambaran tentang reaksi khalayak
terhadap komunikasi ketika ia menolak untuk dibujuk
Into egeneia. Orang yang terdidik dan memiliki
intelegensia yang cukup baik memiliki kecendemngan lebih menyukai media cetak
dibandingkan dengan orang yang kurang terdidik. Menurut Bauer, orang yang
terdidik mempunyai Iebzh banyak informasi yang disampaikan melalui proses
komunikasi, tetapi mereka sulit untuk mengubah-ubah sikap. Orang yang terdidik
lebih menyukai argumen yang lengkap dan canggih.
Khalayak
sebagai Penyenang Orang Lain
Sikap lain yang kelihatan melekat pada khalayak
adalah usahanya untuk mencari simpati dari orang lain dengan menyetujui apa
saja yang mereka katakan. Hal ini mempunyai hubungan antara disposisi seseorang
untuk menerima ajakan komunikator dengan kepribadian yang melekat pada dirinya.
Ukuran kepribadian yang amat umum digunakan adalah besamya kepercayaan pada
diri sendiri. Seperti digunakan dalam banyak eksperimen, hal itu mempakan
ukuran untuk menilai kemampuan seseorang mempercepat proses sosialisasi. Kenyataan
menunjukkan bahwa orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah lebih mudah
terkena bujuk daripada yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Khalayak
sebagai Anggota Kelompok
Bauer mencatat, anggapan semula terhadap khalayak
dalam proses komunikasi, terutama dalam proses komunikasi massa, adalah sebagai
atom sosial. Sebagai kelompok pribadi yang terpisah dengan kelompoknya, mereka
memberi reaksi terhadap komunikasi sebagai pribadi seolah-olah tidak rnemiliki
ikatan sosial dengan masyarakat. Dalam dekade terakhir ini, bandangan itu mulai
digeser oleh pandangan yang menempatkan khalayak Sikap lain yang kelihatan
melekat pada khalayak adalah usahanya untuk mencari simpati dari orang lain
dengan menyetujui apa saja yang mereka katakan. Hal ini mempunyai hubungan
antara disposisi seseorang untuk menerima ajakan komunikator dengan kepribadian
yang melekat pada dirinya. Ukuran kepribadian yang amat umum digunakan adalah
besamya kepercayaan pada diri sendiri. Seperti digunakan dalam banyak
eksperimen, hal itu mempakan ukuran untuk menilai kemampuan seseorang
mempercepat proses sosialisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa orang yang memiliki
kepercayaan diri yang rendah lebih mudah terkena bujuk daripada yang memiliki
kepercayaan diri yang tinggi.
BAB VII
EFEK
SOSIOLOGIS DALAM KOMUNIKASI MASSA
EFEK
KEHADIRAN MEDIA KOMUNIKASI MASSA
Kita bisa mengatakan, dalam komunikologi
efek menunjuk kepada pengertian pengaruh dilihat dari sisi pesan yang
disampaikan komunikator kepada komunikan (khalayak). Pada sisi yang lain,
dilihat dari sisi sosiologi komunikasi. efek talc sekadar menunjuk kepada
pengaruh dilihat dari sisi isi pesan. Pada efek, terkandung pula makna akibat.
Seperti yang dinyatakan Donald K. Robert: efek hanyalah perubahan perilaku
manusia setelah diterpa pesan media massa (Schramm dan Roberts, 977: 359).
Karena foknsnya pesan, maka efek hamslah berkaitan dengan pesan yang
disampaikan media massa. Bill kampanye keluarga berencana dalam televisi
menyebabkan pirsawan menjadi akseptor, bila anjuran memelihara lingknngan
diikuti dengan penanaman pepohonan pada bukit tandus, barulah boleh kita
berkata telah terjadi efek. Namun tentu saja, membatasi efek hanya selama
berkaitan dengan pesan media, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media
massa. Kita cenderung melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan
pesan maupun dengan media itu sendiri (Rakhmat, 2000: 218).
Sebagai contoh, jika kehadiran
pesawat televisi dalam satu kampung yang barn mendapat penerangan listrik dari
pemerintah membuat banyak petani terlambat dun jam pergi ke ladang dan sawah,
maka yang dimaksud bukanlah pengamh melainkan akibat. Kita tidak tahu apa saja
yang ditonton oleh keluarga petani setiap malam. Kita hanya tahu, keesokan
harinya, para petani teriambat dua jam pergi ke sawah atau ladang. Apa artinya?
Kehadiran penerangan listrik dan kehadiran pesawat televisi telah berakibat
kepada penjadwalan waktu tidur dan perubahan perilaku sosial mereka. Dalam
bahasa kampns, kasus perubahan penjadwalan waktu tidur dan perubahan perilaku para
petani disebut sebagai domain sosiologi komunikasi.
Steven H. Chaffee, menyebutkan
terdapat lima efek kehadiran media massa secara fisik: efek ekonomis, efek
sosial, efek penjadwalan kembali, efek pada penyaluran atau penghilangan
perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media (Rakhmat, 2000:
220). Karena yang dibicarakan adalah efek kehadiran secara iisik, di sini tidak
dipersoalkan apakah orang atau khalayak yang diterpa media massa, mengerti atau
tidak mengerti dengan pesan yang disampaikan. Pertanyaan yang diajukan hanya
menukik misalnya kepada; apa yang texjadi, atau apa yang dilakukan orang
setelah memiliki pesawat televisi di rumahnya?
Efek
Ekonomis
Para komunikolog dan sosiolog,
tampaknya kurang tertarik dengan perm bahasan tentang efek ekonomis. Bis: jadi
juga mereka tahn diri, daiam arti memang tidak memiliki pengetahuan cukup
tentang ekonomi. Mereka menyadari, ekonomi bukaniah bidangnya. J adi, bahasan
soal efek ekonomis, biarlah para ahli ekonomi saja yang mengupasnya. Dalam
ungkapan popular mantan presiden KH Abdurrahman Wahid: gitu saja kok repot.
Efek ekonomis, menunjuk kepada manfaat ekonomi sebesar-besarnya yang diperoleh
dari pendirian perusahaan surat kabar, radio, atau televisi. Di sini, pasti
ditemukan faktor produksi, distribusi, konsumsi. Untuk memproduksi surat kabar
misalnya, diperlukan tenaga wartawan dan karyawan dalam jumlah cukup banyak,
modal dalam jumlah tidak kecil, dan mesin cetak serta peralatan lain yang cukup
canggih. Ada modal yang ditanamkan, ada pula keuntungan yang didambakan.
Dalam bahasa para kiai, pendirian
media massa telah melahirkan berkah bagi ratusan atau bahkan ribuan orang.
Mereka yang bekerja di hulu seperti percetakan, dan mereka yang bekerja di
hilir seperti loper koran, memperoleh manfaat finansial bagi kehidupan pribadi
dan keluarganya masing-masing. Roda ekonomi bergerak. Pemerintah pun memperoleh
pendapatan dalam bentuk penerimaan pajak. Dalam kerangka itu pulalah,
pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Para
pengusaha perlu didorong menanamkan investasi mereka pada berbagai bidang usaha
yang menjanjikan. Berbagai perizinan perlu diberi kemudahan. Pengusaha bukanlah
sapi perahan penguasa, melainkan tambang emas bangsa yang perlu dilindungi
hak-haknya secara benar.
Singkat kata, efek ekonomis tidak
ada hubungannya dengan masalah isi pesan, kualitas pesan, atau cara penyampaian
pesan. Tidak pula mempersoalkan siapa bicara dengan siapa, membawa pesan apa,
dengan maksud atau tujuan apa. Efek ekonomis lebih tertarik mempersoalkan,
seberapa banyak pabn'k, biro-biro jasa, rumah makan, warung nasi, kantin,
kios-kios rokok, yang berdiri setelah kehadiran perusahaan media massa.
Seberapa banyak pula orang yang memperoleh pekerjaan, honorarium, atau tambahan
pendapatan sebagai dampak ikutan dari pendirian lembaga penerbitan surat kabar,
radio, televisi, atau media online tersebut.
Efek
Sosial
Efek sosial berkaitan dengan
perolehan serta peningkatan status sosial orangQrang setelah di rumah mereka
terdapat pesawat televisi. Semakin besar ukuran televisi dan semakin mahal
harganya, semakin tinggi pula status sosial mereka di mata warga atau
kelompok-kelompok dan komunitas sosial setempat. Efek sosial, memang lebih
banyak beminggungan dengan wilayah aosiologi. Kit: tahn, di kampung-kampung, di
kaki-kaki gunung, di bukit~ bukit yang sepi, kehadiran televisi di rumah ketua
dusun atau tokoh petani kaya, pad: akhimya menjadi semacam posko kegiatan dan
menjadi pusat jaringan sosial setempat.
Di sana, warga kampung berkumpul
sekaligus merancang kegiatan individu clan sosial. Di sana pula, sang ketua
dusun, sang tokoh, atau sang kiai, biasa memberikan kuliah umum kepada para
warganya tentang bagaimana hidup bertetangga, merawat tanaman padi varietas
barn, ntau bagaimana menmri dan memelihara domba adu jagoan mainannya tiap
akhir pekan. Efek sosial, yang berkaitan erat dengan pembentukan struktur dan
jaringan sosial tersebut, menjadikan kepemilikan pesawat televisi sebagai
simbol status seseorang. Dari status sosial ini pula terbagi relasi dan pola
kekuasaan atau pengaruh sosial barn. Artinya, mana rakyat jelata, dan mana pula
sang ningrat barn, terlihat jelas secara kasat mata. Orang-orang tidal: sulit
untuk menyebutkan namanya, ciri-ciri iisiknya, dan sekaligus menunjukkan alamat
rumah serta karakter pribadinya.
Efek
Penjadwalan Kembali
Efek penjadwalan kembali menunjuk
kepada perubahan atau pergeseran waktu serta prioritas kegiatan dan pekerjaan
yang dilakukan para pemirsa televisi. Kehadiran pesawat televisi secara fisik
dan tayangan acaranya, disadari atau tidak, telah menciptakan, mengubah, dan
menggeser agenda aktivitas individual dan aktivitas sosial masyarakat. Para
petani di kampung yang tanpa penerangan listrik, pukul 20.30 sudah tidur lelap.
Sebaliknya orang-orang yang bermukim di perkotaan, pada jam yang sama justru
barn memulai aktivitasnya, termasuk di antaranya menonton televisi, clan barn
berakhir pada larut malam pukul 01.00 atau 02.00 dinihari. Bagi sebasian
mgmhahkan muncul nnglcapan: malam dibuatsiang, siang dibuat malam
Agenda individual dan agenda
sosial masyarakat menjadi terbalik bukan televisi yang menyesuaikan dengan
agenda kegiatan masyarakat, melainkan masyarakatlah yang menyesuaikan dengan
agenda siaran dan agenda acara televisi. Maknanya ialah masyarakat ternyata
semakin lama semakin bergantung pada televisi. Anak-anak sekolah misalnya,
hanya man belajar setelah menonton acara-cara televisi yang disukainya. Jika
tidak, mereka lebih memilih untuk tidak belajar. Di mata anak-anak sekolah ini,
televisi tetap nomor satu sekolah itu nomor dua.
Jangan kaget kalau kemudian
televisi pun semakin bertingkah. Berbagai acara ditayangkan tanpa lagi
memedulikan aspek etis dan aspek sosiologis khalayak pemirsa. Acara wisata
kuliner misalnya, dari yang semula menyuguhkan makanan-minuman nomatif,
kemudian berubah dengan suguhan makanan yang ekstrem dan sangat tidak lazim:
sate dan tongseng daging anjing, atau goreng daging tikus! Semuanya dilakukan
secara me~ yakinkan, terang-terangan, transparan, dan bukan basa-basi!
Apakah fenomena dan kenyataan
seperti hanya ditemukan di Index“ nesia? Ternyata tidak. Di Amerika pun,
seperti dilaporkan dengan cermat oleh Schramm, Lyle dan Parker (1961),
kehadiran televisi telah mengurangi waktu hex-main, waktu tidur, waktu membaca,
dan waktu menonton film warga masyarakat. Menurut Joyce Cramond (1976), gejala
gemacam itu menunjukkan reorganisasi kegiatan yang terjadi karena
masuknya.televisi; beberapa kegiatan dikurangi, dan beberapa kegiatan lainnya
dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi
(Rakhmat, 2000: 221).
Efek
Penghilangan Perasaan Tertentu
Steven H. Caffee mengingatkan,
apakah kita menonton televisi hanya untuk tujuan yang telah direncanakan
sebelumnya, terutama mencari hiburan segar tanpa harus keluar rumah dan
menguras biaya? Ia menegaskan, kita tak selamanya menonton televisi dengan
tujuan yang jelas atau tujuan yang telah ditentukan. Ada saatnya bahkan kita
menonton televisi'tanpa kita sendil‘i menyadarinya! Kita terbawa hanyut oleh
suasana atau perasaan tertentu: perasaan marah, jengkel, kecewa, kesepian, dan
kebencian!
Ambil ilustrasi ini. J ika kita
merasa kesepian, misalnya ditinggal istri kg iuar kota atau ditinggal pergi
oleh kekasih, bukankah kita sering melemukan apa yang disebut kompensasi?
Kompensasi adalah pelarian dalam pengertian negatif. Jika pelarian itu bersifat
positif, namanya sublimasi. Saat isteri atau Eekasih pergi, bagi orang yang tak
suka keluar rumah, televisi kerap dijadikan sasaran kompensasi. Orang itu,
boleh jadi termasuk Anda sendxri tiba-n’na berubah menjadi berlama-lama atau
betah duduk berjam-jam di depan pesawat televisi. Tapi anehnya tidak ada suara
tawa meski yang tersaji di layar adalah acara komedi Mr Bean!
Dalam
situasi demikian, kita berubah menjadi seperti asosial. Kita tidak man ditemani
atau bahkan diganggu siapa pun. Kira hanya asyik dengan diri sendiri.
Satu-satunya pihak atau benda yang boleh menemani kita hanya televisi! Sebab
televisi tidak akan pernah bisa protes dikatai apa pun, atau bahkan
diperlakukan seperti apa pun. Televisi seperti r'nuncul sebagai penolong,
penyelamat, atau bahkan seorang sahabat paling setia.
Apakah
hanya televisi? Media massa auditif juga demikian. Pernahkah kita melihat
anggota keluarga atau teman kita sendiri tiba-tiba membunyikan radio
keras-keras? Perilaku yang tiba-tiba terasa aneh dan janggal itu, tidak perlu
disikapi secara aneh pula jika kita mengetahui akar penyebabnya. Suara musik
keras dari radio menunjukkan pesan: pemilik radio sedang kesal, jengkel, atau
marah pada sesuatu atau pada seseorang. Secara sosiologis, dia sedang tidak
membutuhkan sahabat atau siapa pun yang mengaku manusia! Dia hanya menginginkan
media untuk menumpahkan segala kekesalan atau kemarahannya.
Efek Penumbuhan
Perasaan Tertentu terhadap Media
Steven
H. Caffee juga menunjukkan dua hal yang paralel. Pertama, media massa mampu
menghilangkan perasaan tertentu. Kedua, media massa juga dapat menumbuhkan
perasaan tertentu pada diri khalayak seperti perasaan senang dan perasaan
percaya kepada media massa. Mengapa senang, dan mengapa percaya? Senang, karena
media massa mampu menyajikan hibm‘an yang menank, dapat mengisi kekosongan hati
yang gundah-gulana, menjadi sahabat setia saat berduka atau kecewa, dan
menawarkan pilihan untuk bertamasya ke dunia dan alam lain melalui berbagai
tayangan film, sinetron, atau acara lain yang sejenis.
Percaya,
karena televisi adalah dunia gambar. Dalam teori jurnalistik televisi
dinyatakan: seeing is believing, dengan melihat barulah pemirsa percaya. Dalam
semboyan televisi, berita adalah gambar dan gambar adalah berita. Jadi
menyerahkan berita kata ke televisi pasti tidak akan diterima.
Benta
kata-kata pasti ditolak karena tidak bisa dipercaya. Tapi media massa ddak
hanya televisi. Ada juga surat kabar, tabloid, dan juga radio. Ketiga jenis
media ini lebih banyak mengandalkan kata-kata.
Timbul
persoalan, apakah surat kabar, tabloid, dan radio, tidak dapat dipercaya?
Karena karakteristik masing-masing berbeda, hasil penelitian menunjukkan: baik
surat kabar dan tabloid maupun radio, keu'ganya tennasuk media yang dapat
dipercaya. Jika tidak, secara sosiologis bisnis surat kabar akan surut, dan
perusahaan-perusahaan penerbitan akan bangkrut. Falcta membuktikan, setiap
tahun selalu saja ada perusahaan baru yang mencoba masuk ke dalam dunia
penerbitan atau penyiaran radio dan televisi lokal.
KOMUNIKASI MASSA
SEBAGAI MASALAH SOSIAL
Para
ahli sosiologi komunikasi kerap melontarkan oenanyaan kritis akademik: benarkah
media massa memiliki efek? Jika memang benar, seberapa besar efek itu, pada
saat kapan terjadi, dan kepada siapa atau mengenai apa? Mengasumsikan media
massa memiliki efek, berarti memandang apa dilakukan media massa senantiasa
berjalan linear. Artinya bergerak lurus dari satu titik ke titik yang lain. J
adi seolah-olah media massa hanya membawa cerita keberhasilan (success story).
Seolah-olah media massa tidak memiliki persoalan atau bahkan tidak pernah
memiliki cerita kegagalan (failure story). Kajian sosologis semacam ini, tentu
saja tidak realistis dan tidak bijak.
Faktanya,
media massa tidak jarang dianggap sebagai sumber masalah olch masyarakat dan
kalangan pengamat. Dalam kerangka ini, Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton
dalam Mass Communication: Popular Taste and Social Action (1948) telah
merumuskan terdapat empat sumber keprihatinan masyarakat terhadap media massa:
ubiquity, status quo, kemerosotan cita rasa cstetis, dan penghilangan sukses
sosial. Keempat sumber keprihatinan itu, Selama ini seolah tenggelam di balik
kisah sukses dan nama besar media massa llu sendiri.
Ubiquity
Ubiquity
menunjuk kepada sifat media yang hadir di mana-mana. Kita tahu, media massa ada
di mana-mana secara serempak. Sebagai contoh, radio lnemiliki dnya tembus luar
biasa. Di kota-kota dan di desa-desa, di tengah hutan belantara, di ngarai dan
lembah, di pantai dan di laut lepas, kita dapat mengikuti siaran radio hanya
dengan pesawat transistor sederhana. Di tempat pesta penuh tawa, di medan
peperangan penuh lenguh kesaldtan dan erangan melepas nyawa, radio begitu bebas
mengusik perhatian kita.
Surat
kabar dan majalah, begitu mudah kita temukan di kios-kios rokok dan perempatan
jalan, bahkan di setiap meja restoran dan perkantoran. Dengan judul-judul yang
menarik, warna-wami yang memikat, dengan harga yang ditawarkan bervariasi
tetapi relatif terjangkau, surat kabar dan majalah begitu menggoda perhatian
dan selera baca kita. Mata kita terasa tak enak jika tak meliriknya walau
sekejap, dan tangan kita terasa gatal kalau tak menyentuhnya walau sekilas.
Begitu juga dengan televisi dan mm. Disadari atau tidak, media memang punya
pesona. Pesona media inilah yang dianggap sebagai kekuatan dalam
memanipulasikan khalayak nntuk tujuan-tujuan yang baik atau bahkan untuk tujuan-tujuan
yang buruk. Bukankah pesona ini merupakan sesuatu yang cukup mengerikan?
Status Ouo
Arti
harfiah status quo adalah tidak berubah, tidak bergerak, diam, stagnan, tidak
aktif, atau berada dalam kondisi serta situasi yang sama. Kalangan kritikus
sosial melihat, media massa dengan kekuatan dan segala daya yang dimilikinya,
dapat mempertahankan status quo terutama dalam kehidupan bidang ekonomi dan
sosial-politik. Sebagai contoh, media massa dapat digunakan oleh kelompok
kepentingan (interest group) untuk memengaruhi pemerintah mempertahankan
kebijakan suku bunga tinggi. Kebijakan ini sangat memukul masyarakat bawah dan
menengah. Dengan kebjakan suku bunga tinggi, masyarakat bawah-menengah tidak
akan dapat memiliki perkakas rumah tangga, sepeda motor atau rumah secara
kredit karena harganya menjadi sangat mahal.
Selain
itu, media massa juga dapat digunakan oleh kelompok penekan (pressure group)
untuk menjamin ketundukan masyarakat terhadap status quo bidang sosial. Dengan
mempertahankan status quo sosial, masyarakat dibuat bersikap pasif dan bahkan
apatis. Masyarakat tidak peduli dengan bebagai peristiwa yang terjadi dalam
lingkungannya sendiri dan sekitarnya.
Kritik
sosial diperkecil atau bahkan dibuat menjadi kerdil. Kernampuan berpikir kritis
masyarakat, otomatis menjadi tumpul dan mandul.
Kemerosotan
Cita~Rasa Estetis
Para
kritikus sosial melihat, media massa dengan segala kekuatan dan pengaruh yang
dimilikinya, bisa juga membawa gaya hidup barn (life style) yang serba
pragmatis, serba gampangan, serba instan. Gaya hidup yang dibawa dari Barat dan
belum tentu cocok dengan masyarakat Timur ini, seolahmlah dicangkokkan begitu
saja pada masyarakat dan kebudayaan kita. Segala sesuatu dilihat hanya menurut
fungsi atau nilai guna dan tak lagi memperhatikan kaidah atau nilai lain.
Konsep apa yang disebut kearifan lokal (local wisdom) dianggap sebagai masa
lalu yang hams dikubur dalam-dalam. Sebagai contoh, riimah bergaya minimalis
itulah yang yang paling baik, paling bergengsi. Sedangkan rumah dengan
arsitektur art deco, bermotif klasik klasik kuno gaya Eropa, dianggap sebagai
ketinggalan zaman, tidak eiisien, sekaligus merupakan cerminan ekonomi berbiaya
sangat tinggi.
Cita
rasa estetis yang memberi tempat dan apresiasi tinggi kepada karya-karya seni
dan karya cipta adiluhung, dianggap sebagai suatu kemubaziran abad modern.
Pandangan demikian tentu saja sangat menyesata kan. Dari dulu hingga kini,
bangsa-bangsa peradaban tinggi senantiasa berpijak kepada dan selalu terobsesi
bisa mencapai cita rasa dan karya-karya estetis. Dunia ini terlalu indah untuk
tidak diabadikan dalam karya-karya dan cita rasa estetis. Bukankah setiap orang
menyukai keindahan, sesuatu yang membuat hati dan perasaan ldta terasa nyaman?
Perlawanan tradisionalisme atas modernisme, memang tampak pada fonemena ini.
Tradisionalisme tidak bisa menerima pandangan dan keyakinan kaum modernis yang
menyatakan, segala sesuatu yang barn dan modern pasti baik, dan segala sesuatu
yang lama-kuno itu pasti tidak baik atau tidak bermanfaat.
Penghilangan Sukses
Sosial
Para
kritikus sosial dan kalangan budayawan kerap mengkhawatirkan sikap dan perilaku
media massa yang tidak segan-segan menghapns peta suksea sosial suatu
masyarakat atau bangsa yang telah dibangun oleh para pendahulu atau tokoh-tokoh
pembaharu selama beberapa dekade. Sebagai contoh, dulu di Indonesia tidak
dikenal pemilihan langsung p'residen, gubemur, bupatia wali kota. Sekarang,
berkat kegigihan para pejuang reformasi, pemilihan praiden, gubemur, bupati,
dan wali kota merupakan suatu keharusan. Inilah yang disebut sebagai
keniscayaan dalam bangunan tata demokrasi dan tata pemerintahan kita.
Sukses
sosial ini bukannya tanpa perlawanan. Kini, media massa sudah mulai
mempersoalkan efisiensi ekonomi dari banyaknya pemilihan gubernur, bupati dan
wali kota. Lalu dihitung berapa miliar dan bahkan berapa triliun uang yang
dihabiskan untuk proses demokrasi ini. Akhirnya disimpulkan, pemilihan gubemur
dianggap sebagai kemewahan demokrasi. Akan halnya pemilihan bupati dan wali
kota, sebaiknya disatupaketkan dengan pemilihan anggota legislaif atau
pemilihan presiden. Secara ekonomi, ongkos pemilihan gubemur atau pemilihan
bupati wali kota, terlalu tingi dibandingkan dengan peningkatan derajat
kesejahteraan masyarakat yang diperoleh dalam satu periode jabatan gubemur atau
bupati.
Dalam
beberapa hal, media massa kerap menggampangkan masalah dan tidak segan-segan
untuk melupakan sejarah. Para kritikus sosial curiga, media massa modern, lebih
banyak membawa kepentingan kaum kapitalis daripada menyuarakan kepentingan kaum
populis. Gejala demikian menurut para kritikus sosia] dan budayawan harus
terus_ dilawan secara intelektual, moral, dan kultural. Sebab bukankah pada
hakikatnya media massa merupakan kekuatan intelektual (intelectual power) yang
terdapat dalam masyarakat?
Jadi,
kekuatan intelektual selayaknya dihadapi secara inelektual pula untuk
melahirkan pola kewacanaan intelektual (intelectual discourse) yang berkeadaban
dalam ruang-ruang publik (public sphare) yang demokratis di Indonesia. Meskipun
disadari kerap membawa atau memunculkan masalah sosial, para kritikus sosial
sangat berkeberatan jika peran dan fungsi media massa diciutkan melalui
berbagai ketentuan dan peraturan perundangundangan. Peran dan fungsi media,
selayaknya tetap dipertahankan dun bahkan ditingkatkan sesuai dengan
perkembangan dan tunturan zaman. Dalam bahasa kritikus sosial, media massa
adalah pengemban tugas sejarah dan peradaban. Karena itu logikanya, ketika
peran fungsi dan bahkan eksistensi media massa diciutkan atau apalagi dipudamkun,
maka sesungguhnya saat itulah kematian sejarah dan peradaban dimulai.
EFEK PROSOSIAL
MEDIA KOMUNIKASI MASSA
Dengan
memperhatikan dan mengakui keberatan para kritikus sosial tentang media massa,
kita hanya ingin menegaskan, media massa tidak periu dipuja seperti dewa,
tetapi tidak perlu pula dicerca seperti narapidana. Kanm intelektual dan
ilmuwan di mana pun memiliki keajegan dan kearifan dalam berpikir. Buku ini
secara sosiologis hendak menunjukkan, kekuatan dan pengaruh media massa ada,
tetapi tidak sehebat yang diperkirakan. Efek sosial media massa juga ada,
tetapi tidak seperkasa yang dibayangkan. Sosiologi komunikasi massa melihat,
kalau diasumsikan media massa memiliki kekuatan dan pengaruh, pada saat yang
sama khalayak komunikan pun menyimpan kekuatan dan pengaruh yang sama.
Kapasitas dan selektivitas khalayak, perlu senantiasa dipertimbangkan dalam
kajian yang membedah efek media massa. Begitu pula dalam buku ini. Diketahui
misalnya, secara sosiologis media massa memiliki tiga efek prososial: efek prososial
kognitif, efek prososial afektif, dan efek prososial behavioral.
Efek Prososial
Kognitif
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan efek prososial? Dalam komunikologi disebutkan,
efek prososial menunjuk kepada derajat manfaat yang dikehen~ daki dan diperoleh
masyarakat dari kehadiran dan pemberitaan media massa. Contoh, jika media massa
memberitakan sebuah desa di J awa Barat sudah 60 tahun belum memperoleh
penerangan listrik, lalu sebulan kemudian desa itu terang-benderang pada malam
hari dan warganya: asyik menikmati suguhan tayangan acara-acara televisi,
itulah yang dimaksud dengan efek prososial.
Efek
prososial kognitif berarti media massa mampu memberikan sentuhan pengetahuan
dan pengalaman kognitif kepada orang-orang yang menerima terpaannya, apakah melalui
surat kabar, majalah, radio, film, atau televisi. Contoh, jika sajian acara
acara Memasak Lezat dalam 30 Menit di televisi mengakibatkan ibu-ibu muda
mengerti bagaimana cara memasak yang benar, baik, dan lezat dalam tempo relatif
singkat, itulah yang dimaksud dengan efek prososial kognitif. Artinya, telah
teijadi transfer pengetahuan (Lari pihak media massa kepada pihak pemirsa
televisi.
Sebagian,
atau sedjkitnya 20 persen acara media massa, apakah itu surat kabar dan
majalah, atau radio dan televisi, bahkan juga media on line interact, diisi
dengan rubrik atau acaru yang mexniliki dimensi sekaligus implikasi komtif.
Pada surat kabar dan majalah, terdapat begitu banyak rubrik yang sepenuhnya
diambkan untuk mengisi kebutuhan kognitif khalayak pembaca. Dapat dipahami jika
ahli komunikasi selalu menganjurkan masyarakat, terutama para mahasiswa di
kampus, untuk selalu membaca surat kabar dan majalah, sesudah sebelumnya
membaca buku~buku teks kuliah yang diwajibkan. Sebagai tambahan, pengetahuan
atau dimensi kogni’df, memang lebih memadai diperoleh dari sumber-sumber
tercetak. Dengan dicetak, kita mudah untuk menyimpan dan membacanya
berulang-ulang kapan kita mau.
Efek Prososial
Afektif
Perhatikanlah
sajian sinetron pada banyak televisi swasta komersial kita. Di sana lebih
banyak disajikan adegan gedung dan rumah bertingkat, kebun luas, kolam renang
pribadi, sedan mewah, dan fasilitas lain yang serba luks serta gemerlap. Logika
yang digunakan oleh para pemilik rumah produksi, yang kemudian diinstruksikan kepada
sutradara dan para pekezja sinetron, adalah sebagian besar masyarakat kita
terdiri atas orang-orang miskin yang hidupnya serba pas-pasan. Karena itu,
menjual kemiskinan atau penderitaan dalam sinetron, tidak akan laku. Asumsinya
saderhana. Kemiskinan dan penderitaan, sudah menjadi bagian kehidupan
sehari-hari masyarakat kita. Jika ingin ditonton banyak orang, sinetron kita
hamslah menyajikan sesuatu yang berbeda.
Apa
sesuatu yang berbeda itu? Tidak lain adalah menjual mimpi! Bercerita tentang
gemerlap kekayaan dan kemewahan, adalah bagian dari berdagang mimpi-mimpi itu.
Bukankah masyarakat bawah sudah lama memimpikan hidup kaya, punya rumah mewah
dan mobil mewah? Jika kemudian kritikus sosial atau kritikus televisi
mengecamnya sebagai sinetron tidak realistis, sinetron tidak mengakar, tidak
berpijak kepada kenyataan, atau tidak berpijak kepada kenyataan hidup
sehari-hari, maka jawabnya: memang benar! J adi tak akan ada, dan memang tidak
perlu ada lagi perdebatan. Hanya memang, tayangan acara jenis ini, tidak akan
melahirkan efek prososial. Tayangan jenis ini, sangat boleh jadi justru akan
mengundang efek asosial, atau efek antisosial!
Sekarang,
bandingkan dengan ilustrasi ini. Musibah Situ Gintung Tangerang, Jawa Barat
pada April 2009, yang menewaskan lebih dari 100 pr ycnduduk, sobagian
dmyatal'an hxlang, ternyata tmah mengmdang simpati dan empati para pcngclola
stasiun televiai. LalJ‘disajil'an berbagai berita, laporan, dan feature di
balik pen’stiwa jebolnya aim yang dibangln pada 1930 itu. Kita scbagai pemirsa
hanyut dalam kesedihan mendalam. Kita terharu, (erpukul, dan bahkan menangis
terseduvsedu. Kita merasa, mereka keluarga dan saudara kita juga. Penderitaan
mereka, berax’ti penderitaan kita juga. Kia pun berduka. Inilah yang dimaksud
dengan efek prososial afektif.
Jadi,
apa sebenarnya efek prososial afektif? Dalam komunikologi ditegaskan, efek
prososial afektif berarti media massa mampu memberikan sentuhan kejiwaan dan
perasaan (psikologis) dalam bentuk belas kasihan, rasa iba, kasih sayang,
dukungan, atau sikap pemihakan secara kemanusiaan kepada orang-orang yang
menerima terpaan media tersebut Media dimaksud bisa berupa surat kabar dan
majalah, bisa juga bempa radio dan televisi serta media on line internet.
Efek Prososial
Behavioral
Kita
kembali sejenak pada kisah musibah Situ Gintung Tangerang, Banten. Dengan
banyaknya korban penduduk yang tewas, lembaga-lembaga penyiaran radio dan
televisi, tidak saja hanya melaksanakan fungsi redaksional tetapi sekaligus
juga mengembangkan ftmgsi sosial. Fungsi redaksional, diwujudkan dalam bentuk
peliputan dan pelaporan berita secara objeku‘f dan komprehensif dari lokasi
peristiwa. Fungsi sosial, dimanifestasikan dalam bentuk pembukaan dompet
bencana dan penyampaian imbauan kepa:da khalayak pemirsa untuk memberikan
sumbangan secara sukarela melalui beberapa nomor rekening bank yang telah
disiapkan khusus untuk itu.
Khalayak
pemirsa pun akhirnya tergerak menyumbang secara spontan. Sebagian dan' mereka
bahkan mengoordinisasikan warga di lingkungan tempat tinggalnya untuk datang
meninjau langsung ke lokasi benmm dan memberikan berbagai bantuan yang
diperlukan: selimut, mi instan, beras, lauk-pauk, dan bahkan uang kontan. Semua
dilakukan secara tulus dengan semangat kemanusiaan yang amat tinggi. Inilah
saatnya berbagi dengan saama, kata rnereka dalam hati. Inilah yang disebut sebagai
efek prososial behavioral.
Jadi,
apa itu yang dimaksud dengan efek prososia] behavioral? Komunikologi
menyatakan, efek prososial behavioral berarti media massa mampu memberikan
ajakan serta gerakan dalam bentuk suatu atau berbagai perbuatan kongkret kepada
orang-orang yang menerima terpaan media tersebut seperti yang dikehendakinya.
Efek prososial behavioral, memang lebih menekankan kepada tindakan atau gerakan
kolektif kelompok masyarakat dalam menyikapi laporan atau pemberitaan media
massa.
Timbul
persoalan, jika tindakan atau gerakan kolektif khalayak itu tidak mendukung
norma-norma atau kehendak kelompok sosial masyarakat, dapatkah efek itu tetap
disebut sebagai prososial behavioral? Secara termino~ logi, prososial berarti
segaris dengan norma sosial. Sifatnya positif. J ika efek yang muncul jusu'u
kebalikannya, dapatkah kita mengatakan efek ini sebagai efek antisosial
behavioral? Dalam sosiologi, gejala demikian disebut sebagai efek disfungsional.
Jadi secara teoretis, kita bisa mengatakan efek sosial media massa tak
selamanya prososial. Ada juga efek yang sifatnya asosial. chala efek seperti
inilah yang perlu diantisipasi sejak dini.
EFEK KOMUNIKASI
MASSA DALAM SOSIALISASI
Sosialisasi
adalah proses ketika individu mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan
menginternalisasikan norma-norma sosialnya sehingga membimbing orang itu untuk
memperhitungkan harapan orang lain. Sosialisasi tidak pernah total dan
merupakan proses yang terns berlangsung, bergerak sejak masa kanak-kanak sampai
usia tua. Sejumlah besar sosialisasi dilakukan dengan sengaja. Tetapi
sosialisasi juga terjadi secara tak disadari ketika individu mengambi] petunjuk
mengenai norma-norma sosial tanpa pengajaran khusus mengenai hal itu. Beberapa
bagian dalam proses sosialisasi yang kompleks itu dilakukan oleh media massa.
Lantas, jenis data yang bagaimana yang kita perlukan untuk menggambarkan
peranan media massa dalam sosialisasi? Charles R. Wright, menyebutkan empat
faktor, yaitu data perilaku komunikasi, bukti penggunan media, daya serap
norma-norma sosial, dan derajat relatif media massa sebagai sumber normatif
(Wright, 1985: 182-183).
Data Perilaku
Komunikasi
Wright
menyebutkan, kita memerlukan data tentang perilaku komunikasi orang-orang dari
berbagai tingkat usia. Apakah perilaku komunikasi kelompok usia anak-anak
berbeda dengan kelompok usia remaja? Sebagai contoh, kelompok usia mana yang
lebih menyukai tayangan acara berita, kelompok usia anak-anak atau kelompok
usia remaja? Kelompok usia mana pula yang Iebih menyukai tayangan film kartun,
anak-anak atau remaja?
Untuk
jawaban atas pertanyaan pertama, kita menduga kelompok remajalah yang lebih
menyukai tayangan fllm kartun. Sedangkan untuk jawaban atas pertanyaan kedua,
kita menduga balk anak-anak maupun remaja, keduanya sama-sama menyukai tayangan
fllm kartun. Tetapi apakah faktanya benar demikian? Sudah tentu diperlukan
penelitian komprehensif sehingga kita tidak lagi menduga-duga. Satu hal yang
pasti, penelitian sosiologis mengenai perilaku menonton televisi kelompok usia
anakanak, kelompok usia remaja, dan kelompok usia" remaja, dewasa ini
sangat diperlukan di Indonesia. Semua pihak, diyakini saagat berkepentingan
dengan basil penelitian tersebut, termasuk kalangan industri pemasang iklan dan
pengelola stasiun televisi sendiri.
Bukti Penggunaan
Media
Rita
memerlukan bukh' lebih banyak dan 1ebih meyaklnkan tentang penggunaan
mediamassa sebagai sumber norma-norma sosial. Hal-Log misalnya, dalam What Do
We Really Know About Daytime Serial Listeners melaporkan, sebagian wanita di
Amerika percaya bahwa mereka memperoleh resep-mep kehidupan dan memecahkan
masalah pribadi dari program radio pada slang hari (lawsfeld, 1944: 3-33).
Begitu juga dengan Brenda Dexvin dan Gmenbeng dalam The Communication
Environment of the Urban Poor, melaporkan bahwa Orang-orang kulit hitam
berpenghasilan rendah di Amerika, bila dibandingkau dengan orang kulit putih
dari kelas menengah, cenderung setuju bahwa 0mg Inelihat televisi karena mereka
dapat belajar dari kesalahan orang lain (Kline dan lichenor, 1972).
Hasil
penelitian mengenai penggunaan seperti itu, bagaimanapun Sanger diperlukan
untuk melihat seberapa besar peranan media mass: Sebagai agen-agen sosialisasi
pada berbagai kelompok usia dan kelompok Sosial, balk di perkotaan maupun di
perdesaan. Sejauh ini, kita lebih banyak berpijak kepada asumsi bahwa media
massa memang merupakan salah Satu agen sosialiasi yang sangat efektif sesuai
dengan karakteristik yang dimilikinya. Namun apakah pada semua bentuk dan
tujuan sosialisasi secara spesifik, media massa terbukti efektif pula? Belum
tentu. Untuk itulah perlu penelitian tematik secara mendalam.
Daya Serap Norma
Sosial dari Media Massa
Apakah
kita memiliki cukup banyak data dan informasi mengenai seberapa banyak orang
menyerap norma-norma sosial dari media massa? Kalaupun diketahui cukup banyak,
perlu juga dikaji: seberapa tinggi atau seberapa kuat daya serap norma sosial
yang bersumber dari media massa itu? Ini menarik untuk diteliti. Terlebih lagi
ketika masyarakat terutama di perkotaan dihadapkan kepada realitas yang semakin
beragam dan terspesialisasi. Lebih dari itu, masyarakat pun dihadapkan kepada
demokratisasi media. Artinya, terdapat cukup banyak pilihan bagi masyarakat
dalam penggunaan media.
Ketika
dihadapkan kepada banyak pilihan dalam penggunaan media massa, apakah
masyarakat akan cenderung bersikap tunggal atau plural? Tunggal, berarti
cenderung hanya berhubungan dengan satu jenis media karena berbagai
keterbatasan yang dimilikinya. Plural, berarti berhubungan dengan beragam jenis
dan bentuk media karena pertimbangan daya dukung ekonomi dan status sosial
dirinya. Singkatnya, kelompok plural ini memiliki kemampuan ekonomi cukup
tinggi, walaupun tidak setiap orang dari kelompok ini otomatis menganut aliran
plural! Untuk itulah, Wright menyarankan perlunya identifikasi khalayak yang
berperan sebagai tokoh rujukan dalam penerapan nilai-nilai dan perilaku sosial.
Derajat Media Massa
sebagai Sumber Normatif
Wright
mengingatkan, kita juga perlu mengetahui lebih banyak lagi mengenai derajat
relatif media massa sebagai sumber normatif di antara agen sosialisasi lainnya
seperti keluarga, sekolah, dan kawan sepermainan. Neil Holander, misalnya,
dalam Adolescent and the War: The Sources of Sozialization (1971) melaporkan,
sampe] yang terdiri dari kelompok murid kelas tertinggi di sekolah menengah
menyebutkan bahwa media massa, temtama televisi, merupakan agen sosialisasi
yang lebih panting daripada agen sosialisasi tradisional seperti gereja,
keluarga, teman, dan sekolah dalam menerapkan ideologi mereka tentang perang. Contoh
lainnya, Steven Chaffee dan Scott Ward dalam Mass Communiv cation and Political
Socialization melaporkan, murid-murid sekolah me nengah kelas bawah dan kelas tinggi di Wisconsin
Amerika menyatakan bahwa media massa merupakan sumber informasi dan sumber
pendapat pribadi paling penting mengenai peristiwa aktual, bila dibandingkan
dengan sumber alternatif lainnya seperti orang tua, teman, dan guru (Chaffee,
Ward, dan Leonard Tipton, 1970: 647-666).
Apa
maknanya? Dari hasil penelitian Chaffee dan Ward serta Neil Hoiander diketahui
dengan pasti, kelompok usia remaja tidak lagi bergantung pada orang tua mereka
di rumah sebagai sumber rujukan dan sekaligus sebagai agen terpenting
sosialisasi. Pola pandang mereka berubah dari ke dalam atau sekitar rumah dan
keluarga (in ward looking) menjadi ke luar dari lingkungan mmah dan keluarga
(out ward looking). Kelompok usia remaja, yang semula termasuk loyalis dalam
keluarga inti mereka, berubah menjadi individu yang sangat kritis. Gejala
inilah yang kerap dikeluhkan kalangan orang tua yang tidak menyelami psikologi
perkembangan dan psikologi remaja.
EFEK SOSIAL DALAM
PERSUASI MEDIA MASSA
Kita
masih ingin menyelami sampai relung-relung terdalam bebagai aspek yang
berkaitan dengan efek sosial komunikasi massa. Kita ingin mengungkap rahasia di
balik asumsi keperkasaan sekaligus misteri di balik tabir besar media massa.
Para sosiolog misalnya bertanya, apa yang dapat dilakukan media massa dalam
proses demokratisasi sosial politik suatu bangsa? Nilainilai demokra’ds seperti
apa yang disosialisasikan melalui media? Bahkan, seperti disinggung Wright
dalam bukunya, diajukan juga pertanyaan menggugat: apakah media massa mempunyai
efek pada pendapat umum, atau pada kegiatan kampanye pemilihan umum?
Muncul
juga kecemasan, individu dan masyarakat, jangan-jangan mereka dimanipulasikan
oleh sekelompok orang pemilik media massa untuk tujuan tertentu. Katakanlah
mematikan karakter calon presiden yang satu, dan mengelu-elukan karakter serta
ketokohan calon presiden yang lain. Para sosiolog juga tertarik untuk
mempersoalkan: jika memang ada, sebesar apakah efek media massa dalam aktivitas
persuasi massa? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya di sini kita sajikan
dua kisah penelitian, 1agi~ lagi di Amerika. Pertama, siaran marathon penjualan
kupon perang. Kedua, kampanye informasi masyarakat.
Siaran Marathon
Kupon Perang
Selama
Perang Dunia 11, Kate Smith, seperti dituturkan Merton, Fiske dan Curtis dalam
Mass Persuasion: The Social Psychology of A War Bond Drive (1946), melalui
pemancar radio CBS melakukan siaran marathon selama delapan belas jam nonstop.
Selama waktu itu ia telah mengulang imbauan setiap beberapa menit. Ia ternyata
berhasil memperoleh bantuan khalayak sekitar 39 juta dolar AS untuk menyumbang
biaya perang pemerintah Amerika Serikat. Dalam acara serupa setahun kemudian,
ia juga berhasil menjual “kupon perang” kepada para pendengar hingga mencapai
10 juta dolar AS Wright, 1985: 191).
Radio,
seperti diceritakan dalam banyak buku, memang kerap digambarkan memiliki
sedikitnya dua efek sosia]: efek dramatis, dan efek sosiologis. Efek dramatis,
menunjuk kepada efek auditif kata-kata dan aneka suara dengan daya imajinatif
tinggi sehingga khalayak pendengar dibuat seperti terhipnotis. Jika yang
disuguhkan cerita ketakutan, kengerian, kepanikan, serta-merta khalayak
pendengar pun dibuat takut dan panik. Cerita tentang invasi makhluk dari planet
Mars misalnya, benar-benar telah menyebabkan sebagian penduduk beberapa kota di
Amerika mengalami histeria massal. Mereka menjerit, melolong, menangis
histeris, dan lari pontang-panting menyelamatkan diri ke lubang-lubang
perlindungan (bunker). Inilah yang terjadi pada sejurnlah drama radio yang
pernah disiarkan di Amerika sampai dengan sebelum 1950.
Efek
sosiologis, berkaitan erat dengan kemampuan radio dalam melakukan persuasi
massa secara cepat dan bemlang-ulang sehingga membangkitkan kesadaran kolektif
dan kesediaan khalayak pendengar yang terpencar, anonim dan heterogen, untuk
melakukan sesuatu tindakan yang diinginkan. Radio adalah salah satu sarana
efektif persuasi massa dengan cara mudah sekaligus berbiaya murah. Tetapi dalam
konteks Indonesia, masih teramat sedikit politikus yang menyadari kekuatan
radio dan menggunakannya untuk kepentingan petrsuasi massa dan kampanyeekampanye
poiitik mereka.
Kampanye lnformasi
Masyarakat
Pada
tahun 1947 sejumlah organisasi masyarakat, termasuk Persekutuan Amerika untuk
PBB, memulai kampanye komunikasi massa selama enam bulan secara insentif di
cincinati,ohio, yang memberikan informasi mengenai PBB dan kejadian kajadain di
dunia. Rencana cininati ini adalah ntuk memberikan bukti sosial mangenai
bagaimana masyarakat yang begitu luas dapat diberi pengetahuan mengenai
masalah-masalah dunia mellui kampanye pendidkan massa. Banyak fasilitas
komunikasi di Cincinnati digunnknn secara ekstensif selama enam bulan penuh:
cerita-cerita ditulis di Surat-aural kabar dan di radio; pamflet-pamflet
khusus, dan poster-poster telah discbzn'kan. Pertcmuan dan ceramah-ceramah pun
diselenggarakan.
Apakah
basil keseluruhan kampanye itu? Nampaknya sedikit sekali perubuhan terjadi
dalam masyarakat. Para peneliti tidak melihat pengaruh signifikan pada
pengetahuan, minat, dan pendapat atau perilaku publik mengenai PBB dan
kejadian-kejadian di dunia. Kasus Cincinnati Plan jelas menggambarkan
kegagalan. Sedangkan kasus siaran marathon Kate Smith menunjukkan keberhasilan.
Kedua kasus ini menunjukkan kesimpulan bahwa pertimbangan kritis kita di sini
bukan pada apakah kampanye media massa menimbulkan efek pada masyarakat atau
tidak, melainkan pada kondisikondisi apakah media massa itu berpengaruh
(Wright, 1985: 191-192).
Jadi,
apa yang disebut terpaan selektif, perhatian dan minat selektif, menjadi
variabel-variabel yang cukup menentukan dalam pengukuran efek sosiologis
kampanye, persuasi, atau sosialisasi media massa pada masyarakat, baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Agaknya, faktor inilah yang juga menjadi
penyebab kehati-hatian para komunikolog dan sosiolog dalam merurnuskan dan
menyimpulkan efek komunikasi massa. Singkatnya, setiap kondisi melahirkan
karakteristik serta implikasi tertentu. Akibatnya, hasil pengukuran dan
penelitian tentang efek komunikasi massa bisa berlainan untuk khalayak serta
tempat yang sama.
EFEK PORNOGRAFI DAN
PENGGAMBARAN KEKERASAN
Pornografi
dan kekerasan, sering digambarkan sebagai dua hal yang cukup Inengerikan dalam
dan bagi kehidupan kita. J angankan melihat dengan mata telanjang,
membayangkannya pun bagi sebagian besar orang sudah dianggap Sebagai kegiatan
menakutkan. Pornograii dan kekerasan, dua hal yang tidak Derlu hadir dalam
kehidupan kita. Masalahnya, kedua hal itu, diamédiam Sering menyelusup ke ruang
tamu dan kamar tidur kite melalui tayangan acara televisi. Para sosiolog
bertanya: seberapa besar efek pornogrofi dan penggambaran adegan kekerasan pada
televisi terhadap khalayak pemirsa?
Sebelum
menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menyimak dulu hasil temuan Klapper.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian komprehensif
tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dam perubahan
sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum:
1. Pengaruh komunikasi massa diantarai
oleh faktor-faktor seperti predis~ posisi personal, proses selektif, dan
keanggotaan kelompok.
2. Karena faktor-faktor mi,
komunikasi massa biasanya berfungsi mempeikokoh sikap dan pendapat yang ada,
walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa menimbulkan
perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi
daripada “konversi” (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi
yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif
dalam mengubah sikap pada bidangbidang ketika pendapat orang lemah, misalnya
pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup efektif
dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada
predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1977: 149 dalam Rakhmat, 1998:
232).
Bila
menyelami kesimpulan yang diajukan Klapper, kita rasanya tidak terlalu risau
dengan bayangan kemungkinan munculnya berbagai dampak negatif yang mengerikan
dari tayangan pornografi dan kekerasan pada media massa terutama televisi dan film.
Efek itu pasti ada, dan mustahil bisa dihapuskan. Hanya saja, kita bisa
memperdebatkan unsur-unsur yang melatarbelakanginya. Bukankah kata Klapper,
komunikasi massa hanya memperkokoh pendapat dan sikap yang sudah ada, serta
efeknya terbukti lemah pada orang yang sudah memiliki predisposisi personal dan
ikatan keanggotaan kelompok?
Efek Pornografi
Pornografi
adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh
dan alat kelamin manusia. Sifatnya seronok, jorok, vulgar, membuat orang yang
melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk
foto, poster, leaflet, gambar video, film, dan gambar keping video compact
disc, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau
kegiatan pencabulan (Bungin, 2005: 124).
Menurut
sosiolog Burhan Bungin, dalam konteks media massa, pomw grati, pornoteks,
pornosuara, dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai
dengan karakter media yang menyiarkannya. Namun dalam banyak kasus, pornografi
(cetak-visual) memiliki kedekatan dengan pornoteks, karena gambar dan teks
dapat disatukan dalam media cetak. Sedangkan pornoaksi dapat bersamaan
pemunculannya dengan pomograii (elektronik) karena ditayangkan di televisi.
Kemudian pornosuara dapat bersamaan muncul dalam media audiovisual, seperti
televisi atau media audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnya
seperti telepon. Bahkan varian porno ini menjadi satu dalam media jaringan
seperti internet, yaitu yang sering dikenal dengan cybersex, cyberporn.
Dengan
demikian, kata Bungin lebih lanjut, konsep pornomedia meliputi realitas porno
yang diciptakan oleh media seperti antara lain gambar-gambar dan teks-teks
porno yang dimuat di media cetak, film-film porno yang ditayangkan televisi,
cerita-cerita cabul yang disiarlcan di radio, provider telepon yang menjual
jasa suara-suara rayuan porno, serta proses penciptaan realitas porno itu
sendiri seperti proses tayangan gambar serta ulasan-ulasan cerita tentang
pencabulan di media massa, proses rayuanrayuan yang mengandung rangsangan
seksual melalui sambungan telepon, dan penerbitan teks'teks porno (Bungin,
2005: 125-126).
Banyak
yang bertanya, apakah efek pornografi sangat membahayakan masyarakat, terutama
kalangan remaja dan pemuda yang belum menikah? Apakah erotika (materi
pornografis) atau erotisme, dipandang sebagai kegiatan memalukan dan
menyesatkan, ataukah kegiatan yang asyik menyenangkan? Apakah melihat erotisme
dan pornografi, menjadi faktor pemicu meningkatnya kasus-kasus perkosaan dalam
masyarakat? Jika berhadapan dengan masalah pornografi, benarkah khalayak
komunikasi massa terutama kelompok usia remaja-pemuda, bermental sangat rapuh?
Untuk
itu, kita perlu mengutip hasi] penelitian di Amerika. Sebuah survei nasional
pada 1970 yang disponsori oleh Commision on Obscenity and Pornography
menyatakan bahwa sekitar dua-pertiga orang-orang dewasa di Amerika percaya
bahwa materi seksual merangsang orang secara seksual; dan satu-pertiganya
percaya bahwa materi seksual menyebabkan orang “gila seks”. Tetapi enam dari
sepuluh orang dewasa percaya bahwa materi seksual memberikan informasi mengenai
seks; sekitar setengahnya berpikir bahwa materi itu memperbaiki hubungan seks
di antara pasangan yang menikah. Sekitar sepertinya lagi berpikir bahwa materi
seks memberikan penyaluran bagi dorongan seksual yang terpendam. Survei lainnya
yang dikutip komisi itu menunjukkan bahwa para ahli juga berbeda satu sama
lainnya dalarn pandangan mereka (Wright, 1985: 175).
Bagi
kapitalisme, pomografi adalah industri yang menggiurkan. Menghapus pornografl
dari peta bumi, sama saja dengan membuang tumpukan emas murni ke tengah lautan.
Sesuatu yang sangat merugikan. Karena pandangan demikianlah, mengapa pornografi
via media massa nyaris tak pemah bisa diselesaikan secara tuntas di dunia,
termasuk di Indonesia. Sampai hari ini, masih kerap terjadi perdebatan dan
bahkan gugatan mengenai lahir dan menyebarnya film-film bertema pornografl.
Pandangan masyarakat seperti terbelah dua. Kubu yang satu melihat, pornografi
harus dihapuskan dari media massa, efeknya merusak moral kaum remaja-pemuda,
dan nilainilai sosial ekonorninya tidak signifikan. Tetapi-kubu yang lain
berpendapat, pomografi ada karena tidak lain untuk memenuhi selera serta
tuntutan pasar. J adi selama pasamya ada, pornograii tak mungkin sirna dari
masyarakat.
Efek Kekerasan
Jika
pomografi banyak dibela Oleh kaum kapitalis karena merupakan komoditas
menggiurkan di seluruh dunia, bagaimana dengan kekerasan? Ada yang berpendapat,
kekerasan pada berbagai tayangan acara film televisi, harus dimaknai sebagai
bentuk dan varian hiburan yang tidak perlu diperdebatkan. Televisi memiliki
efek dramatis. Televisi juga memiliki dampak psikologis, ketika hasrat dan
naluri kekerasan para pemirsa, dapat disalurkan secara positif melalui
tokoh-tokoh cerita yang ditayangkan. Dalam psikologi, gejala demikian disebut
sublimasi. Sifatnya positif. Jadi, hasrat dan potensi perilaku kekerasan
seseorang, tidak perlu dimanifestasikan dalam tindakan nyata. Tetapi cukup
disalurkan ke dalam realitas film media massa. Oleh karena itu tidak akan ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Kekerasan
bisa dimaknai secara psikis, bisa juga diartikan secara fisik, Secara psikis,
terlukis dalam kata-kata makian, hujatan, penistaan, atau kata’ kata serangan
untuk menjatuhkan mental musuh. Secara fisik, terlihat dari adegan pemukulan,
pengeroyokan, penganiayaan, penyiksaan, penusukan, atau penembakan. Jadi,
kekerasan bisa terdapat dalam teks, bisa pula muncul dalam bentuk gambar.
Apakah penggambaran adegan kekerasan pada televisi, dengan sendirinya memicu
masya'rakat untuk bersikap beringas dan berperilaku anarkis? Apakah efeknya
tidak termasuk sangat membahayakan, bagi anak-anak?
Gallups
Polls mengadakan penelitian pada pertengahan abad 20. I3 menemukan bahwa tujuh
dari 10 orang Amerika percaya bahwa kenakalan remaja sedikitnya sebagian dapat
disebabkan oleh media massa seperti buku~ buku komik mengenai kejahatan dan
film detektif dalam televisi atau radio. Tetapi tiga dari sepuluh orang tidak
setuju dengan pendapat ini. Bahkan jika mereka setuju, konsensus mengenai
persoalan itu tidak perlu bemrti bahwa pendapat umum itu benar. Sebagian ahli
yakin bahwa isi media massa tertentu menimbulkan efek merugikan yang begitd
jelas sehingga tidak perlu dibuktikan lagi (Wn'ght, 1985: 177).
Para
kritikus sosial mengingatkan, boleh saja media massa dijadikan kambing hitam
sebagai pemicu perilaku kekerasan terhadap kalangan remaja dan pemuda. Kalaupun
efek itu dianggap ada, skopnya kecil saja. Satu hal yang hams diwaspadai,
justru kemungkinan munculnya penyebab tindak kekerasan dalam lingkugan
keluarga: sikap orang tua, hubungan keluarga Yang terganggu, atau
gangguan-gangguan emosional pada individu. Sebagaj langkah antisipatif, dalam
konteks Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengingatkan para
pengelola stasiun televisi untuk lebih berhatL hati dengan penayangan film-film
atau acara sejenis yang bertema kekerasaq Kalaupun tak terhindarkan, maka jam
tayangnya diubah menjadi selepas pukul 22-00 malam. Asumsinya, pada jam itu, anak-anak
dan remaja sudah tidur.
TIPOLOGl EFEK MEDIA
KOMUNIKASI MASSA
Danie
McQuail, melihat efek atau dampak komunikasi massa dalam beberapz‘ tegori dan
jenis. Ia mengatakan ada efek komunikasi massa yang diinginkan, ada pula efek
komunikasi massa yang tidak diinginkan. Selain itu, ada efek dalam rentang atau
lingkup jangka pendek ada pula efek dalam rentang jangka panjang. Pada efek
jangka penedek terdapat faktor yang disengaga den faktor tidak disengaja, Begitu
pula dalam efek jangka panjang. ada yang tmuk disengaja ada juga yang termasuk
tidak disagaja. Melalui tipologi efek media yang disusunnya Quail tak ubahnya sedang
membuat jembatan penyeberangan bagi para akademikus dan peneliti agar bisa
memetakan secara visual mengenai efek komunikasi massa.
Pada
unsur waktu jangka pendel dalam kategori disengaja, misalnya Quail
mencantumlcan variabel tanggapan indivldu dan variabel kampanye media.
Sedangkan dalam jangka panjang, terdapat variabel penyebaran dalam pembangunan
dan distribusi pengetahuan. Untuk waktu jangka pendek dalam kategori tidal:
disengaja, Quail memasukkan variabel reaksi kolekif dan variabel reaksi
individu. Sedangkan pada dimensi waktu jangka panjang dalam kategori tidak
disengaja, Quail memaudang perlu untuk memasukkan empat variabel panting:
pengendalian sosial, sosialisasi, penentuan realitas, dan perubahan lembaga.
Berikut penjelasannya secara singkat yang dikutip penuh clari Quail:
Tanggapan
individu. Proses ketika individu berubah atau menolak perubahan, sebagai
tanggapan terhadap pesan yang dirancang untk memengaruhi sikap, pengetahuan,
atau perilaku.
Kampanye
media. Mengisyaratkan situasi ketika sejumlah media digunakan untuk mencapai
tujuan persuasif atau informasional dalam populasi yang dipilih. Contoh yang
paling umum ditemukau dalam politik, iklan, pengumpulan dana, informasi publik
untuk kesehatan dan keselamatan. Kampanye cenderung mengandung karakteristik
berikut: memiliki tujuan khusus dan jelas serta memiliki rentang waktu terbatas
dan terbuka kemungldnan untuk menilai efektivitasnya.
Reaksi
individu. Konsekuensi pendekatan yang tidak direncanakan atau tidak dapat
diperkirakan oleh seseorang terhadap stimulasi media. Konsekuensi ini sebagian
besar telah diacu sebagai peniruan dan tindakpelajaran, khususnya dari tindakan
agresif atau kriminal, dan juga dari gagasan dan perilaku yang prososlal. Jenis
dampak lainnya mencakup penggantian aktivitas lain, peniruan gaya dan model,
penyatuan diri dengan para pahlawan atau bintang, rangsangan seksual, reaksi
terhadap rasa takut, kecemasan, dan gangguan.
Reaksi
kolekrif. Di sini dampak yang sama dialami secara serentak oleh banyak orang,
yang menimbulkan tindakan bersama, biasanya tindakan yang tidak teratur dan
tidak dilembagakan. Dampak yang paling penting timbul dari rasa takut, cemas,
dan marah, yang mengakibatkan kepanikan dan kerusuhan sosiai.
Penyebaran
dalam pembangunan. Penyebaran inovasi yang direncanakan untuk kepentingan
pembangunan jangka panjang, dengan menggunakan serangkaian karnpanye dan sarana
pengaruh lainnya, khususnya jaringan hubungan pribadi dan struktur wewenang
komunitas atau masyarakat.
Distribusi
pengetahuan. Konsistensi aktivitas media daiam lingkup berita dan informasi
bagi pendistribusian pengetahuan di antara berbagai kelompok sosial, kesadaran
yang berubah-ubah tentang peristiwa, prioritas yang ditetapkan pada aspek
“realitas”. '
Sosialisasi.
Kontribusi media yang tidak formal terhadap pembelajaran dan penerapan norma,
nilai, dan harapan yang berlaku bagi perilaku dalam peran sosial dan situasi
tertentu.
Pengendalian
sosial. Mengacu kepada kecenderungan sistematis untuk menyebarkan konformitas
terhadap tata tertib yang diterapkan dan menegaskan keabsahan wewenang yang
ada. Bergantung pada teori sosial yang dianut, dan hal ini dapat ditempatkan
sebagai perluasan sosialisasi yang disengaja atau sebagai perluasan yang tidak
disengaja Perubahan lembaga. Hasil adaptasi yang ,tidak direncanakan oleh
lembaga yang ada terhadap perkembangan dalam media, khususnya yang memengaruhi
fungsi komunikasinya.
Penentuan
realitas. Proses yang serupa tetapi berbeda karena 1ebih berkaitan dengan
kognisi (pengetahuan dan opini) daripada nilai dan tidak timbul dari upaya
manipulasi yang disengaja tetapi dari kecenderungan sistematis dalam media
untuk menyajikan versi realitas yang tidak lengkap dan agak tidak jelas (Quail,
1987: 232-234).
Denis
McQuail mengingatkan, keseluruhan uraian pokok tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan proses dampak atau efek yang dibedakan menurut tingkat, rentang
waktu, kerumitan, dan beberapa kondisi lainnya yang telah dikemukakan
sebeiumnya secara ringkas. Dalam hal-hal tertentu,model dasar yang sama dapat
digunakan untuk menangani 1ebih dari satu broses karena perbedaan spesifikasi
tidaklah penting (Quail, 1987: 234).
Semula,
sebagian dari kita berkeyakinan, efek media massa bersifat segera dan serempak
dengan berpijak kepada asumsi faktor ketersegeraan dan keserempakan proses
terpaan media. Temyata fakta teoretis dan fakta empiris membuktikan lain.
Artinya, seperti ditegaskan Quail, efek media massa bertingkat-tingkat,
dipengaruhi rentang waktu, dan juga mengandung kadar kerumitan yang tidak sama.
Fakta ini, tentu saja sangat berharga tidak saja bagi para peneliti dan ilmuwan
kampus, tetapi juga bagi para praktisi pengambil kebijakan pada pemerintah
tingkat pusat, regional, dan tingkat lokal. Strategi dan pendekatan media
secara komprehensif yang disusun untuk menopang program-program sosial-politik,
niscaya sangat diperlukan dan karena itu perlu direncanakan secara matang.
Untuk
melihat seperti apa dan mengukur seberapa jauh efek atau dampak media massa
terhadap pandangan, sikap, perilaku, dan agenda aktifitas individu serta agenda
masyarakat, Quail menawarkan 4 teori. Keempat teori itu djnamainya teori
penataan realitas, teori spiral kebisuan, teori pengolahan, dan teoxi
pengendalian sosial. Berikut penjelasan singkatnya:
Teori Penataan
Realitas
Quail
menegaskan, media menawarkan pewakilan realitas mayarakat. Apabila media dapat
menyampaikan pesan tentang prioritas dan mengarahkan perhatian pada berbagai
isu dan masalah secara selektif, media dapat berbuat lebih banyak. Dalam teori
penataan realitas dinyatakan, dampak media terjadi secara tidak disadari,
sebagai hasil kecenderungan organisasi, praktik bidang keahlian, dan batasan
teknis. Paletz dan Entman (1981) mengaitkan perkembangan mitos konservatif pada
apa yang disebut jurnalisme bungkusan, yaitu kecenderungan para wartawan untuk
bekerja sama, menyepakati konsensus, meliput kisah yang sama, dan menggunakan
sumber berita yang sama.
Gagasan
bahwa menata realitas berdasarkan kebutuhan dan kepentingannya sendiri telah
menyediakan tema bagi penelitian tertentu dengan implikasi yang kuat akan
adanya dampak. Contoh awal adalah studi yang dilakukan oleh Lang dan Lang
(1953) atas liputan televisi tentang kembalinya McArthur dari Korea. Studi ini
menunjukkan betapa peristiwa yang tadiiiya relatif berskala kecil dan senyap,
berubah menjadi sesuatu yang hampir bempa demonstrasi penyambutan dan dukungan
massa oleh arahan kamera secara selaktif membidik sebagian dari aktivitas dan
minat yang menonjol (quail, 1987: 252 253).
Teori
Spiral chisuan
Teori
spiral kcbisuan (the spiral of silence) dalam lingkup pembentukan opim' telah
dikembangkan oleh Neolle-Neumann (1974), yang bertitik tolak dari asumsi dasar
bahwa pada umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dalam
pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas
atau ‘konsensus’. Sumber informasi yang utama tentang konsensus adalah media.
Akibatnya, para wartawan yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk
menetapkan apa yang dipandang sebagai ‘iklim opini’ yang berlaku pada saat
tertentu dalam isu tertentu, atau yang lebih luas
Istilah
umum spiral kebisuan diberikan oleh Neolle-Neumann bagi gejala ini, karena
logika yang mendasarinya menyatakan bahwa semakin tersebar versi konsensus
opini yang dominan oleh media massa dalam masyarakat, semakin senyap pula suara
perorangan yang bertentangan, yang meningkatkan dampak media, dan juga proses
spiral. Pembuktiannya menunjukkan bahwa proses seperti itu terjadi di Jerman
pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menguntungkan Partai Demokrasi Sosial yang
berkuasa, karena kecenderungan kekiri-kirian di kalangan wartawan media yang
utama (Quail, 1987: 252).
Teori
spiral kebisuan makin memperkuat asumsi para kritikus sosial yang menyatakan,
media tidaklah bergerak linear: 'bergerak lurus dari satu titik ke titik
berikutnya tanpa motivasi dan kepentingan tertentu. Media juga niemiliki motif
dan orientasi ideologi sendiri, yang dalam banyak hal sering berbeda dengan
orientasi sosiologis mayoritas masyarakat. Pada perspektif inilah, apa yang
disebut objektivitas media menjadi seperti filsafat gelang karet: bisa
mengecil, bisa juga membesar, bahkan bisa juga menjadi tetap tidak berubah
(stagnan). Singkatnya, media tak selamanya merepresentasikan kepentingan
masyarakat. Ada pula saatnya, dengan berbagai pertimbanan tertentu, media massa
justru lebih mendahulukan kepentingannya sendiri dan kelompok serta
aliansi-aliansi strategisnya.
Teori Pengolahan
Di
antara berbagai teori mengenai dampak media jangka panjang yang menonjol adalah
hipotesis pengolahan dari Gerbner (1973) yang mengatakan bahwa televisi, di
antara berbagai media modern, telah memperoleh tempat yang sedemikian penting
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi ‘lingkungan simbolik’ kita,
dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan
sarana mengetahui dunia lainnya. Pesan televisi, dalam pandangan mereka,
bersifat khusus dan menyimpang dari ‘realitas’ dalam beberapa hal panting.
Namun pendadahannya secara terus-menerus menyebabkan penerimaannya sebagai
pandangan konsensus tentang masyarakat (Amerika).
Bukti
utama bagi teori pengolahan berasal dari analisis isi televisi Amerika secara
sistematis. Analisis tersebut dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukkan
distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan
dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan.
Isi ini yang memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari
kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum
wanita, dan minoritas rasia] (Quail, 1987: 254).
Teori
pengolahan, secara tersirat hendak menunjukkan tingkat keperkasaan media
seperti ditunjukkan dalam teori peluru atau teori jarum hipodermik. Kita boleh
saja berkeyakinan kita sekarang hidup dalam era modern yang serba canggih
dengan tingkat intelektualitas masyarakat relatif sangat tinggi. T etapi ketika
dihadapkan kepada realitas dan ideologi televisi, hasilnya tidak banyak bembah.
AItinya, kita tetap saja seolah terpinggirkan. Kita tetap saja dicitrakan
sebagai khalayak yang pasif. Kita cenderung dikendalikan oleh televisi, dan
bukan kita yang seharusnya mengendalikan televisi. Gejala inilah yang
menyebabkan mengapa sebagian pakai' komunikasi menjuluki televisi sebagai agama
kedua bagi masyarakat modern. Tanpa televisi, hidup ini seolah menjadi sangat
tidak berarti. Sia-sia. Dampaknya, paling tidak dalam perspektif industri
komunikasi dan informasi, menjadi luar biasa dan bahkan mungkin tak terduga.
Fenomena rating atau pemeringkatan acara, tiba-tiba muncul menjadi dewa penentu
bagi hidup-matinya siaran televisi.
Teori Pengendalian
Sosial
Teori
ini berpendapat bahwa umumnya tindakan media mendukung niiai~nilai dominan
dalam masyarakat atau bangsa, melalui gabungan pilihan pribadi dan lambaga,
tekanan dari luar, serta antisipasi tentang apa yang diharapkan dan djinginkan
khalayak yang besar dan heterogen. Pandangan lain menyatakan bahwa media pada
dasamya konservatif karena adanya komhinasi kekuatan pasar, persyaratan
operasional, dan paktik kerja yang mapan.
Pandangan
berikutnya menyatakan bahwa media secara aktif berfungsi untuk kepentingan
kelas penguasa (dan sering termasuk pemilik media) atau pemerintah borjuis
dalam upaya menekan atau meninabobokan oposisi, serta menghalangi terjadinya
penyimpangan politik dan sosial. Hal ini pada dasarnya merupakan pandangan
marxis tentang media sebagai alat untuk mengabsahkan kapitalisme (Miliband,
1996; Wastergarrd, 1977).
Dalam
perspektif tersebut, logis jika kita menemukan bukti-buk’d teoretis dan
bukti-bukti empiris tentang apa yang disebut peniadaan media, walaupun diakui
tidaklah mudah untuk melakukan itu. Kita patut bersyukur kepada Warren Breed
(1958) yang, atas dasar apa yang diacunya sebagai ‘analisis isi terbalik’
(dengan membandingkan isi pers dengan studi komunitas sosiologis), menyimpulkan
bahwa surat kabar Amerika secara konsisten meniadakan berita yang diperkirakan
akan mengganggu nilai-nilai agama, keluarga, komunitas, bisnis, dan
patriotisme. Ia menyimpulkan bahwa kekuasaan dan kelas dilindungi oleh
aktivitas media.
Analisis
perbandingan isi berita dalam satu atau beberapa negara telah menambah bukti
peniadaan perhatian atas isu dan bagian dunia secara Sistematis. Studi
terperinci tentang isi berita seperti yang dilakukan oleh The Glasgow Media
Group (1977; 1980) atau oleh Golding dan Elliott (1979) telah
Inendokumentasikan beberapa pola peniadaan media yang signifilmn.
Golding
(1980) menulis tentang ‘hilangnya dimensi’ kekuasaan dan Proses sosial dalam
berita televisi di berbagai negara. Tidak adanya kekuasaan dicirikan oleh:
ketidakseimbangan perhatian media terhadap dunia; pemusatan perhatian ditujukan
kepada individu daripada kepada lembaga secara keseluruhan; dan pemisahan
pilihan kebijakan dari hubungan yang men~ dasari kekuasaan politik dan ekonomi.
Proses sosial menghilang karena Demusatan perhatian jangka pendek, pengambangan
berita dibandingkan dengan pendalaman untuk perubahan jangka panjang. Menurut
pandangan Holding, hasilnya adalah sejenis ideologi yang menunjukkan dunia
sebagai sesuatu yang tidak berubah dan tidak dapat diubah, dan kita cenderung
menghindarkan perkembangan pandangan yang mungkin mempersoalkan distribusi
kekuasaan dan pengendalian yang berlaku (Golding, 1980: 80).
Teori
pengendalian sosial, dalam beberapa hal semakin mengukuhkan teori realitas
tangan kedua (the second hand reality) dalam sosiologi komunikasi massa.
Asumsinya, realitas yang diberitakan dalam surat kabar, radio atau televisi,
bukanlah realitas yang asli dan apa adanya yang diperoleh dari lapangan
(realitas tangan pertama, the first hand reality). Realitas yang diberitakan
itu justru muncul setelah melalui proses seleksi produksi yang cukup panjang
dan rumit. Realitas ini tidak akan diloloskan sebagai berita layak siar, layak
tayang, atau layak muat jika dikategorikan masih cacat teknis. Inilah yang
disebut realitas media atau realitas tangan kedua. Di sini, tentu saja terdapat
campur tangan redaksional yang cukup pekat. Bahkan visi ideologis media pun
ikut memberikan warna atas merahputihnya berita yang akan ditampilkan. Artinya,
media ikut terlibat dalam proses pembingkaian realitas dengan implikasi
kemunculan persepsi yang diinginkannya nanti yang diperoleh dari khalayak.
Secara
sosiologis kita pun bisa berdebat, apakah yang disebut objektivitas berita
lebih banyak menggunakan perspektif dan kepentingan masyarakat, atau perspektif
dan kepentingan media itu sendiri? Bukankah media, memiliki kemampuan untuk
memunculkan sesuatu dan sebaliknya menghilangkan sesuatu? Teori peniadaan
media, bagi sosiologi masih menjadi semacam misteri. Disebut misteri, karena
kita seolah tidak diberi tahu dan tidak boleh tahu, apa yang ada di balik benak
media dalam proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi berita.
BAB VIII
DIMENSI
SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA
KONTROL
SOSIAL MEDIA
Untnk mencegah agar kecenderungan
warga masyarakat yang ingin dan telah melanggar aturan tidak terus merebak atau
berkembang lebih parah, masyarakat perlu menjalankan pengendalian sosial atau
kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya. Menurut Peter L. Berger,
yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat
untuk menertibkan anggota yang membangkang. Dalam redaksi yang berbeda tetapi
substansinya sama, Roucek (1965) mengartikan pengendalian sosial sebagai suatu
istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak, untuk mengajar
individu agar dapat menyesuaikan din dengan kebiasaan dan nilai kelompok tempat
mereka tinggal (Soetandy ngnjosoebroto dalam N arwoko, Suyanto, 2007: 132).
Kontrol
Sosial Preventif
Media massa adalah salah satu
lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih rendah. Kalaupun sering
dipersepsikan seolah-olah mendapat kedudukan cukup istimewa, hal itu
semata-mata karena karakteristik dan fungsi-fungsi yang dimilikinya saja.
Seperti ditegaskan Rachmadi, setiap media massa mempunyai fungsi kontrol
sosial, namun dalam pelaksanaannya, intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini
banyak bergantung kepada sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa
itu beroperasi. Surat kabar yang melaksanakan fungsi ini, misainya, selalu
bertindak sebagai pembela publik atau selalu menjadi the watch dog of the
public interest. Pers dengan demikian melakukan fungsi yang sama dengan dewan
perwakilan rakyat (DPR). Sebab, dalam menjalankan fungsi ini DPR terikat oleh masa
persidangan, sedangkan pers dapat menjalankan fungsinya setiap waktu (Rachmadi,
1990: 23).
Timbul pertanyaan, apakah media
massa sebagai lembaga sosial, layak disebut mewakili aspirasi dan kepentingan
masyarakat? Dalam teori jumalistik dikatakan, media massa adalah wakil
sekaligus cermin masyarakat. J ika kita ingin mengetahui wajah masyarakat, kita
dapat melihatnya dari pemberitaan media massa. Sebaliknya apabila kita hendak
mengetahui wajah pers, kita cukup dengan melihat perilaku dan rentetan peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat. Tatapan perspektif sosiologis ini, walau lebih
banyak dikutip dalam buku-buku jumalistik, hendak menunjukkan keterlibatan
media massa yang sangat kuat dalam berbagai persoalan yang texjadi dalam dan
dilakukan oleh masyarakat.
Apa artinya? Diakui atau tidak,
disadari atau tidak, media massa memiliki fungsi yang sangat melekat (inherent)
dengan posisi dan eksistensi dirinya dalam kehidupan masyarakat. Kita lazim
menyebutnya sebagai fungsi kontrol sosial. Secara kategoris, dilihat dari
sifatnya, fungsi kontrol sosial media massa terbagi atas dua jenis: preventif,
dan represif. Preventif, berarti media massa melakukan langkah-langkah
pencegahan dan antisipatif agar masyarakat tidak menyimpang dari nilai-nilai
dan norma-noma sosial budaya agama yang ada.
Kontrol
Sosial Preventif
Media massa adalah salah satu
lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih rendah. Kalaupun sering
dipersepsikan seolah-olah mendapat kedudukan cukup istimewa, hal itu
semata-mata karena karakteristik dan fungsi-fungsi yang dimilikinya saja.
Seperti ditegaskan Rachmadi, setiap media massa mempunyai fungsi kontrol
sosial, namun dalam pelaksanaannya, intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini
banyak bergantung kepada sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa
itu beroperasi. Surat kabar yang melaksanakan fungsi ini, misainya, selalu
bertindak sebagai pembela publik atau selalu menjadi the watch dog of the
public interest. Pers dengan demikian melakukan fungsi yang sama dengan dewan
perwakilan rakyat (DPR). Sebab, dalam menjalankan fungsi ini DPR terikat oleh
masa persidangan, sedangkan pers dapat menjalankan fungsinya setiap waktu
(Rachmadi, 1990: 23).
Timbul pertanyaan, apakah media
massa sebagai lembaga sosial, layak disebut mewakili aspirasi dan kepentingan
masyarakat? Dalam teori jumalistik dikatakan, media massa adalah wakil
sekaligus cermin masyarakat. jika kita ingin mengetahui wajah masyarakat, kita
dapat melihatnya dari pemberitaan media massa. Sebaliknya apabila kita hendak
mengetahui wajah pers, kita cukup dengan melihat perilaku dan rentetan
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Tatapan perspektif sosiologis ini,
walau lebih banyak dikutip dalam buku-buku jumalistik, hendak menunjukkan
keterlibatan media massa yang sangat kuat dalam berbagai persoalan yang texjadi
dalam dan dilakukan oleh masyarakat.
Apa artinya? Diakui atau tidak,
disadari atau tidak, media massa memiliki fungsi yang sangat melekat (inherent)
dengan posisi dan eksistensi dirinya dalam kehidupan masyarakat. Kita lazim
menyebutnya sebagai fungsi kontrol sosial. Secara kategoris, dilihat dari
sifatnya, fungsi kontrol sosial media massa terbagi atas dua jenis: preventif,
dan represif. Preventif, berarti media massa melakukan langkah-langkah
pencegahan dan antisipatif agar masyarakat tidak menyimpang dari nilai-nilai
dan norma-noma sosial budaya agama yang ada.
Sebagai contoh, media massa
mengampanyekan program keluarga berencana yakni penundaan usia perkawinan (PUP)
sebagai salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk sekaligus
menekan angka kasus perceraian pada pasangan suami-istri (pasutri) thuda.
Diyakini, kégagalan PUP akan melahirkan banyak masalah sosial. Akan ada banyak
pasutri yang bercerai; suami atau istri yang bunuh diri; suarni atau istri dari
pasutri muda yang melarikan diri meninggalkan pasangannya; dan akan lebih
banyak lagi pasutri muda yang dililit kesulitan ekonomi. Lalu, akhirnya angka
kematian balita akan mencapai tifik mengenaskan karena ketidaksanggupan orang
tua membiayai pengobatan dan perawatan rumah sakit atas anak-anak mereka.
Begitu juga misalnya dengan
kampanye gerakan antikorupsi. Kita tahu, korupsi merapuhkan sendi~sendi
kehidupan bangsa. Kita paham, korupsi membawa kita ke tepi jurang kehancuran
moralitas aparat dan masyarakat. Tak ada pilihan lain kecuali kita bersepakat
bulat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Korupsi harus dijadikan musuh
bersama masyarakat dan pemerintah (common enemy). Semua lapisan masyarakat,
anak-anak, remaja, tua-muda, harus membangun sikap alergi terhadap korupsi.
Jangan sekali-kali korupsi didekati, apalagi sampai menyentuh serta
melakukannya. Media massa, dengan segala daya kreativitas dan fasilitas yang
dimilikinya, dapat terus memompakan semangat dan idealisme tinggi antikorupsi
pada semua tingkatan dan lapisan masyarakat (social stratification). Pepatah
bijak mengatakan, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati penyakit.
Kontrol
Sosial Represif
Kontrol sosial represif berarti
media massa memberikan sanksi terhadap anggota masyarakat yang diyakini
melanggar nilai-nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku. Sebagai
contoh, media' massa mengikuti ke mana pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melangkahkan kaki. Ketika KPK masuk ke sebuah gedung atau rumah seorang
tersangka tindak pidana korupsi, dan di sana KPK melakukan penggeledahan,
memeriksa serta mengangkut berbagai dokumen penting, media massa
mendokumentasikan peristiwa itu melalui bidikan kamera dan catatan penanya.
Dalam tempo sejam kemudian, atau bahkan saat itu juga (real time), radio dan
televisi menayangkan Jutaan pendengar dan pemirsa pun mendengar serta
menyaksikan sendiri peristiwa mengenaskan itu secara langsung.
Boleh jadi, hak-hak tersangka
dilindungi. Boleh jadi, demi etika, tersangka dan gambar keluarga tersangka,
tidak ditayangkan pada saat itu. Televisi, misalnya, hanya memusatkan perhatian
pada gambar aktivitas para petugas KPK saat memindahkan tumpukan dokumen dari
rumah tersangka ke dalam bagasi mobil KPK. Betapapun demikian, tayangan ini
mengandung unsur represif: siapa pun yang djduga melakukan korupsi, dia tidak
akan lolos dari kejaran petugas KPK, sorotan kamera televisi, dan goresan pena
para wartawan. Di sini, terjadi proses penghukuman secara sosiaL Sekalipun baru
status tersangka, dan secara hukum asas praduga tak bersalah harus tetap
dijunjung tinggi, secara sosiologis orang itu tetap bermasalah. Ia dianggap
telah menodai sendi-sendi moralitas dan etika masyarakat, melawan nilai-nilai dan
norma-norma sosial budaya agama yang berlaku.
Terlebih lagi, fakta yuridis
menunjukkan, KPK sangat selektif dalam menetapkan status tersangka serta
melakukan penahanan badan secara fisik. Artinya, sekali KPK menetapkan status
tersangka pidana korupsi kepada seseorang, maka dapat dipastikan orang itu
tidak akan lolos dari jerat hukum positif. Ia, lambat atau cepat, niscaya
Inasuk penjara! Dalam perspektif ini, media massa, disadari atau tidak, telah
melakukan fungsi kontrol sosial secara objektif dan transparan. Disebut
objektif, karena media massa hanya merekam dan melaporkan. Sifatnya pasif,
dalam arti tidak memilih atau menetapkan siapa yang akan digeledah KPK. Disebut
transparan, karena pelaporan disampaikan secara terbuka melalui layar televisi
atau siaran radio kepada jutaan khlayak pemirsa dan pendengar yang tersebar,
anonim, dan heterogen.
Dalam bahasa sosiologi, kontrol
sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi
“mengancamkan sanksi’ disebut kontrol sosial yang bersifat preventif. Sedangkan
kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak
memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula disebut kontrol sosial
yang bersifat represif. Kontrol sosial dengan cara mengancamkan dan membebankan
sanksi kepada pelanggar-pelanggar norma seperti itu sesungguhnya mempnnyai efek
psikologis yang kuat terhadap para (kandidat) pelanggar norma untuk tidak
(lagi) melanggar norma itu. Dengan kata lain, kontrol sosial ini mempunyai efek
membendung atau mengendalikan para warga masyarakat dari niatnya melanggar
norma. Sanksi yang diancamkan dalam kontrol sosial, lebih-lebih yang dirasakan
berat dan menyakiti, akan mengecutkan hati para warga masyarakat yang
berkecenderungan hendak melanggar norma. Sanksi selamanya dirasakan sebagai
sesuatu yang tidak mengenakkan, dan merupakan beban penderitaan (Soetandyo
Wignjosoebroto dalam Narwoko,Suyanto, 2007: 134-135).
FAKTOR
PENYEBAB PELANGGARAN NORMA SOSIAL
Dalam analogi sosiologi, kontrol
sosial seperti batu baterai: bisa menguat, tetapi bisa pula melemah. Ketika
daya kekuatan sendiri (self-enforcing) dari noma-norma sosial budaya meningkat,
kontrol sosial dapat berjalan secara efektif. Tetapi sebaliknya ketika daya
kekuatan sendiri (self-enforcing) dari
norma-norma sosial budaya suatu
kelompok masyarakat menurun pada diri individu atau kondisi tertentu, kontrol
sosial itu malah menjadi tidak efektif serta seperti kontraproduktif. Timbul
persoalan: mengapa masyarakat tidak selamanya mematuhi nilai-nlai dan norma-norma
sosial?
Soerjono Soekanto menyebutkan,
terdapat empat faktor mengapa masyarakat berperilaku menyimpang dari norma yang
berlaku: (1) karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu
atau karena tidak memenuhi kebutuhan dasarnya; (2) karena kaidah yang ada
kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan;
(3) karena dalarn masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang
dipegang masyarakat; dan (4) karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua
kepentingan warga masyarakat secara merata (Soekanto,1981: 45).
Kaidah
Tidak Memuaskan
Tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap kaidah yang ada tidak selamanya dalam posisi menggembirakan. Ada
saatnya bahkan berada dalam titik mengecewakan. Kenyataan demikian terjadi
temtama ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan baru sebagai dampak tak
terhindarkan dari bengaruh sesuatu yang dianggap modem. Sebagai contoh kecil,
pada tahun 1970-an, perempuan yang mengenakan celana panjang dianggap sebagai tidak
tahu adat, atau dalam budaya dan bahasa Sunda disebut jalingkak. Kata jalingkak
diamhkan pada sikap/perilaku perempuan yang bertolak belakang dengan kodrat
kewanitananya yang feminin, lemah-lembut, keibuan. Sikapperempuan yang
menyerupai sikap/perilaku laki-laki dalam budaya Sunda lazim disebutjalingkak.
Kini, atau 4o tahun kemudian,
pada gadis kelompok usia 15-35 tahun penduduk perkotaan, justru sangat sulit
ditemukan kebiasaan mengenakaan pakaian rok. Hasil survei menunjukkan, sembilan
dari tiap 10 gadis perkotaan kelompok usia 15-35 tahun justru mngenakan celana
panjang ketika tidak sedang berada di rumah (sedang bepergian). Pakaian rok
bahkan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan ganjil. Juga dikesankan kuper
alias kurang pergaulan, kuno, dan ketinggalan zaman! Pada kasus demikian, kita
lalu bertanya: apakah kaidah yang ketinggalan zaman sehingga perlu disesuaikan,
atau zaman yang melanggar kaidah sehingga saking kuatnya tekanan zaman itu maka
kaidah seolah tidak diperlukan lagi?
Kaidah
Kurang Terumuskan
Perumusan kaidah yang kurang
jelas menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan serta berdampak pada penunman
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma sosial. Bagi sebagian
kelompok dalam masyarakat, perumusan kaidah yang kurang jelas, samar-samar,
atau multitafsir, merupakan celah untuk melalmkan pembangkangan atau
penyimpangan dalam perilaku sosial mereka sehari-hari. Dalam bahasa positif,
perumusan kaidah yang kurang jelas dijadikan sumber dan daya dukung oleh
sebagian kelompok masyarakat untuk menjustifikasi (membenarkan) sikap-perilaku
dan tindakannya selama mi. Karena sifatnya yang demikian, maka tidaklah tepat
apabila mereka lalu mendapat sanksi atau hukuman sosial dari lingkungannya.
Apa yang dapat dilakukan media
terhadap kelompok sosial seperti itu? Mereka tentu saja akan menolak intervensi
atau campur tangan media massa. Media massa dianggap tidak sepantasnya
melakukan kontrol sosial atas perilaku dan tindakan mereka. Alasannya
sederhana: apa yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran, bukan pula perlawanan
terhadap norma-norma sosial yang ada. Logikanya kemudian: jika bukan
pelanggaran dan perlawanan, apakah perlu media massa intervensi? Lagi pula,
apakah relevan dan bisa dipertanggungjawabkan klaim media massa yang mengatakan
dirinya merupakan representasi masyarakat yang sah?
Konflik
dalam Masyarakat
pada masyarakat terdapat banyak
peranan. Setiap individu bebas untuk mengisi dan memainkan peranan itu. Yang
kerap menimbulkan masalag adalah pemahaman dan pengisian peranan itu tidak
berjalan sesuai dengan koridor yang ada. Artinya, tidak jarang ditemukan
penyimpangan di sana-sini. Sebagai contoh: oknum polisi dengan sengaja
melindungi penjudi; oknum tentara menyewakan pistol untuk digunakan melakukan
tindak kejahatan; oknum guru besar melakukan plagiat atas disertasinya; oknum
kepala sekolah menyunat gaji guru; oknum kontraktor melarikan diri dengan
membawa uang negara miliaran rupiah; oknum pengusaha tidak membayar gaji
ratusan karyawannya; atau oknum direktur bank swasta dan pemerintah adalah
melakukan korupsi.
Secara sosiologis, semakin banyak
teijadi penyimpangan peranan dalam masyarakat, semakin tinggi peluang terjadi
friksi dan kontlik baik verbal (perang kata, prOpaganda, kampanye negatii)
maupun fisikal (demonstrasi, baku hantam, penyerbuan, kerusuhan) Jika sudah
demikian, apa yang dapat dilakukan media massa? Kita tahu, media massa bukanlah
polisi yang memiliki kewenangan (otoritas) dalam melakukan penyidikan, bukan
jaksa yang diberi otoritas oleh negara melakukan pemmtutan, dan bukan pula
hakim yang diberi kekuasaan penuh oleh negara dan masyarakat untuk menjatuhkan
vonis hukuman. Media massa memiliki kewenangan sangat terbatas. Salah sam
kewenangan sangat terbatas itu ialah melaksanakan fungsi kontrol sosial. Ketika
dalam masyarakat teijadi beberapa atau banyak konflik, media massa dengan
sendirinya terpanggil untuk melakukan koreksi, advokasi, dan mediasi.
Tidak
Mungkin Merata
Dapatkah semua kepentingan dalam
masyarakat diatur secara merata sehing~ ga tak seorang pun merasa ditinggalkan
atau dirugikan? Dalam terminologi hukum misalnya, kita mengenal dua jenis
keadilan: keadilan distributif, dan keadilan komutatif. Keadilan distributif
merupakan pembagian pendapatan, keuntungan, hak, barang, jasa, tunjangan atau
upah menurut besar-kecilnya kontribusi yang telah dikeluarkan oleh orang itu.
Kontribusi bisa dalam bentuk uang, barang, jasa, tenaga, biaya, waktu,
pemikiran, dan hierarki jabatan. Seorang rektor misalnya, akan mendapat
honorarium kepanitaan penerimaan mahasiswa baru jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan dosen yang menjadi petugas pengawas ujian seleksi. Seorang pejabat
eselon dua di provinsi, mendapat fasilitas mobil dinas berikut pengemudinya.
Sedangkan pejabat eselon empat atau dua tingkat di bawahnya hanya mendapat
fasilitas sepeda motor. Jadi, keadilan distributif bersifat bertingkat-tingkat,
tidak sama rasa sama rata.
Keadilan komutatif bersifat
sebaliknya. Dalam keadilan komutatif tidak dikenal pembagian barang atau hasil
jasa secara bertingkat. Pembagian barang atau hasil jasa justru dilakukan
secara merata. Dari mulai rektor sampai dengan petugas kebersihan kelas
misalnya, memperoleh uang ketu pat lebaran sama besar yakni Rp 100.000,00 per
orang. Keadilan distributif dan keadilan komutatif, walau sudah memiliki aturan
main cukup jelas dan
tegas, dalam kehidupan
sehari-hari tidak dengan sendirinya tanpa masalah. Tidak sedildt pula pejabat
(level atas) dan aparat (level bawah) yang menolak ketentuan tersebut secara
diam-diam. Terjadilah politik main belakang. Orang kemudian merasa dizalimi dan
dikhianati oleh sesama rekan sejawat atau oleh rekan sesama satu instansi
sendiri.
Media massa, mengamati fenomena
ini sebagai dampak kultur birokrasi yang gemuk dan lamban, serta terlalu banyak
memberikan peluang untuk terjadi perkeliruan administratif dan keuangan yang
berakhir dengan kasus penggelapan atau korupsi. Kekuasaan dan jabatan yang
semestinya bersifat formal berubah menjadi informal. Dari kultur institusi
berubah menjadi kultur individu. Orang pun akan dengan leluasa menafsirkan
peraturan. Bahkan yang lebih parah, kata-katanya sendiri ditafsirkan sebagai
peraturan yang harus ditaati oleh siapa pun. Dalam konteks inilah media massa
diharapkan untuk selalu memberikan terobosan-terobosan pemecahan masalah.
Minimal dengan tidak membiarkan dan menganggap fenomena seperti itu sebagai
kebiasaan yang tidak bisa disembuhkan.
JENIS
SANKSI DALAM KONTROL SOSlAL
Kontrol sosial, dalam arti
mengendalikan tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap mengikuti dan
menyesuaikan diri dengan keharusan keharusan norma, hampir selalu dijalankan
dengan berpijak kepada kekuatan sanksi. Sanksi di sini diartikan sebagai suatu
bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada
seorang warga masyarakat yang terbukti melanggar atau menyimpang dari keharusan
sosial, dengan tujuan agar masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan
pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut. Ada tiga jenis sanksi
yang digunakan dalam pelaksanaan kontrol sosial, yakni: sanksi bersifat fisik,
sanksi bersifat psikologis, dan sanksi bersifat ekonomik (Soetnndyo
Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 135).
Sanksi
Bersifat Fisik
Sanksi fisik adalah pemberian
hukuman yang mengnldbatkan penderitan badan atau anggota tubuh pada seseorang
atau sekelompok orang seperti hukum cambuk di Aceh, hukum rajam di Arab Saudi,
hukum gantung di Irak. disiksa dalam sel tahanan, dijemur di tengah sengatan
terik matahari, atau dimasukkan dalam sel penjara yang sempit, pengap, gelap,
berbau dnn tanpa alas apa pun. Sanksi fisik merupakan bentnk hukuman yang
paling primitif. Disebut paling primitif, karena jenis hukuman inisudah
berlangsung ribuan tahun, sejak zaman kerajaan Romawi kuno sampai dengan abad
21 sekarang. Di negara maju seperti Amerika dan negara terbelakang seperti sejumlab
negara kecil di Afrika, anehnya masih secara konsisten diberlakukan sanksi
fisik dalam sistem hukum positif mereka.
Atas nama hak asasi mannsia,
prinsip persamaan derajat (Inn 13118th manusia di depan hukum, dan pengakuan
adanya pengadilan tertinggi yang hanya dapat dilakukan oleh Tuhan, sejumlah
negara maju bemsaha untuk terns mengurangi intensitas serta bentuk-bentuk
hukuman fisik kepada orang-orang yang oleh putusan pengadilan dinyatakan
terbukti bersalah melanggar norma-norma sosial. Paling tidak, m‘ereka mengubah
bentuk~ bentuk hukuman fisik yang sadis dan kejam menjadi tampak (seolah-olah)
lebih manusiawi. Usaha ini, berdasarkan basil kajian di beberapa negara.
tenyata tidak banyak menuai basil selama media massa di negara setempat bersikap
pasif dan apatis. Jadi, memang diperlukan kekuatau media untuk terus
mengomunikasikan dan mensosialisasikan penerapan sanksi fisik yang lebih
manusiawi dalam sistem hukum positif di suatu negara, baik negara penganut
paham demokrasi maupun monarki
Kita mengamati, di banyak negara,
media massa tidak melakukan perlawanan terhadap sistem hukuman fisik penjara.
Tetapi di sejumlah negara lain, media massa berjuang terus untuk menghapuskan
sistem hukuman mati baik dengan cara digantung, diterjang peluru di depan regu
tembak. maupun dengan cara disengat listrik berkekuatan tinggi Fakta sosiologis
ini membuktikan, pengaruh dan kekuatan media massa, memang sangat terbatas.
Media bukanlah pemegang kekuasaan. Media masa bukanlah eksekutor. Media
hanyalah penyambung lidah masyarakat dengan posisi tawar (bargaining position)
minimalis di mata para elit penguasa.
Sanksi
Bersifat Psikologik
Berbeda dengan sanksi fisik yang
lebih menekankan kepada hukuman badan atau anggota tubuh, sanksi psikologis
justru mengarahkan pada pemberian hukuman yang bersifat kejiwaan. Objeknya
bukan badan melainknn perasaan. Setiap orang memiliki perasaan bahagia,
perasaan menderita, peraasaan senang, perasaan sedih, perasaan malu atau
dipermalukan, perasaan kecil hati terkucil, perasaan besar hati terbela,
perasaan tersanjung, pernsaan terhina. perasaan kehilangan harga diri. Sebagai
oontoh, seorang menteri atau pejabat tinggi negara yang tiba-tiba diumumkan
sebagai tersangka tindak pidana kompsi, pihak imigrasi menangkalnya dengan
melanmg bepergian ke luar negeri, dan presiden didesak banyak pihak untuk
menonaktifkan sementara orang itu dari jabatannya, sedang menerima sanksi
psikologis cukup berat. Pejabat ini pasti merasa terpukul, pasti merasa
dihakimi oleh masyarakat dan oleh media massa, dan pasti kehilangan hampan masa
depnn. Terlebih lagi setelah dirinya dimasukkan ke dalam rumah tahanan negara
serta diwajibkan mengenakan pakaian khusus tahanan. Dia dipastikan merasa
terhina. Dia dipastikan sedang mendapat nista. Lebih-lebih pihak keluarganya hams
pula ikut menanggung beban aib dan cibiran sosial yang sangat pedas. Pendek
kata, sanksi psikologis dalam perspektif sosiologi komunikasi massa tidak
beral'ti lebih ringan daripada sanksi fisik. Bahkan bisa jadi sebaliknya lebih
berat. Terbukti tidak sedikit tersangka yang tiba-tiba jatuh pingsan, harus
dirawat intensif di rumah sakit, dan bahkan terkena serangan jantung yang
berakhir dengan kematian.
Dalam konteks Indonesia, meskipun
sudah banyak pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka pidana korupsi, dan
mendapat nista yang cukup pedih, sosialisasi komunikasi massa dalam menekan
angka kasus korupsi nyatanya tidak mencapai hasil gemilang seperti yang
diharapkan. Pelaku tindak pidana korupsi tetap saja banyak Hanya saja efek
psikologisnya yang diyakini cukup signifikan. Artinya, jika dulu banyak pejabat
negara yang berebut mgin jadi piminan proyek (pimpro), kini justru sebaliknya.
Jabatan pimpro paling tidak popular, paling tidak disukai, dan dianggap paling
berisiko terjerat sanksi pidana korupsi.
Sanksi
Bersifat Ekonomik
Pada sanksi ekonomis, beban
penderitaan yang dikenakan kepada para pelanggar norma ialah penghilangan atau
pengurangan akumulasi kekayaan, penyitaan harta benda bergerak dan tidak
bergerak, pengenaan denda, penyegelan rumah dan bangunan, kewajiban membayar
ganti rugi, pernyataan kesanggupan membayar utang atau denda, atau pembekuan
rekening bank atas nama yang bersangkutan danatas nama suami-istri, anak-anak,
dan atau kerabat dekat dalam keluarganya. Sanksi ekonomis tidak hanya bersifat
menistakan tetapi juga sekaligus bersifat melenyapkan (harta benda). Pejabat
atau pengusaha kaya, hanya dalam sekejap tiba-tiba bembah menjadi tak lebih
dari seorang pengemis pinggir jalan. Benar-benar amat mengenaskan.
Seberapa jauh peran media massa
dalam mengampanyekan efektivitas sanksi ekonomis ini menuai hasil? Inilah yang
perlu dikaji lebih jauh. Kita tahu, media massa dibangun di atas tiga pilar
pokok: idealisme, profesionalisme, dan komersialisme. Idealisme antara lain
diterjemahkan dalam fungsi kontrol sosial. Profesionalisme dijabarkan dalam
kualitas pemberitaan dan integritas wartawannya. Komersialisme ditandai dengan
liputan ekonomi keuangan dan pemuatan berbagai jenis iklan dari perusahaan
besar, manehgah, kecil, dan perorangan.
Amanat yuridis menyatakan, media
massa, kecuali sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa, juga
merupakan lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, media berorientasi kepada
keuntungan sebesarbcaarnya. Untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya itu,
tidakkah media kemudian bersikap pragmatis? Artinya, media hams mengutamakan
kepentingan komersial termasuk dalam preferensi peliputan berita. Secara
internal, media bisa dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, meliput berita
bersifat sanksi ekonomis tetapi kemudian bisa menerima sanksi peniadaan order
Hdan oleh pihak pemodal. Kedua, tidak meliput ben'ta sanksi ekonomis itu tetapi
dengan risiko dikecam para pemirsa, pendengar, dan pembaca karena dianggap
sudah meniadakan peran dan fungsi kontrol sosial yang selayaknya terns
dikembangkan dan dipertajam oleh media.
JENIS
KONFORMITAS DALAM KONTROL SOSIAL
Terdapat dua masalah pokok yang
erat kaitannya dalam masalah kontrol sosial: konformitas dan deviasi.
Konformitas adalah penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan mengikuti
norma-norma yang berlaku. Jika perilaku seseorang itu benentangan dengan norma
yang berlaku, ia akan dicela oleh anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya
deviasi adalah penyimpangan dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam
masyarakat. Perilaku menyimpang ini dapat terjadi apabila tidak ada keselarasan
antara nilai-nilai sosial dengan norma-norma yang berlaku. Suatu contoh, Oknum
penegak hukum yang melakukan pungutan liar. Oknum itu terlalu mementingkan
nilai yang mengagungkan materi dan uang, sampai-sampai ia mungkin tidak
menyadari bahwa apa yang telah dilakukan melanggar norma atau hukurn yang berlaku
(Rachmadi, 1990: 22-23).
Untuk mengusahakan terjadinya
konformitas, kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan menggunakan insentif
positif. Insentif adalah dorongan positif yang akan membantu individu-individu
untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah atau menyimpang.
Seperti juga sanksi, insentif pun bisa dibedakan menjadi tiga jenis: insentif
yang bersifat fisik, insentif yang bersifat psikologik, dan insentif yang
bersifat ekonomis (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007:
137).
lnsentif
Bersifat Fisik
Insentif fisik tidaklah begitu
banyak ragamnya, serta tidak pula begitu mudab diadakan. Andaikata bisa
diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh darinya tidalah akan sampai
seekstrem rasa derita yang dirasakan dalam sanksi fisik. J abatan tangan,
pelukan, ciuman, makan-makan, tidak sebanding dengan ekstremitas penderitaan
sanksi fisik, seperti hukuman cambuk, kerja paksa, hukum gantung sampai mati.
Bemilai sekadar simbol, kebanyakan insentif fisik lebih tepat dirasakan sebagai
insentif psikologik (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 2007:
137).
Jika memang demikian, apakah
insentif iisik tidak diperlukan dalam konteks sosiologi komunikasi massa? Kita
berpendapat, sekecil apa pun dampak yang ditimbulkannya, insentif fisik masih
tetap dibutuhkan. Kita bisa menunjukkan bukti empiris, misalnya proses
komunikasi politik, yang kerap menunjukkan fenomena tersebut.
Ambil contoh ini. Megawati sejak
pemilu 2004 tidak pernah bertemu dan bertegur sapa dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. Tetapi lima tahun kemudian, tepatnya pada acara pengundian nomor
capres-cawapres 2009 di Gedung KPU Jakarta, Sabtu 30 Mei 2009, Megawati
bersalaman juga dengan rival politiknya Yudhoyono. Bahkan sampai terjadi dua
kali, yakni sebelum dan sesudah pengundian nomor pasangan capres-cawapres
pilpres 8 Juli 2009. Peristiwa politik yang disaksikan ratusan p'asang mata,
dan kemudian disebarluaskan ke jutaan pemirsa melalui tayangan berita televisi
itu, memang terlihat kaku, canggung, formal, bahkan dingin. Juga tanpa
tegur-sapa apalagi bercanda. Berbeda dengan ketika pasangan capres-cawapres
lain bersalaman yang terlihat begitu hangat, akrab, familiar, bersahabat, penuh
canda dan tawa.
Jabatan tangan politik yang
dikondisikan oleh KPU itu, dalam sosiologi komunikasi massa memang lebih banyak
memberikan makna simbolik. Tetapi di balik simbolisme, terdapat nilai-nilai
edukasi dan komunikasi politik yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat
luas. Dalam redaksi yang berbeda, terdapat begitu banyak pesan politik yang
disampaikan kepada khalayak. Satu di antaranya, dan ini yang terpenting,
rivalitas politik bukan berarti hubungan pribadi sesama negarawan menjadi
hancur. Soekarno, Hatta, Yamin, Sjahrir, berseteru secara politik, tetapi akrab
secara pribadi. Bahkan di antara mereka muncul rasa saling mengagumi satu sama
lain
lnsentif
Bersifat Psikologik
Insentif bersifat psikologik
bempa pemberian ganjaran yang menyenangkan hati dan perasaan, seperti
penghargaan, pujian, sanjungan, kata-kata yang bersifat menggugah dan
membangkitkan semangat. Jadi objeknya bukan benda fisik melainkan kejiwaan.
Orang misalnya senang dipuji sejauh tidak berlebihan. Orang senang dihargai
sejauh proporsional. Orang senang dijadikan rujukan sejauh bukan kultus
individu. Sebaliknya, secara hakiki, orang tidak menyukai permusuhan dan
menghindari konflik serta dnri kebencian. Jadi, ketika media massa lebih banyak
mengangkat konflik ke panggung pemberitaan, sesungguhnya terdapat sesuatu yang
salah pada masyarakat kita. Kalangan budayawan menyebutnya sebagai masyarakat
yang sedang sakit. Salah satu ciri masyarakat yang sedang sakit ialah anomali.
Pada masyarakat yang sedang
sakit, tugas sosiologi komunikasi massa tergolong cukup berat. Media massa hams
dapat meyakinkan kalangan elite, para pemuka pendapat, atau orang-orang
dijuluki sebagai guru bangsa, bahwa norma-norma sosial sangat dibutuhkan, dan
masyarakat perlu mematuhinya. Jika tidak, niscaya masyarakat akan memasuki era
kegelapan. Dalam kerangka itulah, media perlu tetap memunculkan figur-figur
tokoh teladan yang layak menjadi idola baru masyarakat. Hanya dengan demikian,
masyarakat akan tetap semangat menatap hari esok, betapapun berat tantangan
yang menghadang di depan. Masyarakat selalu mendambakan harapan.
Insentif
Bersifat Ekonomik
Apa yang dapat dilakukan media
massa ketika masyai'akat sudah kehilangan harapan dan masa depan? Apa yang
perlu dilakukan media ketika suatu kelompok masyarakat tertimpa bencana? Tak
ada pilihan lain: berilah sesuatu yang secara ekonomik sangat menguntungkan.
Sebut saja pekerjaan, bantuan keuangan, santunan yang meringankan, atau
hadiah-hadiah menarik yang menyenangkan. Janji-janji mungkin perlu, kata-kata
pemompa semangat boleh jadi dibutuhkan, tetapi semua itu tidak akan ada artinya
selama kebutuhan pokok belum terpenuhi. Inilah yang kerap terjadi pada masa
kampanye pemilu atau saat pilgub, pilkot, pilbup digelar. Para kandidat yang
bertarung, silahkan saja mengumbar janji. Tetapi janji-janji semanis apa pun
tidak akan ada dampaknya selama masyarakat calon pemilih dihadapkan kepada
ketidakpastian ekonomi.
Kriminologi mengingatkan, tekanan
ekonomi yang bertubi-tubi dalam suatu masyarakat, jika tidak mendapat saluran
katarsis, akan meledak dalam bentuk berbagai frustrasi sosial. Selain itu akan
muncul pula berbagaj bentuk pembangkangan sosial. Orang tidak merasa perlu
terikat lagi dengan nilai nilai dan norma yang ada. Akhirnya tindak
kriminalitas pun marak di mana-mana. Para kandidat yang mengusung isu-isu
ekonomi aktual, dalam situasi serba sulit demikian pastilah akan mengundang
banyak simpati para calon pemilih. Untuk kepentingan itulah rekayasa media,
dalam arti yang positif, sangat diperlukan.
JENIS
DEVIASI DALAM KONTROL SOSIAL
Fenomena perilaku menyimpang
(deviasi) dalam kehidupan bennasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Sisi
yang menarik bukan saja karena pemberitaan tentang berbagai perilaku manusia
yang ganjil itu dapat mendongkrak tiras media massa dan rating dari suatu mata
acara di stasiun televisi, melainkan juga karena tindakan-tindakan menyimpang
dianggap dapat menganggu ketertiban masyarakat. Kasus-kasus pelanggaran norma
susila dan berbagai tindak kriminal yang ditayangkan oleh berbagai stasiun
televisi, atau gosip-gosip gaya hidup selebritas yang terkesan jauh berbeda
dengan kehidupan nyata masyarakat, meskipun dicari para pemirsa karena dapat
memenuhi hasrat ingin tahu mereka, juga sering sekali dicaci karena perilaku
yang dianggap tidak layak. Secara umum, perilaku menyimpang digolongkan ke
dalam tiga jenis: tindakan nonkonformitas, tindakan antisosial atau asosial,
dan tindakan kriminal (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 97; 101).
Tindakan
Nonkonformitas
Tindakan nonkonformitas
(nonconform) berarti perilaku yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
nilai-nilai atau nonna-ndrma sosial yang ada dalam Suatu masyarakat. Sebut saja
meludah di dalam ruangan kantor merokok dalam kendaraan umum,membuang sampah ke
tepi jalan, mencorat-coret kursi bus kota dan kereta api, menyobek halaman
dalam buku yang dianggap penting dari toko buku atau perpustakaan, masuk ke
ruang kelas dengan bersandal jepit dan celana compang-camping, menyontek pada
saat ujian di kampus, mengisi kencleng resepsi pernikahan dengan amplop kosong,
mengambil dan membawa ke rumah tumpukan majalah dari kursi pesawat terbang;
atau naik bus kota tanpa bayar dengan pura-pura tidur. Semua tindakan ini
dikategorikan sebagai perilaku menyimpang, walaupun boleh jadi dinilai berbobot
ringan dan tidak serius.
Ringan atau tidak, serius atau
tidak, etika individual dan etika sosial mengajarkan, setiap tindakan yang
melawan arus, menyimpang dari uorma sosial yang ada, digolongkan ke dalam
perbuatan tercela. Artinya terjadi luka atau cacat batin pada diri individu
para pelakunya. Rasa respek atau penghormatan orang lain kepada orang-orang
yang mengalami cacat batin seperti ini dengan sendirinya akan menurun. Bahkan
boleh jadi dimasukkan ke dalam kelompok orang penyandang masalah sosial. Timbul
pertanyaan: sudah tidak bergigi lagikah media massa sebagai kepanjangan tangan
kontrol sosial masyarakat? Peran-peran apakah yang dapat dimainkan media massa
untuk meredam gajala nonkonfonnitas semacam ini?
Denis McQuail menyatakan, media
massa sering berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam
pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, melainkan juga dalam
pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma (Quail, 1987: 3).
Jadi secara sosiologis, media dapat memainkan peran sebagai agen budaya,
menanamkan pengertian, kesadaran, serta kepedulian kepada masyarakat untuk
mengikuti kaidah dan tertib sosial. Peran media massa ini dilakukan secara
ternsmenerus, simultan, dan bukan secara sporadis insidental.
Tindakan
Antisosial
Tindakan antisosial atau asosial,
yaitu perbuatan yang dapat dikategorikan melawan kebiasaan masyarakat dan
kepentingan umum. Bentuk tindakan antisosial atau asosial antara lain: menjadi
pelaku dan membuka praktik prostitusi; melakukan penyimpangan seksual seperti
homoseksual dan biseksual melukai diri sendiri, mengonsumsi narkotika dan
zat-zat adiktif berbahaya lainnya; mengurung diri dengan tidak mau bergaul
dengan warga dalam satu kampung; atau mengomersialkan anak perempuan dengan
cara dipaksa menikah dengan cukong atau bandar judi.
Setiap tindakan antisosial atau
asosial, lazimnya mendapat kecaman dan bahkan kutukan masyarakat. Tindakan
asosial telah mencedarai kaidab dan norma-norma yang senantiasa dijunjung
tinggi oleh anggota-anggota masyarakat entah dia pejabat entah dia rakyat
jelata. Yang pasti, dalam tindakan asosial baik yang dilakukan pejabat maupun
rakyat jelata, media massa bersikap nonkompromi dan nontoleransi. Artinya, jika
asosial dianggap sebagai tindakan mencedarai masyarakat, sementara media massa
adalah wakil atau representasi masyarakat itu sendiri, dengan sendirinya media
massa pun hams berpihak kepada masyarakat luas. Media, tak ada pilihan lain
kecuali mengecam tindakan sosial menurut fungsi dan caranya sendiri.
Seperti ditegaskan McQuail, media
massa merupakan sumber kekuatan. Media menjadi alat kontrol, manajemen, dan
inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan
atau sumber daya lainnya (Quail, 1987: 3). Sebagai snmber kekuatan, baik
kekuatan moral maupun kekuatan institusional dan kekuatan intelektual, media
seoptimal mungldn melaksanakan fungsi kontrol sosial untuk menekan kemunculan
kasus-kasus asosial dalam masyarakat. Setiap tindakan asosial, harus dilihat
dan dianggap sebagai ancaman serius terhadap tatanan tertib sosial. Berbagai
institusi yang ada dalam masyarakat, perlu menggalang kekuatan membangun
program yang bersifat prososial.
Tindakan Kriminal
Tindakan kriminal, yaitu tindakan
yang nyatanyata telah melanggar aturanaturan hukum tertulis dan mengancam jiwa
atau keselamatan orang lain. Tindakan kriminal yang sering kita temui itu
misalnya: pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi, perkosaan, dan berbagai
bentuk tindakan kejahatan sejenis baik yang tercatat di kepolisian maupun yang
tidak tercatat karena tidak dilaporkan oleh masyarakat, tetapi nyata-nyata
mengancam ketentraman masyarakat (Budirahayu dalam Narwoko dan Suyanto, 2007:
101).
Kriminalitas adalah penyakit
masyarakat yang usianya setua peradaban. Pada berbagai belahan dunia,
kriminalitas diyakini sebagai musuh bersama lnasyarakat (common enemy) yang
harus dilenyapkan dari muka bumi. Berbagai strategi, metode, dan pendekatan
ditempuh. Dari sekian pendekatan itu, satu di antaranya menunjuk kepada teori
kesejahteraan (welfare approach theory). Menurut teori ini, kriminalisme tidak
mungkin dapat diberantas hanya melalui cara-cara represif kekerasan, termasuk
menyeret para pelakunya ke dalam penjara yang seangker apa pun. Kriminalisme,
setidaknya dapat ditekan seminimal mungkin hanya dengan cara menaikkan tingkat
partisipasi pendidikan serta mendongkrak angka perolehan pendapatan per kapita
masyarakat.
Melalui teori ini, kriminalisme
banyak ditemukan pada kelompokkelompok masyarakat di negara-negara yang
terbelakang secara pendidikan dan tertinggal secara ekonomi. Agar kriminalisme
lenyap, maka laju pertumbuhan ekonomi perlu terns dipacu, pendap‘atan per
kapita masyarakat perlu dinaikkan, kestabilan ekonomi perlu dijaga, dan
lapangan pekerjaan perlu terns diperluas. Tetapi, bagaimana media memandang kriminalitas?
Bagi media, kriminalitas adalah komoditas yang memiliki nilai jual tinggi.
Teori jumalistik bahkan mengabadikannya melalui ungkapan crime is news
(kriminalitas adalah berita). Sebagai berita, crime dikemas dalam berbagai
bentuk laporan berita dan feature yang menarik.
Kriminalitas memang dijadikan
komoditas oleh media. Media-media lokal (local newspaper) pada umumnya
menjadikan berita-berita kriminal sebagai ujung tombak pemasaran dan identitas
kelembagaan mereka (branding image). Hanya dengan memasarkan berita-berita
kriminal, mereka memiliki posisi tawar cukup tinggi di pasar media lokal yang
sangat kompetitif. Lalu, apakah dengan pengutamaan berita-berita kriminal,
media-media lokal otomatis dapat dicap sebagai prokriminalisme? Memberitakan kriminalitas
dengan sikap prokriminalitas mempakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat
dijadikan rujukan dasar. Kalaupun media banyak melaporkan berita kriminal, hal
itu karena semata memenuhi fungsinya sebagai pemantau dan pengawas lingkungan.
Media wajib melaporkan setiap apa yang terjadi di dunia, yang dianggapnya
menarik atau penting, atau kedua-duanya, bagi sebagian besar masyarakat.
TEORI
DEVIASI PERSPEKTIF SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA
Kita bisa menggunakan paling
tidak dua perspektif untuk menyelami lebih dalam mengenai akar penyebab dan
latar belakang mengapa seseorang atau sekelompok orang terjebak dalam perilaku
menyimpang. Pertama perspektif individualistik, dan kedua perspektif
teori-teori sosiologi. Pada perspektif individualistik, perilaku menyimpang
(deviasi) lebih banyak dilihat sebagai masalah internal seorang individu yang
tidak ada kaitannya dengan masalah eksternal sosial. Faktor ekstema] misalnya
keterlibatan kelompok dan unsur unsur budaya. Sedangkan pada perspekif teori
sosiologi, perilaku menyimpang lebih banyak dikaitkan dengan masalah eksternal
sosial. Salah satuasumsi dasar yang bisa diajukan: perilaku menyimpang tidak
mungldn terjadi pada seseorang apabila lingkungan eksternal tidak menjadi
faktor pemicunya. Berikut disajikan secara ringkas beberapa teori deviasi
perspektif sosiologi.
Teori
Anomie
Teori anomie berasumsi bahwa
penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangah dalam suatu struktur
sosial sehingga ada individuindividu yang mengalami tekanan dan akhirnya
menjadi menyimpang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Robert K. Merton pada
tahun 1930an. Konsep anomie itu sendiri pernah digunakan oleh Emile Durkeim
dalam analisisnya mengenai suicide anomie (anomie bunuh diri) (Budirahayu dalam
Narwoko dan Suyanto, 2007:110). Munculnya keadaan anomie, oleh Merton
digambarkan sebagai berikut:
1.
Masyarakat
industri modern, seperti Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian
kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan
pendidikan yang tinggi.
2.
Apabila
kesuksesan materi tercapai, mereka dianggap sebagai orang yang telah mencapai
tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh
masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan status tersebut, ternyata harus melalui
akses atau cara kelembagaan yang sah ( institutionalized), misalnya: sekolah,
pekeljaan formal, kedudukan politik.
3.
Akses
kelembagaan yang sah temyata jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat terutama lapisan masyarakat bawah (dalam ha] ini orang-orang
misla'n atau orang-orang dari kelompok ras dan etnis tertentu yang sering
mengalami diskriminasi di lingkungannya).
4.
Akibat
dari keterbatasan akses tersebut, maka muncu] situasi anomie, yaitu suatu
situasi ketika tidak ada titik temu antara tujuan-tujuan status atau kultural
dan cara-cara yang sah yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan status
tersebut.
5.
Dengan
demkian anomie adalah suatu keadaan atau nama dari situasi ketika kondisi
sosial atau situasi masyarakat lebih menekankan penting nya tujuan-tujuan
status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapa tujuan-tujuan status tersebut
jumlahnya lebih sedikit (Clinard dan Meier, 1989: 81 dalam Narwoko dan Suyanto,
2007: 111).
Dalam bahasa sederhana, sebut
saja bahasa komunikasi massa, anomie adalah suatu situasi ketika masyarakat
kehilangan pegangan nilai-nilai lama sementara nilai-nilai baru belum dikuasai
dan diterima sepenuhnya sebagai norma sosial. Masyarakat dalam keadaan gamang,
bingung, serba ragu, tidak yakin dengan apa yang diikuti dan dilakukannya.
Akhimya, tak terelakkan lagi masyarakat bergerak sendiri-sendiri. Ada yang
berjalan ke kanan, ada yang berjalan ke kiri. Ada yang memiliki rujukan
tindakan perilaku, ada pula yang menganggap tak membutuhkannya. Dalam situasi
seperti ini, siapa yang hams disalahkan, atau yang lebih tepat, siapa yang hams
dimintai tanggung jawab, paling tidak secara moral dan intelektual?
Lalu, di manakah media massa?
Teori komunikasi massa menekankan, media memiliki fungsi edukasi yang setiap
saat dapat dikendalikan untuk mendidik, mengarahkan, dan membimbing masyarakat
mengikuti koridor dan rambu-rambu sosial budaya yang benar. Media juga
mengajarkan bagaimana menghindari jalan berliku atau jalan bebas hambatan yang
diyakini menyesatkan secara moral dan kultural. Dalam masalah ini kalangan
teoretisi terbelah ke dalam dua kubu. Kubu pertama berargumen, media massa
tidaklah memiliki andil dalam menciptakan situasi anomie karena masalahnya
bukan datang dari media massa. Kubu kedua berpendapat, media tidak bisa lepas
tangan. Media bagaimanapun bertanggung jawab atas terjadinya ledakan anomie
dalam masyarakat. Bukankah nilai-nilai budaya baru, atau nilai-nilai modemisasi
lebih banyak dibawa dan dikampanyekan oleh media massa?
Media layak digugat secara
akademik jika nilai-nilai baru yang dibawanya tidaklah menyeluruh dan utuh.
Karena bersifat sepotong-potong, sekilas, dan tidak sistemik serta tidak
metodologik, arus budaya barn yang dibawanya alih-alih menimbulkan pencerahan
kepada masyarakat, malah menciptakan keremangan, samar-samar, dan kegamangan
dalam melihat serta bertindak. Bahkan yang mengerikan, sebagian masyarakat
justru terprovokasi oleh media untuk berperilaku menyimpang. Realitas sosial
akhirnya dipenuhi dengan aneka keanehan dan keganjllan sikap-perlaku serta tata
nilai yang tidak jelas ke mana kiblatnya. Menurut para budayawan, media hanya
dapat memperkenalkan nilai atau budaya baru tetapi gagal dalam mengendalikannya
agar berada dalarn koridor yang benar.
Menurut Merton, tindakan-tindakan
menyimpang dalam situasi anomie paling banyak dilakukan oleh orang-orang miskin
dan kelas-kelas sosial bawah, mengingat kesempatan mereka untuk memperoleh
benda benda material dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas.
Salah satu bentuk adaptasi yang oleh Merton dianggap menyimpang dalam situasi
anomie ialah inovasi (innovation). Inovasi adalah salah satu bentuk adaptasi
yang melibatkan penggunaan cara-cara yang tidak sah, seperti mencuri, merampok,
dan berbagai bentuk kejahatan yang teroganisasi, untuk mencapai tujuan-tujuan
status yang secara kulural telah ditetapkan masyarakat. Jenis adaptasi ini
banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah (Budirahayu dalam Narwoko dan
Suyanto, 2007: 112).
Teori
Belajar
Menurut teori ini, penyimpangan
perilaku yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tidaklah datang
tiba-tiba dengan sendirinya tetapi hasil dari proses belajar. Teori belajar
dipopulerkan oleh Edwin F. Sutherland. Dalam teorinya yang dinamai teori
asosiasi diferensial, Sutherland menguraikan keunggulan teori ini, terutama untuk
menganalisis organisasi sosial atau subkultur, penyimpangan perilaku pada
tingkat individual, serta perbedaan norma-norma baik yang dikategorikan norma
tidak menyimpang dan norma-norma yang menyimpang. Teori asosiasi diferensial
memiliki sembilan proposisi:
1.
Perilaku
menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajan‘. Ini berarti
bahwa penyimpangan bukan diwan'skan atau diturunkan, bukan juga basil dari
intelegensia yang rendah atau karena kerusakan otak.
2.
Perilaku
menyimpang dipelajan‘ oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan
melibatkan proses komunikasi yang intens.
3.
Bagian
utama dan‘ belajar tentang perilaku menyimpang terjadj dalam kelompok-kelompok
personal yang intim atau akrab. Sedangkan media
massa seperti televisi, majalah atau surat kabar, hanya memainkan peran sekunder
dalam mempelajari penyimpangan.
4.
Hal-hal
yang dipelajari dalam proses terbentuknya perilaku menyimpang adalah: (a)
teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat rumit, tetapi
kadang-kadang juga sederhana; (b) petunjuk-petunjuk khusus tentang motif,
dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap berperilaku menyimpang.
5.
Petunjuk-petunjuk
khusus tentang motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajari
dari definisi-definisi tentang normanorma yang baik atau yang tidak baik.
6.
Seseorang
menjadi menyirnpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar
norma daripada tidak. Apabila seseorang beranggapan bahwa lebih baik melakukan
pelanggaran daripada tidak karena tidak ada sanksi atau hukuman yang tegas,
atau orang lain membiarkan suatu tindakan yang dapat dikategorikan menyimpang,
dan bahkan bila pelanggaran itu membawa keuntungan ekonomi, maka mudahlah orang
berperilaku menyimpang. Sebaliknya, seseorang menjadi tidak menyimpang karena
orang itu beranggapan bahwa akan lebih menguntungkan jika tidak melakukan
pelanggaran, dan kemudian ia mendapat pujian, sanjungan, atau dijanjikan
mendapat pahala.
7.
Terbentuknya
asosiasi diferensia itu bervariasi bergantung kepada frekuensi, durasi, prioritas,
dan intensitas.
8.
Proses
mempelajari penyimpangan perilaku melalui kelompok yang memiliki pola-pola
menyimpang atau sebaliknya, melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam
setiap proses belajar. Ini artinya, tidak ada proses belajar yang unik untuk memperoleh
cara-cara berperilaku menyimpang.
9.
Meskipun
perilaku menyimpang merupakan salah satu ekSpresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai masyarakat yang umum, penyimpangan perilaku tersebut tidak dapat
dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku
yang tidak menyimpang juga sebagai ekspresi dari nilai-nlai dan kebutuhan yang
sama. Misalnya, kebutuhan untuk diakui, mempakan ekspresi dari dilakukannya
berbagai tindakan, seperti pembunuhan massal (dianggap tindakan menyimpang) dan
ikut pemilihan presiden (dianggap tidak menyimpang) (Budirahayu dalam Narwoko
dan Suyanto, 2007: 113-114).
Jadi, teori proses belajar, atau
disebut juga teori sosialisasi, melihat Perilaku menyimpang sebagai sesuatu
yang disadari, dipelajari, dan direncana kan. Tindak kriminal atau kejahatan
yang dilakukan seseorang, atau beberapa orang secara kolektif, bukanlah suatu
hal yang bersifat kebetulan dan tiba-tiba. Kejahatan yang dilakukan justru
merupakan hasil dari pemikiran dan “manajemen” perencanaan yang matang.
Sebagaimana dalam masyarakat normal, dalam dunia kriminal pun dikenal
stratifikasi dan kelas-kelas sosial kejahatan secara spesifik. Ada yang disebut
leader (boss, pemimpin), ada juga yang disebut follower (pengikut, anak buah).
Ada yang disebut aktor intelektual, ada pula yang dinamakan mediator
(penghubung) dan eksekutor lapangan (pelaksana tindak kejahatan seperti
pembunuhan, perkosaan, perampokan). Seorang eksekutor sering tidak mengetahui,
dan memang tidak mau tahu serta tidak perlu tahu, siapa inspirator atau aktor
intelektual dari tindak kejahatan yang pada akhirnya harus dia lakukan baik
seorang diri maupun bersarna dalam satu atau beberapa kelompok.
Lantas, apa kontribusi teori
proses belajar dalam sosiologi komunikasi massa? Teori ini mengingatkan para
pengelola media, terutama pemimpin redaksi, redaktur (gatekeeper) dan para
jurnalis di lapangan, untuk tidak melihat suatu tindak kriminal yang ditemukan
dan diliputnya sebagai peristiwa kebetulan. Kriminal bukan peristiwa yang
muncul tiba-tiba. Kriminal pun temyata berpijak kepada kekuatan logika
intelektual, dan bukan logika kekuatan fisik semata. J urnalis tak boleh
terlena atau hanyut dalam skenario versi para pelaku kriminal, yang sering
memainkan politik naif dan akibat ketidakberdayaan.
Tegasnya, tindak kriminal
bukanlah akibat seolah-olah: seolah-olah sangat tei‘paksa dilakukan dan tidak
ada pilihan lain saat itu; seolah-olah karena sangat terdesak (kepepet); atau
seolah-olah terjadi tiba-tiba tanpa dipikirkan dan direncanakan terlebih dahulu.
Media perlu ekstra hatihati dan waspada. Jangan sampai malah media menjadi
wahana inspirasi, motivasi, dan sosialisasi aneka tindak kriminal berikutnya
oleh para peiaku yang lain dan di tempat yang lain. Sebagai contoh, dalam
perspektif sosiologi komunikasi massa, media pernah meiakdkan kesalahan fatal
ketika memberitakan kasus-kasus bunuh diri. Dalam berita mereka, disebutkan
bunuh diri dilakukan dengan cara meminum racun serangga kemasan cair dengan
menyebutkan mereknya! Akibatnya, empat dari tiap lima peristiwa bunuh diri,
diketahui dilakukan dengan cara meminum racun serangga kemasan cair merek yang
sama
Teori
Labeling
Menurut Becker sebagai salah
seorang pencetus teori labeling, penyimpangan (deviasi) mempakan suatu
konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada
seorang pelanggar. Dengan demikian perilaku menyimpang adalah suatu tindakan
yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah
ditetapkan. Ini berarti dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya
reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Penyimpangan
tidak didasarkan pada norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari para pelaku
sosial (Clinard dan Meier, 1989: 92).
Dalam teori labeling dikena] dua
bentuk penyimpangan, yakni penyimpangan primer (primary labeling), dan
penyimpangan sekunder (secondary labeling). Pada penyimpangan primer, orang
melakukan suatu tindak kriminal, atau apa pun yang termasuk dalam kategori
deviasi, karena dia telah dicap sebagai pencuri atau pemerkosa, misalnya. Cap
sosial yang diberikan kepadanya sebagai pencuri atau pemerkosa itu, pada
akhirnya menghasilkan peran sosial yang menyimpang juga. Maksudnya ia akan
mengembangkan konsep dirinya, atau disebut juga proses reorganisasi psikologis,
sebagai pelaku perilaku menyimpang permanen.
Pada penyimpangan sekunder,
cirinya ahtara lain diperlukan waktu panjang dan cenderung tidak kasat mata.
Sebagai contoh, seseorang yang selalu mengurung diri di dalam kamar di rumah,
tidak mau bergaul dengan anggota keluarga dan tetangga, tidak mau bicara diajak
bicara, selalu terlihat murung, berperangai dingin, tatapan mata kosong, kumal,
jarang mandi, tidak mau ganti pakaian, dari badannya tercium aroma bau tak
sedap, apatis, fatalis, mengesankan dirinya sedang stres atau depresi berat;
jika oleh pihak keluarganya kemudian dibawa ke pskiater dan disarankan untuk
masuk rumah sakit jiwa, cepat atau lambat hampir dapat dipastikan orang ini
akan menjadi ‘pasien penderita gangguan jiwa’ Contoh lain. seorang suami sering
pulang larut malam bahkan ptdang pagi dan satu-dua hari tidak pulang. Akhirnya
dia sering bertengkar dengan istrinya. Sang istri menuduh dia sering main
perempuan dan berjudi. Entah dan‘ mana semula tuduhan itu datangnya. Antara
argumen, logika. dan bukti-bukti, seperti tak ada kaitan satu sama lain. Hanya
yang jelas, sang istri berkeyakinan suaminya main perempuan. Itu saja. Karena
labeling yang berulang-ulang itu, dia akhirnya benar-benar menjadi suami pemain
perempuan dan penjudi profesional
Dalam petspektif sosiologi
komunikasi massa, teori labeling bisa disebut sudah sangat akrab dengan
kehidupan sehari-hari. Kita tahu, televisi telah menyita perhatian kita.
Melalui berbagai tayangan paduan informasi dan hiburan (infotainment) yang
dikemas semenarik mungkin, penuh tingkah, bahkan terkesan bergenit-genit,
televisi memaksa ldta untuk menyelami lebih jauh dunia perselingkuhan,
kawin-cerai, dan cerita jatuh-bangun para selebritas.
Aneh tapi nyata, sejak bangun
pagi sampai menjelang magrib, kita disuguhi dengan tayangan aneka tingkab
remeh-temeh para pemain sinetron, komedian, dan artis-artis penyanyi dari mulai
kelas bakat profesional sampai dengan kelas karbitan. Kehidupan artis, para
pemain sinetron, para pemandu acara televisi (presenter, host, pemandu talk
show), pekerja film, pelawak, pemeran badut-badut tak lucu. setiap saat
dijejalkan kepada mata dan memori kita melalui layar kaca. Sealcan-akan
tayangan sarat gosip dan kabar-kabur itu jauh lebih penting daripada tayangan
berita yang durasi dan frekuensinya sangat terbatas.
Jujur saja. Media, temtama
televisi, telah menjadi penganut teori labeling paling setia dalam proses
interaksi sosial media massa dengan masyarakat atau sebaliknya. Fakta empiris
menunjukkan, medialah yang biasa, kerap, sering, atau bahkan selalu memberikan
berbagai penjulukan (labeling) terhadap orang-orang yang dianggapnya menarik
(interesting) secara seksual, pentjng (significancy) secara politikal, atau
temama (prominence) dan serta sosiokultural. Penjulukan itu aneka macam sifat
dan bentuknya. Ada yang sifatnya positif. Ada pula yang sifatnya negatif. Ada
orang yang dijuluki atau dibeli label menjadi tersanjung. Ada pula orang yang
dijuluki. membuat din'nya terpasung. Tidak ada acuan yang baku apalagi kaku,
kapan ketika seseorang diberi label positif, dan kapan pula saat diberi label
negatif.
Singkat kata, media bisa
mengantarkan seseorang menjadi pahlawan, tetapi bisa pula menjadikan sebagai
penjahat dan memenjarakannya. Fenomena ini, dijawab oleh teori Elizabeth Noelle
Neumann di Jerman. Ia menyadarkan para pendahulunya tentang konsep efek media
massa yang sangat pekasa. Neumann mengingatkan, penelitian terdahulu
mengesampingkan tiga faktor penting, yaitu serba ada (ubiquity), kumulasi pesan,
dan keseragaman wartawan.
Media massa mampu mendominasi
lingkungan informasi dan berada di mana-mana. Karena sifatnya yang serba ada,
sangat sulit bagi orang untuk menghindari pesan media massa. Sementara itu,
pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong
bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan
yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat
dengan keseragaman para wartawan (consonance of journalist). Siaran berita
cenderung sama, sehingga dunia yang disajikan pada khalayak juga dunia yang
sama. Khalayak akhirnya tidak mempunyai alternatif yang lain, sehingga mereka
membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari media massa
(Rakhmat, 1998: zoo-201).
Teori
Kontrol
Norma adalah kaidah, aturan
pokok, ukuran, kadar atau patokan yang diterima secara utuh (en bloc) oleh
masyarakat guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari agar hidup ini
terasa aman dan menyenangkan. Norma itu sifatnya bisa institusional atau formal,
bisa juga noninstitusional atau sosial (norma umum). Norma bisa juga positif,
yaitu yang sifatnya mengharuskan, menekan, atau kompulsif, mulai dari
norma-norma yang lunak, memperbolehkan, sampai dengan penggunaan sedikit
paksaan. Sebaliknya norma bisa juga negatif, yaitu yang bersifat melarang sama
sekali, bahkan menjadikan tabu (dilarang menjamah atau melakukannya karena
diliputi kekuatan-kekuatan gaib yang lebih tinggi). Bisa pula berupa
larangan-larangan dengan sanksi keras, hukuman, atau tindak pengasingan.
Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang bisa dibedakan secara tegas ke dalam dua
aspek. Pertama aspek lahiriah dan kedua aspek simbolik tersembunyi (Kartono,
2007: 14-16).
Aspek lahiriah, menurut pakar
sosiologi Kartini Kartono adal'ah yang bisa ldta amati dengan jelas. Aspek' mi
dibagi dalam dua kelompok, yaitu deviasi lahiriah verbal dan deviasi lahiriah
nonverbal. Deviasi lahiriah verbal dalam bentuk: kata-kata makian, slang
(logat, bahasa populer), kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah
serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal,
ungkapan-ungkapan sandi; misalnya penamaan singa untuk pegawai negeri, serigala
untuk tentara, kelinci untuk polisi. Deviasi lahiriah nonverbal yaitu semua
tingkah laku yang nonverbal yang nyata kelihatan.
Aspek simbolik tersembunyi,
khususnya mencakup sikap hidup, emosi, sentimen, dan motivasi yang
mengembangkan tingkah laku menyimpang, yaitu bempa mens rea (pikiran yang
paling mendalam dantersembunyi), atau berupa itikad kriminal di balik semua
aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang. Perlu diingat, sebagian besar
perilaku menyirnpang, misalnya kejahatan, pelacuran, kecanduan narkotika, semua
itu tersamar dan tersembunyi sifatnya, tidak tampak dan bahkan tidak bisa
diamati. Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompok:
1.
Individu
dengan tingkah laku yang menjadi “masalah”, merugikan dan destruktif bagi orang
lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri;
2.
Individu
dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan
tetapi tidak memungikan orang lain, dan;
3.
Individu
dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan juga
bagi orang lain (Kartono, 2007:17-18).
Karena itulah, teori kontrol
berasumsi bahyva deviasi atau penyimDangan merupakan hasil dari kekosongan
kontrol atau kekosongan pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar
pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki
dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Para ahli teori kontrol menilai
perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati
hukum. Hirschi (1969), mengajukan beberapa proposisi tentang teori kontrol:
1.
Berbagai
bentuk pengingkaran terhadap aturan-atnran sosial adalah akibat dari kegagalan
menyosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak konform (menyesuaikan
diri) terhadap aturan atau ata tertib Yang ada;
2.
Penyimpangan
dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan
kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap
konform (menyesuaikan diri), seperti: keluarga, sekolah atau institusi
pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya;
3.
Setiap
individu seharusnya belajar untuk konform (menyesuaikan diri) dan u'dak
melakukan tindakan menyimpang atau kriminal;
4.
Kontrol
internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal (Budirahayu dalam Narwoko
dan Suyanto, 2007: 116).
Mengapa manusia tidak patuh
terhadap orang lain, atau tidak patuh terhadap norma sosial? Menurut para
sosiolog penganut teori pertukaran sosial, seseorang akan berinteraksi dengan
pihak lain karena kegiatan itu dianggapnya menguntungkan sehingga dia
mendapatkan suatu imbalan. Sudah tentu, dalam proses tersebut orang yang
bersangkutan mungkin merasa kecewa atau dirugikan. Kerugian tersebut merupakan
biaya yang harus dikeluarkan (direlakan), misalnya dalam bentuk kewajiban, rasa
khawatir, kebosanan. Oleh karena keuntungan dari hubungan tersebut merupakan selisih
dari imbalan dan biaya, maka teori tersebut sering dinamakan teori pilihan
rasional (rational choice theory) (Simandjuntak, 1985: 72-73).
Dengan merujuk kepada teori
kontrol, teori pertukaran sosial, dan teori pilihan rasional, sedikit-banyak
kita bisa memetakan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan media,
terutama media massa televisi. Kita tahu, deviasi lahiriah verbal dan deviasi
lahiriah nonverbal, dalam bentuk katakata dan dan tindakan kasar, vulgar,
sangat berlebihan, di luar batas-betas kesopanan dan kepatutan, tak senonoh,
masih banyak ditemukan dAIam tayangan acara televisi, baik tayangan faktua]
maupun nonfaktual. Kita cenderung sudah kehilangan kontrol atas perilaku
televisi dalam mengejar keuntungan sebesar-besarnya yang diperoleh dari para
kapital pemasang iklan. Secara yuridis, kita memang sudah memiliki UU No.32/
2002 Tentang Penyiaran. Atas dasar amanat UU No.32/2002 itu, juga di ibu kota
sudah dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan di tiap provinsi dibentuk Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).
Pasal 8 ayat (1) UU no.32/2002
Tentang Penyiaran menyatakan, KPI
sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi serta mewakili
kepentingan masyarakat terhadap penyiaran pasal 8 ayat (2) menyatakan, dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) KPI mempunyai wewenang: (a)
menetapkan standar program siaran; (b) menyusun peraturan dan menetapkan
pedoman perilaku penyiaran; (c) mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran; (d) member-1km sanksi terhadap
pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program
siaran; dun (e) melakukan koordinasi dan atau kelja sama dengan pemerimah,
lembaga penyiaran, dan masyarakat. Namun power yuridis ini, di mata para
pemilik stasiun televisi swasta sering dianggap angin lalu. Memang ada sejumlah
mata acara yang oleh KPI dilarang ditayangkan. Namun jauh lebih banyak lagi
acara bermasalah yang masih dengan bebas ditayangkan. KPI dan KPID dan tak
ubahnya macan kertas. Tak bergigi!
Teori
Konfik
Sejak lima dekade lalu, menurut
sosiolog Kartini Kartono terjadi kontak intensif antara berbagai macam
kebudayan sehingga terjadi proses akulturasi. Akibatnya terjadi banyak
perubahan sosial yang mencolok. Pertemuan antara macam-macam budaya itu kadang
berlangsung damai tenang dan lancar, tetapi kadang pula diiringi dengan
bentrokan, pértentangan, dan konflikkonflik serius. Jadi terdapat konflik
budaya. Penyebabnya antara lain: munculnya semakin banyak kekuatan sosial, politik
dan ekonomi yang sangat agresif, mengakibatkan kekuatan-kekuatan tersebut
saling berkonkurensi, memperebutkan kekuasaan dan keuntungan. Akhirnya,
muncullah berbagai macam krisis dan kemelut kebudayaan.
Konfiik-konflik kultural dan
aneka krisis tersebut menyebabkan banyak ketakutan, kecemasan, dan kebingungan;
perasaan semakin datar dan dingin membeku; tidak peduli terhadap orang lain dan
diri sendiri. Sebagai eksesnya, timbullah gejala apatisme dan kepasifan
ekstrem, yang sering dikompensasikan dalam bentuk-bentuk pemberontakan. Konflik
budaya terjadi dalam bentuk konflik batin dalam diri individu sebagai akibat
individu hengejar nilai-nilai kontradiktif dengan standar normatif yang
bertentangan satu sama lain konflik individu dengan masyarajat karena kepentingan
yang berbeda dan kinflik antara nilai-nilai dan tingkah laku dua kelompok
sosial atau lebih (kartono, 2007: 228-290 )
Menurut quinney (1979: 115-161 ,
teori konflik Lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terciptanya
suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis
asal-usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang
berperilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik
dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di
antara berbagai kelompoknya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok
elite, kelompok elite itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan,
khususnyn hukum yang dapat melayani kepentingan mereka. Berkaitan dengan ha}
itu, perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan
berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik.
Melalui persaingan itu, maka kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan
menciptakan hukum dan aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan
(Meier, 1989: 98-99).
Margaret M. Poloma dalam
Contemporery Sosz'ology Theory menyatakan, konflik dapat merupakan proses yang
bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur
sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok
atau lebih. Konflik dengan kelompok Iain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dam melindunginya agar tidak lebur dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang
memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatn kelompok (in-group)
yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain (out-group). Kelompok
keaga'maan, kelompok etnis, dan kelompok politik, sering berhasil mengatasi
berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam memperkuat
identitas in-group (Poloma, 1987: 108-109).
Menarik untuk diselami, apakah
media massa juga merujuk kepada teori-teori konflik dalam melihat dan
menafsirkan berbagai fenomena perselisihan sosial ekonomi dan politik ekonomi
terjadi dalam masyarakat? Bagi media, katakanlah menurut perspektjf ideologis
dan perspektif bisnis, apakah suatu konflik dalam masyarakat merupakan berkah
atau musibah?
Jika sebagai berkah, apa alasannya,
dan jika pun sebagai musibah, apa pula argumen-argumennya yang meyakinkan.
Dalam teori jumalistik
ditegaskan, news is conflict. Berita adalah atau konflik atau segala sesuatu
yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan. Konflik atau
pertentangan, mempakan sumber berita yang tidak pemah kering dan tak akan
pernah habis. Selama orang menyukai dan menganggap penting olah raga, perbedaan
pendapat djhalalkan, demokrasi dijadikan acuan, kebenaran masih diperdebatkan,
peperangan masih terus berkecamuk, dan perdamaian masih sebatas angan-angan,
selama itu pula konflik masih akan tetap menghiasi halaman surat kabar,
mengganggu pendengaran karena disiarkan radio, dan menusuk mata karena selalu
ditayangkan televisi.
Berita konflik, berita tentang
pertentangan dua pihak atau lebih, menimbulkan dua sisi reaksi dan akibat yang
berlawanan. Ada pihak yang setuju (pro), ada juga pihak yang tidak setuju
(kontra). Ada atau tidak ada pemihakan, konflik akan jalan terns. Sebab konflik
senantiasa menyatu (imanen) dengan dinamika kehidupan. Dalam teori konflik
dikatakan, konflik tidak mungkin bisa dihilangkan dalam masyarakat penganut
paham demokrasi. Konflik hanya bisa diredam, dikendalikan, dan dikelola secara
konstruktif. Karena itulah dalam literatur politik, dikenal adanya teori
konflik dan manajemen konflik
Di negara-negara dunia ketiga,
kebanyakan reporter menghabiskan waktunya untuk meliput berita konflik
(conflict-news), seperti olah raga, kriminalitas, praktik politik dan
kekuasaan, serta perang. Reporter dan editor bisa menentukan mana peristiwa
yang memiliki nilai berita lebih besar, dan sekaligus memutuskan apakah
ditempatkan sebagai berita utama (head line), berita dengan nilai jual tinggi
(news saleable) yang hams dpajang di halaman muka, atau cukup ditempatkan di
halaman dalam sebagai berita pelengkap (news suplement) (Sumadiria, 2006:
86-87).
Dalam analisis sosiologi
komunikasi massa, konflik paling tidak dapat dilihat dari dua perspektif:
redaksional dan komersial. Perspektif redaksional, media memiliki tanggung
jawab sosia] serta etika profesional untuk mengecilkan dan bahkan memadamkan
konflik, dan bukan malah membakar atau membesarkan konflik. Dalam teori
komunikasi massa dikenal salah satu jenis jumalistik, yakni jumalistik konflik
(journalism of conflict). Dalam jurnalistik konflik, jurnalis tidak hanya
dibekali dengan perangkat strategi dan teknik peliputan, tetapi juga metode
penyelamatan dan perlindungan diri (survival and safety guard method) dari
kemungkinan serangan para pihak yang sedang berkonflik.
Perspektif komersial menegaskan
komitmen sekaligus orientasi media massa dalam mencari keuntungan. Pers tidak
hanya hams punya cita-cita ideal. Pers sendiri harus punya kekuatan serta
keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita, dan keseimbangan dalam
mempertahankan nilainilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan,
maka pers hams berorientasi kepada kepentingan komersial. Bagaimanapun pers
bukanlah lembaga santunan sosial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU Pokok
Pers No. 40/1999: pets nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Begitu
juga pasal 4 ayat (1) UU No.32/ 2002 Tentang Penyiaran menyatakan: penyiaran
sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Sedangkan pasal (4)
ayat (2) menegaskan: dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Sebagai lembaga ekonomi, media
massa harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, serta
efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial, perusahaan media massa hams
memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apa
pun sajian pers atau media massa tak bisa dilepaskan dari muatan bisnis
komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpihak
pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers atau pendirian industri media massa
seperti radio dan televisi bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Tegasnya,
idealisme tanpa komersialisme hanya merupakan sebuah ilusi (Sumadiria,
2006:47). Namun untuk mencapainya, media massa pun, seperti juga masyarakat,
pasti bersinggungan atau bahkan menjadi bagian dari konflik. Jadi, sebagai
pesan penting buku ini, konflik tidak perlu ditakuti karena kontlik tak bisa
dihindari. Konflik harus dihadapi dengan lega hati dan trategi yang sudah
sangat teruji.
BAB IX
TEKNOLOGI INFORMASI, CYBERSPACE,
DAN HIPER-REALITAS MEDIA
TEKNOLOGI, MEDIA. DAN MASYARAKAT
MAYA
Everett
M. Rogers dalam Communication Technology: The New Media in Society (1986: 25),
mengatakan bahwa dalam hubungan dengan komunikasi dalam masyarakat, dikenal
empat era komunikasi, yaitu era tulis, era media cetak, era media
telekomunikasi, dan era media komunikasi interaktif. Dalam era terakhir media
komunikasi interaktif dikenal antara lain media komputer, videotext, teletext,
teleconferencing, televisi kabel. Sayling Wen dalam Future of the Media (2002:
17-80), melihat media dalam konteks yang lebih luas, tidak saja melihat media
dalam konsep komunikasi antarpribadi, tetapi juga melihat media sebagai medium
penyimpanan sekaligus pula medium informasi. Media komunikasi antarpribadi yang
dimaksud Wen adalah suara, graiik, teks, musik, animasi, video. Sedangkan media
penyimpanan adalah buku, kamera, alat perekam kaset, kamera film dan proyektor,
alat perekam video, dan disk optikal (Bungin, 2006: 111-112).
Iahirnya
era komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi
informasi yaitu bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi
satu dan menandai teknologi yang disebut dengan intemet.
Menurut
Sayling Wen (2002), sekarang ini yang terpenting dan paling luas pengaruhnya
adalah internet. Internetlah yang menghubungkan komputer pribadi yang paling
sederhana hingga komputer super yang paling canggih. Inilah struktur jaringan
komputer yang saling berhubungan satu sama lain. Layanan yang diberikan oleh
internet mencakup electronic mail (e-mail), netnews, telnet, jile transfer
protocol (FTP), dan world wide web (www). Dari kelompok ini yang paling banyak
digunakan adalah e-mail serta www. Perkembangan lain dari internet adalah mesin
pencari dan lacak seperti browsers dan search enginers. Melalui mesin ini
informasi atau teks dalam situs maria pun dapat dilacak (Bungin, 2006:
113,136).
Melalui
internet, kita memasuki dan menemukan desa dunia. Melalui internet, kita
melakukan migrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Jika dalam dunia nyata,
wakru, jarak, dan tempat merupakan sesuatu yang sangat penting, maka dalam
dunia maya ketiga dimensi itu menjadi tidak penting dan tidak relevan. Dunia
maya seolah tampil begitu perkasa karena telah mampu menghapus dimensi waktu,
jarak, dan tempat (time, distance, place).
Penulis
yang sedang mengetik naskah buku ini di sebuah Vila yang dingin dan sepi di
kaki Gunung Manglayang, Bandung, Jawa Barat, dan rekan penulis yang sedang
kuliah S3 di Toronto, Kanada, dapat saling berhubungan pada saat yang sama
(real time) tanpa harus beranjak dari meja dan ruang kerja atau kamar
masing-masing. Penulis bisa melakukan percakapan (charting), pencarian
(searching), perselancaran (browsing) diminta (sending), tau penerimaaa penggandaan
inginkan (copy and saving), Bahkan andaikata ada gaya pun bisa mencari dan
menemukan jodoh dengan mudah melalui intemet. Sederhana, praktis, ekonomis.
Pada
modal terdahulu, sudah kita kemukakaa terdapat tiga kategeri media menurut
perspektif sosiologi komunikasi; yaitu media komunikasi tradisional, media
komunikasi konvensional, dan media komunikasi modem. Pada media komunikasi
modem, kita jumpai surat kabar, majalah, radio, televisi, mm, dan media on line
intenet. Media yang disebut terakhir inilah yang sekarang menjadi primadona
masyarakat global, terlebih Iagi setelah diperkenalkan jejaring sosial via
internet yang disebut twitter dan facebook Indonesia, termasuk tiga besar
pengguna facebook di dunia setelah China dan Amerika. Sedikitnya 25 juta
penduduk Indonesia, kini tergabung dalam situs jejaring sosial facebook. Juga
tidak kurang dari 10 jut: orang yang mérasa bangga bergabung dengan twitter.
Sosiologi
komunikasi massa melihat, kini setiap penduduk perkotaan usia 12-52 tahun
terutama di lima kota besar Medan, Jakata, Bandung, Surabaya yang merasa
dirinya terpelajar atau intelektual, akan merasa main dan teasing secara spsial
jika tidak bergabung dalam facebook dan Miter. Merck: aknn disebut sebagai
orang kuno, manusia ketinggalan zaman, warga kampungan, udik banget, atau
kelompok masyarakat purba. Dari sisi psikologi komunikasi massa, facebook
menawarkan banyak kelebihan dibandingkan dengan pendahulunya e-mail. Pada
facebook, kita saling berkomunikasi dengan Inenampakkan wajah kita, foto-foto
zaman dulu atau fotmfoto dan video terkini kita. Dengan facebook, tiap orang
mendadak menjadi narsis, senang bergaya, tampil menjadi peragawan-peragawati
geiiit centil, atau muncul jadi aktor dan aktris seksi!
Apa
artinya? Melalui facebook dan nvitter sebagai salah satu repm tasi dunia maya,
sekat-sekat ruang privat dan rahasia~rahasia pribadi tiap individu, menjadi
terbuka dan transparan, dan semuanya dilakukan dengan Mdar. Data pribadi
seperti nama lengkap, jenis kelamin, tempat tangal hulan dan tahun kelahiran,
tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, bahkan Warns masih berpacaran pun
disebutkan dengan jelas. Begini pula dengan foto-foto sejak saat lahir, balita,
hingga beranjak remaja, dewasa, dan berstatus kakek-nenek, dimasukkan dalam
album foto yang bisa dilihat oleh siapapun sesama pengguna facebook
Menarik
untuk diteliti, apa sebenarnya yang dicari para pengguna facebook dan twitter
sebagai jejaring sosial melalui internet sebagai dunia maya (virtual world)? J
awaban yang didapat, untuk sebagian pasti menunjuk kepada motif mencari
menambah dan mempererat pertemanan; meningkatkan hubungan persaudaraan;
mengembangkan pergaulan; menambah wawasan pengetahuan dan ketrampilan; saling
berbagi pengalaman; mencari serta menemukan pekerjaan; dan mencari serta
meningkatkan penghasilan.
Jika
dalam dunia nyata terdapat masyarakat nyata (real community), dalam dunia maya
ditemukan masyarakat maya (cybercommunity). Menurut pakar sosiologi komunikasi
massa Burhan Bungin, pada awalnya masyarakat maya adalah sebuah fantasi manusia
tentang dunia lain yang lebih maju dibandingkan dengan dunia saat ini. Fantasi
tersebut adalah sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna
kehidupan manusia sebagai lambang dari pembebasan terhadap kekuasaan materi dan
alam semesta. Namun ketika teknologi manusia mampu mengungkapkan misteri
pengetahuan itu, manusia mampu menciptakan ruang kehidupan baru baginya dalam
dunia hiper-realitas itu.
Sebagai
ciptaan manusia, masyarakat maya menggunakan seluruh metode kehidupan
masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkau dalam segi-segi kehidupan
masyarakat maya. Misalnya membangun interaksi sosial dan kehidupan kelompok,
stratiflkasi sosial, kebudayaan, pranata sosial, kekuasaan, wewenang dan
kepemimpinan, juga mengembangkan kontrol sosial. Berikut petikan penjelasan
Burhan Bungin dari aspek yang disebutkan itu (Bungin, 2006: 160-172)
Proses Sosial dan lnteraksi Sosial
Masyarakat
maya membangun dirinya dengan sepenuhnya mengandalkan interaksi sosial dan
proses sosial dalam kehidupan kelompok (jaringan) intra dan antarsesama anggota
masyarakat maya. Kebanyakan dari anggota masyarakat maya menjadi penduduk tetap
dalam masyarakat tersebut dengan memiliki alamat dan rumah di sana dengan
status penyewa atau pemilik.
Mereka ini yang
memiliki e-mai, website. atau bahkan provider Setiap saat mereka memanfaatkan
alamat dan rumah mereka untuk berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat
maya guna berbagai jenis kebutuhan.
Sebagaimana sifat
jaringan dan proses sosial dalam masyarakat maya yang mementingkan kerja sama,
selain proses sosial disosiatif, terbanyak dari proses sosial itu adalah proses
sosial asosiatif antara jaringan-jaringan (kelompok-kelompok) yang ada. Proses
ini memberi pelunng kepada komunitas maya, baik intra maupun antaxjaringan,
melakukan ketja sama (cooperation) di antara mereka. Kexja sama ini
menghasilkan proses lanjutan seperti akomodasi informasi dan asimilasi
kebudayaan masyarakat maya dalam skala global ke selumh jaringan masyarakat
yang akhimya memengaruhi perilaku dan interaksi mereka satu dengan lainnya.
Kelompok
Sosial Maya
Komunitas maya memiliki
kehidupan kelompol; yang rumit. Umumnya kelompok sosial ini dibangun
berdasarkan hubungan sekunder, sehingga pengelompokan mereka didasarkan pada
kegemaran dan kebutuhan anggota masyarakat terhadap kelompok tersebut. Pada
dasarnya ada dua model kenggotaan kelompok sosial maya, yaitu kelompok intro
dan kelompok inter. Kelompok intro adalah keanggotaan seseorang dalam unit-unit
kelompok intra yang berpusat pada server tertentu. Sifatnya menyerupai serumpun
anggota dalam suatu institusi tertentu. Kelompok intra ini biasanya disebut
dengan intranet. Kelompok inter yang lazim disebut internet, berhubungan dan
berkoneksi dengan sistem sosial yang sama di tempat lain. Sambungan server to
server melalui sistem internet dengan menggunakam teknologi satelit itulah yang
disebut dengan internet.
Dalam sistem internet,
kelompok terbesar dalam masyarakat maya adalah kelompok yang keanggotaannya
didasarkan pada kebutuhan layanan tyan rumah (website) terhadap tamu yang
terdiri atas dua status keanggotaan. Pertama, adalah keanggotaan yang bersifat
free (bebas biaya) seperti keanggotaan dalam pelayanan e-mail, chatting, dan
beberapa website tertentu. Kedua, keanggotaan tetap berdasarkan pada status
members pada provider atau website tertentu. Dalam masyarakat maya hotmail.com
yahoo.com, amazone.comm, mailcity.com, star.com, usa.com, msn.com nescape.com,
plaza.com dan semacamnya, dikenal sebagai jaringan (kelompok) terbesar saat ini
Kebudayaan dan Masyarakat Maya
Dalam masyarakat maya,
kebudayaan yang dikembangkan adalah budaya~ budaya pencitraan dan makna yang
setiap saat dipertukarkan dalam mang interaksi simbolis. Sesuatu yang menjadi
ciri khas dari kebudayaan maya ini adalah sifatnya yang sangat menggantungkan
diri pada media. Kebudayaan itu hanya ada secara nyata dalam media informatika.
Beberapa di antaranya telah ditransformasikan ke dalam kognitif manusia. Inilah
sebenamya space dunia maya, yaitu dunia media dan dunia kognitif manusia.
Hubungan dari dua space
ini telah melahirkan dunia yang baru bagi mawarakat manusia yang tak bisa
dihitung lagi seberapa besar ruang itu, bergantung pada kemampuan manusia membuka
misteri pengetahuan ini.
Sistem religi
(kepercayaan) masyarakat maya adalah waktu dan keyakinan bahwa setiap misteri
dalam dunia maya dapat dipecahkan.
Pranata
dan Kontrol Masyarakat Maya
Masyarakat maya
memiliki pranata dan kontrol sosial yang dibangun bersama atau dibangun sebagai
sistem proteksi diri. Selain etika umum dalam masyarakat nyata yang dibawa ke
dalam kehidupan maya, sistem pranata dan kontrol sosial dibangun agar semila
kebutuhan dalam masyarakat maya dapat terlayani dengan baik tanpa saling
merugikan. Pranata lain yang ada dalam masyarakat maya, bahwa semua informasi
yang ada dalam dunia maya menjadi milik publik yang dapat diakses oleh semua
orang.
Hukum-hukum sosial yang
ada dalam masyarakat nyata juga menjadi bagian dalam pranata sosial masyarakat
maya, seperti mencuri informasi, menipu, melakukan pelecehan gender, merusak,
menyerang orang lain, menjadi pranata yang juga dipandang buruk dalam komunitas
maya.
Stratifikasi
Sosial dan Kekuasaan
Masyarakat maya
mengenal stratifikasi sosial berdasarkan besaran jaringan yang dimiliki. J adi,
dasar pembenfukan stratifikasi masyarakat maya ditentu~ kan pada seberapa besar
kepemilikan jaringan dan informasi yang dapat diakses darinya. Begitu pula
jumlah anggota masyarakat maya yang setiap hari lalu-lalang di sebuah jaringan
atau website menjadi dasar argumentasi yang kuat untuk menentukan stratifikasi
sosial.
Sistem kepemimpinan
dalam masyarakat maya dibangun berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan terhadap
jaringan tertentu. Secara real, setiap jaringan adalah pemimpin yang terkoneksi
ke dwlam jaringan kepemimpinan Yang lebih luas Setiap jaringan memiliki
kewenangan mengurus diri mereka sendiri, membangun, dan merekontruksi bagia
bagian yang dianggap perlu
Pembahan
Sosial Masyarakat Maya
Masyarakat maya adalah
revolusi terhadnp sebuah perubahan masyarakat nyata. Bahwa manusia tak pernah
puas hidup dalam dunia yang terbatas dan dalam ruang yang sempit. Sifat
membebaskan diri yang ada pada manusia terbukti dari gagasannya menciptakan
bagian kehidupan barn untuk manusia, yaitu masyarakat maya. Dengan demikian
perubahan sosial dalam masyarakat maya adalah sebuah hukum masyarakat yang
tcxjadi setiap saat.
Perubahan sosial dalam
cybercommuniy atau masyarakat maya, memiliki aneka dampak budaya yang sangat
luas dan tajam, karena selain sifat perubahannya yang mengglobal, juga
perubahan sosial ini berlangsung dengan amat sangat cepat, sehingga banyak
melahirkan efek ganda terhadap perubahan perilaku pada masyarakat maya dan
masyarakat nyata. Selain itu juga menyebabkan gesekan-gesekan sosial yang tajam
dalam dua belahan masyarakat tersebut. Pembahan sosial pada cybercommunity,
erat kaitannya dengan refleksi realitas nyata (Bungin, 2006: 160-172).
Apa maknanya? Maknanya
banyak, tetapi yang terpenting ialah kita dewasa ini tidak mungkin bisa
mengelak dari kehadiran media barn. Dalam media baru inilah ditemukan dunia
maya. Sedangkan dalam dunia maya dijumpai masyarakat maya. Jadi, dunia maya dan
masyarakat maya hanya ada dalam media baru. Dalam media lama kita tidak
mengenalnya. Karena itulah, sosiologi komunikasi massa memandang kehadiran
dunia dan Inasyarakat maya melalui media baru internet ini teramat sangat
penting lmtuk dijadikan fokus kajian secara sistematis dan metodologis,
Betbagai fakta barn menunjukkan, di Amerika Serikat saja, media-media massa
raksasa lama yang selama beberapa dekade menjadi sumber rujukan utama
(mainstream) dan penentu arah (trendsetter), satu demi satu berguguran.
sebagian dari mereka, pada akhirnya harus beralih ke dan bergabung dengan media
baru. Itulah yang disebut cybermedia atau media mayat.
Benar kata Jacgues
Ellul clan Gaulet, jika kita ingin menggambarkan zaman ini, make yang terbaik
ialah dengan cara melihat bagaimana masyarakat teknologi bekerja. Fungsi
teknologi adalah kunci utama pembahan dalam masyarakat (Ellul, 1980: 1). Dengan
demikian menurut Ellul dan Gaulet (1977: 7) teknologi secara fungsional telah
menguasai mayarakat. Bahkan dalam dunia media informasi, sistem teknologi juga
telah menguasai jalan pikiran masyarakat seperti tampak pada istilah theatre of
mind (Bungin, 2006: 173).
Kemampuan teknologi
media elektronika telah memungkinkan perancang agenda setting media menciptakan
realitas dengan menggunakan satu model produksi yang oleh Jean Baudrillard
disebut dengan simulasi, yaitu penciptaan model-model nyata tanpa asal-usul
atau realitas awal. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai hiper-realitas
(Piliang, 1998: 228). Melalui model simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang,
yang disadarinya sebagai nyata, mesldpun sesungguhnya semu, maya, atau khayalan
belaka (Nugroho, 1999: 123 dalam Bungin, 2006: 173-174).
Dalam pandangan Yasraf
Amir Piliang, ruang realitas semu itu dapat digambarkan melalui analogi peta.
Bila dalam suatu ruang nyata, sebuah peta mempakan representasi dari sebuah
teritorial, dalam model simulasi, petalah yang mendahului teritorial. Realitas
(teritorial) sosial, kebudayaan, atau politik, kini dibangun berdasarkan model
(peta) fantasi yang ditawarkan media informasi. Disneyland, Las Vegas, Stadion
Wembley, bintang film dan penyanyi Madonna, bintang sepak bola Maradona, tokoh
kartun seperti Mickey Mouse dan Doraemon, atau perang Amerika-Afghanistan,
adalah contoh gambaran model peta simulasi dalam berbagai citra, nilai, clan
makna kehidupan sosial, kebudayaan, konflik politik, dan peperangan yang
dibangun dalam masyarakat maya (Piliang, 1998: 228). Jadi, dalam dunia dan
masyarakat maya (cyber society), segala sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin
(impossible) ternyata menjadi serba mungkin (possible) bahkan bisa dilakukan
serta seolah-olah berada dalam dunia nyata.
Dalam era apa yang
disebut Piliang sebagai kematian sosial, ruang publik (public sphere) yang
alamiah kini juga telah diambil alih oleh ruang publik virtual (virtual public
sphere), yang di dalamnya berbagai aktivitas publik telah beralih ke dalam
wujud virtual. Berbagai aktivitas publik dari tamasya, belanja, hibnran sampai
demonstrasi, protes, dan debat, kini hadir dalam wujud virtualnya.
Fantasi-fantasi klasik tentang pengembaraan manjelajahi andatw sudut terjauh
dunia, seperti Jules Verne, kini diam‘bil alih oleh fantasi~£antasi
perjelajahan virtual ke dalam lorongdorong tezjanh dari dunk virtual yang tanpa
betas, yang penuh dengan janjiajanji keajaiban, peaona, kegairahan, dan utopia.
Masihkah fantasi~fantasi pengembaraan Juiw Verne diperlukan dalam sebuah dunia
maya, yang saga}: bentuk penjelajahan, pcngembaraan, dan tamasya itu dapat
dihadirkan dalam wujud mayanya? (Piliang, 2009338).
MEDIA
DAN RUANG REALITAS VIRTUAL
Kelahiran ruang-ruang
sosial virtual, dan kematian mans-mans sosial natural (the death of social),
papar Piliang lebih jauh, sejak lebih dari satu dekade terakhir, hingga kini
telah menggiring umat manusia ke dalam sebuah lorong gelap, kegalauan, serta
turbulensi psikis, yang diakibatkan oleh tumpang» tindihnya berbagai peristiwa
dan realitas dengan bentuk-bentuk simulasinya di dalam media, sehingga antara
realitas dan simulakrum (timan) tidak dapat dibedakan lagi. Relasi-relasi
sosial yang natural kini diambil alih oleh relaxirelasi virtual. '
Seakan-akan, kata
Piliang, ada sebuah mesin besar yang beroperasi dalam ruang-mang sosial, yang
memproduksi berbagai kegalauan tanda, citra, dan realitas, sehingga di dalamnya
antara realitas dan ilusi, antara kenyataan dan fantasi, antara kebenaran dan
kepalsuan, tidak dapat lagi dipisahkan. Inilah mesin-mesin simulasi (the
simulation machine). Masin-mesin simulasi merekayasa dan memanipulasi realitas,
sehinggaotidak dapat lagi dibedakan antara realitas yang asli dan realitas
tiruan (simulacra).
Realitas sosial, kini
diambil alih oleh model realitas sosial atau simulasi realitas, yang sengaja
diciptakan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir, untuk menyembunyikan
realitas sosial yang sesungguhnya. Realitas sosial seakan-akan dikuasai oleh
mesin-mesin simulasi: mesin-mesin yang memproduksi berbagai bentuk kepalsuan,
kepura-puraan, distorsi, tabir, dan topeng realitas (the simulation machine).
Dania realitas sosial
kini djpenuhi oleh model-model realitas sosial yang tanpa asal-usul atau
realitas: a social hyper-real. Model realitas sosial tersebut memang sepintas
tampak nyata, akan tetapi tidak menggambarkan realitas sosial yang sebenanya.
Ia menyembunyikan realitas sosial yang hadir di balik rekayasa sosial;
menyembunyikan kebenaran di balik topeng kebenaran. Kenyataan (real) ditutupi
oleh tanda-tanda realitas (sign of the real) atau citra realitas (image of the
real), sehingga antara tanda dan realitas, antara model dan kenyataan tidak
dapat lagi dibedakan. Oleh karena simulasi sosial (social simulation) tidak
menggambarkan realitas sosial sebagaimana adanya, make. realitas sosial yang
diproduksi oleh mesin-mesin simulasi sosial adalab realitas sosial yang
melampaui (post-social). Artinya, realitas sosial tersebut tidal: dapat lagi
dinilai berdasarkan logika (rasionalitas, moralitas) yang ada dalam konteks
realitas sosial sesungguhnya, melainkan berdasarkan logika simulasi media,
dengan berbagai trik, strategi, dan manipulasi telmologisnya (Piliang, 2009:
99-101).
Jika memang demikian,
timbul pertanyaan bahkan gugatan kritis: apakah kelahiran mang-ruang virtual
dan masyarakat virtual, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi
komunikasi, mempakan berkah atau musibah bagi umat manusia? Apakah kehadiran
masyarakat dan realitas virtual dalam dunia yang sebut cybercommunity dan
cyberspace, merupakan pilihan rasional menyenangkan sebagai salah satu bentuk
pencapaian peradaban tinggi (high culture) kita di planet ini, ataukah justru
menjadi sejenis ancaman yang menyakitkan sekaligus menakutkan?
Media internet, sebagai
salah satu bentuk media komunikasi massa modern, usianya masih relatif barn.
Tetapi gaung dan dampaknya secara sosial, kultural, politik, ekonomi, dan
kebudayaan, demikian dahsyat. Kita tidal: lagi menguasai teknologi komunikasi
informasi, tetapi justru seperti sudah dikuasai oleh dan menjadi subordinat
teknologi komunikasi infomasi. Secara sosiologis, dalam batas-batas yang kasat
mata, lihat misalnya dampak kehadiran televisi. Televisi hanyalah benda mati.
Ia hanya sebuah kotak kecil yang diletakkan di atas meja, sofa, atau ditempel
di dinding. Namun setelah tombol on pesawat televisi ditekan (djhidupkan), pada
saat itulah siapa pun pemegang papan kecil kendali (remote control) menjadi
seperti tidak berdaya. Seolah-olah kita terhipnotis untuk memijit-mijit terns
tombol, berpindah dari satu saluran (channel) ke saluran yang lain. Kita
melakukan tamasya dari satu acara ke acara yang lain, tidak peduli bentuk dan
kualitas acaranya seperti apa.
Bentuk yang mungkin
mengerikan. ialah kenyataan bahwa media televisi kini telah menjadi bagian dari
mesinanesin simulasi sosial. Karen masuk dalam realitas simulasi, maka
televisi, mau tidak mau harus mnsuk pula kepada berbagai hukum dan norma yang
mengikatnya dalam cyberspace itu. Seperti dipaparkan secara tajam oleh Piliang,
cyberspace adalah sebuah ruang utama yang di dalamnya berbagai simulasi sosial
menemukan tempat hidupnya. Perkembangan mang-mang aimulasi sosial dalam
cyberspace telah mempengaruhi kehidupan di luar mang tersebut pada hampir semua
tingkatnya. Setidak-tidaknya terdapat tiga tingkat pengaruh tersebut: tingkat
individual, tingkat antarindividual, dan tingkat masyarakat (Piliang, 2009: 104-105).
Tingkat
Individual
Pada tingkat
individual, cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman
kita tentang identitas. Sistem komunikasi sosial yang dijembatani oleh komputer
(computer mediated communication) telah melenyapkan batas-batas identitas itu
sendiri di dalamnya (Piliang, 2009: 105). J ika dalam realitas sosial natural
(faktual) identitas dianggap sangat penting oleh seseorang, kelompok, bahkan
oleh negara, maka dalam realitas sosial virtual, identitas personal diperlakukan
secara insidental. Arlinya, bisa digunakan suatu waktu, tetapi bisa juga
ditanggalkan untuk banyak walctu yang lain.
Pada cyberspace,
identitas personal, kalaupun djanggap perlu, bisa berubah dan bisa pula
diubah-ubah hanya dalam hitungan detik atau menit. Sebab bukankah identitas
hanya merupakan semacam warisan dari zaman realitas sosial natural? Sebagai
warisan apalagi pada dunia dunia yang berbeda, yakni natural dan lagi virtual,
identitas harus direkonstruksi, bahkan didekonstruksi. Pada realitas natural,
identitas bersifat permanen, tetap, konstan, dan juga konsisten. Sebagai
contoh, seseorang yang berjenis kelamin laki-laki harus dinyatakan dan diakui
secara sah sebagai lald-lald. Ia tak mungkin mengubah identitas jenis kelamin
setiap hari atau setiap Ininggu, misalnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
realitas sosial virtual. Pada cyberspace, identitas jenis kelamin bisa
disembunyikan, dipertukarkan, dipermainkan, ditiadakan, bahkan dipalsukan kapan
saja.
Identitas bisa menunjuk
kepada karakter, sifat,gaya, bentuk, nilai, ideologi, ikatan budaya, atau
kecenderungan yang diperlakukan secara baku. Dalam budaya cyberspace, identitas
tidak lagi menyerupai dan bewujud menjadi identitas sebagaimana yang kita
pahami dalam realitas dunia natural (faktual). Dalam realitas dunia virtual,
orang boleh saja dengan sengaja menyembunyikan identitasnya yang asli. Karena
di balik identitas yang palsu itu, identitas yang tanpa identitas itu, atau
identitas yang sengaja disembunyikan itu, maka orang akhirnya tidak sedikit
yang terjerumus ke dalam jurang virtual. Ia bisa berjam~ jam, bahkan 5-7 jam
per hari, hilang dari dunia natural, lalu masuk alam dunia virtual, dan di
situlah dia seolah menemukan dirinya. Dalam bahasa sosiologi, dia teralienasi
secara sosial dalam dunia natural, tetapi eksis berkibar dalam dunia virtual.
Inilah yang oleh para pakar cybermedia disebut the death of social atau
kematian secara sosial.
Tingkat
Antarindividual
Pada tingkat
antarindividual, perkembangan komunitas virtual dalam cyberspace telah
menciptakan relasi sosial yang bersifat virtual di ruangruang virtual: virtual
shopping, virtual game, virtual conference, virtual sex, dan virtual moscue
(Piliang, 2009: 106). Apa yang dalam sosiologi dikenal dengan stimulus-respons,
aksi-reaksi, kontak-komunikasi, relasi dan interaksi sosial, dalam cyberspace
tidak lagi dikaitkan dengan dimensi jarak, ruang, dan waktu. Dalam relasi
virtual, relasi daninteraksi sosial dilakukan tanpa mengenal batas-batas
teritorial secara real atau faktual. Bukankah salah satu ciri mendasar
cyberspace adalah peniadaan dimensi jarak, ruang, dan waktu?
Logika relasi dalam
realitas virtual, bisa merupakan kebalikan dari realitas natural. Dalam
realitas natural, interaksi sosial seseorang dibangun di atas pendekatan teritorial.
Maksudnya, kita harus berada dalam satu teritorial terlebih dahulu, barulah
kernudian dekat secara sosial. Tetapi dalam realitas virtual, kita dekat secara
sosial dengan seseorang atau banyak orang tetapi jauh atau bahkan tak mengenal
batas secara teritorial.
Apa maknanya?
Cyberspace, dalam sejumlah hal, memang seolah dijadikan surga bagi sebagian
orang yang tidak eksis secara sosiologis tetapi eksis secara psikologis. Ia
bahkan menjadi aktor atau aktris bagi dirinya sendiri. Lalu, apa dampaknya? Jangan
kaget jika orang yang banyak menenggelarnkan dirinya dalam cyberspace, akhirnya
ia menjadi seorang narsisme! Ia menjadi bangga bahkan menjadi pemuja dirinya
sendiri. Tapi, siapa yang mau peduli? Suka-suka saja.
Tingkat
Komunitas
pada tingkat komunitas,
cyberspace diasumsikan dapat menciptakan satu model komunitas demokratik
terbuka yang disebut oleh Rheingold sebagai komunitas imajiner (imaginary
community). Dalam komunitas konvensional, anggota masyarakat memiliki
kebersamaan sosial (social sharing) dan solidaritas sosial (social solidarity)
menyangkut sebuah tempat (kampung, desa, atau kota) yang di dalamnya
berlangsung interaksi sosial secara tatap muka (face to face). Dalam komunitas
virtual diperlukan imajinasi kolektif tentang tempat (place) tersebut, yang
tidak ada dalam sebuah ruang nyata (real space), melainkan sebuah tempat
imajiner (imaginary place) yang berada dalam ruang bit-bit komputer. Komunitas
virtual yang terbentuk dalam cyberspace, bentuk, stuktur, dan sistemnya tidak
sama dengan komunitas konvensional di dunia maya (Piliang, 2009: 106).
Dalam komunitas natural
di dunia nyata (real world), terdapat struktur kepemimpinan sosial. Ada dari
kelas penguasa, kelas pengusaha, juga ada banyak dari kelas rakyat jelata.
Kelas penguasa disebut elite, kelas rakyat jelata disebut akar rumput
(grassroot). Ditemui juga struktur normatif seperti larangan, tabu, pamali,
hukuman, sanksi, bahkan sampai kepada kutukan. Selain itu dikenal apa yang
disebut lembaga-lembaga normatif, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
mahkamah agung. Inilah yang disebut institusi sekaligus fungsi-fungsi kontrol
dalam dunia nyata, atau dunia natural (real world). Dalam dunia virtual, semua
itu nyaris tidak ada. Dalam dunia virtual, orang boleh dan bisa menjadi apa
saja semaunya sendiri (lost control). Dunia virtual adalah dunia yang sangat
personal, sangat informal, sangat bebas, dan tidak mengenal batas teritorial
serta sosial.
Televisi dan cyberspace
diibaratkan oleh Raul Virilo seperti sebuah bola mata raksasa, yang melaluinya
kita dapat melihat sudut terpencil, ruang texjauh, serta rahasia terdalam dari
setiap manusia yang masuk ke dalam jaringannya. Hanya dengan melihat televisi
atau internet, kita telah menyaksikan keseluruhan dunia. Ada semacam pemadatan
sosial (social intensification) ke dalam segmen-segmen sosial di dalam layar
televisi atau internet. Dalam wujud simulasinya ada pemadatan ruang-waktu
(space time) ke dalam ruang-waktu media; pemadatan narasi sosial (social
narrative) ke dalam narasi media; pemadatan durasi sosial (social duration) ke
dalam Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak
lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya sehingga ia
menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri, yang
disebut simulakrum (simulacrun). Simulakrum tampil seperti realitas yang
sesunguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial artificial reality). yaitu
realitad yang diciptakan lewat telknologi simulasi, sedemikian canggih sehingga
Pada tingkat tenentu realitas media ini tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata
daripada realitas yang seungguhnya (Piliang, 20093 141).
Sesuai dengan nama dan
maknanya, hiper-realitas media. atau bisa disebut juga posmedia, menunjuk
kepada sesuatu yang tidak atau bukan seharusnya. Hiper-realitas media lebih
banyak bicara dalam konteks yang melampaui, konteks yang tidak tidak normal. di
luar koridor, di Iuar batas batas kewajaran dan kepatutan. Dalam perspektif
sosiologi, gejala demikian disebut deviasi sosial (social deviation). Sosiologi
lebih banyak menekankan norma dan nilai, aturan, kesepakatan, konsensns,
sesuatu yang menjadi/ dijadikan dasar dalam membangun bidup bersama sebagai
sebuah kelompok, masyarakat, atau bangsa.
Ketika norma dan nilai
itu sudah tidak lagi dipatuhi, atau sudah tidak lagi dinilai efekif dan
fungsional, di situlah proses deviasi sedang berlangsung. Piliang dalam bukunya
mengingatkan, hiper-realitas media telah menimbulkan enam bentuk dampak
sosiokultural: disinformasi, depolitisasi, banalisasi informasi, fatalitas
informasi, sldzofrenia, dan hipermoralitas (Piliang, 2009: 142-145). Berikut,
tafsir bebas penulis terhadap enam dampak sosiokoltural hiper-realitas media
seperti yang ditunjukkan Piliang tersebut.
Disinformasi
Realitas sosial timan
(social simulacrum) yang ditampilkan media, terutama televisi dan internet,
dalam banyak hal seperti menghipnotis khalayak sehingga khalayak dengan
serta-merta memercayai setiap informasi yang disiarkan atau ditayangkan.
Informasi, apakah dalam bentuk verbal (kata-kata), visual (gambar) atau
gabungan verbal dan visual (kata-kata dan gambar) berikut efek sum dan efek
teknis yang menyertainya, diterima begitu saja tanpa reserve.Tanpa reserve
berarti tanpa sikap kritis, tidak disertai pendekatan logis dan gugatan
akademis, apakah informasi yang diterima im benar atau salah. asli atan palsu,
lengkap akurat atau serba sekilas dan sumir.
durasi media pemadatan
tanda-tanda sosial (social signs) ke dalam tanda tanda media pemadatan
makna-makna sosial (social meaning) ke dalam makna-makna media (Piliang, 2009.
108-109).
Secara fisik, sekali
lagi, televisi hanyalah sebuah kotak kecil. Karena kotak kecil itu juga,
mengapa lalu terjadi berbagai bentuk pemadatan jarak, mang, waktu, tempat,
durasi, tanda, dan makna ke dalam ruang realitas sosial virtual. Peristiwa
sosial yang dalam dunia nyata begitu banyak, bertumpuk, dan tidak terhitung,
dalam televisi nyatanya hanya satu-dua yang disiarkan. Kisah berbagai peristiwa
dramatis dalam dunia nyata seperti kapal tenggelam, pesawat jatuh, atau ledakan
bom beruntun di beberapa hotel, dalam televisi nyatanya hanya disiarkan
beberapa menit dan sekilas.
Berbagai peristiwa itu
mengisyaratkan banyak pesan, tanda, dan makna. Tetapi dalam televisi nyatanya
hanya ditafsirkan sebagai akibat sarat muatan penumpang dan barang, cuaca
buruk, dan bom bunuh dari kelompok jaringan teroris Noordin M. Top. Pesan,
tanda, dan makna dalam realitas mang simulasi sosial televisi seperti tidak
begitu berarti lagi. Sebagai realitas artifisial yang serba dipadatkan,
ruang-ruang sosial media akhimya tidak lagi merepresentasikan dunia nyata. Ia
hanya merepresentasikan dunianya sendiri. Itulah realitas virtual (virtual
reality) dalam panggung besar dunia cyberspace. Dunia yang demikian, oleh Jean
Baudrillard, disebut hiper-realitas (hyper-reality), yaitu suatu kondisi yang
telah melampaui realitas sebenarnya. Padanan untuk hiper-realitas dengan
kandungan makna yang sama adalah posrealitas (post-reality) dan posmedia
(postmedia).
HIPER-REALITAS
MEDIA DAN DAMPAK SOSIOLOGIS
Istilah hiper-realitas
media (hyper-reality of media) digunakan oleh Jean Baudrillard untuk
menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna dalam media.
Hiper-realitas media menciptakan satu kondisi sedemikian canggih sehingga semua
dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar
daripada kebenaran; isu lebih dipercaya dibandingkan dengan informasi; rumor
dianggap lebih benar dibandingkan dengan kebenamn. Kita tidak dapat lagi
membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.
Hiper-realitas media tidak terlepas dari perkembangan teknologi media, yang
disebut teknologi simulasi (simulation technology).
Dalam teori komunikasi
massa, gejala demikian disebut sebagai efek dramatis. Karena realitas tiruan
yang ditampilkan terasa begitu dramatis berkat kekuatan teknologi telematika,
khalayak meyakini informasi yang diterima tidak hanya sebagai fakta, tetapi
sekaligus sebagai kebenaran. tidak setiap fakta mengandung atau mempakan
kebenaran. Begitu pula sebaliknya, tidak setiap kebenaran harus disertai fakta.
Dalam teori jurnalistik televisi misalnya, dikenal ungkapan seeing is
believing: dengan melihat barulah kita percaya. Melihat apa? Melihat gambar
peristiwa yang ditampilkan televisi. Jadi, dalam perspektif jurnalistik
televisi, sesuatu tidak termasuk berita jika tidak disertai atau dilengkapi
dengan gambar peristiwanya. Tak ada berita tanpa gambar. tidak ada gambar
berarti tak ada berita.
Sejak empat dekade
lalu, teori komunikasi massa sudah meramalkan munculnya kelompok khalayak tidak
berdaya. Disebut tidak berdaya karena sikap dan perilaku mereka ditentukan oleh
media. Mereka tidak dihadapkan kepada alternatif lain selain menerima begitu
saja pesan yang disampaikan media. Mereka patuh. Mereka penurut. Sebaliknya,
media tampil begitu perkasa. Media bisa menembakkan pesan apa pun ke dalam
tubuh khalayak, dan khalayak hanya bereaksi seperti yang dikehendaki oleh
media. Inilah yang dalam literatur klasik komunikasi dicatat sebagai teori
peluru (the bullet cummunication theory). Namun yang mengkhawatirkan, realitas
sosial yang ditembakkan itu hanya bersifat tiruan, buatan, artifisial. Ini
adalah simulakrum komunikasi, bukan fakta-fakta atau realitas faktual dalam
dunia nyata (real world).
Apa yang kemudian
terjadi? Secara perlahan tetapi pasti, berbagai informasi yang disajikan media
tidak lagi memiliki kredibilitas. Media tidak lagi dipercaya dalam membawa dan
menyuarakan kebenaran hakiki sesuai dengan idealisme dan nilai-nilai luhur yang
semula dijunjung tinggi. Aneka informasi yang dibawa media tidak berbeda dengan
limbah industri, yang sama sekali tidak membawa manfaat bagi masyarakat. Bahkan
sebaliknya, oenderung mengotori lingkungan fisik dan sosial. Orang-orang pun
banyak yang mencibir bahkan seperti menderita sesak nafas.
Depolitisasi
Karena simulakrum
komunikasi mengakibatkan berbaurnya realitas nyata dengan realitas tiruan,
fakta dengan rekayasa, kenyataan dengan khayalan. khalayak tidak bisa lagi
membedakan mana informasi asli dan mana yang palsu. Pikiran khalayak pun
seperti terkontaminasi’. Akfbatnya, khalayak tidak bisa berpikir logis dan
analitis. Karena dihadapkan kepada pola komunikasi yang serba satu arah,
linear, dan berlangsung secara terus-menerus, khalayak tak bisa berbuat banyak
kecuali diam, pasif, terpaku. Inilah yang dalam teori komunikasi politik
sebagai mayoritas diam (the single majorities).
Karena tidak memiliki
posisi tawar yang baik (bargaining positition), atau tidak memiliki kekuatan
tawar-menawar yang tinggi (bargaining power), khalayak mengalami proses
depolitisasi. Dalam bahasa sederhana, depolitisasi berarti khalayak tidak
memiliki kedaulatan dan pilihan untuk bersikap, bertindak, dan mengambil
keputusan mengenai posisi serta eksistensi dirinya dan orang lain dalam suatu
kelompok atau komunitas di ruang publik Singkat kata, merekamenjadi khalayak
yang buta politik. Mereka tidak menyadari apa hak dan kewajiban mereka sebagai
individu yang merdeka. Mereka menjadi alergi bahkan paranoid untuk terlibat
dalam masalah dan kepentingan publik.
Banalitas
lnformasi
Saksikan berbagai
tayangan acara televisi komersial kita sekarang dari pagi hingga larut dini
hari. Begitu bangun pagi, kita sudah disuguhi bahkan dijejali dengan berbagai
informasi remeh-temeh, seperti gosip selebritas sekitar perkawinan, perceraian,
perselingkuhan, skandal seks, kasus narkoba, atau kekerasan dalam rumah tangga
artis, penyanyi, pekerja film. Tidak ada yang menarik dan tidak ada yang
bernilai dari suguhan informasi-informasi itu. Semuanya tidak berguna, tidak
bermutu, tidak adamanfaatnya bagi khalayak pemirsa. Namun anehnya, rangkaian
informasi yang tidak bermutu dan tidak layak disiarkan atau ditayangkan itu,
diproduksi terus-menerus oleh rumah-rurnah produksi (production house), pihak
televisi, industri film, dan mereka yang mengaku profesional dalam bidang
industri kreatif. Sebagian orang bahkan mencibir: ah apanya sih kreatif kalau
yang diproduksi cuma informasi sampah?
Banality of
information. lnformasi dangkal, sampah, mengandung limbah. Itulah faktanya.
Namun dalam banalitas informasi, semua hal yang bersifat remeh-temeh dan
berkadar “limbah serta sampah" , justru dijadikan komoditas, disiarkan,
ditayangkan bemlang-ulang, dikemas dalam aneka acara yang kadang-kadang
dikesankan intelektual, berwibawa, bermartabat, berkelas. Misalnya dalam bentuk
berita, jajak bicara (talk show), kisah nyata (reality show), laporan khusus
(special report), tabel, grafik, bagan, peta, bahkan dalam narasi biografi
seseorang yang hendak dijadikan bintang (public figure).
Banalitas informasi,
harus diakui, merupakan produk dari apa yang disebut kebudayaan massa (mass
culture) atau kebudayaan pop (popular culture). Harus diakui, kebudayaan pop
tidak identik dengan produkproduk informasi yang banal, atau produk-produk
informasi yang dangkal, remeh-temeh. Hanya disadari, banalitas informasi tumbuh
subur dalam kebudayaan pop. Kebudayaan pop bercirikan antara lain bersifat
sesaat, massal, nonkonseptual, fragmatis, bebas genre, bahkan ahistoris.
Kebudayaan seperti ini kemudian dijadikan industri. Namanya industri budaya
pop, atau cukup disingkat: industri pop.
Fatalitas
lnformasi
Menurut Jean
Baudrillard, informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali dalam media
telah menciptakan kondisi fatalitas informasi (fatality of information), yaitu
kecenderungan pembiakan informasi ke arah titik ekstrem, yakni ke arah yang
melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, yang menggiring ke arah bencana
(catastrophe), berupa kehancuran sistem komunikasi (bermakna) itu sendiri.
Dalam kondisi fatalitas tersebut, informasi kehilangan logikanya sendiri.
lnformasi tidak lagi mempunyai tujuan, fungsi, dan makna. lnformasi dalam media
berkembang ke arah sifat superlatif, yaitu diproduksi dalam wujud yang
berlebihan, wujud hiperbola (Piliang, 2009: 144). Diakui atau tidak, suka atau
tidak suka, fenomena itu pula yang terjadi dalam dunia industri televisi kita
dalam satu dekade terakhir. Cobalah lakukan analisis isi atas daftar mata acara
secara tekstual, lalu amati dan saksikan tayangan acara-acara tersebut secara
visual, dijamin kita akan memperoleh kesimpulan sangat mengecewakan. Bahkan
lebih jauh lagi akan memperoleh sebuab kesimpulan yang mengerikan. Sebagai
contoh, ambil sampel 30 tayangan penuturan kisah nyata (reality show) dari 10
televisi swasta komersial, atau rata-rata tiga reality show dari setiap stasiun
televisi nasional. Dari 30 sampel ini, kita akan menemukan puluhan bahkan
ratusan adegan yang sarat dengan unsur kekerasan verbal dan fisik. Di sana,
kita juga akan menjumpai ratusan kata makian, hardikan, sumpah serapah,
pelecehan, penghinaan. Secara fisikal, kita akan dengan mudah menemukan
unsur-unsur tindak kekerasan dalam bentuk kekejaman serta sadisme mengerikan.
Anehnya, tayangan acara
semacam itu diproduksi secara massal, dijadikan hidangan sarapan pagi atau
santap malam pemirsa di rumah. Secara sosiologis, masyarakat kita seperti
bembah drastis, dari masyarakat yang semula santun-beradab menjadi masyarakat
yang sadis-biadab. Disebut sadis karena masyarakat pemirsa kita seolah begitu
menggemari, menyukai, bahkan mengelu-elukan tontonan televisi yang sarat dengan
adegan mengumbar aib keluarga, rumah tangga, perselingkuhan, penyelewengan,
kelainan jiwa, kekerasan seksual, penyimpangan seksual, dan baku hantam antara
suami-istri, atau sesama anggota keluarga seperti lazimnya dalam arena
pertandingan tinju.
Contoh, apa komentar
kita terhadap tayangan reality show berisi pengakuan seorang anak remaja-pria
yang terpaksa harus memenuhi hasrat seksual ibu kandungnya sendiri? Bahkan yang
mengerikan, dalam tayangan ini dihadirkan sosok sang ibu tanpa penutup muka,
atau apa pun yang bisa menyembunyikan identitas dirinya. Ini faktual terjadi
dalam acara reality show salah satu televisi swasta komersial kita. Berbagai
bentuk teguran, peringatan, bahkan sanksi penghentian acara, sudah dilakukan
dan sudah dijatuhkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP) dan KPI
Daerah (KPID). Namun pihak televisi tidak menggubrisnya. Ditutup satu acara,
dibuka acara baru yang lain dengan format dan isinya yang sama. Hanya judulnya
saja diubah atau ditambah satu-dua kata. Contoh, Empat Mata diubah menjadi
Bukan Empat Mata!
Logika industri
televisi menyatakan, berbagai tayangan reality show yang aneh-aneh, tidak
lazim, menggelikan, mengerikan, menyakitkan secara kemanusiaan dan kebudayaan,
atau yang masuk dalam kategori sangat memukul norma dan nilai-nilai masyarakat
berkeadaban itu, memperoleh peringkat atau rating tinggi. Memiliki rating tinggi,
berarti tayangan acara acara jenis ini termasuk dalam kategori banyak ditonton
pemirsa. Banyak ditonton pemirsa berarti termasuk kategori acara disukai atau
sangat disukai. Jika banyak disukai, ildan akan banyak masuk. Karena itu jangan
kaget, jika harga satu slot iklan (30 detik) sebuah acara reality show mencapai
Rp 38 juta! J ika dalam satu acara diputar 10 slot untuk 10 jenis iklan, acara
itu telah mengeruk pemasukan dari iklan Rp 3,8 miliar! Jadi, menumt logika
industri, untuk apa membuat acara berkualitas jika dengan acara-acara kategori
sampah saja, stasiun televisi sudah dapat mengeruk banyak keuntungan?
Skizoprenia
Skizoprenia, jika
merujuk kepada definisi Jacques Lacan dalam Speech and Language in
Psychoanalysis (1984: 273), adalah putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian
sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna.
Dengan Skizoprenia, berarti penanda (signifier) dan petanda (signified) tidak
lagi berhubungan satu sama lain sehingga tidak melahirkan arti atau atau makna
yang bisa dipahami dan disepakati bersama. Skizoprenia, secara sederhana,
memang menunjuk pada apa yang disebut dengan kesimpangsiuran bahasa.
Dalam hiper-realitas
media, berbagai informasi yang disampaikan, disiarkan, ditayangan,
didiskusikan, diperdebatkan, tidak saja sudah keluar dari konteks (out of
context) tetapi juga berubah-ubah arti dan maknanya. Jangankan dalam hitungan
hari atau pekan, dalam hitungan jam saja, berita mengenai kerusuhan massal,
konflik dan baku tembak antaretnis atau pemboman misalnya, sudah melahirkan
banyak persepsi, tafsir, pemaknaan, dan kesimpulan yang berbeda serta
tumpang-tindih. Bahasa yang galau, bahasa yang simpang siur, penggunaan
kata-kata, istilah atau ungkapan yang tidak jelas, melenceng, aneh, tidak merujuk
kepada pakem yang ada, pada akhirnya hanya memunculkan khalayak yang bingung
dan panik. Akibatnya, pencarian makna dan kebenaran berakhir dalarn
kesia-siaan. Mubazir.
Hipermoralitas
Hipermoralitas secara
sederhana diartikan sebagai penunjukan dan perilaku moral yang melampaui
batas-batas kepatutan, kewajaran, atau konvensi dan kesepakatan sosial.
Rujukannya adalah tata nilai dan norma yang berlaku dan ditaati oleh kelompok,
komunitas, atau masyarakat. Karena berbagai informasi yang disajikan media
sudah berada di atas ambang batas, sudah melampaui bentuk, volume, serta
substansinya; khalayak tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah,
mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang
diperintahkan dan yang dilarang, mana yang halal dan haram, mana yang asli dan
palsu, mana yang jujur dan berkhianat, mana yang bersifat membangun dan mana
yang berifat menghancurkan.
Jadi, batas-batas moral
seperti sudah tercabut dari struktur masyarakat serta akar sosial budayanya.
Lihat saja beberapa mata acara televisi, terutama penuturan kisah nyata
(reality show) pada nyaris semua stasiun televisi komersial nasional, kaidah
dan unsur moralitas sudah ditinggalkan, bahkan yang cukup mengerikan:
dicampakkan begitu saja. Argumen yang diajukan begitu naif: karena televisi
adalah media hiburan, tayangan acara apa pun haruslah bersifat menghibur.
Argumen lain, karena masyarakat kita sekarang sudah begitu terbuka, transparan,
modern sehingga tidak dikenal lagi batas-batas ruang privat dan ruang-ruang publik.
Jadi, skandal seks, bisnis narkoba, pembantaian, perampokan, penculikan,
pemerkosaan, boleh saja ditampilkan dalam panggung media, dan dijadian tontonan
yang berakhir dengan siulan atau tepuk tangan pemirsa di dalam studio dan di
rumah. Katanya, etika media adalah etika keterbukaan, etika transparansi. Jadi,
semua harus ditunjukkan dan dilaporkan kepada publik. Inilah yang disebut
hipermoralitas media yang dari ke hari penganut ideologi ini di Indonesia
semakin banyak.
DEHIPER-REALITAS
MEDIA DAN ALTERNATIF SOLUSI
Dalam pandanagn Yasraf
Amir Piliang sebagai pakar cultural studies, hiperrealitas media telah
menghadapkan masyarakat dan publik pada sebuah kondisi kesulitan, bahkan
kemustahilan interpretasi. Kemajuan teknologi simulasi telah menciptakan kondisi
bahwa apa yang ditampilkan sebagai Sebuah kebenaran (kemajuan, keadilan, sifat
demokratis, kejujuran) boleh jadi tidak lebih dari sebuah kebenaran semu
(topeng, make up, citra). Apa yang disuguhkan sebagai sebuah kejahatan
(skandal, teror, penculikan, genocide), Boleh jadi tidak lebih dari sebuah
kejahatan palsu (simulakrum kejahatan).
Hiper-realitas media
dapat menciptakan image seorang penjahat (koruptor, penjarah negara, pembunuh
rakyat) sebagai seorang pahlawan. Sebaliknya, image seorang pejuang demokratis
(oposisi, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat) sebagai sisa-sisa komunisme.
Untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas media ke arah yang ekstrem, Piliang
dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetajisika (2009: 146), mengusulkan tiga langkah antisipatif:
dehiper-realitas media, civic education, dan countermedia. Di sini, saya
tambahkan tiga lagi: lembaga pemantau media (media watch), literasi media
(media literacy), dan intensifikasi komunikasi keluarga.
Dehiper-realitas
Media
Piliang mengusulkan
penciptaan kondisi dehiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian
ekstremitas komunikasi dan informasi melalui regulasi, sampai pada sebuah
batas, yang di dalamnya informasi dapat diinterpretasikan dan dicerna oleh
masyarakat secara logis dan bermakna (Piliang, 2009: 146). Regulasi yang
dimaksud Piliang, berkaitan dengan pengaturan kehidupan dan kelangsungan usaha
media massa cetak dan elektronik. Media massa cetak menunjuk kepada visi, misi,
fungsi, dan eksistensi surat kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan media massa
elektronik menunjuk kepada visi, misi, fungsi, dan eksistensi radio penyiaran
dan televisi.
Pasal 5 Undang-Undang
No.40/ 1999 Tentang Pers menyatakan, pet's nasional berkewajiban memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah. Pasal 6 menyatakan, pers nasional melaksanakan
peranan sebagai berikut:
a. memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum;
e. memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
Berikutnya, perhatikan pasal 13.
Pasal ini hendak mengingatkan sapa pun perusahaan pers untuk tidak main-main
dengan materi iklan. Sekalipun iklan adalah informasi yang berbayar dan karena
itu mendapat prioritas untuk dimuat media cetak, tidak lalu berarti iklan bebas
nilai atau bebas kontrol. Pasal 13 menegaskan, perusahaan pers dilarang memuat
iklan:
a.
Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama
dan mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan
rasa kesusilaan masyarakat;
b.
Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan pemndang-undangan yang
berlaku;
c.
Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok
Beberapa pasal terkait dalam UU
No.40/1999 Tentang Pers, sengaja kita kutip lengkap untuk menunjukkan regulasi
dalam media massa, temtama dalam media massa cetak, kecuali sudah lama ada,
juga isinya sesungguhnya masih sangat relevan dengan perkembangan zaman dan
dinamika demokrasi di Indonesia. Berbagai ketentuan yuridis itu dilengkapi
dengan kode etjk yang mengatur dan mengendalikan sikap-perilaku para jumalis
ketika melakukan perencanaan dan aktivitas jurnalisn'k. Sebagai contoh, dua
pasal, yakm' pasal 3 dan pasal 4 yang terdapat dalam Kode Etik Jumalistik 2006,
mengatur tentang sikap profesional dan integritas wartawan dalam melaksanakan
tugas-tugas jumalistik. Pasal 3 menyatakan
Wartawan Indonesia selalu menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c. Opini
yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan Opini
interpretatif, yaitu pendapat yang bempa inter pretasi wartawan atas fakta.
d. Asas
praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Ketentuan dalam pasal 3 denga 1
jelas mengingatkan siapa pun wartawan atau jurnalis yang melaksanakan
tugas-tugas jurnalistik untuk selalu berfikir,bersikap, dan bertindak secara
profesional dengan daya dukung moralitas dan integritas terpuji. Menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini,
tidak menghakimi, dan menerapkan asas praduga tak bersalah, adalah pekerjaan
atau bidang keahlian yang hanya bisa dicapai oleh seorang pofesional. Seorang
profesional, dengan keahlian, kompetensi, serta kredibilitas dan integritas
yang dimilikinya, menguasai persoalan, dapat memetakan persoalan, serta mampu
memecahkan persoalan yang berkaitan dengan apa pun yang menyangkut tugas dan
tanggung jawabnya. Pasal 4 menyatakan:
Wartawan Indonesia tidak membuat
berita bohong,fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
a. Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang
tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah
berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis
berarti kejarn dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul
berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara,
grafls, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam
penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan
gambar dan suara.
Pasal 4 hendak menunjukkan pula
siapa sebenarnya wartawan atau jumalis dilihat dari perspektif moralitas dan
nilai-nilai serta norma sosial budaya agama yang berlaku di Indonesia.
Peringatan tidak membuat berita bohong, fltnah, sadis, dan cabul, mempakan
penegasan betapa penting kaidah moralitas di balik profesionalitas seorang
wartawan atau jurnalis. Prinsipprinsip ini, jika dilanggar, tidak saja akan
menerima sanksi bersifat moral, tetapi juga sanksi institusional seperti
pemecatan dengan tidak hormat dari pihak perusahaan atau lembaga penerbitan,
serta sanksi yudisial. Sanksi yudisial berkaitan dengan proses peradilan umum.
Seorang wartawan atau jumalis bisa disidik oleh pihak kepolisian, didakwa oleh
pihak kejaksaan, dan divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan apabila
terbukti melakukan suatu tindak pidana yang merugikan orang lain atau
kepentingan umum.
Lantas, bagaimana dengan media
masa cetak elektronik? Apakah seorang wartawan atau jumalis untuk radio siaran,
televisi, serta media online journalism internet, dituntut untuk bersikap
profesional pula? Ketentuan yuridis dan etis apa yang dapat menjerat mereka
dengan sanksi setimpal sesuai dengan berat-ringannya tingkat kesalahan yang
mereka perbuat? Jurnalis media elektronik radio, televisi, dan media online
journalism internet, terikat pada ketentuan yuridis yang termuat dalam UU
No.32/ 2002 T entang Penyiaran, misalnya pasal pasal 36 ayat 4-6. Pasal ini dengan
jelas dan tegas mengatur tentang apa yang wajib dan terlarang dilakukan oleh
lembaga penyiaran radio dan televisi. Pasal 36 menyatakan:
a. Isi
siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga
persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya
Indonesia.
b. Isi
siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh lembaga
penyiaran swasta dan lembaga penyiaran publik, wajib memuat sekurangkurangnya
60 persen (enam puluh persen) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
c. Isi
siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus,
yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat,
dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi
khalayak sesuai dengan isi siaran.
d. Isi
siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan
golongan tertentu.
e. Isi
siaran dilarang: (1) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan atau bohong;
(2) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan
obat terlarang; dan (3) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
f.
isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan,
melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia,
atau merusak hubungan internasional.
Jadi, lambaga penyiaran radio dan
televisi, betapapun senantiasa diasumsikan powerful, memiliki efek sangat kuat
terhadap khalayak, menyimpan dampak dramatis luar biasa, dan didukung teknologi
serba canggih serta modal tidak terbatas, tidak berarti seperti raja penguasa
yang absolut. Seca ra teknologi, lembaga penyiaran radio dan televisi, memang
boleh berbuat apa saja sesuai dengan tingkatan kemampuan teknis yang dapat
dicapai. Namun secara sosiologi, lembaga penyiaran tidaklah steril dari ruang
serta nilai-nilai dan norma sosial sebab lembaga penyiaran dikendalikan
sepenuhnya oleh manusia, dan manusia, dari struktur sosial mana pun, ten’kat
kepada normanorma kelompok atau komunitasnya.
Civic Education
Langkah antisipasi kedua yang
diusulkan Piliang ialah memperkuat jaringan civic education untuk menciptakan
masyarakat warga sebagai mayoritas yang kritis (the critical majorities), yaitu
warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal, dan daya resistensi yang kuat
terhadap informasi, bukan massa sebagai mayoritas yang diam (the silent
majorities) (Piliang, 2009: 146). Apa sebenarnya yang dimaksud Piliang dengan
civic education? Apakah cara ini dilakukan secara formal ataukah informal, dan
apa asumsinya yang dinilai sangat signifikan dan relevan sehingga dijadikan
dasar rujukan serta orientasi tindakan?
Secara sederhana, civic education
menunjuk kepada pengertian, istilah, definisi, atau praktik pendidikan
kewarganegaraan. Dalam pendidikan jenis ini, setiap anak didik ditekankan untuk
mengetahui dan menyadari siapa dirinya. Juga apa hak dan kewajibannya, baik
sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang terikat dengan berbagai hukum
positif yang ada. Civic education mengajarkan tiap anak didik untuk mencintai
negaranya. Kecintaan itu diwujudkan dalam berbagai bentuk kesadaran,
kepedulian, dan tindakan yang membuat dirinya diakui oleh negara dan masyarakat
sebagai individu atau warga yang taat hukum, cinta tanah air, dan peduli
terhadap sesama. Tidak egois dan tidak individualis, juga tidak materialistis.
Sejauh ini, civic education lebih
banyak diajarkan secara formal di sekolah dan kampus. Mata pelajaran ini di
perguruan tinggi kini sudah kehilangan daya magisnya karena dinilai berbau Orde
Barn. Selain itu metodenya kaku dan disampaikan melalui cara yang membosankan.
Mahasiswa menganggap mata kuliah ini sudah kuno, ketinggalan zaman, karena itu
sudah selayaknya masuk museum. Jadi, memang sudah saatnya dicari format lain
dari civic education supaya terbangun masyarakat kritis dengan tingkat daya
tangkal tinggi terhadap berbagai bentuk ekses yang timbul dari gejala
hiper-realitas dan hipermoralitas.
Counter Media
Apa yang dimaksud dengan counter
media? Menurut Piliang, counter media, yaitu media-media publik (televisi
publik, radio publik, koran publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh
publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat
beraneka ragam (keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan)
(Piliang‘,'2009: 147). Dalam UU No.32/ 2002 tentang Penyiaran dikatakan,
lembaga penyiaran terdiri atas lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran
swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.
Pasal 14 undang-undang tersebut
menyatakan, lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk
badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak
komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Di
daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan lembaga penyiaran publik
lokal. Wujud nyata dari lembaga penyiaran publik adalah RRI untuk radio, dan
TVRI untuk televisi. Timbul pertanyaan, apakah lembaga-lembaga penyiaran publik
dewasa ini, baik radio dan televisi, sudah berkiprah dengan baik, dalam arti
mampu mengimbangi penetrasi dan ekspansi lembaga-lembaga penyiaran radio dan
televisi swasta komersial yang begitu dahsyat? '
Kita tahu, radio dan televisi,
adalah industri jasa penyiaran yang sangat menjanjikan yang bersifat padat
teknologi sekaligus padat modal. Jika ingin menguasai pangsa pasar lebih besar,
khalayak dalarn jumlah besar, jangkauan daerah liputan (coverage area) lebih
besar, dalilnya hanya satu: perbesar jumlah kapital. Inilah yang terjadi dewasa
ini di Indonesia. Televisi swasta komersial berlomba satu sama lain untuk
menaklukkan pasar, bahkan untuk mempermainkan khalayak. Sebab dalam logika
industri televisi, khalayak bisa diarahkan, digiring, diciptakan untuk menyukai
atau tidak menyukai sesuatu. Dalam peta persaingan seperti itulah radio dan
televisi publik kita hadir menjumpai khalayak pendengar dan pemirsa dengan
segala keterbatasan dan ketertinggalan yang ada.
Lalu, masihkah kita berharap pada
televisi dan radio publik untuk melakukan counter media? Harapan boleh saja
digantungkan, tetapi yang lebih mendasar ialah perhatian dan komitmen negara
terhadap fungsi dan eksistensi radio dan televisi publik jangan setengah hati.
Jika setengah hati, seperti yang terkesan sekarang, radio dan televisi publik,
nasibnya seperti hidup segan mati tak mau. Mengenaskan.
Media Watch
Untuk menciptakan masyarakat
warga mayoritas kritis, diperlukan berbagai terobosan dari kalangan kaum
terpelajar, kaum intelektual. Sejarah membuktikan, di berbagai belahan bumi,
revolusi, reformasi, dan evolusi digerakkan pertama kali oleh sekelompok elit
terpelajar atau kaum intelektual yang senantiasa resah dengan kenyataan yang
ada. Kenyataan itu menunjuk pada berbagai bentuk keterbelakangan, kemiskinan,
ketidakadilan, dan wabah besar KKN: kolusi, korupsi, nepotisme. Dalam konteks
hiper-realitas, kehadiran lembaga-lembaga pemantau media (media watch) yang
dirintis dan dipelopori kalangan elit terpelajar, elit intelektual di kampus
atau di luar kampus yang terhimpun dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau
dulu lazim disebut organisasi nonpemerintah (ornop), atau disebut juga NGO
(nongovernment organization), mutlak diperlukan. Posisi tawar media watch di
mata masyarakat, negara, bahkan kalangan industri radio dan televisi swasta
komersial, sejauh ini sudah cukup menggembirakan. Artinya, suara vokal mereka
djdengar. Beberapa media watch yang dipirnpin oleh tokoh-tokoh masyarakat
dengan kredjbilitas dan integritas tinggi, terbukti sangat diakui fungsinya dan
sangat disegani eksistensinya.
Media Literacy
Badan PBB yang menangani urusan
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO) menyatakan, literasi
adalah kemampuan seorang individu untuk membaca dan menulis yang ditandai
dengan kemampuan memahami pemyataan singkat yang ada hubungannya dengan
kehidupannya. Lamb (2003) menyatakan, literasi tidak hanya dideiinisikan
sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan menempatkan,
mengevaluasi, menggunakan dan mengomunikasikan melalui berbagai sumber daya termasuk
sumber-sumber daya teks, visual, suara, dan video (Iriantara, 2009: 4-5).
Kellner dan Share (2003: 369),
menyebut literasi sebagai hal yang berkaitan dengan perolehan keterampilan dan
pengetahuan untuk membaca menafsirkan, dan menyusun jenis-jenis teks dan
artifak tertentu, serta untuk mendapatkan perangkat dan kapasitas intelektual
sehingga bisa berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan kebudayaannya.
Artinya, dengan literasi orang bisa meningkatkan harkat, martabat. dan perannya
di tengah masyarakat. Kenner dan Share juga menekankan, literasi yang ada
sekarang ini seperti literasi media dan literasi informasi, mengembangkan dan
mengubah respons kita terhadap pembahan sosial budaya. Juga merespons
kepentingan-kepentingan elit yang mengontrol institusi hegemonik (Iriantaxa,
2009: 5).
Dalam konteks hiper-realitas,
literasi media diarahkan untuk membangun gerakan kesadaran kultural dan
intelektual bersama mengenai pentingnya menyikapi arus informasi media agar
lebih bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan dan kebudayaan. Litérasi media
memang meagasumsikan, tidak setiap informasi yang disajikan, disiarkan, atan
ditayangkan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat. Justru yang
terjadi sering berlaku sebaliknya. Artinya, masyarakat tidak membutuhkan begitu
banyak informasi barn yang terasa aneh, janggal, dan artitisial. Tetapi
ternyata media terns saja memproduksinya, menyiarkan, dan menayangkannya
berulang ulang. Kenyataan demikian dikhawatirkan bisa menumpulkan daya
kritisisme masyarakat. Untuk itulah, budaya literasi media perlu ditanamkan
sejak dini di sekolah-sekolah.
Komunikasi Keluarga
Pengaruh televisi terhadap cara
memanfaatkan waktu senggang (leissune time) kita ldni begitu meningkat. Selain
itu, memengaruhi kesadaran politik serta realitas sosial individu dan
masyarakat, serta membentuk nilai-nilai pribadi dalam budaya dan etika (Brown,
1998: 47). Berbagai hasil penelitian di Amerika menunjukkan, kini makin banyak
anak remaja dan anggota keluarga yang semakin tenggelam dengan tayangan televisi.
Mereka lebih memilih 5-6 jam per hari bersama televisi di kamar tidur mereka
yang serba ada daripada keluar rumah hanya untuk main basket atau menyapa
tetangga. Bahkan beberapa pakar menyimpulkan, televisi kini sudah menyempai
atau seperti menjadi Tuhan kedua bagi masyarakat modem.
Karena daya pikat dan daya
khasiat televisi yang begitu besar, benteng moral, intelektual, dan benteng
kultural keluarga selayaknya terus ditingkatkan. Caranya dengan terns membuka
mang-ruang publik dalam keluarga. Sen'ap anggota keluarga diajarkan dan
ditanamkan untuk bersikap terbuka, berani mengutarakan gagasan, pendapat,
bahkan kritikan dalam bahasa yang santun, saling menghargai, penuh
persaudaraan. Tidak boleh ada lagi sikap otoriter. Budaya saling berbagi
(sharing), budaya dialog, budaya diskusi dalam kerangka mencari solusi atau
mempertajam visi, perlu dipupuk dalam keluaga.
Apa maknanya? Hanya satu pilihan:
intensifikasi komunikasi keluarga mutlak dihidupkan, dikembangkan. Dengan
komunikasi keluarga yang intensif, cair, etis, demokratis, bahkan akademis,
niscaya akan tumbuh kesadaran, keyakinan, serta pilihan-pilihan yang paling
rasional dalam menyikapi, menyeleksi, bahkan mengeksekusi berbagai jenis
tayangan acara televisi yang dinilai tidak bermanfaat bagi kehidupan dan
perkernbangan peradaban serta kebudayaan kita. Literasi media diarahkan untuk
melahirkan khalayak pendengar dan pemirsa yang kritis, etis, dan cerdas. Jadi
literasi media bukan antimedia, apalagi sampai menyatakan perang terbuka
terhadap media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar